Humanisme Buya Syafi’i

Humanisme Buya Syafi’i

Ahmad syafi’I ma’arif yang juga akrab dipanggil Buya oleh orang-orang terdekatnya meski ia sendiri cenderung menghindarinya. Ia lahir pada 31 Mei 1935 di Bumi Calau Sumpur Kudus “Makkah Darat”. Perjalanan pendidikan Buya Syafii mencerminkan pola asuh santri baru. Gambaran pola pendidikan santri tempo dulu adalah demikian: setelah mengenyam pendidikan agama di Nggon Ngaji dan pesantren kemudian pergi haji sekaligus belajar agama kepada ulama-ulama besar di Mekkah. Oleh karena itu, Syafii kecil tidak pergi ke pesantren tradisional, tapi bersekolah di Madrasah Mualimin Muhammadiyah Lintau (1953) dan Madrasah Mualimin Yogyakarta (1956). Sarjana Muda ditempuh di Universitas Cokroamnoto Surakarta (1964), dan sarjana lengkap dalam pendidikan sejarah di IKIP (Universitas Negeri) Yogyakarta (1968). Ia pernah menghadapi lika liku Pendidikan selama di Yogyakarta, ia belajar sambil mengajar. Setelah itu, Ahmad Syafi’I Ma’arif melanjutkan studinya di Amerika, ia belajar sejarah pada Northern Illinois University (1973) dan Ohio State University (1980) hingga memperoleh gelar MA. Selanjutnya masih dinegara yang sama, di Universitas of Chicago ia memperoleh gelar PhD dengan judul disertasi “Islam As The Basic of State; A Study of The Islamic Political Ideal As Reflected In The Constituent Assembly Debates In Indonesia” yang dibimbing oleh Fazlur Rahman. Tulisan Buya Syafii tentang pendidikan Islam seluruhnya di tulis setelah era 1980-an, setidaknya yang menjadi bahan kajian ini, paska mengalami pergolakan intelektual di Chicago. Tinjauan selintas perjalanan pendidikan dan pergeseran pemikirannya, meski jauh dari memadai, sudah dapat mengambarkan latar belakang pemikiran pendidikannya. Sumbangsih pemikiran Syafi’I Ma’arif dalam bentuk karya tidak perlu diragukan lagi. Telah banyak karya buku yang telah ditulisnya, baik yang membahas agama, negara, atau keduanya sekaligus. Diantara kara-karya nya yakni Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009), Menerobos Kemelut Refleksi Cendekiawan Muslim (2006), Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (2006), Menggugah Nurani Bangsa (2005), Mencari Autentitas Dalam Kegalauan (2004), Independensi Muhammadiyah Ditengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (2000), Islam dan Politik Membingkai Peradaban (1999), Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (1997),  Keterkaitan Antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (1997), Islam dan Politik; Teori Belah Bamboo Masa Demokrasi Terpimpin (1996), Muhammadiyah Dalam Konteks Intelektual Muslim (1995), Membumikan Islam (1995), Percik-Percik Pemikiran Iqbal (1994), Peta Bumi Intelektualitas Islam di Indonesia (1994), Islam dan Politik di Indonesia (1988), Al-Quran, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (1985), Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante (1985), Dinamika Islam (1984), Islam, Mengapa Tidak ? (1984), Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia Dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia (1983), Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (1975), Mencari Autensitas Dalam Dinamika Zaman (2019), dan lain sebagainya.

Ahmad Syafi’I Ma’arif termasuk salah satu cendekiawan muslim Indonesia yang aktif merespon berbagai permasalahan bangsa ini dengan sudut pandangnya. Konsep humanism Buya Syafi’I tanpa jubah dan sorban dalam berdialektika dan bergumul dalam konteks islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Islam yang sesungguhnya adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif berlandaskan kepada tauhid, yang memberikan kebebasan, persaudaraan, serta persamaan kepada sesama. Bagi Ahmad Syafi’I Ma’arif, manusia memiliki hak dalam menentukan pilihan hidupnya, dan setiap manusia berhak memiliki keadilan untuk menganut agama apapun yang diinginkannya, karena itu adalah hak bagi manusia tanpa adanya paksaan. Kemajemukan itu adalah sunnatullah yang mau tidak mau harus diterima sebagai sebuah fitrah. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif sangat menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan tersebut, baik dari aspek keagamaan, suku, ras, budaya, sosial, dan sebagainya. Apalagi dengan kondisi Indonesia yang plural maka disinilah kita sebagai manusia dituntut untuk saling memahami keragaman tanpa lagi harus saling menuding satu sama lain dalam sebuah perbedaan.

Ahmad Syafi’I Ma’arif juga mendedikasikan seluruh kemampuannya untuk merespon dan memberikan kontribusi pemikiran kepada rakyat Indonesia baik secara langsung ataupun melalui karya-karyanya, supaya terlepas dari paham-paham yang dapat membelenggu kemajuan bangsa, melepaskan masyarakat dari kebodohan cara pandang, fanatisme yang sempit, serta paham-paham lainnya yang memperburuk situasi sosial keagamaan bangsa, agar Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara tetap utuh, tidak ternoda oleh berbagai kepentingan politik jangka pendek yang tidak sehat. Manusia, dalam pandangan Ahmad Syafi’I Ma’arif adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan ilmu dan aql (intelek atau penalaran), manusia melalui kreatifitasnya dapat menemukan ilmu pengetahuan. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif sejalan dengan rasionalitas dan pendirian bahwa dengan usaha-usaha rasional yang terus menerus Islam akan lebih dari sekedar mampu untuk menghadapi berbagai tantangan modernitas. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif adalah humanism Islam yang berkaitan dengan berbagai ajaran Islam tentang toleransi dan keharmonisan sosial yang menyangkut budaya muslim yang mendorong umat Islam tidak seharusnya takut terhadap suasana plural yang ada ditengah masyarakat modern, sebaliknya harus merespon dengan positif.

Pemikiran humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif menurut penulis sangat penting dan mempunyai nilai kontribusi pemikiran yang besar dalam memahami islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah peradaban dan kemanusiaan. Pemikiran humanism beliau akan mampu membawa Islam untuk memberikan jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi manusia sekarang ini, terutama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, antara lain: kebodohan, keterbelakangan, kefanatikan, dan tantangan sosial keagamaan bangsa lainnya. Karena itu beliau selalu menekankan satu poin penting bagi bangsa Indonesia khususnya Islam yaitu, kembalilah kepada al-Quran. Sehingga akan terlepas dari penafsiran-penafsiran keagamaan yang sarat dengan kepentingan tertentu. Berangkat dari permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif menginginkan adanya rekonsiliasi antara agama dan politik, karena agama kerap kali menjadi bulan-bulanan para pelaku politik dalam mencapai tujuannya. Ahmad Syafi’I Ma’arif ialah sosok yang memadukan antara kekuatan intelektual yang kritis dan kekuatan moral spiritual keagamaan yang telah teruji kokoh. Disaat keberagaman intelektual dihambat dan dibabad dalam tradisi kehidupan umat Islam, maka yang terjadi adalah dekadensi dalam seluruh sistem kehidupan umat terutama dekadensi moral intelektual. Ahmad Syafi’I Ma’arif pernah menyatakan dengan tegas, “mereka yang takut pada pemikiran yang berbeda adalah manusia fosil. Kalau kita takut berbeda pendapat, takut disembelih orang karena memiliki pendapat yang berbeda, maka jadi saja manusia fosil.” Ahmad Syafi’I Ma’arif senantiasa mengembangkan intelektualitas dalam tradisi Islam, maka yang harus dikembangkan adalah mendorong kemerdekaan berpikir seluas-luasnya. Inilah yang dalam pandangan beliau akan menghindarkan umat manusia terjerembab dari tragedy “manusia fosil” tadi. Kemerdekaan berpikir akan melahirkan jiwa yang merdeka. Baginya Islam yang damai, Islam yang konstruktif, dan Islam yang dapat mengayomi bangsa ini ialah dengan tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan lain sebagainya. Keislaman harus satu nafas dengan keindonesiaan dan kemanusiaan.

Dalam pandangan Ahmad Syafi’I Ma’arif, ketika Islam diaplikasikan dalam konteks keindonesiaan maka akan memunculkan sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa Indonesia. Inilah kondisi carut marut yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Permasalahan-permasalahan keagamaan dan sosial politik yang yang dialami bangsa ini, butuh sosok seorang Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam memberikan jalan tengah dan pencerahan terhadap bangsa ini.

Menurut Ahmad Syafii Maarif, secara doktrinal Islam tidak menetapkan dan menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum Muslim. H.A.R. Gibb seperti dikutip Buya Ahmad Syafii Maarif, memaparkan bahwa baik AlQur’ân maupun Sunnah tidak memberikan petunjuk yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk mempertahankan persatuannya. Argumentasi Buya Syafii Maarif ini berangkat dari asumsi bahwa Islam bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama yang lepas begitu saja. Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita- cita moralnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud Buya Ahmad Syafii Maarif tidak lain adalah negara, sehingga Syafii Maarif menolak pandangan yang menghendaki pemisahan Islam dan negara.

Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif mendukung sepenuhnya prinsip kebebasan beragama. Ia senantiasa menghargai setiap perbedaan-perbedaan tersebut meskipun berbeda dengan keyakinannya. Keimanan beliau tak tergoyahkan meskipun ia bergelut dengan agama-agama dan keyakinan yang berbeda dengannya. Syafi’I Ma’arif membuka luas-luas hak-hak individu dalam menentukan keyakinannya sendiri. Dengan demikian, pada satu sisi Syafi’I Ma’arif mendapatkan dasar teologis dan pada sisi lain mendapatkan penghargaannya terhadap kebebasan beragama berdasarkan konstitusi yang berlaku. Beliau mendasarkan humanismenya terhadap kebebasan manusia dalam menentukan pilihannya tentunya dengan segala resikonya masing-masing. Sebagai tokoh yang radikal ia senantiasa bergerak setelah mendapatkan lampu hijau dari alquran. Pilihan bebas untuk memilih sebuah keimanan juga berdasarkan landasan normative dari kitab suci tersebut, bukan sebagai ijtihad yang tak memiliki akar teologis, karena baginya iman yang dipaksakan dalam hati penganutnya merupakan sebuah Tindakan yang tidak pantas karena menghambat hak-hak asasi individu tersebut.

Humanism Syafi’I Ma’arif memandang bahwa perbedaan-perbedaan yang dimiliki manusia bukanlah untuk ditakuti yang akan melahirkan perpecahan diantara sesama, melainkan menjadi sebuah kekayaan yang mendinamiskan pemahaman visi dan pemahaman manusia tentang realitas. Perbedaan merupakan dictum untuk saling mengenal yang merupakan pondasi kultural dan religius untuk membangun persaudaraan kemanusiaan universal dan mengokohkan pluralism. Humanism Syafi’I Ma’arif menyatakan persaudaraan universal yang mampu menciptakan kedamaian yang solid dalam menerima realitas yang plural melalui sikap yang toleran. Baginya sikap yang toleran tak terlepas dari konsep kesetaraan manusia, karena keadilan dan persaudaraan yang solid tak tercipta begitu saja tanpa didukung dengan pengakuan kesetaraan status manusia, baik yang beragama atau bahkan ateis. Kondisi masyarakat Indonesia yang bersentuhan langsung dengan suasana yang plural sedang mengalami disorientasi nilai-nilai agama. Menurut Syafi’I Ma’arif, kondisi yang demikian terjadi akibat dari keangkuhan manusia itu sendiri yang merasa “lebih benar” daripada satu kelompok dan mencurigai kelompok lainnya sebagai “biang kerok” dalam bangsa dan agama ini. Akibatnya, terjadi interaksi negatif yang terkesan merendahkan dan meremehkan. Menurut Syafi’I Ma’arif sesungguhnya kemanusiaan itu tunggal, tidak ada orang lain di dunia ini kecuali semua merupakan hamba-hamba tuhan. Semuanya tercakup dalam sebuah ikatan persaudaraan universal dan berhak merasakan kasih sayang Tuhan.

Humanism Syafi’I Ma’arif berpedoman kepada al-Quran. Menurutnya al-Quran mengajarkan kepada kita bahwa sikap moderat merupakan pilihan tepat dalam menjaga dan menjalin hubungan antar umat beragama. Semangat al-Quran telah memberikan lampu hijau tentang pluralism dimana setiap kelompok masyarakat diakui eksistensinya. Kepedulian Ahmad Syafi’I Ma’arif akan masalah-masalah yang membelit bangsa ini begitu besar. Bagi Ahmad Syafi’I Ma’arif inilah pekerjaan utama bagi setiap agama yang perlu dihadapi dan dicarikan solusinya. Kondisi yang demikian, maka agama harus diletakkan sebagai fungsional supaya berbagai ancaman terhadap eksistensi keberagaman dan kemanusiaan dapat diatasi.

Fachry Ali dan Bachtiar Effendi menyebut pemikiran keislaman Buya Syafi’I bercorak modernism Islam, sebuah corak pemikiran yang berakar kuat pada kaum modernis awal (baca: Muhammadiyah dan Masyumi), tetapi dalam beberapa hal justru melampauinya. Perhatian utama Buya Syafi’I tercurah pada proses pelembagaan Islam dari sudut sejarah dan pemikiran berpapasan dengan modernisasi dan perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik yang begitu cepat.

Meski sejak kecil sudah mengenal Muhammadiyah, Syafi‟i baru benar-benar menjadi pengurus organisasi Islam itu sepulang dari Chicago. Pada tahun 1985, ia bergabung di Majelis Tabligh Muhammadiyah hingga akhirnya ia bisa menjadi Ketua PP Muhammadiyah tahun 1998. Guru besar UNY Yogyakarta ini juga pernah menjadi dosen pasca sarjana IAIN Yogyakarta.

By: Mukhlisa

Tiga Piranti Peradaban: Jalin Berkelindan antara Politik, Ekonomi dan Ilmu

Tiga Piranti Peradaban: Jalin Berkelindan antara Politik, Ekonomi dan Ilmu

“Yang Dipertuan Besar, menempati posisi sebagai “seorang istri”, ia baru dapat makan kalau diberi makanan kepadanya. Akan tetapi, Yang Dipertuan Muda, menempati posisi sebagai “seorang suami”, setiap keinginannya harus menjadi kenyataan.” [R.J. Wilkinson]
——-
“Syahdan kata sahibul hikayat adalah pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Haji ini makin ramai, serta dengan makmurnya serta banyaklah orang-orang negeri Riau kaya-kaya. Syahdan Yang Dipertuan  Besar dan Yang Dipertuan Muda banyaklah mendapatkan hasil-hasil dari cukai-cukai. Syahdan segala penjajab perangpun beraturlah di pelabuhan serta cukup ubat peluruhnya serta panglima-panglimanya….” [Raja Ali Haji]
——-
“Dan yang menarik hati ialah sebuah khutub khanah (bibliotheek). Ah, sayang sekali. Kitab-kitabnya termasuk kitab-kitab yang  mahal dan sangat berharga, seperti kitab fiqh, tafsir, tasawuf dan filsafat. Di antara termasuk al-Qanun karangan Ibn Sina.” [Buya Hamka]
——-

Kutipan dari tiga tokoh-tokoh ternama di atas mencuatkan tiga unsur masing-masing tentang “sejarah sosial politik-pemerintahan” dari Wilkinson; “sejarah sosial ekonomi-perdagangan” dari Raja Ali Haji; dan “sejarah sosial budaya-keagamaan dari Hamka. Ketiga unsur inilah yang, pada galibnya jalin-berkelindan secara hirarkis dan kronologis, menjadi penentu bagi bangunan sejarah peradaban anak manusia di muka bumi.

Ketiganya disebut hirarkis (berjenjang) dan kronologis (berturut-turut) sebab yang disebut terakhir tidak bisa mendahului dua sebelumnya atau yang kedua mendahulu yang pertama. Meskipun ketiganya selalu menyatu, seiringan dan/ atau simultan pada  satu masa tertentu, tetapi terkadang juga terpisah dalam  mencapai puncak kejayaaan masing-masing pada peradaban suatu bangsa, terutama yang disebut belakangan dalam hirarkisitas tersebut. Artinya, terkadang puncak kedikjayaan (politik-pemerintahan) dan kemakmuran (ekonomi-perdangan) sudah mulai surut, sementara pengembangan tradisi intelektul (budaya-keagamaan) justru baru di mulai. Kalau kondisi terakhir ini yang terjadi, akibatnya terkadang pengembangan intelektualisme dan ilmu pengetahuan sulit mencapai puncak-gemilangnya. (Hemat penulis, gambaran inilah yang pernah terjadi di kerajaan Melayu-Riau).

Ketiga “piranti” itu berlaku umum dalam sejarah kelahiran, pertumbuhan/perkembangan dan kejayaan suatu bangsa. Namun, dalam prosesnya, lambat-laun kemudian berlakulah, meminjam istilah yang digunakan Nurcholish Madjid, “sunnatullah” (sunnah Allāh) yang tidak pernah mengalami perubahan. (Q.s. al-Fatḥ [48]: 23).  Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa ada dua istilah yang dipergunakan al-Qur’an: untuk hukum-hukum yang  berlaku pada alam kebendaan dipergunakan istilah taqdīr; dan untuk hukum-hukum yang berlaku pada alam sosial-kemanusiaan digunakan istilah sunnah Allāh. (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 28).

Setelah suatu bangsa sampai pada titik puncak peradaban, maka terjadilah anti klimaks dan terus merosot hingga pada titik nadir bagi perjalanan peradaban bangsa tersebut. Dengan kata lain, sebagaimana teori filsafat sejarah dan sosial Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, dengan mengutip Azra:

“… begitu negara berbudaya tercipta, maka niscaya ia mengikuti hukum alam tentang pertumbuhan, kedewasaan, dan kemerosotan. Hukum alam juga berlaku bagi perkembangan negara ini sering diibaratkan Ibn Khaldun dengan siklus kehidupan manusia: bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, renta dan mati.” (Lihat, Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, 2002), 414).

Salah satu unsur dalam hukum sejarah (sunnah Allāh) itu adanya prinsip perputaran (mudāwalah), yaitu bahwa nasib umat manusia berputar dan bergilir di antara mereka. Firman Allah, “Dan demikianlah masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan di antara manusia, dan agar Allah membedakan orang-orang beriman (dengan orang-orang kafir), dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) sakks-saksi. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Q.s. al-Āli ‘Imrān  [3]: 140).

Artinya, suatu umat atau bangsa ada kalanya berada di atas (menang, unggul dan maju), dan ada juga kalanya berada di bawah (kalah, merosot dan terbelakang). (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 28-29). Dengan kata lain, dalam persepsi sosial ada keniscayaan bahwa sejarah memiliki rotasi kesinambungan dan perubahan (continuity and change). Sesekali sejarah merekam peristiwa-peristiwa besar dan capaian-capaian agung suatu bangsa; pada kali lain sejarah mengukir keterprosokan suatu bangsa, dan pada gilirannya meluncur ke dasar kehinaan yang memilukan  dalam “tidur-pulasnya” yang berkepanjangan. (Lihat, Malik Bennabi, Shurūṭ Nahḍah, 1961: 63).

