AGAMA 4.0

-MHW

Digitalisasi agama apakah juga berarti matinya sakralitas dan kepakaran? Namun sebelumnya, begitu krusialkah sakralitas dan kepakaran?

Jika Anda merasa sikap beragama manusia hari ini kehilangan dimensi kedalaman, maka di situlah pentingnya sakralitas. Jika anda melihat agama layaknya parodi, di situlah primernya kepakaran.

Kendati demikian, digitalisasi tidak bisa dijadikan kambing hitam atas redupnya sakralitas dan kepakaran. Telah sejak lama, lama sekali, sikap beragama kita berada di jalur yang getir. Sehingga mudah diotak-atik, juga dikotak-kotakkan. Sepi dari ghirah intelektualisme. Lantaran dikangkangi oleh, mengutip Ahmet T. Kuru, otoritarianisme.

Mirisnya lagi, sikap beragama kita tak ubah seperti psikis babu, sarat dengan simpul penindasan. Bahkan hanya untuk sekadar mengabstraksikan identitas agama, kita harus mengadopsi mind map yang liyan. Maka wajar saja agama yang dianut hanya terhenti pada batas formil, tidak menembus kesadaran.

Dimensi kedalaman dan daya ‘detonasi’ agama terletak pada spirit intelektualisme, bagi saya. Inilah yang hilang dari agama, sehingga mengembangbiakkan penganut agama yang mengidap mental inferior. Gampang menganggap yang berbeda sebagai ancaman, salah satu cirinya.

Termasuk digitalisasi, dianggap sesuatu yang teramat bahaya. Padahal, sakralitas dan kepakaran sirna lebih karena paradigma beragama yang cacat.

Justru, era digitalisasi saat ini merupakan momen yang tepat guna mentransformasi agama sebagai tonggak peradaban. Sebab terbukanya akses pengetahuan dan kian tumpulnya relasi kuasa.

KELIRU MEMILIH USTADZ

Author : Mahmud Hibatul Wafi

 

Orang menjadi apa dan bersikap seperti apa tergantung dari faktor-faktor yang mengitarinya, lalu bagaimana ia menghayati, memproses, dan mengaktualisasi ragam faktor itu dalam pikiran dan laku.

Sosok ustadz, di antara faktor yang dapat memengaruhi seseorang. Terutama di Indonesia, ustaz punya privilege tersendiri, meski tidak semua. Selain karena berangkat dari kebutuhan religius-teologis, ustaz juga berposisi sebagai ‘reseller ideologi’, yang cenderung bias.

Apalagi di bulan Ramadhan, para ustadz berduyun-duyun nongol di ruang publik, baik online maupun offline, umum maupun privat. Tampil dengan rupa-rupa atribut, retorika, dan metode. Saya tidak tahu apakah ada atau belum lembaga yang mendata total keseluruhan ustaz di Indonesia, lengkap dengan keterangan afiliasinya. Namun yang pasti, jumlah mereka tidak sedikit, mungkin sama banyaknya dengan jumlah politisi.

Karena banyaknya model ustaz (belum lagi yang merasa ustaz), ada baiknya kita selektif, terutama terkait dengan afiliasi ideologi. Dampaknya begitu krusial, yang paling akut terjerat paham ekstremisme. Artinya, salah mengidolakan ustaz hidup bisa celaka.

Selain itu, disrupsi informasi yang luar biasa juga cenderung membuat orang sulit untuk selektif, sehingga pertimbangannya seringkali mengarah pada kemasan (form). Prinsipnya: daripada ribet, praktis, dan instan.

Mental praktis dan instan dalam beragama mengindikasikan anjloknya daya literasi bangsa kita. Percepatan media baru dan teknologi, bahkan kian memperkeruh hal tersebut. Zaman sudah 5.0, mental masih 1.0. Duh, payah.

Singkatnya, sikap keliru memilih ustaz menandakan rendahnya daya selektif, dan berarti pula dangkalnya daya literasi. Maka, sebuah kewajaran jika sikap truth claim, takfiri, reaktif, dan sejenisnya berkembang menyesaki ruang publik, bahkan sudah sampai pada tingkat darurat.

Bagaimana pun, kita tidak bisa melihat fenomena ini dari satu sudut. Saya lebih cenderung melihatnya sebagai gejala sosiologis. Sebab, meminjam istilah Peter L. Berger, society is a human product. Masyarakat dibentuk oleh sejumlah entitas, yang berupaya mengekspresikan diri untuk tujuan eksistensi (eksternalisasi).

Artinya, keterhubungan seseorang pada satu ustaz atau kelompok agama tertentu merupakan upaya penegasan eksistensi, dan itu lumrah. Namun, yang perlu disorot ialah bagaimana proses internalisasi (penanaman) ajaran-ajaran yang diterima dari ustaz itu berlangsung. Karena kaitannya begitu signifikan terhadap ‘pelembagaan’ ajaran dalam bentuk ideologi atau regulasi. Moderat ataukah ekstrim?

Oleh karena itu, pada proses internalisasi, individu hendaknya mampu menapis (menyensor) informasi yang diterima dengan disiplin lainnya, semisal, sospol, antropologi, ekonomi, sejarah, indigenous wisdom, dan seterusnya. Apakah proses ini terkesan ruwet? Saya pikir tidak, jika relasi dialogis terus kita kembangkan.

Dengan kata lain, ia jadi ruwet plus ribet jika kita masih mempertahankan pendekatan monodisiplin dan menolak untuk ‘ngopi bareng’.

Pekanbaru, 15 April 2021
50 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (5) Era Kemunduruan dan Penghapusan  Kerajaan Johor-Riau

50 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (5) Era Kemunduruan dan Penghapusan Kerajaan Johor-Riau

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Sepeninggalan Raja Haji pada 1784, sebagai akibat kekalahan perang melawan Belanda, kerajaan Melayu-Riau dalam politik-militer bukanlah lagi suatu kerajaan berdaulat penuh. Dalam kenyataannya pemerintah Hindia Belanda kerapkali turut campur dan menentukan kebijakan dalam pemerintahan kerajaan Melayu Riau. Di akhir tahun 1784, misalnya, karena kebencian Belanda kepada orang-orang Bugis, pemerintah Belanda memberikan ultimatum kepada Sultan Mahmud –sebagai salah satu upaya adu domba– untuk mengusir orang Bugis dari kerajaan dan jabatan Yang Dipertuan Muda selama ini dijabat secara turun temurun di kalangan orang Bugis diperintahkan untuk dihapus.

