34. MADRASAH AL-IQBAL AL-ISLAMIYAH: Majalah Al-Imâm Menggesa Lembaga Pendidikan Modern Di Alam Melayu

34. MADRASAH AL-IQBAL AL-ISLAMIYAH: Majalah Al-Imâm Menggesa Lembaga Pendidikan Modern Di Alam Melayu

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Para pengelola majalah Al-Imām pada khususnya dan masyarakat terpelajar pada umumnya menyadari betul arti pendidikan guna memajukan masyarakat, dan sekaligus dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman. Menyadari kewajibannya kepada Allah dan mempertimbangkan peranannya dalam komunitas masyarakatnya sendiri, Al-Imam mempunyai tujuan pendidikan bersifat khusus.

Pertama, untuk menyakinkan masyarakat Muslim bahwa menuntut ilmu pengetahuan adalah pertama diperintahkan Allah (iqra’) di dalam al-Qur’an.

Kedua, untuk mengenalkan sebuah sistem baru pendidikan yang didasarkan pada ajaran al-Qur’an.

Ketiga, untuk membangun sejumlah lembaga-lembaga pendidikan dengan kurikulum dan silabus yang baik.

Keempat, untuk mendorong dan membimbing para pemuda Muslim dalam melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.

Kelima, untuk menganjurkan para sultan (raja-raja dan penguasa), pemimpin tradisional dan ulama agar memberikan perhatian khusus dan berperan aktif secara langsung untuk mengembangakan sistem pendidikan Islam di negeri ini. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 55-56)

Bahkan majalah Al-Imām memiliki pandangan yang sangat maju tentang keberadaan lembaga pendidikan bagi masyarakat, khususnya bagi generasi muda. Misalnya, Roff menulis bahwa “Al-Imām mengusulkan sistem pendidikan modern; bahasa Arab dan bahasa Inggris serta mata pelajaran sains modern seharusnya diajarkan.”

Lebih dari itu, majalah Al-Imām yang sangat peduli terhadap pendidikan ini mengemukakan filsafat pendidikannya dalam pembukaan editorial pada bulan Juli 1906 dengan menyatakan: “Pendidikan merupakan awal dari keimanan, sedengakan pengetahuan adalah mataharinya apa yang tersembunyi dari kegelapan; ia adalah rahasia yang hanya dipahami orang-orang bijak.

Pengetahuan merupakan senjata yang dengannnya kemenangan dapat dirahi dalam medan peperangan kehidupan; ia adalah unsur penghubung yang membawa kebanyakan masyarakat untuk mencapai keunggulan dan kebesaran mereka. Sesungguhnya Pengetahuan adalah perbendaharaan kebenaran dan gudang kearifah; ia merupakan saluran yang paling tepat menuju kesempurnaan, cahaya yang, ketika ia menempati dua indra manusia –hati dan kepala– akan menyinari seluruh negeri.” (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 56.).

Dengan latar belakang pemikiran di atas pengelola majalah Al-Imām bercita-cita untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan dimaksud. Cukup lama cita-cita mendirikan lembaga pendidikan digagas, dan kurang lebih satu setengah tahun kemudian baru terwujud. Langkah persiapan pendirian itu diambil berawal pada tanggal 1 Sya’ban 1325 Hijriah (9 September 1907) dengan datangnya seorang ulama yang sangat mumpuni, Othman Affandi yang ditemani oleh Syed Abdullah Al-Zawawi (Mufti Pontianak, Kalimantan) dari Cairo, Mesir. Ia datang untuk mengajar di Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah yang segera akan didirikan di Singapura baik mengajar bahasa Arab maupun bahasa Inggris.

Untuk mendirikan sekolah itu memerlukan banyak guru, karenanya, pada bulan Oktober 1907 Othman Affandi diutus kembali ke Mesir untuk merekrut tenaga pengajar.Kemudian, pada 3 Januari 1908, ia tiba kembali di Penang, dan dari sana mengirim telegram ke Singapura menginformasikan kepada pengelola majalah Al-Imām tentang kedatangannya dari Mesir, dan keberangkatannya menuju Singapura bersama dengan guru-guru telah direkrutnya dari Mesir.

Meskipun secara resmi yang mendirikan Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah atas nama Othman Affandi, tetapi tidak bisa dilepaskan peran pengelola dan orang-orang majalah al-Imam. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Raja Ali Kelana bersama-sama dengan Shaykh Taher Jalaluddin adalah author intelektual berdirinya Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah di Singapura pada 1908. Akhirnya, pada Selasa, 1 Muharram 1326 Hijriah (4 Pebruari 1908), Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah secara resmi dibuka. (Lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, 41; Barbawa W. Andaya, “From Rum to Tokyo, 140).