Pada galibnya, bangsa yang mengalami nasib semacam di atas berawal dari hegemoni –tepatnya penaklukan dan penjajahan– oleh bangsa lain. Gambaran paling mewakili untuk kurun waktu pertengahan abad ke-20 ini, sekadar memberi contoh adalah negeri-negeri Muslim Asia Tengah yang, menurut Fazlur Rahman, terus masih tercengkram oleh Komunis Rusia dalam “triple domination”: politik, ekonomi dan  –yang akan disebut belakangan ini justru jauh lebih  jahat (merusak) dibandingakan dengan kolonialisme manapun yang dikenal dalam sejarah– intelektual-moral. (Lihat, Fazlur Rahman, Islam dan Modernity: Transformation on an Intellectual Tradition, 1982: 84). Dengan kata lain, kondisi bangsa seperti ini sudah dapat dipastikan, meminjam ungkapan Dawam Rahardjo, “secara politik tidak stabil, secara ekonomi tidak sejahtera, secara sosial-kultural –khususnya pendidikan– terbelakang.” (Lihat, Dawan Rahardjo, “Melawan Hegemoni dan Dominasi”, dalam Kishore Mahbubani, Bisakah Orang Asia Berpikir?, 2005: ix).

Dalam merobah nasib dan kondisi negara-negara Muslim di atas, dan selanjutnya membangun kembali peradabannya, menurut Malik Bennabi –boleh dikatakan sebagai seorang “satu-satunya” pelanjut tradisi keilmuan [baca: filsafat sejarah dan sosial] yang dikembangkan Ibn Khaldun– menyeru secara spesifik kepada umat Islam dewasa ini untuk melaksanakan tiga “piranti” itu dengan bahasa metaforiknya: (i) mengambil “kayu” untuk membangkitkan kesadaran politik dalam menentang dan melawan penjajahan; (ii) memiliki “modal” untuk membangun sarana ekonomi dalam memberantas kemiskinan; (iii) menanam “benih” pengetahuan untuk membasmi kebodohan dan sekaligus membangun peradaban.(Lihat, Malik Bennabi, Shurūḍ Nahḍah, 54). Ketiga piranti ini, sekali lagi, harus dimaknai berlaku secara hirarkis dan kronologis. Bahkan, menurut Azra, dua piranti pertama adalah menjadi  “prasyarat” dalam mewujudkan piranti terakhir. Azra menyatakan dengan baik sebagai berikut:

“Jika kita mau belajar dari sejarah, stabilatas politik dan kemakmuran ekonomi termasuk di antara beberapa prasyarat terpenting untuk mencapai kemajuan kebudyaaan dan peradaban Islam. Kejayaan Islam pada masa klasik, seperti pada masa Dinasti Abbasyiah, berdasarkan kajian saya, berkait erat dengan stabiltas politik dan kemakmuran ekonomi yang berhasil dicapai dinasti kosmopoliti ini. Tanpa kedua prasyarat ini, agaknya kemajuan-kemajuan dalam lapangan kehidupan lainnya, termasuk pemikiran (intelektualisme) Islam, ilmu pengethuan dan teknologi, pendidikan, kesusastraan, kesenian dan lain-lainnya tidak akan tercapai.” (Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana & Kekuasaan, 2000: xix).

Dalam pentas sejarah peradaban hubungan erat antara ketiga “piranti” tersebut pernah terjadi pada sejarah Islam masa silam. Berikut ini akan uraikan sekilas dan sekedar beberapa contoh sunnatullah yang beraku dalam sejarah peradaban anak manusia di muka bumi.

Pertama, dalam sejarah Islam prestasi peradaban gemilang pernah terukir pada masa Dinasti Abbasyiah. Pada era khalifah Harun al-Rashid (786-809) disebut-sebut merupakan zaman keemasan, sehingga ada penilaian bahwa kota Baghdad menjadi “kota yang tiada taranya di seluruh dunia” (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, London: Macmillan, 1970: 301-302). Dan berlanjut di era pemerintahan al-Ma’mun (813-833) merupakan puncak kebangkitan intelektual dengan didirikannya lembaga Bayt al-Ḥikmah pada 830 dengan tiga fungsi kombinasi:  perpustakaan, akademi dan biro penerjemahan. Bayt al-Ḥikmah merupakan lembaga pendidikan terpenting sejak didirikannya Musium Iskandariah pada paroh pertama abad ke-3 SM. (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, 310). Setelah mencapai puncak kejayaan Dinasti Abbashiyah lambat-laun memenuhi “sunnatullah”nya dengan gong kematiannya yang ditabuh oleh tentara bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulugu Khan pada 1258. Kota Baghdad pun porak-poranda dan Bayt al-Ḥikmah beserta khazanah intelektual Muslim hancur berantakan, dan pada giliranya reduplah, untuk tidak mengatakan berakhirlah, kisah negeri “seribu satu malam” yang pernah jadi marcusuar ilmu pengetahuan dan peradaban selama kurang lebih empat setengah abad.

Kedua, dalam sejarah yang tidak kalah hebatnya pernah diukir ketika Dinasti Umayyah di Andalusia (Spanyol Islam) membanguan kejayaannya pada ketiga unsur tersebut. Pada masa pemerintahan khalifah Abd Rahman III (929-961) umat Islam di Barat mencapai puncaknya kejayaannya dalam bidang politik dan ekonomi. Kejayaan ini dilanjutkan dan terjadi pada masa pemerintahan al-Hakam al-Mustanshir (961-976) yang, oleh al-Mas‘ūdi disebut sebagai khalifah yang paling bijaksana (aḥkam [dalam pengertian paling cinta buku/ ilmu]), mencapai keagungan dalam bidang keilmuan.  Cordova sebagai ibukota pemerintahan dipandang sebagai kota yang paling berbudaya di Eropa atau lebih dari itu sebagai “kota yang berperadaban paling tinggi di muka bumi.” (Lihat, Maria Rosa Menocal, Surga di Andalusia, 2015: 96). Sejumlah universitas di berbagai kota menarik minat para pencari ilmu baik Muslim maupun Kristen tidak saja dari Spanyol, tetapi juga dari wilayah-wilayah lain di Eropa, Afrika dan Asia (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, 526-536). Kekuasaan Islam di Andalusia (Spanyol Islam) memang tidak serta-merta berakhir dengan runtuhnya Dinasti ‘Umayyah pada abad ke-11, dan meskipun pada periode ini pula dimulai penaklukan kembali Spanyol (reconquista). Akan tetapi, kekuasaan terus belanjut di bawah pimpinan raja-raja kecil (mulūk al-Ṭawā‘if) dengan tetap mengembangkan tradisi keilmuan dengan melahirkan sejumlah ilmuan dan filosuf. Belakangan, kekuasaan Islam di Andalusia memenuhi “takdir sosiologisnya” ketika bersatuannya kerajaan Aragon dan Castile ditandai dengan perkawinan Raja Ferdinand II (1452-1516) dengan Ratu Isabella I (1451-1504) pada 1469. Penyatuan kekuasaan ini, menurut Philip K. Hitti, menjadi lonceng kematian kekuasaan Islam di Andalusia (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, 537).

Ketiga, pada awal kebangkitan bangsa Barat, hal serupa terjadi, ketiga piranti utama itu tercermain, misalnya dari semboyan: Glory  (Kegemilangan), Gold  (Emas) dan Gospel  (Ajaran Agama). Pertama, “kegemilangan” mereka berawal ketika bangsa Barat (Kristen) berhasil menggeser posisi kekuasaan (politik-pemerintahan) dan menghalau umat Islam di Andalusia. Hegemoni politik mengantarkan mereka pada “penjajahan” dunia belahan Timur. Kedua, penjajahan membawa mereka pada penguasaan dan monopoli “emas” (kekayaaan) dunia Timur (Islam). Kekayaan yang melimpah ruah itu mereka angkut ke negeri masing-masing, dan membuat mereka makmur secara materi. Ketiga, dengan kekayaan itu mereka dapat membangun “budaya” keagamaan berupa bangunan gereja dan katedral yang mewah dan indah (baca: bagi Spanyol dan Portugis); membanguan “budaya” keilmuan dan intelektualisme dengan mendirikan/mengembangan universitas-universitas bermutu dan ternama (baca: bagi Inggris dan Prancis), seperti Universitas Oxford (1163) dan Universitas Cambridge (1209) di Inggris, Unversitas Sorbonne (1253) di Prancis serta sejumlah universitas yang terpandang di daratan Eropa lainnya.