Untuk itu, sultan sendiri harus menghadap kepada Jacob Van Braam di kapal komando Utrecht. Tentu saja ultimatum dan keinginan pemerintah Belanda ditolak sultan. Akibatnya terjadilah perang dengan Belanda dipimpin YDM V Raja Ali. Tentu saja perlawan ini dengan mudah dikalahkan Belanda. Akibatnya, YDM V Riau Raja Ali bin Kamboja beserta keluarganya meninggalkan Kerajaan Melayu Johor- Riau. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 213-222).

Konsekwensi logis dari kekalahan itu, Sultan Mahmud Syah terpaksa (tepatnya dipaksa) menandatangani perjanjian di bawah tekanan pemerintahan Belanda pada 10 November 1784.Dalam pasal-pasal perjanjian tersebut antara lain dinyatakan bahwa seluruh pelabuhan dalam kerajaan Melayu Riau menjadi milik pemerintahan Hindia Belanda. Untuk itu, Hindia Belanda akan menempatkan tentaranya di kawasan kerajaan Melayu Riau dan pemegang monopoli perdagangan di kawasan Riau,danapabila sultan mangkat, penggantinya harus mendapat persetujuan dari pihak kolonial Hindia Belanda.

Kerajaan Melayu Riau semakin tidak berdaya menghadapi persekutuan pihak Belanda dan Inggris yang melahirkan Konvensi London 1814. Perjanjian kedua negara itu adalah bahwa Indonesia kembali diserahkan dan menjadi jajahan pemerintahan Hindia Belanda. Satu dekade berikutnya perjanjian itu diteguhkan dengan “The Anglo-Datch Treaty of London” atau lebih sering disebut “Traktat London 1824”. Sehingga kerajaan Melayu-Riau semula mencakup daerah Johor diserahkan kepada Inggris. (Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 252-254). Kemudian, setelah perjanjian ini ditanda tangani, pemerintah memperbarui kontrak politik antara pemerintah Hindia-Belanda dengan Sultan Riau-Lingga yang semakin membatasi kekuasan dan wewenang sultan pada 29 Oktober 1830. (Hasan Junus, “Residen C.P.J. Elout: Arsitek Kontrak Politik 29 Oktober 1830” dalam Engku Putri Raja Hamidah Pemegang Regalia Kerajaan Riau (Pekanbaru: Unri Press, 2002), 196).

Pasca perjanjian-perjanjian disebut di atas, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa Kerajaan Melayu Riau-Lingga bukan lagi sebagai kerajaan yang berdaulat penuh. Meskipun dalam kondisi demikian, tidak berarti penguasa kerajaan Melayu Riau-Lingga tidak melakukan perlawanan dan mengupayakan kembalinya kedaulatan negerinya. Belakangan, pada 1903 raja terakhir kerajaan Melayu Riau, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah melakukan perlawanan kultural yang sangat berani, yaitu dengan mengibarkan bendera kerajaan Belanda dipasang di bawah bendera Kerajaan Riau Lingga di depan istana. Residen Riau melaporkan persitiwa itu ke Batavia, dan Sultan Abdul Rahman mendapatkan peringatan keras dari Gubernur Jenderal Rooseboon di Batavia.

Pada kejadiaan lainnya, dalam menegakkan marwah dan kedaulatan kerajaan, Sultan Abdul Rahman menuntut agar Residen Riau tidak melakukan pengangkatan pejabat kerajaan sebab itu menjadi wewenang kerajaan.Sikap perlawanan sultan semakin jelas saat sultan enggan bekerja sama dan menolak untuk menandatangani Surat Perjanjian (kontrak baru) pada 1910. (Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 225; Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century Islamic Centre of Riau”, Archepel, 37(1989: 163).

Konsekwensinya, pada bulan Februari 1911 sultan dimakzulkan dari tahta kekuasaannya, dan putranya, Tengku Besar Umar dicoret namanya sebagai calon sultan. (Lihat, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 56). Surat abdikasi sultan dibacakan Residen Riau G. F. de Bruyn Kops(1911-1913) di markas gedung “Rushdiah Klab”, sebuah lembaga perkumpulan intelektual Melayu-Riau yang selalu kritis dan melakukan perlawanan secara moral terhadap kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. (Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 189).

Di kalangan pengurus Rusydiah Klab, setelah pemakzulan sultan, melakukan upaya diplomasi, misalnya tahun 1904-1905 kerajaan Melayu Riau mengutus Raja Ali Kelana untuk menemui Sultan Turki Utsmani di Istambul (Turki) guna meminta bantuan, tetapi upaya ini tidak berhasil. Selanjutnya, upaya diplomasi yang sama juga dilakukan pada 1905 oleh pihak kerajaan untuk menemui konsul Jepang di Singapura. Upaya diplomatis itu dilanjutkan lagi pada tahun 1912-1913 dengan mengutus Raja Khalid Hitam ke Tokyo untuk menemui Mahara Jepang guna meminta bantuan di dalam menghadapi penjajahan Belanda. Namun usaha-usaha diplomasi tersebut tidak berhasil di dalam menjalankan misinya. Malah Raja Khalid Hitam sendiri yang sedang menjalankan misinya di Jepang terbunuh pada 1914. Pembunuhan ini diduga kuat dilakukan oleh mata-mata Belanda. (Barbara W. Andaya, “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Allies by the Rules of Riau 1899-1914, dalam Indonesia, No. 24, (1977), 153-154).

Setelah keputusan pemakzulan Sultan Abdul Rahman tersebut, pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa seluruh tugas dan kewenangan sultan di kerajaan Melayu-Riau dan seluruh daerah kekuasaannya berada langsung di bawah kendali Residen Belanda. Seluruh rakyat Melayu Riau terpaksa/persisnya dipaksa untuk menaati segala peraturan kolonial Belanda. (Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 326).Dalam kondisi seperti ini Sultan ‘Abd Rahman meninggalkan kerajaannya pergi ke Singapura, dan wafat dalam “pengasingannya” di sana pada 1930. Sebagian besar masyarakat mengikuti sultan meninggalkan Pulau Penyengat menuju Singapura. (Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190; Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 163). Bahkan dapat dikatakan masyarakat “eksodus” meninggalkan tanah kelahiran mereka menuju Singapura, Johor dan daerah-daerah sekitar lainnya.

