Oleh Alimuddin Hassan*
Kecenderungan praktis dan pragmatis penerjemahan karya tertentu, seperti ilmu astrologi dan kedokteran, sebagaimana disebutkan sebelumnya,bukanlah semata-mata monopoli pemerintahan Dinasti Umayyah. Akan tetapi,kenyataan ini juga berlaku pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Bahkan kecenderungan pada astrologi yang, sepertinya “irrasional”, misalnya mempercayai gerak-gerak dan posisi bintang juga menjadi kecenderungan sejumlah khalifah pada masa Dinasti Abbasyiah.
Demi keperluan apa yang disebut di atas, maka pada masa khalifah Harun al-Rasyid, oleh karenanya, sejumlah buku-buku tentang astrologi diterjemahkan, misalanya naskah Quadripasrtituskarya Ptolemi. Harun al-Rasyid dan sejumlah khalifah Dinasti Abbasyah selalu meminta pandangan para astrolog untuk memabaca “masa depan” kekuasaan mereka. (C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, 2002: 38). Khalifah al-Ma’mun sendiri yang terkenal kental rasionalismenya juga menggunakan jasa advis astrologi dalam mengambil keputusan strategis,sebagaimana penuturan Majid Fakhri:
“Pergolakan politik yang menyebabkan jatuhnya Bani Umayyah dan naiknya Dinasti Abbasyiah sebagai penggantinya menyakinkan di kalangan Dinasti Abbasyiah bahwa rahasia nasib manusia dan jatuh-bangunnya kerajaan berlaku dengan pasti menurut perhintungan bintang, dan hanya orang-orang bijaklah yang mempu memahaminya. Dari sinilah bermula muncul hasrat yang kuat untuk memahami dan menerjemahkan karya-karya kuna berkenaan dengan astrologi.Bahkan khalifah-khalifah yang sangat rasional sekalipun, seperti al-Ma’mun tidak luput dari ketergantungan pada perhitungan bintang-bintang tersebut.Ia tidak saja mengangkat seorang astrolog sebagai pembantunya, tetapi ia juga tidak dapat melakukan gerakan militer dan kebijakan politik yang penting tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan astrolog tersebut.” (Lihat, Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 8).
Dari kutipan di atas, selain ilmu kedokteran, nyata betul bahwa ilmu astrologi memiliki arti peting, khususnya dalam menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaan. Arti penting ilmu astrologi di sini seiring dengan kecendrungan dan godaan universal bagi penguasa untuk tetap mempertahan kekuasaan (wa mulkun la yablâ). Karenanya, sebagaimana disebutkan Majid Fakhry di atas, kehadiran astrolog-astrolog di lingkungan istana menjadi sangat diperlukan oleh khalifah –termasuk khalifah seperti al-Ma’mun– untuk memberikan “nasehat” dalam rangka mengambil keputusan-keputusan penting yang menentukan nasib dirinya dan menyangkut eksistensi kekhalifahan Dinasti Abbasyiah secara keseluruhan.
Pada masa Bani Umayyah penerjemahan warisan ilmu dan filsafat Hellensime masih bersifat individual-personal dan/ataubelum merupakan sebuah gerakan. Sementara pada era pemerintahan Dinasti Abbasyiah, khususnya periode-periode awal, dan terlebih-lebih pada masa pemerintahan al-Ma’mun,penerjemahan sudah bersifat kolektif-komunal dengan melibatkan banyak ilmuan dan penerjemah. Dengan kata lain, penerjemahan pada masa Disnati Umayyah tidak lebih sebuah proyek kecil. Sebaliknya pada masa Dinsati Abbasyiah penerjemahan sudah merupakan suatu proyek besar-besaran. (Chales M. Santon, Higher Learning in Islam: 65).
Lebih lanjut, upaya penerjemahan tersebut merupakan sebuah gerakan yang terpadu dan sistematis serta langsung di bawah patronase penguasa. Di bawah perlindungan para khalifah Dinasti Abbaysiah, khususnya pada masa pemerintahan al-Mansur, al-Rasyid dan al-Ma’mun dapat dikatakan puncak aktifitas penerjemahan. Aktivitas penerjemahanpada masa Dinasti Abbasyiah berlangsung sekitar 100 tahun, yaitu antara tahun 750 hingga 850.