Keempat, kejadian sama juga pernah terjadi pada masa kesultanan Islam di Nusantara, misalnya pada kesultanan Islam Aceh Dār al-Salām pada pertengahan abad ke-17, persisnya pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (Penjelasan luas tentang Acah pada era Sultan Isknadar Muda, misalnya, lihat  Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2007). Pada masa ini, Taufik Abdullah menyebutkan bahwa puncak kegemilangan kesultanan Aceh terjadi ketika ketiga unsur utama, yaitu politik, dagang dan agama dengan sangat jelas memperlihatkan hubungan yang sangat erat (Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, 1987: 124-125). Dengan hegemoni politik dan kemapanan ekonomi pada gilirannya menjadikan Aceh menjadi pusat persuratan intelektual Alam Melayu pada abad ke-17. Capaian-capaian yang diraih kerajaan Aceh ini dalam tiga piranti: bidang politik- kekuasaan; bidang ekonomi-perdagangan; bidang budaya-ilmu pengetahuan dan agama-intelektualisme sulit untuk mencari taranya baik sebelum maupun sesudahnya, khususnya di Malayu-Nusantara dicerminkan dengan sebutan “Serambih Mekkah”. (Tulisan yang otoritas prihal proses persuratan intelektual di Aceh, lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, (ed.) Sardono W. Kusumo (Jakarta: IKJ Press, 2005), 173-276). Namun belakangan, setelah mencapai puncak kejayaannya pada era Sultan Iskandar Muda, meskipun sunnah Allāh tidak berlansung secara tragis, Kesultanan Aceh Dār al-Salām lambat-laun melemah. Untuk perang Acah yang pada akhirnya mengalami kekalahan melawan Belanda, lihat Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987).

Kelima, di kerajaan Melayu-Riau sendiri, pernah meraih kedikjayaan (politik-pemerintahn), kemakmuran (ekonomi-perdagangan) dan kemapanan (budaya-keagamaan). Dari ketiga unsur itu, dua disebut pertama terjadi pada lima dekade pertengahan abad ke-18 [persisnya mulai pada masa pemerintahan YDM II Riau Daeng Cella’ (1728-1745) sampai pada masa pemerintahan YDM IV Riau Raja Haji (1777-1784). Sementara unsur yang disebut terakhir, yaitu prestasi persuratan intelektual terjadi dalam “asuhan” Raja Ali Haji dan “lingkarannya” pada paroh kedua abad ke-19 hingga dekade awal abad ke-20 di kerajaan Melayu-Riau. Sesunggunya pasca Perang Riau (1782-1784) yang dahsyat antara kerajaan Johor Riau-Lingga di bawah pimpinan Raja Haji melawan kolonial Belanda, kerjaan Melayu-Riau sudah tidak lagi berdaulat penuh. Apalagi memasuki abad ke-20 kerajaan Melayu-Riau benar-benar sudah tidak lagi berdaya, dan memenuhi “sunnatullah”-nya ketika kekuasaanya “digenggam” oleh penjajahan Belanda dengan memakzulkan Sultan Abdur Rahman Mu‘azzam Syah (1884-1991) pada 1911, dan sebelum pada akhirnya Kerajaan Riau-Lingga dihapus dari “peta bumi” pada 1913. Pada waktu inilah kegiatan persuratan intelektual di bumi Melayu-Riau mulai surut, mandek dan akhirnya menjadi tinggal kenangan khazanah masa silam. (Untuk perang Riau yang pada akhirnya mengalami kekalahan melawan Belanda, lihat Abrur, Rustam S., (peny.) Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah Dalam Perang Melawan Belanda, Pekabaru: Pemda Riau, 1988).

Demikianlah sejumlah contoh tonggak-tonggak sejarah dunia yang menunjukkan betapa politik-pemerintahan, ekonomi-perdagangan, dan budaya-keilmuan telah berjalin-kelindan dalam membangun peradaban manusia. Ketiga printi ini secara hirarkis akan tetap senantiasa “berputar” dan “mewarnai” peradaban anak manusia silih berganti di masa menjelang.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.

ISLAM DAN KEBANGSAAN (Nurcholis Madjid)

ISLAM DAN KEBANGSAAN (Nurcholis Madjid)

Islam di Indonesia adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat. Dengan kata lain, Islam yg ada di Indonesia menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang tersebar di wilayah Indonesia. Islam hadir tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung.

Islam hadir memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara bertahap. Artinya, Islam di Indonesia yaitu Islam dengan ciri  khas ke-Nusantara-annya, Islam yang telah melebur dengan tradisi dan budaya yang ada di Nusantara (Zainul Milal Bizawie, 2016). selama tidak bertentangan dengan ruh Islam“al-Adatu Muhakkamatun, adat bisa menjadi hukum yang bisa diberlakukan.

Sejarah mencatat, bahwa Islam datang ke Indonesia ini tidaklah dengan pedang, tapi dengan kedamaian, tidak dengan kemarahan, tapi keramahan. Inilah pesan yang menjiwai karakteristik Islam di Indonesia, sebuah wajah Islam yang moderat (tawasut), toleran (tasamuh), cinta damai dan menghargai keberagaman. Islam yang merangkul, bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang mengajak bertaubat bukan menghujat, Islam yang teduh bukan menuduh, dan Islam yang memberikan pemahaman dan pencerahan bukan memaksakan. Demikianlah karakteristik Islam yang disebarkan oleh para penyebar Islam di Indonesia seperti Walisongo, yang cukup dominan dalam pembentukan kultur Islam di Indonesia.

Menurut Nurcholis Madjid seluruh warga bangsa Indonesia terutama kaum muslim yang merupakan golongan terbesar harus benar-benar memahami pengertian “negara bangsa” atau nation state secara benar. Negara bangsa adalah suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa.

Pengertian bangsa atau nation dalam bahasa Arab sering diungkap dengan istilah ummah (ummatun, umat) seperti United Nations. Persatuan bangsa-bangsa yang terjemah Arabnya ialah “al-umam al-Muttahidah”, ummat-ummat bersatu. Jadi “negara bangsa” adalah negara untuk seluruh umat yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu.

Menurut cak Nur Tujuan negara bangsa adalah mewujudkan maslahat umum (dalam pandangan kenegaraan salaf disebut dengan al-maslahat al-„ammah atau al-maslahat almursalah), negara bangsa berbeda dengan negara kerajaan yang terbentuk tidak berdasarkan kontrak sosial dan transaksi terbuka, tetapi karena kepeloporan seseorang tokoh yang kuat dan dominan. Karenaitu negara kerajaan berdiri demi kejayaan seseorang raja dan dinastinya. Sedangkan negara bangsa berdasarkan kontrak sosial dalam pembentukannya, bukan negara dinastik. Dalam negara bangsa, semua kebijakan pemerintah harus dibuat dengan sepenuhnya tunduk kepada maslahat umum

Omi Komaria Madjid (istri Cak Nur) di dalam bukunya yang berjudul, Hidupku Bersama Cak Nur, menceritakan penyampaian Kutipan pidato Cak Nur yang terakhir dalam kondisi yang masih sakit sebagaimana kutipanya:

Dalam memperingati 60 tahun kemerdekaan Indonesia cak nur memberi tema pidatonya dengan “Menyelamatkan Komitmen Nasional”. Komitmen Nasional yang di maksud adalah komitmen bangsa sejak dari semula untuk mendirikan negara bangsa yang modern. Negara bangsa yang modern adalah negara bangsa yang berkeadilan, terbuka dan demokratis. Berkeadilan mengandung makna kesamaan antarmanusia, tidak ada perbedaan di antara warga negara berdasarkan alasan apapun.

Nondiskriminasi adalah persyaratan bagi adanya keadilan. Oleh karena itu keadilan memerlukan sikap egalitarian yang memandang semua orang sama. Semua potensinya sama dan harus dikembangkan sikap saling percaya antara para anggota masyarakat.

Masyarakat adil adalah masyarakat yang terbuka, toleran yang tidak mengizinkan adanya pemaksaan pendapat kepada kelompok lain. Keterbukaan ini menjadi syarat adanya demokrasi. Karena demokrasi adalah masyarakat yang terbuka, yang intinya adalah kebebasan untuk menyatakan pendapat baik pada level pribadi maupun institusional. Dengan kebebasan itu kita mendorong produksi atau produktivitas yang lebih tinggi pada masyarakat karena ada kebebasan dan inisiatif.

Untuk menciptakan Masyarakat yang berkeadilan di Indonesia maka masyarakat dan pemerintah harus bersinergi untuk saling merangkul. Yang kuat memantu yg lemah, yang kaya membantu yang miskin. Tidak ada yang namanya mendiskreditkan. Apalagi yang berkaitan dengan keyakinan. Mayoritas jangan mendiskriminasi yang minorotas.

Islam memang turun di Jazirah Arab. Kitab suci agama Islam dan Nabi Muhammad SAW pembawa risalah Islam pun berbahasa Arab, sehingga ada asumsi bahwa segala hal yang berbau Arab diidentikkan dengan Islam. Menjadi Arab berarti menjadi Islami. Padahal, tidak demikian. Tidak selalu yang berbau Arab mesti Islami, Di sini perlu dibedakan mana produk agama dan mana produk budaya.

By: Zulhadi Ihsan

BUDAK: Pembebasan Periode Madinah

BUDAK: Pembebasan Periode Madinah

Ketika Rasulullah masih berada di Mekkah penanganan masalah pembebasan perbudakan belum diupayakan secara radikal karena harus diselaraskan dengan situasi faktual dan kondisi objektif ummat Islam saat itu. Namun, setelah hijrah dan menetap di Madinah, ayat-ayat al-Qur’an turun dengan gencar dan sistimatis serta lebih radikal sebagai upaya untuk menghapus sistem perbudakan yang tidak sempat dituntaskan sewaktu masih di Mekkah. Karenanya, dalam surat al-Baqarah, termasuk sebagi surat yang pertama kali diturunkan di Madinah, Allah mengajarkan betapa mulia dan agung kebajikan yang dimiliki bagi orang yang memerdekakan budak, sampai-sampai Allah menyamakan kebajikannnya beriman kepada-Nya, beriman hari akhirat, mendirikan sholat,  menunaikan zakat dan al-birr lainnya.