Dari hasil penelitian Muhammad Afan, sebagaimana dikutip Hasan Junus, menyebutkan “… dari sekian ribu penduduk pulau kecil yang menjadi pusat pemerintahan di kerajaan itu hanya lebih kurang lima ratus jiwa saja yang tetap tinggal, karena sebagian besar penduduk pindah ke Johor dan Singapura.” Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190). Untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang “eksodus” meninggalkan Pulau Penyengat dapat dilihat dari data “perbandingan” berikut ini: (i) bahwa masyarakat yang tidak meninggalkan Pulau Penyengat haya tinggal 500 orang; (ii)_bahwa jumlah penduduk di pulau kecil ini pada akhir abad ke-19 diperkirakan mencapai sekitar 9.000 jiwa. Kedua data nyata menunjukkan bahwa Pulau Penyengat benar-banar ditinggal-pergi oleh penduduknya. (Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162).

Raja Ali Kelana juga meninggalkan negeri kelahirnya dan menetap hingga wafatnya di Johor pada 1927. Raja Ali Kelana meninggalkan negerinya lantaran, menurutnya, telah “berubah kelakuannya” (diperintah Belanda). Raja Ali Kelana menyatakan prinsip ini, seperti katanya dalam Bughyāt al-‘Any fī Ḥurūf al-Ma‘āni: “Apabila negeri itu berubah kelakuannya maka tinggalkanlah dia!”Akhirnya, pemerintahan Belanda mengeluarkan keputusan penghapusan kerajaan Melayu Riau-Lingga dari “peta bumi” pada 11 Maret 1913. (Hasan Junus &UU. Hamidi, “Sumbangan dan Peranan Cendikiawan Riau”, 136; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 326.

Dengan penghapusan kerajaan Melayu-Riau dari “peta bumi” pada sisi kekuasaan dan pemerintahan dapat dikatakan kerajaan Melayu Riau-Lingga ini tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran dan kejayaannya di masa silam.Apa penyebabnya Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan YDM Riau hampir tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran pada masa lalu. Menurut penelitian Matheson ini disebabkan orang-orang di Pulau Penyengat pada umumnya, dan raja-raja dan keluarga istana pada khususnya lebih memilih memusnahkan harta benda dan barang-barang yang ada dalam rumah mereka (melakukan semacam “bumi hangus” daripada (mereka khawatir kalau) Belanda akan menyita seluruh harta kekayaannya. (Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162).

Akan tetapi, dari sisi persuratan intelektual-keagamaan dan kebudayaan, kerajaan Melayu-Riau telah meninggalkan “jejak-jejak”kebesaran dan kejayaan masa lalunya –kendatipun belum/tidak sampai pada puncak kejayaan tertinggi– lewat generasi-generasi terpelajar yang menghasilkan “bertaburan” karya di Pulau Penyengat sepanjang menjelang paroh kedua abad ke-19 hingga awal abad ke-20. (Ong Hok Ham, “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, dalam Masyarakat Malayu Riau dan Kebudayaannya, 185).

Dengan situasi politik yang tidak menentu, maka ketika Indonesia memasuki era sastera modern yang ditandai dengan lahirnya Balai Pustaka pada dasawarsa kedua abad ke-20, Sapardi Djoko Damono menyebutkan, “tampaknya peran para sastrawan dari Riau tidak begitu menonjol”, untuk tidak mengatakan tenggelam sama sekali. (Lihat, Sapardi Djoko Damono, “Sastrawan Riau dan Sastra Indonesia Mutahir”, dalam Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan, ed. Heddy Shri Ahimsa-Putra (Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengambangan Budaya Melayu, 2007: 289-290).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.
BERDAMAI DENGAN MENELADANI NABI

BERDAMAI DENGAN MENELADANI NABI

Helmaya Indra Sari

Sebagaimana agama-agama lainnya, Islam sesungguhnya merupakan agama yang peduli dan mendorong kepada umatnya untuk menjaga kedamaian seluruh umat manusia. Merujuk pada makna dasar Islam sendiri, yakni salam, maka Islam membawa misi keselamatan dan kedamaian. Namun demikian, kedamaian tidak bisa ditanggung oleh beberapa pihak saja namun seluruh elemen kehidupan harus berperan di dalamnya, agar tercipta sebuah kedamaian.

Secara historis, peran dan aktualisasi dari hal itu telah melekat dan tergambar pada profil Nabi Muhammad, sang pembawa risalah. Wajah keteduhan dan kedamaian terekspresi dengan baik bersama Nabi. Sehingga Alquran memproklamirkan Nabi sebagai sosok pembawa rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Tidak lah heran jika kemudian kita diberikan sitiran Hadits bahwa ”Sesungguhnya aku diutus (Tuhan) untuk menyempurnakan kemuliaan Akhlaq”.

Ketika Nabi di Mekkah, sedang mengalami tahun kesedihan dan penolakan kafir Quraisy yang keras, maka beliau hijrah ke Thaif, dengan harapan mendapatkan tempat baru yang representatif. Tetapi di Thaif justru memperoleh perlakuan yang semakin keras, bahkan nabi dilempari batu, dan melukai beliau. Tetapi beliau tetap sabar. Bahkan ketika malaikat datang, untuk membantu nabi menurunkan bencana kepada masyarakat Thaif, nabi menolak. Dengan landasan, bahwa beliau masih optimis, anaknya atau keturunan orang Thaif yang memusuhinya masih berpotensi menjadi pengikut rasulullah.

Pada saat Rasulullah Saw. pulang dari masjid dan diludahi oleh seorang kafir, namun beliau tak marah. Bahkan, beliau bergegas menjenguk ketika orang tersebut diketahui sedang sakit, sehingga orang tersebut kemudian masuk Islam.

Dari kisah-kisah tersebut, kita melihat keluhuran budi atau akhlak Rasulullah Saw. Kedzaliman, kemarahan, dan kebencian yang dilancarkan pada beliau tak dibalas dengan hal serupa, namun justru dibalas dengan kasih sayang, perhatian, dan harapan yang baik. Dari sanalah sinar kedamaian Islam itu terpancar, sehingga bisa menerangi dan memberi hidayah bagi mereka yang belum mengerti.