Majalah al-Imam sendiri menerbitkan dengan mendetail tentang Madrasah al-Iqbal a-Islamiyah yang baru didirkan di Singapura itu. Misalnya Al-Imam menginformasikan kepada pembacanya pidato pembukaan dibacakan dengan lantang oleh seorang siswa laki-laki yang berusia sepuluh tahun, Abdul Jalil bin Raja Abdul Rahman dalam bahasa Melayu yang berbunyi, di antaranya: “Hadirin Yang Terhormat! Pada awal sekali, perkenankan saya untuk mengatakan: Hari ini adalah permulaan Tahun Hijriah 1326; dan hari ini juga adalah hari pembukaan hari Madrasah Islam ini, dengan begitu ada dua peristiwa bersejarah; menyambut tahun baru dan juga menyambut hari permulaan kebangkitan kembali ilmu pengetahuan melalui suatu sistem pendidikan baru. Ya, Tuhan ku! Mudahkan tugas ini dari berbagai kesulitan dan sempurnakanlah, Ya, Tuhan, tugas ini sangat baik…” Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 73-74.

Akan tetapi, pendirian madrasah ini mendapat reaksi negatif dan tantangan dari Kaum Tua atau dari kelompok tradisional. Ini disebabkan Madrasah itu didirikan Kaum Muda yang juga di kenal sebagai Kolompok Modern. William R. Roff mengidentifikasikan yang pertama sebagai “Innovasi” dan yang belakang sebagai “Reaksi”. Seorang koresponden dari Batu Biduan, Sumatra menulis kepada Al-Imām laporan sebagai berikut:

“Kami sering membaca dalam surat kabar yang beragam tentang Madrasah Iqbal di Singapura dan yang sangat mengesankan mengenai pelajaran yang diajarkan di sana….. kami merespon secara positif Madrasah tersebut dan kami sekarang menyeru kepada kawasan masyarakat tertentu…. untuk mengirim anak-anak mereka ke Madrasah itu…. tetapi, kekhawatiran kami…. mereka tidak memperhatikan kami; malah sebaliknya bereaksi negatif menyatakan bahwa tidak perlu belajar di sana… lalu kami berupaya yang terbaik untuk menemukan sumber kesalahpahaman ini dan sesudah itu kami menemukan bahwa sumbernya berasal dari sebuah aliran yang sesat, yaitu berasal dari orang-orang yang memakai sorban besar, penjual ajimat, dan orang-orang penipu yang berjalan sambil bertasbih, memakai kacamata dan tongkat panjang, karena iri hati dan ketidakamanan dari penghasilan yang mereka peroleh melalui penipuan dan kecurangan terhadap masyarakat didaerah itu, maka banyak orang yang terpelajar dan menjadi lebih tahu sehingga tipu daya mereka tidak menjadi efektif lagi….” (Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 75-76).

Selain mendapat respon negatif dari kelompok tradisional, madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah juga menghadapi masalah, misalnya kesalah-pahaman dari penderma sosial yang menganggap bahwa Madrasah itu merupakan milik pribadi seorang kaya, Raja Ali Ahmadi dari Riau. Dewan pimpinan Madrasah itu sudah mengklarifikasi situasi ini, kemudian bulan Desember 1908 pihak madrasah ini membuat pengumuman sebagai berikut:

“Orang-orang mungkin berpikir bahwa Madrasah ini milik Raja Ali Al-Ahmadi karena dia satu-satunya orang yang perduli terhadap segala sesuatunya yang berhubungan dengan Madrasah ini. Karena anggapan ini ada suara-suara yang tidak sejalan dengan situasi yang sebenarnya, sehingga merusak kebaikan kami secara umum. Madrasah ini, kenyataannya, secara resmi adalah milik Othman Afandi Ra’fat, dan Raja Ali sebenarnya hanya salah seorang dari anggota donatur yang menyumbang untuk pendirian Madrasah itu. Raja Ali disebut sebagai pelindung Madrasah dengan pertimbangan karena Othman Ra’fat adalah orang asing dan belum dikenal luas; ini akan membuat orang tua enggan untuk mengirim anak-anak mereka belajar kesana. Kebijaksanaan ini dijalankan sampai orang-orang menyadari siapa pemilik Madrasah itu sebenaranya. Sekarang ketertarikan itu sudah terjamin dan kepercayaan dari masyarakat juga sudah utuh. Karenanya, untuk menghindari kebingungan yang lebih jauh dari anggota masyarakat yang ingin memberikan sumbangan, maka nama Raja Ali ditarik dari pelindung Madrasah, tetapi dilanjutkan dengan keangggotaan luar biasa dalam Dewan Pengurus dan membantu Madrasah seperti anggota yang lain. Oleh karena itu, diharapkan kepada semua kaum Muslim agar memberikan jasa-jasa mereka untuk kebaikan pada anak-anak saudara mereka”. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 76).