Firman Allah: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesunguhnya kebajikan …. dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati  janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang sama dalam kesempitan, penderita dan dalam peperangan. Mereka itulah yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” Al-Qur’an, al-Baqarah (2): 177. Dan pada ujung ayat ini Allah mengklaim bahwa orang-orang yang memerdekekan budak termasuk salah seorang yang bertaqwa. Predikat ketaqwaan tersebut sangat layak dan logis untuk di sandang, bukankan memerdekan budak sebagai “jalan yang mendaki lagi sukar”.

Begitu pula, dalam  pembebasan perbudakan, pemberian harta untuk membebaskan budak yang semula dikategorikan sebagai sedekah belakangan disamakan dengan pembayaran zakat. Karena itu, al-Qur’an menyebutkan bahwa  zakat yang terkumpul juga dimaksudkan untuk memerdekakan budak. Ameer Ali mengutip firman Allah:  “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,  orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perejalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan oleh Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. al-Taubah [9]: 60; Ameer Ali, The Spirit of Islam:  262).

Seiring dengan ayat di atas, dalam  upaya-upaya lebih intens, Rasul Allah saw. memerintahakan umatnya tanpa jemu-jemu atas nama Allah, karena membesaskan budah adalah perbuatan  yang (paling) diredah oleh ‎Allah. Lebih jauh Ameer Ali memamarkan sikap Nabi Muhammad saw. terhadap perbudakan: “Ia menetapkan bahwa budak diizinkan untuk menebus kebebasan dirinya dengan jalan upah pekerjaannya. Kalau budak yang malang itu tidak mempunyai pengahasilan dan bermaksud mencari pengahasilan demi menebus kebebasannya, maka mereka harus diperkenankan oleh tuannya dengan suatu perjanjian. Ia juga menentukan bahwa budak harus diberikan dana dari perbendaharaan negara guna menebus kemerdekaannya…. Rasul Allah memerintahkan agar memperlakukan para budak dengan  ramah dan santun, sebagaimana perlakuan kepada keluarga dan tentangga atau seperti pada teman seperjalanan. Dianjurakan untuk “memberikan sebagian harta kekayaan yang dianugrarhkan Allah kepadamu.” Para majikan dilarang mempergunakan kekuasaanya dalam melampiaskan hawa nafsunya kepada budak yang dimilikinya. Pembebasan budak dilakukan sebagai tebusan kerena membunuh seorang Islam dengan tidak sengaja, dan perbuatan kesalahan lainnya.” (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 263).

Dari kutipan di atas nyata sekali bahwa salah satu cara dalam agama Islam untuk menghapus perbudakan adalah diperkenankannya seorang budak meminta kemerdekaannya pada tuannya dengan perjanjian bahwa ia akan membayar sejumlah uang yang ditentukan.  Allah menganjurkan agar bagi mereka yang memiliki budak agar menurutkan perjanjian yang mereka inginkan serta memberikan mereka sebagaian harta yang dianugrahkan Allah. Firman Allah: “…. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (al-Qur’an, al-Nur [24]: 33.) Dan untuk lebih capat lunasnya perjanjian tersebut hendaklah budak-budak itu ditolong dengan harta yang diambil dari zakat. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam:263)

Begitu pula  ajaran-ajaran al-Qur’an yang  dibawa oleh Nabi Muhammad saw. memerintahkan para tuan agar  menyantuni para budak yang mereka miliki. Firman Allah: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (Q.s. al-Nahl [16]: 71).

Pada bagian lain Allah memerintahkan agar memberdayakan budak lewat memberi zakat. Firman Allah: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. al-Taubah [9]:  60).

Di sisi lain, al-Qur’an juga mempuyai cara tersendiri dalam upaya-upayanya  pemebebasan/ menghapus perbudakan dalam Islam. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa bagi seseorang yang melakukan pelanggaran ajaran agama maka kaffarah alternatifnya, di antaranya adalah membebaskan budak. Misalnya, pertama, apabila seseorang membunuh dengan tidak sengaja (tidak dibenarkan syara’) seorang mukminm, maka kaffarah (dendanya), disamping membayar “diat”, adalah diwajibkan membebaskan budak. Firman Allah: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Qur’an,  al-Nisa [4]: 92).

Kedua, bagi seseorang yang bersumpah dan kemudian  melanggar sumpahnya maka hukumannya, kalau tidak memberikan makanan dan pakaian kepada keluaraga (ummat Islam), maka ia diwajibkan memerdekakan budak. Firman Allah: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah  kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (al-Qur’an,  al-Maidah [5]: 89).

Ketiga, bagi orang-orang yang menzihar istrinya (misalnya ia berkata “punggungmu seperti punggung ibuku), maka sebelum ia melakukan hubungan kembali dengan istrinya, maka hendakalah ia memerdekakan budak. Firman Allah: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( al-Qur’an,  al-Mujadalah [58]: 3).

Sementara itu, kalau pada periode Mekkah, al-Qur’an masih mentolerir si tuan “menggauli mamalakatnya” di luar nikah, maka pada periode Madinah al-Qur’an tampak sekali berupaya untuk mengangkat derajat kaum wanita, sehinga kalau si tuan berhasrat ingin “menggauli” budak-budak wanitanya dianjurkan terlebih dahulu menikahinya secara sah. Untuk itu, al-Qur’an tidak memperkenankan lagi si tuan memaksakan hasrat lebido seksnya kepada budak-budak wanita yang mereka miliki. Firman Allah:“… dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” (Al-Qur’an, al-Nur [24]: 33).

Apapun alasanya, termasuk demi menjaga kemaluan dan kehormatan, sebelum nikahi dengan baik-baik. Bahkan Islam mengajarakan bahwa mengawini wanita budak lebih baik dari wanita-wanita merdeka tetapi musyrik. Al-Qur’an menyebutkan bahwa budak-budak wanita berimana termasuk wanita-wanita yang tidak haram dinikahi. Dan ketika menikahinya, di samping harus minta izin kepada tuannya, al-Qur’an menganugrahkan perhargaan kepada budak-budak wanita dengan cara mendapatkan mas kawin. Firman Allah: “Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Lebih dari itu, al-Qur’an mengangkat derajat wanita-wanita budak yang beriman melebihi wanita-wanita yang merdeka tetapi musyrik. Perbandingan ini tampak nyata dalam al-Qur’an ketika seseorang berkeinginan untuk mengawini wanita musyrik yang menarik hatinya, tetapi diingatkan oleh Allah bahwa budak-budak wanita yang beriman adalah lebih baik.  Firman Allah: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (al-Qur’an, al-Baqarah [2]: 221).

Anjuran untuk menikahi budak-budak wanita merupakan salah satu cara Islam yang secara tidak langsung –dan tentu saja lewat lembaga pekawinan lebih efektif– untuk membebaskan wanita perbudakan. Kalaupun budak-budak wanita yang diperistri itu tidak sempat merdeka, tetapi karena diikat suatu pertalian suci, tentu saja perlakuan suami akan lebih beradab dan santun (berprikemanusiaan). Dan untuk pertimbangan masa depan, tentunya anak yang dilahirkannya adalah anak merdeka. Karenanya, al-Qur’an begitu gencar mempromosikan agar seseorang mengawini budak-budak wanita mu’min, misalnya al-Qur’an menyarankan, “barang siapa yang kurang biaya” atau “agar terhindar dari perzinahan”  maka nikahilah wanita-wanita budak yang mu’min. Firman Allah: “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu…” (Q.s.  al-Nisa [4]: 24].

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb

Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

GUS DUR, MODERASI DAN HUMANISME: (Belajar dari Jejak Bijak Sang Guru Bangsa Memaknai Kemanusiaan)

GUS DUR, MODERASI DAN HUMANISME: (Belajar dari Jejak Bijak Sang Guru Bangsa Memaknai Kemanusiaan)

Prolog

“Yang Lebih Penting dari Politik Adalah Kemanusiaan” (Gus Dur)

Dewasa ini, pergolakan pemikiran dan dinamika yang terjadi ditubuh bangsa ini kian hari kian komplek. Hal ini tidak dapat dipungkiri bagi suatu bangsa yang beranjak “menjelang dewasa” dari perjalanan panjang negeri ini mengarungi problematika dan menuju perubahan yang menjanjikan dan mencapai cita bangsa yang luhur dan berperi-keadilan. Namun perjalanan sejarah bangsa ini tidaklah berjalan dengan mulus begitu saja, sejak diproklamasikan pada 17 agusutus 1945 oleh proklamator Ir. Soekarno hingga sampai pada masa dewasa ini, banyak rintang silih berganti menghampiri. Jika kala pertama bangsa ini harus berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme untuk merebut kemerdekaan, kini bangsa ini harus berjuang melawan “dirinya sendiri”.1

1 Pada pidato presiden Soekarno, beliau pernah mengucapkan “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Saat setelah Indonesia merdeka.

Sebagai suatu Negara yang memiliki identitas budaya dan jati diri sendiri, Indonesia menjadi “surga” dari keberagaman dan banyaknya budaya yang menyebar di seantero negeri, jati diri sebagai masyarakat yang heterogen dan multi-etnis yang menjadi sumber rujukan dimana harusnya toleransi dan nilai kebersamaan didapatkan. Itu semua menjadi harta paling berharga di atas segalanya, bahkan lebih berharga dari PT. Freeport yang menghasilkan emas berlian, lebih berharga dari Blok Rokan yang memberikan jutaan barel minyak dan gas alam, dan jauh lebih berharga dari jutaan hektar lahan serta luasnya samudera lautan di bumi Indonesia ini.