Dalam hal toleransi, keteladanan Nabi ditunjukkan dengan perlakuan Nabi Muhammad ketika berhadapan dengan kelompok Yahudi maupun Nasrani. Nabi selalu menonjolkan perdamaian dari pada konflik. Misalnya, sebuah perjanjian yang ditulis pada masa Nabi ketika menerima delegasi Kristen yang mengunjungi Nabi SAW pada 628 Masehi di Madinah. Isinya adalah:

“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, sebagai perjanjian bagi siapa pun yang menganut kekristenan, jauh dan dekat, bahwa kami mendukung mereka. Sesungguhnya saya, para pelayan, para penolong, dan para pengikut saya membela mereka, karena orang-orang Kristen adalah penduduk saya; dan karena Allah! Saya bertahan melawan apa pun yang tidak menyenangkan mereka.

Tidak ada paksaan yang dapat dikenakan pada mereka. Sekalipun oleh para hakim mereka, maka akan dikeluarkan dari pekerjaan mereka maupun dari para biarawan-biarawan mereka, dari biara mereka. Tidak ada yang boleh menghancurkan rumah ibadah mereka, atau merusaknya, atau membawa apa pun daripadanya ke rumah-rumah umat Islam.

Jika ada yang memgambil hal-hal tersebut maka ia akan merusak perjanjian Allah dan tidak menaati Rasul-Nya. Sesungguhnya, mereka adalah sekutu saya dan mendapatkan piagam keamanan melawan apa pun yang mereka benci.

Tidak ada yang memaksa mereka untuk bepergian atau mengharuskan mereka untuk berperang. Umat Islam wajib bertempur untuk mereka. Jika ada perempuan Kristen menikahi pria Muslim, hal ini tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan perempuan itu. Dia tidak dapat dilarang untuk mengunjungi gerejanya untuk berdoa.

Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang memperbaiki dan menjaga perjanjian-perjanjian sakral mereka. Tidak ada dari antara bangsa (Muslim) yang boleh tidak mematuhi perjanjian ini hingga Hari Akhir.”

Betapa mulianya Nabi dalam memperlakukan kelompok lain yang berbeda. Dengan nalar humanisnya, Rasulullah tetap memberikan hak kepada siapa pun untuk menjalankan aktivitas. Bahkan, pihak-pihak yang secara nyata menghujat Rasulullah tidak dibalas dengan perlawanan serupa. Rasulullah justru menunjukkan sebuah senyuman yang justru bisa meluluhkan siapa pun yang pernah menghina dirinya.

Dengan mewarisi kemuliaan beliau, maka menjaga perdamaian dalam Islam merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Untuk itu setiap umat Islam haruslah menjadi ‘agen of change’ dan ‘maintain peace on earth’, agar Islam semakin berkembang, dianut oleh banyak orang, dan dicintai oleh seluruh umat.

MERAWAT PANCASILA MERAWAT ISLAM

MERAWAT PANCASILA MERAWAT ISLAM

Oleh: Fadila Khusnun

 

Sejak awal republik ini berdiri, perdebatan tentang dasar negara serta bentuk negara, sudah mencuat. Wacana untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Khilafah (Baca: berlandaskan syariat Islam) bukanlah ihwal baru. Serupa dengan diskursus menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler. Setelah melalui perdebatan dan renungan panjang, dengan kearifan serta kebijaksanaan para pendiri bangsa ini, kemudian sepakat untuk menjadikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar negara Indonesia.

Namun pada perjalananya, pada saat sidang Konstituante tahun 1959, faksi Islam kembali memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Akhirnya, memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit, kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia. Di era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, beliau menegaskan kembali bahwa hanya Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi dasar negara bagi bangsa ini, bukan Islam, sekularisme, apalagi komunisme. Ketika Orde Baru tumbang, masyarakat bebas bersuara, dinamika perdebatan dan dialektika wacana mengenai hal ini menguap kembali ke permukaan, seiring dengan menguatnya isu radikalisme berbasis agama.

Trend radikalisme berbasis agama, saat ini merambah ke kampus-kampus serta pelajar Indonesia. Di lingkup akademis inilah paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tumbuh subur. Hal ini tidak bisa dilihat secara kasat mata, tapi dampaknya terasa. Pelajar dan mahasiswa dipupuk dengan ideologi Indonesia mesti menjadi negara Islam, perang dibolehkan melawan musuh Islam, dan kafir bagi kaum yang tidak mendukung syariat Islam (Hassanuddin Ali, 2019).

Mengembalikan tujuh kata yang dihilangkan dari Piagam Jakarta (Jakarta Charter), “berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” kembali diembuskan sebagai napas perjuangan mereka. Alasan-alasan seperti Islam sebagai mayoritas tidak mendapatkan haknya secara penuh serta Islam sebagai solusi di segala lini, khususnya atas permasalahan yang terjadi di Indonesia, dijadikan spirit untuk mengganti dasar negara dan bentuk negara menjadi negara Islam. Bagi mereka, agama—dalam hal ini Islam dan negara sejatinya merupakan integralistik yang tidak dapat dipisahkan. Semestinya, ini menjadi alarm wake up call bagi kita: the ideology of the nation is under attack.

Jika ditilik ke belakang, secara historikal, umat Islam sendiri mulai hidup bernegara sejak Nabi saw. hijrah ke Yatsrib (saat ini Madinah). Di Madinah, suatu komunitas bangsa dengan cita-cita bersama membangun negara berlandaskan kehidupan yang majemuk terlahir. Kemajemukan itu dibuktikan dengan adanya kaum muslim dan non muslim, kaum Muhajirin pengikut Nabi dari Mekah dan kaum Anshar pengikut Nabi dari Madinah.

Setelah menetap di Madinah, Nabi merumuskan dan mengumumkan Piagam Madinah. Isi Piagam Madinah yang dinyatakan di antaranya, “Kaum Muslimin adalah umat bersatu utuh, mereka hidup berdampingan dengan dengan kelompok-kelompok masyarakat lain. Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib (Madinah) dan Surat Perjanjian ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di Madinah mau pun sedang di luar Madinah, kecuali berbuat aniaya dan dosa.” Kandungan pokok Piagam Madinah tersebut mencerminkan sifat pluralisme sebagai suatu bangsa, bukan sebagai suatu negara berdasarkan agama tertentu (Dahlan, 2014). Piagam Madinah menjadi bukti bahwa sejak awal,peran Islam amat krusial dalam hal kenegaraan,dengan visi mempersatukan seluruh masyarakat dalam ikatan politik kenegaraan, bukan dalam ideologi agama Islam.