Adalah khalifah al-Mansur yang memulai gerakan penerjemahan secara gencar pada masa awal Dinasti Abbasyiah. Kesan umum yang dapat diperoleh mengenai al-Manshur bahwa ia berminat sekali pada karya-karya ilmiah dan filosofis. Untuk itu, ia memberikan dukungan dan perlindungan pada kegiatan penerjemahan. Meskipun demikian, berhubungan dengan langkanya para ahli dan sarjana serta karena masih kurangnya bahan-bahan ilmiah dan filasafat Hellemisme-Yunani yang dapat diperolah, sehingga proses penerjemahan pada masanya tidak mendapat kemajuan sesuai harapankanya. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 19).
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ketika al-Manshur bertahun-tahun menderita sakit, ia meminta untuk mendatangkan dokter dariJundisapur.Reputasi Jurjis Bukhtyshu’ sebagai dokter sangat mumpuni itu terdengar oleh khalifah. Oleh karenaya, ia meminta agar dokter Kristen terkenal itu dijemput untuk datang ke istananya. Keberhasilan menyembuhkan penyakit khalifah al-Mansur, kemudian Jurjis bin Bakhtaisyu’ diangkat menjadi kepala tim dokter istana, hingga wafanya al-Mansur.
Akan tetapi, setelah lanjut usia Jurjis kembali lagi ke Jundisapur dan kedudukanya digantikan oleh keturunanya (anaknya), Gabrel Bakhtyshu’. Anakanya iniberkhidmat pada masa khalifah al-Mahdi, di si samping ia juga berkerja di istana wazir Ja’far al-Barmaki dan, bahkan hingga masa khalifah al-Makmun, nantinya.Belakangan, keturunan keluarga ini menjadi keluarga medis paling penting dalam dunia Muslim. Dan anggota keluarganya terus-menerus menjadi dokter terkemuka hingga akhir abad ke-11 M). (Lihat, Phillip K. Hitti, History of the Arab, 309; Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 43).
Sebelum kepindahan Jurjis Bakhtyisu’ di Baghdad, ia selama beberapa lama menjadi kepala rumah sakit dan pusat medis di Kota Jundisapur. Belakangan, keturunan-keturuanan dan mahasiswa-mahasiswaJurjis Bakhtyisu’ di Jundisapur melawatdan berdomisili Baghdad. Mereka secara langsung telah membuat organik antara perguruan dan pusat medisdi Jundisapur dan di Baghdad. Dengan kata, kepindahan Jurjis Bakhtyisy’, keturunan dan mahasiswa tersebut dapat dikatakan merupakan awal proses mengalihkan pusat medis dari Jundisapur ke Baghdad.(Lihat, Seyyed Hossen Nasr, Nasr, Science and Civilization in Islam, 193; Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, 43; Philip K. Hitti, History of the Arab, 309; Frans Rosenthal, The Classical Heritage in Islam: 1975: 6).
Sementara penerjemahan sedang berlangsung, disadari oleh para sarjana dan ahli penerjemah itu bahwa sedemikian besar dan kayanya warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme-Yunani yang harus diupayakan penerjemahannya. Maka di antara mereka mengusulkan kepada khalifah al-Ma’mun untuk mengorganisir aktifitas penerjemahan dalam skala lebih luas dan intensif. (W. Montgemory Watt, Islamic Philosophy and Theology, Chicago: Edinburgh University Press, 1962: 41).
Pada masa Dinasti Abbaysiah warisan Yunani-Hellenisme yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Syiriah yang dilakukan oleh orang Kristen Nestorian dan pagan dari Mesopotamia tersedia cukup melimpah. Selain itu, lewat penaklukan di daerah-daerah perbatasan Byzantium, manuskrip-manuskrip tambahan adalah merupakan bagian dari kekayaan dibawa pulang ke Baghdad. Didorong oleh hasrat begitu kuat untuk mempelajari warisan pengetahuan Hellenisme-Yunani, para khalifah disebut sebelumnya, bila tidak memperolah naskah-naskah dengan cara penaklukan, maka mereka membelinya dari musuh mereka, khusunya naskah-naskah dari Byzantium di Konstantinopel. (Chales M. Santon, Higher Learning in Islam: 65).