Namun, ada hal yang membuat kita harus miris akhir-akhir ini, ibarat kutipan lirik lagu Pance Pondaag “mengalun sendu pilu terasa”. Keinfantilan pemerintah dalam lini politik serta elite yang orientik kepentingan individu dan golongan seolah cenderung telah menafikan hal tersebut. Segala macam cara dilakukan demi memenangkan kontestalasi

politik kekuasaan, masyarakat di adu domba, etnis di pecah belah, masyarakat di bodohi dengan informasi dan tak mencerdaskan, kemanusiaan pun hilang makna, dan ironinya, masyarakat kita yang masih belum tersentuh pendidikan secara merata dan pemahaman kebangsaan yang masih minim akhirnya terlibat konfrontasi horizontal dan terkadang harus saling pukul dan meneteskan darah, sebut saja kasus konflik agama di Madura, konflik agama di Ambon, Maluku, konflik etnis jawa dan masyarakat tempatan di Deli, atau kasus kemanusiaan di Papua yang selalu termarjinalkan.

Belajar dari Gus Dur, “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”. Bagaimana Gus Dur menjadi tokoh central ditengah konflik horizontal masyarakat, memberikan pencerahan bukan sekedar kepentingan, jembatan antara konflik vertical rakyat dan pemerintah tanpa imbalan, menjadi pemimpin yang mengutamakan kedamaian dibanding pertikaian, dengan celana pendek dan disambut ratusan ribu petisi jihad siap mati demi Gus Dur ketika keluar dari Istana, dengan sederhana Ia berucap “Tak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian”, keutuhan bangsa ini harus lebih diutamakan, lalu apakah masih ada tokoh masa kini yang mau mengikuti jejak bijak Beliau? Tentu kita nantikan!.

Dari Anak ‘Bandel’ Hingga Tokoh Moderat

Greg Barton dalam karya Best Sellernya, Gus Dur The Authortized Bioghrapy Of Abdurrahman Wahid, menceritakan secara netral perjalan tokoh satu ini. Dilahirkan 7 Sebtember 19402 dari garis keturunan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ary. Sosok Gus Dur boleh dikatakan sebagai anak yang tidak bisa stagnan atau diam dan lebih suka keluar dan menemukan hal-hal baru dengan keingin tahuannya yang sangat kuat. Masa kecilnya saja Ia pernah jatuh 2 kali dari pohon yang sama dan membuat tangannya patah terkilir saat itu. Mengabiskan masa kecil dalam keluarga yang agamis dan tradisionalis lantas tak membuatnya menjadi anak yang tunduk patuh begitu saja, ketika sudah mulai beranjak remaja dan melanjutkan pendidikan di pesantren bahkan ia pernah mendebat gurunya dan

2 Tanggal lahir beliau terdapat dua versi, yang pertama yang dimuat dalam Wikipedia dan yang terdapat di KTP beliau adalah 7 september 1940 dan versi lain lahir pada tanggal 4 agustus 1940, Greg Barton menjelaskan perbedaan ini bahwa 4 september itu dibuat pada bulan kedelapan tahun hijriah dan tepatnya 7 september 1940. Sebab dahulu penulisan tanggal lahir pada islam pedesaan ditulis pada kalender hijriah. Dan tanggal lahir Gus Dur ini keduanya diakui dan dirayakan, menurut Alissa Wahid, tanggal lahir Gus Dur 7 Sebtember adalah benar dan tanggal lahir 4 Agustus adalah legal. Beberapa pegiat dan akademisi yang meneliti Gus Dur lebih cenderung mengidentik kasus ini sebagai humor yang identic dengan Gus Dur, dan sosok Gus Dur yang dipandang Kontroversi, Mahfud Md contohnya, menyebutkan kontroversi Gus Dur itu wajar saja, tanggal lahirnya saja sudah kontroversi.

mengajak tukar pandangan yang dalam hal ini merupakan hal yang tabu dalam lingkungan pesantren dan pendidikan tradisionalis.

Selesai menempuh pendidikan di pesantren dan pendidikan atas (aliyah), Gus Dur diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar, Cairo. Namun, sesampainya disana, bukannya menyelesaikan study strata I –nya malah beliau bolos dan lebih sering menonton film, main bola, dan belajar serta membaca buku diperpustakaan. Hal ini bukan tidak berdasar, sebab penempatannya di kelas dasar kelas bahasa yang membuatnya bosan serta materi kuliah yang Ia anggap membosankan dan tidak ada hal baru yang akan Ia pelajari, sebab mata kuliah tersebut telah Ia selesaikan semasa di pondok pesantren. Hal ini bisa dibuktikan dengan kemampuan serta kecerdasan beliau yang melebihi pelajar seusianya, misalnya ketika Musthafa Bisri melakukan kursus bahasa Prancis di Cairo, sedang Gus Dur asyik mendengarkan pelajaran tersebut dari luar, malah Gus Dur yang lebuh dahulu fasih bahasa prancis.

Selama di Mesir, Gus Dur yang juga sibuk mengurusi Persatuan mahasiswa dan pelajar Indonesia Timur Tengah tak ketinggalan informasi serta kejadian yang terjadi di tanah air, sehingga kelak kepulangannya ke Indonesia tidak lantas membuatnya minim pengetahuan tentang Indonesia.. Sekembalinya ke Indonesia, Gus Dur sudah dihadapkan pada banyak persoalan internal NU dan dinamika kebangsaann yang begitu komplek. Sebagai seorang cucu pendiri NU dan laki-laki tertua diantara keluarganya beliau diharapkan mampu meneruskan perjuangan kakek dan ayahnya Wahid Hasyim.

Kiprahnya dimulai ketika Ia menjadi Ketua PBNU, dan mulai memodernisasi NU dan ikut serta dalam dinamika kebangsaan. Keterlibatannya dalam dinamika kebangsaan tak berjalan mudah, disebabkan penguasa pada saat itu yang cenderung otoriter dan berhadapan dengan kelompok yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Banyak kesempatan ketika terjadi konflik dalam satu daerah, Gus Dur menjadi tokoh yang dikirim untuk menyelesaikan hal tersebut. Mulai dari Aceh hingga keberangkatannya ke Timur Indonesia. Walaupun Gus Dur berseberangan dengan pemimpin saat itu, Soeharto, namum ketika berhadapan persoalan kemanusiaan dan kebangsaan, Gus Dur pasti menghilangkan perbedaan pandangan tersebut dengan Soeharto.

Penyelesaian-penyelesaian secara persuasive yang dilakukan Gus Dur jauh berbeda dengan cara-cara yang dilakukan oleh Soeharto yang mengandalkan gaya militer. Terbukti dengan pendekatan Humanisme-nya Gus Dur, persoalan tersebut dapat memberikan hal

yang solutif, contohnya saran dan pendekatan dialog antar agama yang harus diterapkan secara berkala dan kontiniu. Cara-cara yang dilakukan Gus Dur tersebut terus berlanjut hingga beliau menjadi orang nomor satu di Negara ini. Pembelaannya terhadap kaum minoritas tak lantas membuatnya ciut dari cercaan sebagaian kaum yang mengkritik. Baginya keadilan adalah persamaan derajat (Egaliter) sehingga beliau digelar bapak Pluralisme. Pembelaanya terhadap agama minoritas membuatnya dijadikan sebagai panutan dalam melalui perjalanan bangsa ini.

Dari sikap Moderat inilah beliau beranjak dalam perpikir dan berpijak dalam melangkah, menghilangkan cara-cara kekerasan dan mengutamakan cara persuasive kemanusisaan. Maka ketika berbicara kebangsaan, beliau sebagai nahkoda NU pada saat itu yang juga ikut serta sepakat menjadikan mencasila sebagai asas tunggal sebagai paradigm dan ideology bangsa. Kebagsaan beliau yang tak bisa ditawar-tawar dan cara-cara moderat beliau dalam menyelesaikan permasalahan menjadikannya tokoh yang patut dikenang dan diikuti sebagai tokoh yang memeberikan sumbangsih besar dalam makna moderasi Bergama dan medorasi dalam pikir dan sikap.

Semua Demi Humanisme

Prof. Dr. Asy-Syiddieq dalam bukunya Falsafah Hukum Islam menyebutkan bahwa hokum itu berpijak pada dasar kemanusiaan, maka segala hokum yang ada adalah hokum kemanusiaan. Gus Dur adalah figure yang menjadi sumber kemanusiaan bagi masyarakat dan bangsa yang “tersesat” mencari makna dan menerapkan hokum demi kemanusiaan.

Perjalanan sejarah yang Ia ukir dalam menerapkan hokum kemanusiaan tak bisa lagi dibantah, hail-hasil yang Ia dapatkan dalam meneyelesaikan problematika kebangsaan dan konflik perbedaan yang terjadi di Negara ini pantas menjadi jejak bijak yang akan selalu dikenanng dan dijadikan referensi dalam menghadapi persolaan hingga dewasa ini hingga bagaimana Ia memberikan pemaknaan Islam yang rahmat jauh dari term-term kekerasan yang diajarkan oleh paham transnasional.

Salah satu ajaran dengan sempurna menampilkan universalisme Islam yang dapat dipetik dari sisi Gus dur:

  1. Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum.
  2. Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama.
  3. Keselamatan keluarga dan keturunan.
  4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum;
  5. Dan keselamatan profesi

Yang kesemua poin itu menjadi landasan beliau dalam berbuat. Dari paparan di atas terlihat bahwa Gus Dur menemukan universalisnme Islam di dalam ajaran kemanusiaan. Artinya, segenap nilai utama yang meliputi tauhid, fiqih, dan akhlaq ternyata menunjukkan kepedulian mendalam atas nasib kemanusiaan. Demikianlah Gus Dur, guru bangsa yang menjadi sumber ajaran kemanusiaan.