Dari kutipan di atas jelas sekali peran dan kedudukan Raja Ali Ahmadi terhadap keberadaan Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah. Bahkan, lantaran kesukaran keuangan dalam pengelolaanya, segera Madrasah ini dipindahkan ke Riau –meskipun belakangan ditentang penjajah Belanda– dengan peran dan kepedulian besar dari intelektual dan penguasa kerajaan Melayu-Riau, khususnya dari Raja Ali al-Ahmadi:

Konsekwensinya, Madrasah al-Iqbal Islamiyah menghadapi ancaman penutupan karena berbagai alasan, terutama masalah keuangan.Namun, nasib Madrasah itu dengan segera menggugah perhatian Raja Ali Al-Ahmadi tanpa ragu-ragu, memberikan reaksi dan mengadukan keadaan itu kepada Sultan Abdul Rahman, Penguasa Lingga dan Riau.Penting untuk dicatat bahwa Raja Ali Al-Ahmadi adalah saudara Sultan Riau.Yang disebut pertama adalah seorang terpelajar yang saleh, dan belakangan seorang Penguasa yang dermawan.

Raja Abdul Rahman merespon secara simpati dan memerintahkan agar Madrasah tersebut beserta dengan guru-guru dan peralatanya dipindahkan ke Riau, di Pulau Penyegat, dan perintah Sultan terlaksana.Madrasah ini sekarang menjadi milik tunggal Pemerintah Riau dan sekarang diberi nama baru, yaitu “Madrasah Ahmadi”. Pada tanggal 20 Syawal 1326 Hijriah, Madrasah “baru” itu secara resmi dibuka kembali dan pengajaran secara gratis untuk semua anak-anak yang menghadiri Madrasah itu. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 77).

Sewaktu Madrasahal-Iqbal al-Islāmiyah masih di Singapura dengan partisipasi Shaykh Jalaluddin Taher. Namun pengaruh tokoh asal Minangkabau ini tetap besar bagi kolega-kolega dan murid-muridnya di Minangkabau. Haji Abdullah Ahmad, misalnya, mengunjungi guru dan teman-temannya ini di Singapura dengan maksud untuk mempelajari pengelolaan Madrasah tersebut. Sekembalinya dari Singapura Haji Ahmad Abdullah menjadikan Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah sebagai model Madrasah Adabiyah yang didirikannya di Padang pada 1909.” (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,41 dan 47; Barbawa W. Andaya, “From Rum to Tokyo…”, 140). Lagi-lagi, tradisi intelektual Semenanjung Melayu dan Riau lewat sistem pendidikan madrasahnya, khususnya Madrasah al-Iqbal al-Islāmiyah mempengaruhi sistem pendidikan dan belakangan “semakin mengokohkan” pembentukan tradisi intelektual di Minangkabau.

Kata “semakin mengokohkan” dimaknai sebagai “tambahan” saja, tanpa pretensi bahwa Semenanjung dan Riau telah membentuk tradisi intelektual di Minangkabau. Bukankah pondasi pembentukan tradisi intelektual di Minangkabau sudah mulai terbentuk dilakukan sebelumnya lewat dua jalaur. Pertama, lewat jalur “politik etis” Belanda dan berlanjut pada pengirimin siswa-siswa yang meneruskan pendidikan mereka di perguruan tinggi baik di Batavia maupun di negeri Belanda. Kedua, jauh sebelum kebinakan politik etis tradisi “pendidikan surau” dan berlanjut pada pengirimian pelajar ke Makkah dan Mesir.

Pada waktunya, memasuki dan terus belanjut pada paroh pertama abad ke-20 begitu banyak ilmuan (didikan “Barat”) dan ulama (didikan “Arab”) asal Minangkabau. Pada gilirannya, daerah inilah paling banyak ”menyumbang” inteletual Muslim dalam kiprahnya menjelang dan setelah Indonesia merdeka. Sedemikian banyaknya menyumbang dan memasok putra-putra terbaiknya negeri ini, kalau kita menyebutkan selusin tokoh-tokoh intelektual/ sarjana-terpelajar menjelang dan sesudah Indonesia merdeka, hampir separohnya berasal dari Minangkabau.

Sekali lagi, pada batas-batas tertentu, persuratan intelektual Melayu-Riau memberi andil dalam menghubungkan geneologi intelektualisme ke Minangkabau (Sumatra Barat) dalam kawasan Melayu-Nusantara pada awal ke-20. Sebelumnya majalah Al-Imam yang terbit disingapura jadi rujukan penerbitan penerbitan majalah al-Munir pada 1911-1916 di Padang Minangkabau. Kini Madrasah Iqbal al-Islamiyah di Singapura menjadi model pendirian sekolah Adabiyah yang didirikan pada 1909. Kedua usaha besar dalam bidang penerbitan majalah dan pendirian sekolah ini diupayakan oleh Haji Abdullah Ahmad yang, menurut Deliar Noer, salah seorang pembaharu penting di awal abad ke-20.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur &Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)UIN Suska Riau).

Leave a Reply