AGAMA 4.0

-MHW

Digitalisasi agama apakah juga berarti matinya sakralitas dan kepakaran? Namun sebelumnya, begitu krusialkah sakralitas dan kepakaran?

Jika Anda merasa sikap beragama manusia hari ini kehilangan dimensi kedalaman, maka di situlah pentingnya sakralitas. Jika anda melihat agama layaknya parodi, di situlah primernya kepakaran.

Kendati demikian, digitalisasi tidak bisa dijadikan kambing hitam atas redupnya sakralitas dan kepakaran. Telah sejak lama, lama sekali, sikap beragama kita berada di jalur yang getir. Sehingga mudah diotak-atik, juga dikotak-kotakkan. Sepi dari ghirah intelektualisme. Lantaran dikangkangi oleh, mengutip Ahmet T. Kuru, otoritarianisme.

Mirisnya lagi, sikap beragama kita tak ubah seperti psikis babu, sarat dengan simpul penindasan. Bahkan hanya untuk sekadar mengabstraksikan identitas agama, kita harus mengadopsi mind map yang liyan. Maka wajar saja agama yang dianut hanya terhenti pada batas formil, tidak menembus kesadaran.

Dimensi kedalaman dan daya ‘detonasi’ agama terletak pada spirit intelektualisme, bagi saya. Inilah yang hilang dari agama, sehingga mengembangbiakkan penganut agama yang mengidap mental inferior. Gampang menganggap yang berbeda sebagai ancaman, salah satu cirinya.

Termasuk digitalisasi, dianggap sesuatu yang teramat bahaya. Padahal, sakralitas dan kepakaran sirna lebih karena paradigma beragama yang cacat.

Justru, era digitalisasi saat ini merupakan momen yang tepat guna mentransformasi agama sebagai tonggak peradaban. Sebab terbukanya akses pengetahuan dan kian tumpulnya relasi kuasa.