Konklusi

Ajari kami!

Bagaimana cara memberi?

Menurut sila kelima penuh arti

Tentang tuan

Tentang social yang berkeadilan

Tentang semua raup penghasilan

Tentang segala yang sudah kalian harta pribadikan

Tentang kami

Tentang menahan lapar dan mengulur mati

Tentang menyeka pilu dan mengusap luka hati

Tentang semua tengadah tangan mohon dikasihani

Ajari kami!

Bagaimana supaya tak lagi meminta

Cara terlepas dari ketergantungan tuan harta dan tahta

Jalan hidup menjauh dari semua iba yangterpaksa

Melupa! Dan mengangap kalian tak pernah ada

Bisakah?

Beri kami hormat saat tuan melempar sebungkus nasi

Pandang kami manusia bukan miskin tua penuh alergi

Bolehkan?

Kami mengambil sesuatu dengan rasa bangga

Bukan dengan setiap saat dengan tetesan air mata

Bolehkan?

Kita berdiri sama tinggi lalu duduk sama rata

Tertawa bersama lupakan kasta

Walaupun dengan cerita kau kupuja dan kau balas sandiwara

Agar kita sama menjadi menusia dan taka da dewa.

Pekanbaru, 03 September 2020

By: Asmin Mahdi (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia UIN Sultan Syarif Kasim Riau)

Budak: Pembebasan Priode Mekkah

Budak: Pembebasan Priode Mekkah

Term hamba dalam perbincangan keseharian, kerapkali disandingkan dengan term hamba. Padahal, antara kedua term tersebut mempunyai diferensiasi makna yang cukup  siknifikan. Kalaupun harus dipersamakan maka buru-buru harus ditambahkan dengan kata “sahaya” sehingga menjadi “hamba sahaya”.  Mengingat term yang disebut pertama lebih berkonatasi kepada hubungan dan pengabdian manusia kepada Tuhan. Sementara yang disebut belakang lebih diidentikkan dengan hubungan dan pengabdian seseorang tertentu terhadap tuannya. Lagi pula,  term “budak” –sebagai term hubungan manusia dengan manusia (habl min al-nās) [sesuai dengan defenisi di atas] mengandung makna bahwa ketika seseorang telah menjadi budak, maka  dengan sendirinya hak dan kebebasannya menjadi terpasung dan seketika sirna. Sedangkan term “hamba” –sebagai term hubungan manusia dengan Tuhan (habl min Allah)– hak dan kebebasan manusia di hadapan Tuhan sedikitpun tidak terenggut. Karena dengan hanya ber-Tuhan-kan pada Allah justru berarti manusia membebaskan dirinya dari berbagai bentuk perbudakan.

Dalam mengungkapkan kedua term “hamba” dan “budak”, al-Qur’an mempergunakan kata yang berbeda. Untuk term yang disebut duluan, term hamba, al-Qur’an mempergunakan kata “’abd”. Kalaupun al-Qur’an menggunakan term ini beronotasi kepada hubungan sesama manusia, hanya sekali dijumpai dalam al-Qur’an yang (Q.s.. al-Baqarah [2]: 221). Namun, term  ‘abd (hamba) tersebut  akan acap kali diketemukan dalam al-Qur’an, khusus pada hubungan manusia dengan Allah. [Lebih lanjut term ‘abd  tidak menjadi fokus karena tidak relevan dengan pembahasan dalam tulisan ini]. Artinya penghambaan yang dibolehkan al-Qur’an hanya kepada Allah; sementara penghambaan terhadap manusia, manurut al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw., adalah terlarang. Karena itu, menurut panelitian Quraish shihab, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata raqabah yang dinisbatkan kepada orang-arang Mukmin. Atau dengan kata lain, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata rikabatukum atau riqabukum. Hal ini untuk memberikan pelajaran bahwa kalau pun seseorang satu dan lain hal memiliki budak,  maka ia harus tetap memperlakukannya secara manusia. Dengan kata lain ia tidak boleh memperlakukannya sebagai budak yang terbelenggu lehernya. (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir atas Surat-surat Pendek Beredasarkan Urutan Turunnya Wahyu: 810).

Untuk term yang disebut belakangan, term budak terkadang al-Qur’an mempergunakan kata “raqabah” dan di lain tempat al-Qur’an mempergunakan kata “malakat aimanukum”. Kata raqabah terulang di dalam al-Qur’an, menurut Quraish Shihab, tersebut sebanyak enam kali dalam bentuk tunggal; dan dalam bentuk jamaknya, riqab, sebanyak tiga kali. Kata ini pada mulanya berarti “leher”, kemudian diartikan sebagai manusia yang terbelenggu (terikat lehernya) dengan tali. Karena  memang demikianlah nasib dan  keadaan budak-budak pada zaman  dahulu. Sementara kata malakat aimanukum, di dalam al-Qur’an tercantum juga sebanyak sebanyak enam kali; dan empat di antarnya berkonotasi khusus kepada budak-budak wanita dalam melakukan “hubungan” dengan tuannya baik tidak lewat pernikahan ataupun lewat pernikahan. Mengingat kesan diperoleh dari istilah raqabah di atas sangat buruk, yaitu menggambarkan seseorang terbelenggu lehernya seperti binatang, maka al-Qur’an  memilih untuk tidak menamai mereka dengan ‘abd (hamba sahaya), tetapi menamainya malakat aimanukum (apa yang dimiliki oleh tangan kananmu). (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim,  809-810).

Dalam al-Qur’an, sembari memberikan perumpaan, Allah mendefenisikan sendiri bahwa  budak adalah seseorang “hamba sahaya yang dimiliki dan tidak dapat bertindak sesuatu apapun”. Firman Allah: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan. Adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (Al-Qur’an, Al-Nahl [16]: 75).

Dari batasan ayat ini didapatkan pemahaman bahwa budak adalah seseorang yang dikuasai dan tidak dapat berbuat sesuatu apapun atas namanya sendiri atau tidak berbuat apapun tanpa sepengetahuan dan seizin tuannya. Bahkan lebih dari itu, budak berkewajiban mengikuti jejak tuannya dalam berbagai kehidupan, termasuk mengekor dalam hal ideologi dan kepercayaan-keagamaan. Seorang budak tidak punya hak kesempatan untuk berbeda pandangan, apalagi membantah pendapat tuannya. Seorang budak tidak berhak untuk menolak perintah tuannya; dan ia berkewajiban untuk menaati apapun permintaan dan hasrat tuanya, termasuk ajakan untuk melacur diri demi keuntungan dan  kepuasan sang tuan. Nasib seorang budak sangat tergantung dari tuannya; kebebasan dan kemerdekaanya berada dalam genggaman tuannya; si tuan berhak menjatuhkan hukuman apapun atau si tuan tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan imbalan kebaikan kepada budak yang dimilikinya. Pendek kata, budak tidak mempunyai hak-hak apapun tetapi mempunyai kewajiban-kewajiban sedemiian banyak dan besar. (lihat, W. Montgemory Watt, Muhammad at Madina, Oxford: OUP, 1956: 293).

Budak dalam beberapa hal dapat dibandingkan dengan poligami. Seperti halnya poligami, perbudakan juga ada pada semua bangsa. Kedua hal ini, khusunya yang disebut belakangan, lambat laun akan menjadi terhapus seiring dengan bertambah majunya pemikiran dan peradaban serta dengan semakin tumbuhnya rasa kemanusiaan dan keadilan ummat manusia terhadap sesamanya. (Lihat, Syed Ameer Ali,  The Spirit of Islam: 258). Sehingga dapat dipahami, kalau tempo dulu perbudakan tetap  eksis sepanjang sejarah anak manusia sejak pada masyarakat primitif hingga sampai lahirnya agama Kristen, dua mellenium yang lampau. Bahkan agama yang dibawa oleh Nabi Isa (Alayhi al-Salām) itu, dengan ajaran “kasihnya”, dapat dikatakan gagal  mengelaminir, apalagi menghapuskan praktek-praktek perbudakan di muka bumi. Memang perbudakan pada masa-masa itu masih merupakan suatu “keniscayaan” hidup yang tak terbantahkan.

Lebih jauh, menurut Ameer Ali, Agama Kristen telah gagal dalam menghapus perbudakan. Kalangan geraja sendiri mempunyai budak-budak; dan dengan kata-kata yang nyata mengakui adanya lembaga perbudakan. Orang-orang Kristen yang mengklaim diri  mempunyai peradaban tinggi melakukan kekejaman-kekejaman yang paling begis terhadap oang-orang malang yang mereka pelihara sebagai budak. Orang Kristen kulit putih tidak pernah mengakui dan mengesahkan anakanya yang lahir dari hubunan gelap dengan budak-budaknya yang wanita negro. Dengan peremnpan-perempuan itu,  mereka  tidak dapat kawin sacara sah. Orang-orang Kristen tidak mampu menangkap dan  mengerti semangat ajaran-ajaran yang dibawa  Nabi-nya  mengenai persamaan manusia dalam pandangan Tuhan.  (Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 261-262).