Prinsip hidup bernegara yang dibangun oleh Nabi, dipandang bersifat egaliter, inklusif, pluralis, dan aspiratif (Dahlan, 2014).  Hal ini dapat dilihat dari Perjanjian Hudaibiyah yang ketika itu Nabi mendengarkan aspirasi dari Suhail bin Amr, Seorang utusan Quraisy. Nabi meminta Ali bin Abi Thalib menulis “Dengan Nama Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengasih”, Suhail menyela bahwasannya dia tidak mengenal sifat Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih, kemudian ia meminta untuk diganti menjadi, “Dengan nama-Mu ya Tuhan”. Lalu, Nabi meminta Ali untuk menuliskan seperti apa yang diingini Suhail. Ketika Nabi meminta Ali menulis, “Berikut ini merupakan naskah perjanjian yang dicapai antara Muhammad utusan Allah dan Suhail bin Amr”, Suhail juga menyelanya dengan mengatakan bahwa, “Jika aku memercayai Beliau sebagai utusan Allah, maka aku tidak akan memusuhinya” dan ia meminta agar kata-kata “Muhammad utusan Allah itu dihapus menjadi Muhammad bin Abdullah”, yang hal ini kemudian menjadikan sahabat marah. Tetapi, sekali lagi Nabi meminta Ali untuk menulis seperti apa yang dikehendaki Suhail. Melalui prinsip hidup bernegara tersebut, Nabi mencapai kesepakatan dengan kaum Quraisy, sehingga Nabi dan para sahabatnya masih bisa menjalankan ibadah umrah di Makkah.

Sebagai satu negara yang berdiri di atas kemajemukan, mestinya kita bisa belajar dari hal tersebut. Para pendiri bangsa ini bukanlah orang-orang yang tidak berpikir panjang. Mereka memfinalkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah negara, dengan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 di tengah puspa ragam perbedaan bukanlah tanpa alasan. Pancasila merupakan bentuk kompromi para pendiri bangsa, tidak ada keberpihakan di dalamnya. Penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta bukan pula tanpa alasan, para pendiri bangsa mendengar aspirasi masyarakat Timur, meski pun mereka sebagai minoritas.

Kalangan yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, mungkin hendaknya diingatkan kembali. Barangkali, kalangan tersebut ialah kalangan ahistoris yang lupa proses dialektika sejarahnya, bahwa bangsa ini meraih kemerdekaannya bukan karena satu atau sekelompok gologan saja, namun dihasilkan dari keberhasilan banyak kelompok atau golongan yang berhasil mengubur egonya. Tak lagi membedakan agama, suku, dari mana mereka berasal serta hal yang bersifat primordial lainnya.

Pertentangan terhadap Pancasila dengan nilai Islam, semestinya memang tidak perlu. Pancasila ialah manifestasi dari bentuk negara Islami. Nilai-nilai dasar dalam Pancasila mengandung unsur-unsur keIslamian meski pun tidak tertulis secara gamblang, yang dijadikan acuan dalam bertindak sebagai bangsa yang berkeadaban. Sehingga, dari pada disibukkan dengan wacana mengganti dasar dan bentuk negara berlandaskan syariat Islam, alangkah lebih arif jika nilai-nilai Islam sendiri digunakan untuk merawat Pancasila.

49 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (4): Era Kejayaan Kerajaan Johor-Riau dan Perang Riau

49 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (4): Era Kejayaan Kerajaan Johor-Riau dan Perang Riau

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Setelah meletakkan dasar pemerintahan politik dalam negeri, Sultan Sulaiman dan YDM I Kerjaan Johor-Riau (1722-1728) Daeng Marewa melakukan hubungan politik dan perdagangan dunia luar. Pada gilirannya secara berangsur-angsur kerajaan Melayu Riau mulai ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah dan bangsa, misalnya dari Cina, Siam India dan Arab. Keadaan ini semakin bertambah maju ketika Daeng Cellak memangku jabatan YDM II Kerajaan Johor-Riau (1728-1745). Pada masa pemerintahannya, sebagaimana disebutkan Raja Ali Haji dalam Tuḥfat al-Nafīs, Daeng Cellak membangun perkebunan gambir yang menjadi salah satu komoditi penting perdagangan bagi pendapatan ekonomi kerajaan.(Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 97).

Daeng Cellak juga mengembangan pertambangan timah di daerah Selangor, dan belakangan kebijakan ini diteruskan Daeng Kamboja YDM III (1748-1764) Melayu Riau.Perdagangan timah ini pernah menjadi penyebab peperangan pada masa pemerintahan YDM III Daeng Kamboja dengan kompeni Belanda, karena Daeng Kamboja menjual timah kepada Inggris secara bebas dan besar-besaran. Sedangkan hak monopoli perdagangan timah, menurut perjanjian Linggi, berada di tangan kompeni Belanda. Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 98; lihat juga, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji, 94.

Pada masa ini kerajaan Melayu Riau menjadi pusat perdagangan, dan pelabuhannya menjadi transito antara barat dan timur. Kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia berlabuh di pelabuhan kerajaan Melayu Riau. Dengan begitu, semakin memberikan peluang penarikan cukai yang sangat besar jumlahnya bagi keuntungan pemasukan pendapatan kerajaan. Kondisi ini tampak jelas diuraikan Raja Ali Haji dalam Tuḥfat al-Nafīs:

“Syahdan kata sahibul hikayat pada masa inilah negeri Riau itu ramai serta makmurnya dan segala dagangpun banyaklah datang dari negeri Jawa dan kapal dari Benggala membawa apium dan lain-lain dagangan, dan segala perahu dagang di Kuala Riau pun penohlah daripada kapal dan kichi… segala perahu-perahu rantau berchuchuk ikatan bersambung dan mendarat, demikianlah. Kemudian pada masa Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja rosaklah sebentar, kemudian baik pula semula hingga Yang Dipertuan Muda Raja Haji, makin ramailah. (lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs,97).

Di samping itu, kerjaaan Melayu Riau memegang hegemoni dalam bidang politik dan militer (armada tempur) yang tangguh serta disegani di daerah perairan Nusantara belahan barat. Kenyataan ini terlihat, misalnya ketika menjadi kelana –sebagai pembantu YDM III Daeng Kamboja– selama kurang lebih tiga dasawarsa, Raja Haji menyusun angkatan laut dan mengorganisir kekuatan militer serta menjalin hubungan diplomatik dalam perjalanan ekspedisinya di wilayah kawasan kerajaan-kerajaan tetangga, yaitu Selangor, Perak, Kedah Indragiri, Jambi, Bangka, Palembang, Mempawah dan Pontianak. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 97).

Dalam ekspedisi keberbagai daerah Raja Haji memainkan peran penting. Di Kedah, misalnya Raja Haji menjadi penengah ketika di sana terjadi perebutan tahta kekuasaan. Di Selangor ia terlibat perang dengan penjajah Belanda dan mengukuhkan saudaranya, Raja Lumu menjadi sultan. Di Asahan ia mengikat tali hubungan dengan memperistri putri raja. Ia berkunjung ke Jambi atas undangan raja Jambi. Dari kerajaan ini Raja Haji diberi gelar Sutawijaya setelah memperistri putri raja Jambi.

Setelah dari Jambi ia pergi ke Indragiri untuk membantu mengembalikan kekuasaan raja Indrigiri dari kekuasaan raja Bayan, dan pada akhirnya menjadi menantu raja setempat dengan memperistri putrinya, Raja Halimah. Di daerah ini atas izin raja ia membuka dua buah negeri, kuala Cinaku dan Pekan Lais. Tidak lama berselang, ia kembali berkunjung ke Mempawah dan Pontianak. Disini ia membantu Pangeran Syarif Abdurrahman dalam perang pengalahkan Penembahan Senggau, dan pada akhirnya menobatkan Pangeran Syarif Abdrurrahman menjadi raja di Pontianak. Atas jasanya itu Raja Haji mendapat kehormatan dan istana dari Pangeran Sharif Abdurrahman.(Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 133 dan 153; Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 376-384; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabililah, 30).

Pada masa pengembaraannya sebagai kelana, Raja Haji banyak sekali mendapat gelar disandangkan oleh penjajah Belanda kepadanya, misalanya ia dijuluki “pengembara yang merugikan”, “pemimpin kharismatik yang gemar berperang”, “pahlawan Skandinavia kuno yang tindakannya akan didendangkan orang dalam syair dan lagu”, ”pejuang ternama yang diingini oleh setiap raja berada dipihaknya”, dan “petualang yang kegagahannya menjadi cerita dan legenda”. (Lihat, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 30-31).

Ketika berada di Pontianak, Raja Haji mendapat kabar bahwa YDM III Daeng Kamboja telah mengkat, maka ia bergegas pulang ke Riau. Setelah sampai di Riau, Raja Haji dilantik menjadi YDM IV Riau pada 1777. Meskipun masa pemerintahan Raja Haji sebagai YDM IV Riau ini berlangsung singkat, hanya sekitar tujuh tahun, tetapi pada masanya Kerajaan Johor-Riau-Lingga mencapai kegemilangan dan kejayaan dalam bidang ekonomi-perdagangan dan politik-militer.

Keadaan kerajaan Johor-Riau pada masa Raja Haji ini dipaparkan Raja Ali Haji dalam Tuḥfat al-Nafīs bahwa Kerajaan Johor Riau-Lingga menjadi makmur. Kemakmuran ini disebabkan di antaranya banyaknya mendapatkan pemasukan kerajaan dari cukai. Dari dana itu pula Raja Haji membangun armada tempurnya yang sangat disegani di perairan barat Nusantara.Selain itu, pada masa ini kondisi politik kerjaaan demikian stabil, aman dan makmurnya, harga-harga barang dan komuditas menjadi murah, dan para pedagang mendapatkan untung karena ramainya pembeli. (Virginia Matheson (ed.), Tuḥfat al-Nafīs Sejarah Melayu Islam, 197).

Masyarakat Pulau Penyengat memandang bahwa pada abad ke-19 merupakan masa keemasan Pulau Penyegat.Pada waktu itu, masyarakat pulau ini boleh dikatakan hidup dengan sejahtera dan tidak terdapat orang miskin. Pada masa itu jumlah penduduk di Pulau Penyengat diperkirakan mencapai sekitar 9.000 jiwa, sedangkan di Tanjung Pinang dan Daik-Lingga masing-masing hanya sekitar 4.000 jiwa. Sumber pendapatan masyarakat Pulau Penyengat susah untuk diidentifikasi, tapi beberapa raja Pulau Penyengat mempunyai properti di Singapura, mempunyai pertambangan di kepulauan Riau dan menekuni bisnis yang sangat menguntungkan. Bandingkan, misalnya dengan jumlah penduduk kota Surabaya pada masa pemerintahan Sultan Agung yang berjumlah 60.000 jiwa. (Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 159; Barbara W. Andaya, “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Allies by the Rules of Riau 1899-1914, dalam Indonesia, no. 24, (1977), 217; Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (Jakarta: Gramedia, 1985), 137; Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 9).

Dari hasil ekonomi dan perdagangan tersebut Raja Haji membangun istana di Pulau Malam Dewa beserta “kota-kota yang indah-indah yang bertatah dengan pinggan dan piring dan satu pula dindingnya cermin, yang disebut memancarkan sinarnya bila diterpa sinar matahari.” Juga disebutkan bahwa perhiasan istana dibuat dari emas dan perak, sedangkan “pinggan mangkuk dan cawan kahwa dan teh diperbuat dari negeri cina…” Di samping itu, ia juga membangun istana yang indah untuk Yang Dipertuan Muda Besar, Sultan Mahmud di sungai Galang Besar. Dari penjelasan ini tergambar jelas bagaimana kedikjayaan politik dan kejayaan ekonomi kerajaan Johor Riau di era Raja Haji. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 187; Virginia Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu Islam, 196-197.)

Kerajaan Melayu Johor-Riau memegang hegemoni dalam pemerintahan politik-militer dan ekonomi-perdagangan pada paroh kedua abad ke-18 di bawah pemerintahan Yang Dipertuan Muda (YDM) IV Melayu-Riau, Raja Haji (1777-1784), kakek Raja Ali Haji, sehingga mengantarkan negeri ini kepada kejayaan dan kemakmuran. Kemakmuran itu membaut suasana kondusif untuk menyemai bibit ilmu dan pemahaman keagamaan serta pengalaman spritual. Akan tetapi, hegemoni politik-militer kerajaan Melayu-Riau berakhir –dan ekonomi-perdagangan turut (pula) surut– setelah terjadi peperangan antara Belanda dan kerajaan Johor-Riau di bawah pimpinan YDM IV Riau Raja Haji.

Dalam Tuḥfat al-Nafīs Raja Ali Haji menuturkan bahwa casus belli terjadinya perang Riau antara Raja Haji dengan kompeni Belanda, karena pihak Belanda melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama dengan pihak Raja Haji. Terdapat versi lain yang menyebutkan penyebab perang Riau, yang menurut pengakuan Raja Ali Haji, sumbernya ia peroleh dari “Sirah Lingga dan Riau” karangan Engku Busu. Sirah karangan Engku Busu menyebutkan bahwa Raja Kecil Tun Dalam Yang Dipertuan Trengganau sepakat dengan Kapten Class mengatur siasat untuk memancing kemarahan orang Riau. Mereka sepakat, Kapten Class akan membuat kerusahan di Kuala Riau agar orang-orang Riau marah kepada Belanda, dan Raja Kecil Tun Dalam akan menyerahkan, sebagai imbalan seorang wanita cantik cina yang baru masuk Islam, Jamilah namanya, sebagai imbalannya. Akhirnya, Jamilah hamil di tangan Kapten Class. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 196-197).

Dalam perjanjian antara meraka disebutkan bahwa musuh orang Belanda adalah juga musuh kerajaan Melayu Riau. Namun ketika terjadi penangkapan kapal Inggris bernama “Betsy” memuat candu di pelabuhan Bayan, dalam kawasan teluk Riau, Raja Haji menginformasikan kepada pihak Belanda di Malaka. Akan tetapi, dua belas hari kemudian, Mathurin Barbaron datang ke Riau untuk membawa kapal tersebut ke Malaka tanpa sepengetahuan Raja Haji.

Kemudian candu tersebut dijual dengan harga yang sangat mahal di Batavia. Dan Raja Haji tidak mendapatkan hasil dari penjualan itu yang, kalau menurut perjanjian, seharusnya pihaknya juga mendapat separuh dari hasil penjualan candu tersebut. Dengan begitu, Raja Haji merasa dikhianati dan dirugikan serta kehormatannya merasa sudah diinjak-injak oleh Belanda. Karenanya, ia mengembalikan surat perjanjian dan dipandangnya sudah tidak berlaku lagi. Atas sikap tegas Raja Haji ini disikapi pihak Belanda dengan mempersiapkan angkatan perang untuk menyerang kerajaan Melayu-Riau. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 196-207; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 58-59; Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 134; Lihat juga, Reinout Vos, “The Broken Balance the Origins of the War Between Riau and the VOC in 1783-1784”, dalam State and Trade in the Indonesian Archipelago, ed. G. J. Schutte (Leiden: KITLV Press, 1994), 115-139).

Belanda mengirim pernyataan perang kepada Raja Haji pada 18 Juni 1783 ketika kapal-kapal Belanda tiba di perairan Riau di bawah pimpinan Toger Abo. Tiga hari berselang, pada 23 Juni 1783, Raja Haji menjawab pernyataan perang tersebut. Dengan kekuatan perang di bawah komandonya langsung, Raja Haji memulai perang babak pertama dengan menyerang 13 kapal Belanda yang terdiri dari 1500 orang personil. Dalam pertempuran ini, pihak tentara Belanda merasa kewalahan menghadapi pasukan Raja Haji, danolehkarenanya, pihak Belanda mengirim bantuan dari Batavia untuk meneruskan peperangan. Pimpinan angkatan perang Belanda kali ini dipegang oleh Arnoldus Lemker di atas kapal komando “Malaka’s Welvaren”.

Merasa kembali terdesak pihak Belanda menawarkan perundingan, tetapi tawaran tersebut ditapik oleh Raja Haji. Dengan ditolaknya tawaran itu Belanda melancarkan serangan besar-besaran 6 Januari 1784. Namun dalam pertempuran yang berkecamuk, malang bagi pihak Belanda, Kapal komando “Malaka’s Walvaren” mampu diledakkan pasukan Raja Haji. Dan kapal-kapal angkatan perang Belanda masih tersisa lainnya mundur dan kembali berlabuh di Malaka. Sehingga peperangan babak pertama ini kemenangan ada pada pihak Raja Haji. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 196-207; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 66;Hasan Junus, Raja Ali Haji: Budayawan, 134).

Kemudian, peperangan babak kedua berlangsung pada 13 Februari 1784 ditandai dengan mendaratnya pasukan Raja Haji di Teluk Katapang, Melaka. Kemudian perang dilanjutkan dengan mengikutsertakan orang dari Selangor dan Rembau. Dengan kekuatan penuh yang dimiliki itu, Raja Haji mempu merebut kembali kubu-kubu yang selama ini dikuasai oleh Belanda, misalnya di Semabuk, Bunga Raya, Bandar Hilir dan Bukit Cina.

Menyadari kondisinya yang semakin terpojok, pihak Belanda di Malaka kembali menghubungi Gubernur Jederal Belanda di Batavia agar mengirimkan bantuan pasukan dan peralatan perang. Maka dikerahkan pasukan secara besar-besaran yang baru datang dari negeri Belanda dibawah panglima yang tidak asing lagi, Laksamana Jacob Pieter van Braam. Penambahan kekuatan dari Batavia ini tidak tanggung-tanggung terdiri dari: 6 buah kapal perang dengan 2130 personil pasukan, dan 326 buah meriam. Armada perang ini pada mulanya akandipersiapkan untuk dikirim ke Maluku karena di Ternate juga terjadi pemberontakan terhadap Peta Alam yang menjadi vasal VOC. (Lihat, Rustam S. Abrur, et.al., Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 71).

Pada awal 1784 Sultan Mahmud datang ke Teluk Ketapang menemui YDM Raja Haji. Pada kesempatan inilah, di hadapan Sultan Mahmud, Raja Haji sudah siap untuk mendapatkan “faḍīlah shahīd”. Pada 20 Mei 1784 kapal-kapal perang di bawah komando J. P. van Braam tiba di Melaka dan berlabuh di Teluk Katapang. Sekitar setengah bulan kemudian, persisnya, 18 Juni 1784 pasukan Belanda mendarat.

Kemudian terjadilah pertempuran habis-habisan di antara kedua belah pihak. Pada peperangan babak pertama pimpinan perang Belanda yang tewas, maka pada peperangan babak kedua ini pimpinan perang Riau, Raja Haji sendiri menemui ajalnya di jalan Allah di teluk Ketapang pada tanggal 18 Juni 1784. Raja Haji wafat dijalan Allah (fī sabīl Allāh) demi memperjuangkan kedaulatan kerajaan dan membela marwah negerinya, serta mempertahankan kebenaran agama diyakininya, maka sepeninggalannya ia dikenal dengan nama Raja Haji Fisabilillah. (Mengenai perang Riau, lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 196-207; bandingan dengan Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 55-76 dan 87-124 ; lihat pula, Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 134. Barbara W. Andaya dan Leonard Y. Andaya, History of Malaysia, 79; E. Netscher, Belanda Di Johor dan Siak 1602-1865, terj. Wan Ghalib, dkk. dariDe Nederlandeers in Djohor en Siak 1602 tot 1865 (Yayasan Arkeologi dan Sejarah ”Bina Pustaka”, 2002), 295; W.E. Maxwell, “Raja Haji”, dalam Journal of Straits Branch of the Royal Asiatic Society), No. 81 (1890), 188-224).

Gambaran tentang kepahlawanan dan keberanian Raja Haji terlihat, misalnya menjelang ajalnya sebelum beberapa peluru bersarang di dadanya, ia berdiri di samping mariam memimpin dan memberi semangat pasukan dengan sebilah badik di tangan kanannya, dan sebuah kitab Dalāyl al-Khayrāt di tangan kirinya. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 207; E. Netscher, Belanda Di Johor dan Siak, 329). Sedangkan mengenai kemenangan perang pertama Raja Haji melawan Belanda, Tengku Lucman Sinar menyimpulkan:

“Sebenarnya patut dicatat bahwa inilah suatu peristiwa perang pertama di Asia Timur, di mana armada salah satu adi kuasa maritim terkuat di Eropa dikalahkan oleh armada perahu imperium kerajaan Johor-Riau di perairan Asia.” (Lihat, Rustam S. Abrur, et.al., Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, xxii).Akan tetapi, kedahsyatan perang di bawah pimpinan Raja Haji ini belum tercatat dalam penulisan sejarah nasional Indonesia. Begitu pula, usulan pengangkatan Raja Haji sebagai pahlawan nasional harus menunggu waktu yang cukup lama untuk kemudian dikukuhkan oleh pemerintahan pusat. Padahal, perlawanan perang Riau di bawah pimpin Raja Haji itu sangat merepotkan pihak Belanda, dan kepahlawanan Raja Haji sendiri tidak kalah heroiknya, misalnya dengan kepahlawanan Imam Banjol, Pangeran Dipanegoro dan Sultan Hasanuddin yang masyhur itu.

Dan mengenai tokoh kepahlawanan Raja Haji dengan baik dapat dilihat lebih lanjut dari hasil seminar, “Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah”, yang kemudian diterbitkan oleh Pemda Tingkat I Riau; sebagaimana dikutip sebelumnya.Ketokohan dan kepahlawanan Raja Haji sendiri dalam menentang kolonialisme Belanda baru belakangan diakui oleh pemerintah Indonesia dengan diangkatnya sebagai pahlawan nasional. Akan tetapi, pemberian gelar oleh pemerintah pusat baru diberikan kepadanya setelah menunggu waktu yang cukup lama sejak diusulkannya oleh pemerintah daerah Provinsi Riau tahun 1988.

Kesimpulan utama dari Seminar “Sejarah Pejuangan Kepahlawanan Raja Haji Fisabilillah” diselenggarakan pada 26-28 Mei 1988di Tanjung Pinang, adalah merekomendasikan pengangkatan Raja Haji sebagai Pahlawan Nasional. Kesimpulan ini diambil berdasarkanfakta-fakta sejarah di sempaikan pakar yang otoritatif. Tim Pengkaji dan Penulisan Seminar, terdiri dari: Suwardi MS, Drs. M. Daud Kadir, Hasan Junus, Ismail Kadir, R. Hamzah Yunus, Eddy Mawuntu, Abubakar Matrang, Drs. Auni M. Nur, Drs. S. Fauzul, Drs. Nyat Kadir, dan H. Mukhsin Khalaidi. Narasumber pada seminar itu dan masing-masing judul makalahnya adalah (diurut sesuai dengan ‘Daftar Isi” buku Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah): 1)Tengku Lucman Sinar, SH., “Kepahlawan Yamtuan Muda Raja Haji Fisabilillah Marhom Teluk Katapang”; 2) Prof. Dr. S. Budhisantoso, “Peranan dan Tradisi Sejarah Kepahlawanan Raja Haji Fisabilillah”; 3)Abdurrachman Surjomiharjo, “Kesadaran Sejarah, Pahlawan dan Integrasi Nasional”; 4) Taufik Abdullah – Makalah: Abad 18 Di Selat Malaka dan Raja haji yang Terlupakan”; 5) Tanu Suherly, “Konsep politik dan Strategi Raja haji Yang Dipertuan Mudaa IV Kerajaan Melayu Riau (Sebuah Tnjauan)”; 6) A.B. Lapian, “Riau dan Pelayaran di Perairan Selat Malaka Pada Abad XVIII”; 7) Dra. Ar. D. Kemalawati, “Peranan Raja Haji dalam Perjuangan Melawan Penjajah Belanda di Riau”; 8) Prof. Dr. Ibrahim Alfian, “Gema Perang Fisabilillah Raja Haji”; 9) Hamid Abdullah, “Melacak Perjuangan Raja Haji”; dan 10) Rustam S. Abrus, “Raja Haji Fisabilillah Memimpin Rakyat Riau Dalam Perang Melawan Kolonialisme Belanda (1782-1782)”. Lihat, Rustam S. Abrur, et.al., Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, (Pekanbaru: Pemda Raiu, 1988).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.