Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) mengadakan diskusi intelektual dengan tema “MUI, Halalisasi dan Otoritas Agama” dengan pemateri Dr. Junaidi Lubis, M.Ag Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUSKA RIAU. Kegiatan ini dihadiri mahasiswa Fakultas Ushuluddin sebanyak 50 mahasiswa dari berbagai jurusan.
Menurut beliau, MUI lahir setelah indonesia ada dan MUI bukanlah organ negara. Mengapa MUI ada? Karena pada saat itu di Jawa terjadi perbedaan eksekutif. MUI itu adalah perpanjangan tangan pemerintah untuk masalah keagamaan yang ada di indonesia. Dan sentralisasi dikalangan masyarakat. Dari segi skeptis, kita memandang MUI bukanlah ulama, karena ada terjadi sudut pandang yang berbeda. Perlu kita ketahui bahwa ulama itu adalah manusia yang mengetahui atau yang mempunyai ilmu dan ulama barang tentu punya metode atau cara untuk menentukan permasalahan-permasalahan tertentu.
Mengetahui sesuatu hal harus dengan metode atau ilmunya. Begitu juga dengan ulama sebagai orang yang memiliki pengetahuan akan keagamaan. Hal yang lebih kompleks lagi harus dihadapkan dengan permasalahan muthakir ini. Seorang ulama dituntut untuk dapat memahami dengan lebih hanya sekedar agama namun juga ilmu pengetahuan. Sebab tidaklah benar agama itu apabila bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Bisa diperkirakan agama itu tidak akan bertahan lama dan akhirnya ditinggalkan. Dengan demikian, agama itu harus bergandengan dengan perkembangan suatu zaman dengan zamannya sendiri.
Untuk menentukan halalisasi tentu harus ada hukum-hukum yang mempelajari tentang halal dan tentu telah diatur didalam syariat Islam. Contoh kasus nya adalah imunisasi campak dan rubela. Di dalam imunisasi itu tidak terdapat satu pun obat yang memang asalnya halal. Karena salah satu misalnya didalam vaksin mengandung minyak babi. Sedangkan vaksin itu sangat berguna bagi manusia untuk meningkatkan sistem imun tubuh. Supaya tubuh memiliki imun yang kuat untuk menyerang penyakit yang datang. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang Dia haramkan, kecuali yang terpaksa kalian makan.”
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Siapa yang dalam kondisi terpaksa memakannya sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa suatu hukum itu bisa berubah sesuai dengan konteksnya. Bukan hanya terpaku pada teks semata yang ada di dalam al-Qur’an. Dalam konteks ini pun sama dengan permasalan obat penyakit rubela dan campak diatas. Jika tidak diberi dengan obat maka yang akan terjadi adalah penyakit itu tidak bisa disembuhkan dan bahkan nyawa pun terancam.
Kemudian dalam otoritas agama kita hanya perlu ulama, ulama yang mengetahui dan bukanlah ulama yang harus ikut dalam keorganisasian tertentu.