Duabelas Noktah-Noktah: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka

Duabelas Noktah-Noktah: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka

Dalam buku Perceptions of the Past ini Southeast Asia dieditori oleh Anthony Reid dan David Marr yang belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Th. Sumarthanan dengan judul “menyimpang”, yaitu Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya. Dalam buku ini, tulisan tentang Raja Ali Haji oleh Barbara Watson Andaya dan Virginia Matheson judul persisinya “Pemikiran Islam dan Tradisi Melayu: Tulisan Raja Ali Haji dari Riau”. Sementara itu, tema terkait Hamka dengan judul persisinya “Yamin dan Hamka: Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia” yang ditulis oleh Deliar Noer.

Terjemahan buku rampai yang terdiri dari delapan bab disebut, saya sebut “menyimpang” sebab tema-temanya bukan semata-mata kajian tokoh. Artinya dari delapan tulisan dalam buku tersebut hanya ada tiga tulisan tema tentang tokoh. Lagi pula, kalau kajian tokoh yang ada –hanya empat orang, yaitu Arung Palakka, Raja Ali Haji, Muhmmaf Yamin dan Hamka– dari segi waktu kehadiran tokohnya, judul seharusnya Dari Arung Palakka Hingga Hamka. Lalu, kenapa judul terjemahan buku tersebut demikian? Saya berupaya untuk “memaksakan logika” bahwa antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka memiliki banyak sekali persamaan. Logika pemaksaan ini pun diambil demi mencocoki judul tulisan ringan ini, yaitu “Duabelas Noktah-Nokta: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka.

Dalam melihat figur Raja Ali Haji, sama seperti ketika Steenbrink dan Azra melihat sosok Hamka bahwa kedua intelektual dan sastrawan lebih merupakan seorang, meminjam ungkapan Azra, “penulis prolifik keagamaan yang baik, ketimbang ’ulama’ yang mumpuni.” (Karel Steenbrink, “Hamka (1908-1981) and The Integration of The Islamic Ummah of Indonesia”, Studia Islamika,  Vol. 1, No. 3, 1994: 210; Azyumardi Azra, “Melacak Pengaruh dan Pergesaran Orientasi Tamatan Kairo”, Studia Islamika,  II, (3), 1995: 199-219). Penilaian yang sama dengan aspek yang berbeda dan lebih spesifik bahwa  baik Raja Ali Haji maupun Buya Hamka sama-sama awalnya lebih dikenal sebagai seorang sastrawan ketimbang seorang ulama.

Istilah “sastra” (kesusastraan) dalam bahasa Melayu berbeda ruang lingkup dan cakupannya dengan istilah “literature” dalam bahasa Inggris. Dan berbeda pula dengan istilah “belles lettres” dalam bahasa Prancis yang berarti “karya tulis yang artistik dan indah.” Istilah “sastra” dalam bahasa Melayu mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu mencakup semua karya tulis baik karya yang bersifat fiksi maupun karya bersifat non-fiksi. Artinya, “sastra” dalam bahasa Melayu dapat mengantarkan pada pemuasan “pengalaman intelektual” dan “pengalaman emosional” secara simultan. Dari pemahaman seperti ini, agaknya istilah “persuratan” lebih mewakil makna sastra atau istilah “ecriture” dalam bahasa Prancis. Lihat, Panuti Sudjiman, Filologi Melayu  (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), 16. Dengan latar belakang pengertian semacam ini, menggunakan istilah “persuratan” dengan menambahkan kata “intelektual” dibelakangnya, sehingga menjadi “persuratan intelektual” sebagai penegasan terhadap pemahaman atas makna “sejati “ sastra yang belum populer.

Penyebutakan Raja Ali Haji dan Buya Hamka di awal kiprahnya pada negeri dan bangsanya, oleh karenanya, lebih tepat dinisbatkan pada diri kedunya sebagai “intelektual-penyair” atau “sasterawan intelektual”. Penisbatan sebagai “sasterawan intelektual” atau “intelektual-penyair” tersebut menjadi beralasan karena dari hampir seluruh karya-karyanya mencerminkan jenis-jenis karya sastra Melayu-Indonesia, sebagaimana pembatasan  sastera Malayu oleh R. Roolvink. Misalnya R. Roolvink menyebutkan bahwa sastera dalam bahasa Melayu meliputi segala yang dikarang dalam bahasa Melayu, baik hikayat-hikayat dan kisah-kisah, kitab-kitab keagamaan, hukum  kanun dan sebagainya.” (Lihat, Lian Yock Fang, “Beberapa Masalah dalam Penulisan Sejarah Sastera Tradisional Melayu: Kajian Permulaan,” dalam Cendikia Kesustaraan Melayu Tradisional, ed.  Siti Hawa Haji Salleh (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987: 13).

Namun demikian, Raja Ali Haji dan Buya Hamka, terutama di akhir-akhir kiprahnya, dapat dikategorikan seorang ulama, bahkan sebagai ulama besar, khususnya figur disebut belakangan. Sebab bagi kebanyakan Muslimin Indonesia dan/atau dalam realitas sosial, menurut Azra, pengertian ulama secara umum ada tiga. Pertama, ulama adalah mereka yang memiliki ilmu pengetahuan (agama) Islam yang diperoleh dari lembaga-lembaga  pendidikan Islam tradisional. Kedua, ulama adalah mereka yang mendapat legitimasi dan pengakuan dari masyarakat luas akibat langsung dari interaksi dengan masyarakat melalui sejumlah lembaga keagamaan, sosial dan pendidikan. Ketiga, ulama adalah lebih berkonotasi pada penguasaan ayat-ayat kawliyah (al-Qur’an) lebih “membumi” daripada pengertian ulama diisyaratkan al-Qur’an itu sendiri berkonotasi pada penguasaan ayat-ayat qawniyah (alam semesta) lebih “melangit”. (Lihat, Azyumardi Azra, “Melacak Pengaruh dan Pergeseran Orientasi Tamatan Kairo”, Studia Islamika,  II, 3, 1995: 210). Artinya, dengan ketiga pengertian ini maka Raja Ali Haji dan Hamka adalah sungguh-sungguh seorang ulama.

Dengan ungkapan yang berbeda bahwa Raja Ali Haji dan Buya Hamka dapat dikatakan –dengan meminjam istilah al-Qur’an– sebagai seorang “uwlū al-bāb”. Seorang “uwlū al-bāb” harus piawai dalam menyampaikan pengetahuan, pemikirannya dan melahirkan karya-karya tulis bercorak kosmopolitan berdasarkan panggilan hati nuraninya dengan berasaskan  pada al-Qur’an dan hadis.  Adapan tujuan seorang “uwlū al-bāb”, ungkap Abdul Hadi W.M.,  dalam mengutarakan pengetahuan dan pemikiran serta tulisan-tulisannya, di antaranya, yaitu: (i) untuk membantu masyarakat dalam mencari pemecahan atas krisis yang dihadapi; (ii) untuk memberikan pencerahan, sehingga masyarakat dapat keluar dari keputusasaan dan nihilisme kehidupan. Pendek kata, khusus untuk Raja Ali Haji, tulis Abdul Hadi W. M., “… pemikiran dan karya-karyanya memperlihatkan keterkaitannya dengan persoalan-persoalan nyata yang dihadapi masyarakat, serta mencerminkan kesinambungan dengan istiadat (tradisi) kecendikiawanan bangsanya.” (Lihat, Abdul Hadi W.M, “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, (ed.) Sardono W. Kusumo (Jakarta: IKJ Press, 2005: 218).

Selanjutnya, kalau diperbandingkan antara Raja Ali Haji (1809-1873) dan Hamka (1908-1981) –kalau diperhatikan tahun kelahirannya, keduanya hidup persis berbeda satu abad masing-masing pada abad ke-19 dan ke-20– dalam banyak hal memang memiliki banyak kesamaan. Kesamaan antara kedua tokoh besar ini terlihat sebagai figur multidimensi: penulis prolifik, sastrawan, politisi, dan ulama. Persamaan antara kedua figur ini, Raja Ali Haji dan Buya Hamka, dapat dirinci minimal sampai “duabelas noktah-noktah”, sebagai berikut.

Pertama, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk menuntut  ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama. Kedunya  lebih banyak menempuh pendidikan secara otodidak (membaca buku-buku/kitab-kitab [khususnya berbahasa Arab] yang berlangsung dalam waktu relatif lama. Keduanya tidak diketahui pernah menempuh mendidikan secara formal melebihi daripada tingkat pendidikan menegah ke atas. Dengan kata lain, baik Raja Ali Haji maupun Buya Hamka tidak pernah berguru lama  secara langsung pada seorang dan beberapa guru, dan (apalagi) secara formal di sebuah lembaga pendidikan. Artinya, Raja Ali Haji dan Buya Hamka adalah pembelajar otodidak yang baik, tekun dan terus-menerus serta berkekakalan hingga dipenghujung hanyatnya..

Kedua,  Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama pernah pergi ke Tanah Suci dalam usia remaja untuk menunikan ibadah haji, dan sekaligus belajar agama di Mekkah. Begitu pula, keduanya belajar di Mekkah dalam rentang waktu yang singkat, yaitu hanya berkisar lebih enam bulanan di kala masing-masing berusia sekitar 18 tahun. Kemungkinan waktu Raja Ali Haji dan Buya Hamka yang singkat itu sama-sama dipergunakan untuk menyempurnakan kemampuan Bahasa Arabnya selama menempuh pendidikan di kota kelahiran Rasul Allah tersebut.

Ketiga, Raja Ali Haji dan Buya Hamka tampaknya sangat berbakat dalam bahasa Arab dan  menguasainya. Keduanya menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa asing yang dikuasai. Dengan kemampuan bahasa Arabnya sangat mumpuni, sehingga bahasa tersebut benar-benar dijadikan “alat” guna membaca dan memahami teks-teks Arab, khususnya teks-teks keagamaan dari karya-karya sejumlah ulama, baik ulama mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin, dan sekaligus menjadi sumber utamanya dalam melahirkan karya-karnya.

Keempat, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama menikah sepulang dari Mekkah pada usia yang reatif sama, kurang lebih 19 tahun. Namun, dalam perjalan lebih lanjut, keduanya memiliki sikap yang berbeda dalam pernikahan: Raja Ali Haji poligami, Buya Hamka monogami. Perbedaan sikap keduanya ini kemungkinan disebabkan oleh tuntutan (keharusan) zamannya masing-masing. Raja Ali Haji lebih “memaksimalkan” seruan ayat al-Qur’an secara tekstual untuk mengawini wanita sampai empat karena ia hidup sebagai keluarga istana kerajaan Melayu Riau. Sementara Buya Hamka lebih “meminimalkan” seruan ayat al-Qur’an secara kontekstual dengan hidup bermonogami, dan baru menikah kedua kalinya setelah istri pertamanya wafat. Sikap Buya Hamka dalam perkawinan ini boleh jadi disebabkan oleh tuntutan zamanya, dan/atau karena mungkin saja tidak berkenan mencontoh pola perkawinan poligami dari ayahnya. Dan mungkin pula Buya Hamka tidak berpoligami khawatir tidak kuasa berlaku adil.

Kelima,  Raja Ali Haji dan Buya Hamka pada awalnya sama-sama meminati dan sekaligus melahirkan karya-karya sastera, sehingga keduanya masyhur dikenal sebagai seorang sastrawan atau pujangga. Begitu pula, bakat tulis-menulis keduanya diwarisikan dan ditularkan dari kedua orang tuanya masing-masing, yaitu Haji Abdul Malik Karim dan Raja Ahmad secara berturut. Selain itu, belakangan keduanya juga –seiring dengan perjalan waktu dan usia– mengokohkan masing-masing dirinya sebagai penulis dalam bidang keagamaan.