Ketika Islam datang lewat Nabi Muhammad (S}allalla>hu ‘Alayhi Wasallam),  perbudakan tetap merupakan suatu fenomena dan realitas hidup keseharian. Dan sepertinya, al-Qur’an sendiri “lamban” dan “tidak tegas” menagani masalah ini; bahkan seolah-olah Islam masih “melegitimasi” adanya perbudakan. Penanganan al-Qur’an terhadap masalah ini tidak jauh berbeda dengan pelarangan minuman keras dan riba. Terhadap kedua persoalan tersebut, al-Qur’an pada awalnya masih diperbolehkan, tetapi lambat-laun, al-Qur’an menyikapinya dengan sistimatis, dan pada gilirannya al-Qur’an menyatakan pengharamannya dengan tegas dan tuntas. Begitu juga  dalam masalah perbudakan, sepertinya al-Qur’an, awalnya masih mentolerirnya, umpamanya  memerintahkan seseorang laki-laki memelihara kemaluannya kecuali kepada istri dan/ atu pada malakat yang mereka miliki, dan ini terjadi hususnya pada masa periode Mekkah, misalnya lihat, al-Qur’an, al-Nisa (4): 24, 25; al-Mu’minuun (23): 6; al-Ma’arij (70): 30. Tetapi pada periode Madinah upaya-upaya al-Qur’an dalam pembebasan budak sangat tampak dan jelas.

Padahal sesunguhnya “ruh” (semangat dan spirit)  Islam menentang dan melarang praktek-praktek perbudakan, sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an dan dilakukan Rasulullah. Sementara itu, tujuan al-Qur’an dan misi kenabian adalah untuk menciptakan masyarakat madani (civil sociaty) dengan tata kehidupan sosial-moral yang adil, egalitarian, inklusif dan pluralis serta berlandaskan iman pada Allah. Kalaupun perbudakan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat Arab pada awal kenabian, realitas tersebut hanya dapat “diterima” secara tentatif dan untuk sementara waktu.

Misi kenabian Muhammad saw. bertujuan untuk menciptakan masyarakat madani dalam sesama manusia; dan perbudakan merupakan sistem kehidupan yang paling jelas menggambarkan hubungan yang timpang dan tidak wajar tersebut yang sangat ditentang. Karena perbudakan, ibaratnya dua mata sisi yang berbahaya, tidak saja akan mencederai hubungan yang baik sesama manusia, tetapi sekaligus merusak hubungan kepada Tuhan. Perbudakan secara asasi bertentangan dengan ajaran Islam tentang tauhid yang melarang seseorang menghambakan diri kepada sesamanya atau lebih umum kepada ciptaan Tuhan  lainnya. Sebaliknya, membiarkan perbudakan berarti juga syirik, sebab orang yang memiliki budak adalah seseorang menjadikan dirinya “tandingan” Tuhan. Padahal manusia hanya boleh menghambakan diri kepada Tuhan semata dan tiada Tuhan selain Allah. Lihat,  Dawam Rahardjo,  “Ensiklopedi al-Qur’an “Abd”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 1,Vol. V, Thn. 1994, 43.

Pada masa awal sejarah Islam, Nabi Muhammad hanya mentolerir perbudakan lantaran menjadi tawanan perang. Inilah satu-satunya perbudakan yang dapat dibenarkan oleh hukum,  sampai mereka ditebus atau tawanan itu sendiri yang menebus kemerdekaannya lewat upah pekerajaan atau lewat dengan cara lain. Begitu juga pada masa pemerintahan Khalifah al-Rashidun, menurut Syed Ameer Ali, tidak dikenal perbudakan dengan jalan jual-beli (al-bay‘ah). Sekurang-kurangnya, lagi-lagi menurut Syed Ameer Ali, tidak ada data otentik yang menyebutkan bahwa terdapat budak yang diperoleh dengan jalan dibeli pada masa pemerintahan khulafa’ al-rashidun. Akan tetapi, perbudakan dengan jalan jual-beli baru kemudian pada masa munculnya dinasti Umayyah. Pada masa pemerintahan khalifah Islam inilah  terjadilah perubahan dan penyimpangan terhadap semangat dan ajaran Islam prihal “penghargaan kemanusian” yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Mua’awiyah bukan saja orang pertama dalam sejarah Islam yang  memberlakukan sistem pemerintahan Islam secara monarki, tetapi ia juga yang mula-mula  memperaktekkan pembelian budak (perbudakan) dalam Islam. (Lihat, Syed Ameer Ali,  The Spirit of Islam, 267).

Apabila tawanan/budak tersebut tidak mempunyai sumber penghasilan, Nabi  mengguggah hati nurani dan kesalehan ummat Islam  [ditambah pula dengan tanggungjawab berat diletakkan di atas pundak orang memiliki budak] tidak jarang ini menjadi sebab akhirnya budak tersebut dibebaskan. Al-Qur’an, al-Nur (24): 33.) Karenanya sedari awal, periode Mekkah, Al-Qur’an sudah mencangankan fakku raqabah, membebaskan manusia dari perbudakan. Untuk itu, dalam satu surat al-Qur’an yang diwahyukan dalam periode Mekkah awal, al-Qur’an telah mencanangkan “fakku raqabah” (membebasan budak dari perbuadakan) yang dilukiskan sebagai  ‘aqabah, “menempuh jalan yang mendaki dan lagi sulit” Maka tidakah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar tersebut? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan; atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan karabat atau orang miskin yang sangat fakir.” (Lihat, Q.s.al-Balad (90): 11-14.

Kata “fakk”, menurut Quraish Shihab, hanya ditemukan sekali dalam al-Qur’an, yaitu hanya pada pada ayat ini. Kata ini maknanya berkisar pada arti-arti: membuka, melepas, membebaskan dan menghancurkan. Jadi dalam konteks ayat ini, fakku raqabah,  berarti melepaskan tali (belenggu) yang mengikat leher seseorang atau membukanya, atau menghancurkannya sehingga manusia tersebut memperoleh kebebasan bergerak. Upaya pembebasan manusia dari perbudakan harus lebih awal dilaksanakan. Islam memandang bahwa   pembebasan   manusia   dari    segala bentuk  yang  membelenggu  dan merendahkan martabatnya kemanusiaannya harus dimulai lebih dini –untuk itu, ayat ini termasuk ayat al-Qur’an yang awal pada periode Mekkah– karena setiap langkah maju guna mencapai kemaslahatan manusia dan masyarakat tidak dapat dirahi sebelum kehormatan manusia sebagai manusia dapat ditegakkan. (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, 809-810).

Namun, karena kukuhnya sistem perbudakan dalam struktur masyarakat Arab –di samping membebaskan budak bukan perkara mudah, tapi  harus lewat jalan yang mendaki lagi sulit–serta penghapusannya akan menimbulkan gejolak sosial yang besar, maka fenomena ini di tangani oleh al-Qur’an secara persuasif dan bertahap. Lagi pula, ketika di Mekkah, Nabi Muhammad beserta pengikutnya masih merupakan golongan minoritas tertekan. Sementara itu kalau dipaksakan penghapusan budak tersebut dapat berakibat fatal bagi nasib komunitas agama yang baru dibina. (Ameer Ali, The Spirit of Islam, 262; lihat juga, Taufiq Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: 66.)

Dalam pada itu, karena sistem perbudakan merupakan tatanan kehidupan yang sudah sanagat mapan sehingga al-Qur’an tidak mungkin dengan serta-merta melarangnya dan harus lebih bijak dalam merespon peresoalan yang ada pada masa itu. (Ameer Ali, The Spirit of Islam, 262). Sikap al-Qur’an yang permisif dan masih metolerir perbudakan terlihat, misanya masih dibolehkan praktek-praktek si tuan laki-laki agar “menjaga kemaluannya, kecuali kepada istri dan budak-budak (wanita) yang mereka miliki”, menurut al-Qur’an, ”dalam hal ini mereka tidak tercela”. (Q.s. al-Mu’minūn [23]: 5-7).

Meksipun dibolehkan praktek-prektek seperti ini dikaitkan dengan himbauan moral, menurut al-Qur’an, demi menjaga kemaluan dan memelihara kehoramtan seorang laki-laki. Karenanya, al-Qur’an sendiri segera menambahkan, “barang siapa yang meencari di balik itu,” [misalnya seperti berzina, homoseksual dan praktek-prkatek seksual lain yang terlarang], menurut al-Qur’an, “maka mereka itulah orang-orang melampai batas.” Meskipun demikian, dalam kondisi struktur ekonomi masyarakat Mekkah yang timpang; adanya jurang yang terjal antara yang miskin dan kaya; serta antara yang kuat dan yang lemah, al-Qur’an acap kali mengkritik kaum bangsawan yang konglemerat karena mereka tidak mau memberikan sebagian rezeki meraka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar budak-buak mereka juga turut merasakan rezeki tersebut. Al-Qur’an menyebutkan sikap orang-orang kuat dan kaya tersebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah ((Q.s. Al-Nahl [16]: 71).

Dalam ayat periode Mekkah ini, al-Qur’an tidak melarang dan mengutuk perbudakan itu sendiri secara langsung, tatapi yang dikutuknya adalah sikap orang-orang kaya dan kuat Mekkah yang tidak mempunyai kepeduluan sosial dan tidak mau menyantuni  budak-budak yang mereka miliki yang, tentu saja, telah berbuat banyak kepada tuannya. Sementara tindakan perbudakan itu sendiri harus secara bertahap dan tidak dapat dipaksakan penerapannya seketika. Karena pembebasan manusia  dari  perbudakan  harus  bersumber  dari kesadaran dan sikap batin dari  manusia terhadap sesamanya. Cara inilah ditempuh al-Qur’an hingga Rasulullah dan para sahabat  berhasil sewaktu berada di kota Madinah.
Mā Tawfiq wa al-Hidayah illa bi Allah,
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)