Kemudian, penerjemahan menemui momentumnya ketika al-Ma’mun mengambil kebijakan untuk mendirikan Bayt al-Hikmah (“Gedung Hikmah”). PendirianBayt al-Hikmahitu sendiri dimaksud dengan tiga fungsi kombinasi, yaitu lembaga penerjemahan, akademi dan perpustakaan. Artinya, dengan tiga peran ini menjadikan lembaga Bayt Hikmahbenar-benar penyokong kota Baghdad sebagai marcusuar ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia. Disebut-sebut bahwa Bayt Hikmah merupakan lembaga pendidikan yang terpenting artinya setelah Musium Iskandaria didirikan pada pertengahan pertama abad ke-3 SM (Phillip K. Hitti, History of the Arab, 310).
Untuk menyediakan dan melengkapi kepustakaan Bayt al-Hikmah yang baru didirikan itu dengan karya-karya ilmiah dan filsafat, al-Makmun mengirim utusan ke Byzintium untuk mencari dan memperoleh buku-buku “pelajaran kuno”. Kemudian buku-buku tersebut diserahkan kepada sekelompok sarjana untuk diterjemahkan. Termasuk dalam kelompok ini terdapat sejumlah nama sangat terkenal, seperti Yahya bin Musawayh (guru Hunain ibn Ishak) –sebelumnya juga mengabdi kepada khalifah al-Mansur dan Harun– diangkat al-Ma’mun sebagai Direktur Bayt al-Hikmah segera setelah didirikannya. Bersama dengan beberapa penerjemah terkenal lainnya, seperti al-Hajjaj bin Muthar, Yahya bin Bithriq dan Salim, sekaligus disebut-sebut sebagai pengurus Bayt al-Hikmah. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 24).
Pada saat itu,Bayt al-Hikmah selain sebagai pusat penerjemahan juga dipergunakan sebagai tempat untuk mempelajari sekaligus menyebarkan teologi, kususnya teologi Mua’tazilah, dan filsafat secara umum. Pimpinan lembaga ini, misalnya mengundang sejumlah ilmuan dan sarjana dari berbagai daerah untuk berdebat dan berdiskusi di antara mereka dalam semua lapangan ilmu pengetahuan, khususnya menyangkut tentang agama, teologi dan filsafat serta ilmu-ilmu kealaman.(Charles M. Santnton, Highere Learning in Islam: 75).
Khalifah al-Mak’mun sendiri sebagai sebagai penganut teologi rasional Mu’tazilah disebut-sebut terlibat secara intens dalam diskusi-diskusi. Al-Ma’mun menguasi berbagai pemikiran dalam filsafat yang menjadi perdebat dalam diskusi-diskusi. Bahkan di antara sedikit khalifah dalam Islam, al-Ma’mun juga menulis beberapa karya terkait masalah-masalah filsafat yang muskil. ((C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, 2002: 38)
Dari sekian banyak penerjemah pada masa itu yang paling terbesar dan berjasa adalah Hunain ibn Ishak (Johannitus Onan, sebagaimana ia dikenal di Barat pada abad pertengahan). Hunain bukan saja sebagai seorang penerjemahan yang pandai dan lihai, tetapi ia juga salah seorang di antara dokter-dokter masyhur pada zamanya. Lebih jauh, bagaimana peran tokoh ini dalam proses aktivitas penerjemahan, Nasr memaparkan:
“Dibantu oleh kemanakannya, Hubaisy dan anaknya Ishak, Hunain sering menerjemahkan teks dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Syiria dan menyerahkan penerjemahan dari bahasa Syiriah ke bahasa Arab yang dilakukan oleh mahasiswa dan khususnya Hubaisy. Pada waktu itu, ia memeriksa terjemahan akhir dan membandingkannya dengan teks Yunani aslinya. Kadang-kadang ia menerjemahkan langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.”