Keenam, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama terlibat dalam politik dan pemerintahan (eksekutif), dan pada “badan permusyawaratan” (legisliatif) di usia relatif muda. Raja Ali Haji menjadi tangan kanan YDM Raja Ali bin Ja’far dalam menjalankan pemerintahan di kerajan Melayu-Riau. Raja Ali Haji memangku jawatan keagamaan sekaligus menjadi Ahl Halli wa al-Aqdhi pada masa pemerintahan YDM Raja Abdullah. Sementara itu, Buya Hamka pernah menjadi pegawai teras atas Departeman Agama.  Buya Hamka pernah pula menjadi anggota Konstituante pada masa pemerintahan Orde Lama.

Ketujuh, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama memiliki minat pada kajian sejarah. Oleh karenanya, keduanya menulis sejarah: Raja Ali Haji menulis sejarah “bangsa”nya; dan Buya Hamka menulis sejarah “ummat”nya. Tokoh pertama menulis sejarah kerajaan Johor-Riau-Lingga dengan melahirkan dua karya, yaitu Silsilah Melayu dan Bugis, dan Tuḥfat al-Nafīs. Buya Hamka sendiri menulis buku Sejarah Islam yang komprehensif (berjilid-jilid) dipaparakannya dari era “Pra-Kenabian hingga Islam di Nusantara”.

Kedelapan, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama menjadi “watchdog” (“moral guadian” dan “spiritual patronage”) bagi masyarakat dan pemerintah pada masanya masing-masing. Raja Ali Haji diangkat menjadi penasehat “resmi” kerajaan dengan jabatan  sebagai penasehat kerajaan dalam bidang pemerintahan dan keagamaan pada masa YDM Raja Muhammad Yusuf Ahmadi. Sementara Buya Hamka diangkat sebagai penasehat “tidak resmi” pemerintah dalam bidang keagamaan dengan jabatan sebagai Ketua MUI pada masa pemerintahan Orde Baru.

Kesembilan, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama penulis, peminat dan penganut tasawuf “mu‘tabarah” yang menyelaraskan antara ajaran esoterisme dan eksoterisme dalam Islam. Dengan bahasa lain, boleh dikatakan bahwa keduanya sama-sama  berpaham  neo-sufisme. Raja Ali Haji dan Buya Hamka memaknai asawuf, misalnya tidak melulu bahwa zuhud itu menyepi dan menghidari kehidupan duniawi, tetapi harus memaknai hidup di dunia ini secara aktif beramal shaleh, apakah amal yang akan bermuara pada keshalehan pribadi maupun keshalehan sosial.

Kesepuluh, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama terlahir untuk menjadi seorang guru (born a teacher) dalam memberikan pendidikan bagi  generasi muda (pendidikan formal) dan menjadi guru ngaji bagi anak dan cucu-cucunya (generasinya). Begitu juga, keduanya selalu hadir memberikan pencerahan pemahaman keagamaan lewat pengajian bagi masyarakat secara umum (pendidikan/pengajaran non-formal).

Kesebelas, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama penulis  keagamaan yang produktif dan otoritatif dan komprehensi. Disebut produktif karena keduanya telah melahirkan sejumlah karya-karya, khususnya dalam bidang keagamaan. Disebut otoritatif karena keduanya sangat bernas dalam menjabarkan masalah agama dalam berbagai karya-karyanya. Disebut komprehensif karena keduanya mengulas ajaran agama dalam berbagai aspeknya dengan diilhami oleh semangat Islam yang kokoh dan utuh.

Keduabelas, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama, kadang-kadang, diragukan keulamaannya, sehingga Raja Ali Haji dan Buya Hamka oleh sebagai orang lebih layak/tepat disebut seorang “intelektual” tinimbang sebagai seorang ulama, sebagaimana dijelasakn di atas. Di antara keduanya, Buya Hamka lebih menonjol keulamaanya lantaran karya fenomenal dan monumentalnya dalam menafsirkan al-Qur’an serta sekaligus menjadi masterpiece (karya agungnya): Tafsir Al-Azhar.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)

Leave a Reply