Lebih lanjut, Nasr memamarkan prihal Hunain ibn Ishak: “Dengan cara begitu, Hunain dan perguruannya membuat banyak terjemahan bagus, termasuk 95 karya Galen ke bahasa Syiriah dan 99 buah ke bahasa Arab. Pada masa itu memang masih ada penerjemah masyhur lainnya, tetapi tidak seorangpun dari tokoh-tokoh tersebut yang dapat menandingi Hunain. Keahlian Hunain sebagai penerjemah dan juga sekaligus sebagai dokter, membuatnya pantas dipandang sebagai seorang di antara tokoh-tokoh utama sejarah medis Islam.” (Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 195).
Dalam pandangan para ilmuan berbahasa Arab menyebutkan bahwa terjemahan dilakukan pada masa-masa awal dari segi gramatika terkadang janggal dan sulit dimengerti. Karenanya, Hunain dan timnya berupaya untuk menerjemahkan ulang (Michael M. Stanton, Higher Learning in Islam: 66-67). Sebagian hasil terjemahan masa awal banyak bersifat harfiah dan tidak akurat. Untuk itu, perlu direvisi guna menangkap makna lebih tepat dan akurat. Akan tetapi, biasanya terjemahan semacam ini terjadi pada karya terjemahan dari versi bahasa Syiria, dan bukan pada karya terjemahan langsung dari bahasa asilnya, Yunani (Watt, Islamic Philosophy and Theology, 82).
Penerjemahan dilakukan oleh Hunain Ibn Ishak beserta timnya menandai tahap penerjemahan yang sangat menentukan. Begitu pula timbulnya perhatian baru dalam tingkat kecermatan dan keseksamaan yang baik, mengharuskan untuk menerjemahkan kembali naskah-naskah ilmiah dan filsafat yang telah dilakukan sebelumnya. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 25). Untuk kepiawaian dan keahlian itu Hunain ibn Ishak digaji sebesar 500 dirham perbulan. Begitu pula, al-Ma’mun membayar para penerjemah dalam bentuk emas seberat buku ia diterjemahkan. (Phillip K. Hitti, History of the Arab: 113).
Dalam proses dan kesemarkan penerjemahan pada masa Dinasti Abbasyiah, penerjemahan tidak saja dilakukan oleh khalifah secara resmi. Akan tetapi, di kalangan masyarakat tertentu timbul kesadaran untuk berpartisipasi aktif dalam proses penerjemahan tersebut. Keluarga Banu Musa misalnya, diriwayatkan menyumbang banyak uang dalam proses penerjemahan naskah-naskah warisan Yunani-Hellenisme. Banu Musa, sebagaimana para khalifah Dinasti Abbasyiah, mengutus orang-orang ke Bizantium untuk membeli naskah-naskah Yunani-Hellenisme seberapapun harganya, dan mengupah para sarjana untuk menerjemahkannya.
Demikian berkembangnya penerjemahan pada era Dinasti Abbasyiah, khususnya pada masa al-Ma’mun dengan Bayt al-Hikmah-nya. Sedemikian rupa maraknya penerjemahan era ini, sehingga jumlah karya-karya Yunani hasil terjemahan dalam bahasa Arab begitu luar biasa, dan sangat melimpah. Pada akhir abad kesembilan hampir semua karya yang diketahui dari musium-musium Hellenistik telah tersedia bagi ilmuan-ilmuan Muslim dalam bahasa Arab.
Dari kondisi seperti itu, kota Baghdad benar-benar menjadi mercusuar ilmu pengatahun dan pusat peradaban anak manusia selama berabad-abad lamanya. Dari situasi kondusif seperti itulah pada tahun-tahun berikutnya dunia Islam melahirkan sedemikian banyak filosuf dan ilmuan diseluruh bidang keilmuan. Dunia Islam telah berhasil melahirkan “karya” mencengangkan Dunia Barat yang pada waktu itu baru belajar mengeja namanya.
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh