ISAIS sebagai Wadah Mengasah dan Melampiaskan Hasrat Intelektual; Sebuah Refleksi

ISAIS sebagai Wadah Mengasah dan Melampiaskan Hasrat Intelektual; Sebuah Refleksi

Oleh: Ahmad Mas’ari (Dosen Agama di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau)

Dulu, semasa menimba ilmu di Jakarta, siangnya saya kuliah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tepatnya konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih, Fakultas Syariah dan Hukum. Malamnya saya tinggal sekaligus belajar hadis dan Ilmu Hadis di Pesantren Luhur Ilmu Hadis (Hight Institute for Hadith Sience) di bawah asuhan langsung al-marhum Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA (Guru Besar Hadis IIQ Jakarta dan mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta), yang berlokasi sekitar 1 Km dari Kampus 1 kuliah UIN Syarif Hidayatullah. Saya merasa, Kampus UIN Jakarta memberikan kebebasan mimbar akademis yang pada akhirnya menjadikan mahasiswanya deomokratis dan tercerahkan. Berbagai kajian dan diskusi juga banyak opsinya untuk bisa kita pilih dan ikuti, baik aliran ‘kanan’, maupun ‘kiri’. Saya yang waktu itu murni sebagai ‘thalib al-‘ilmi’ (pencari ilmu) yang juga masih mencari jati diri selalu mengikuti kedua ‘aliran’ itu.

Selain itu, berbagai program gratis banyak ditawarkan ke mahasiswa, seperti kursus kebahasaan. Saya pernah mengikuti kursus Bahasa Turki yang ditaja oleh Turkish Corner yang berada di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Jakarta. Begitu juga saya pernah mengikuti kursus Bahasa Persia yang ditaja oleh Iranian Corner yang juga di bawah naungan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Jakarta. Di sini saya juga belajar tentang syiah kepada penganut syiah langsung, bukan mendengar dari penganut sunni, sehingga lebih obyektif. Saya juga sering membawa teman-teman mahasiswa sebagai audien di beberapa acara di Tv Swasta Nasional, seperti di Metro Tv dan Tv One dalam acara-acara Talk Show.

Di luar kampus, saya juga sering mengikuti kajian dan diskusi, baik aliran ‘kanan’ maupun ‘kiri’. Waktu itu sangat kentara sekali ‘perang pemikiran’ antara kelompok ‘kanan’ dan ‘kiri’ ini. Paling kentara waktu itu adalah ‘perang’ antara kelompok Utan Kayu yang diwakili oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang waktu itu dinakhodai oleh Ulil Abshar Abdallah, dan kelompok Kalibata yang diwakili oleh INSIST (Lembaga kajian alumni ISTAC Malaysia) yang dipimpin oleh Adian Husaini, di mana mereka waktu itu fokus meng-counter ide-ide yang mereka anggap ‘nyeleneh’.

Selain itu, saya juga mengikuti kajian-kajian yang dilaksanakan di Paramadina, ICAS-Paramadina, Komunitas Salihara, Mizan, Moslem Moderat Society, dan lain-lain. Waktu libur kuliah, saya kadang ‘mondok’ di Pondok Tahfizh al-Qur’an Manba’ul Furqon, Bogor untuk menghafal al-Qur’an. Saya kadang juga ‘mondok’ di Pesantren Ciganjur, milik Gusdur. Waktu itu, kami belajar tafsir langsung diasuh oleh Gusdur. Selain itu, saya juga aktif sebagai surveyor

lapangan dari Lembaga Survey Indonesia (LSI) dan SMRC, keduanya lembaga survey pimpinan Saiful Mujani, di mana pengamat politik, Burhanuddin Muhtadi menjadi koordinator survey waktu itu. Saya juga merupakan alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) yang diselenggarakan oleh MUI DKI Jakarta selama dua tahun dan diwisuda oleh Gubernur DKI waktu itu, Fauzi Bowo. Pendidikan ini saya ikuti disela-sela kesibukan saya kuliah S2 di Kampus UIN Jakarta. Semua pengalaman saya belajar di Jakarta dan mengikuti kajian-kajian yang ada, saya belajar bagaimana melihat orang lain yang berbeda dengan saya.

Itu dulu ketika masih belum masuk ke ‘dunia nyata.’ Sekarang setelah memasuki ‘dunia’ nyata, setelah mengabdi sebagai dosen tetap di UIN Suska Riau, saya kaget. Atmosfirnya sangat jauh berbeda dengan kampus di mana saya belajar dulu. Mimbar akademis kurang dihormati. Segala pemikiran yang dianggap baru, dimusuhi. Tokoh-tokoh yang terpersepsi nyeleneh ditolak sebagai pembicara seminar di kampus ini. Saya bingung, ke mana mencari tempat untuk belajar dan menambah wawasan. Saya tidak tahu ke mana saya bisa mengasah dan melampiaskan hasrat intelektual saya yang sudah saya bangun selama ini.

Akhirnya, di tahun 2015, saya melihat sebuah baliho diskusi dalam rangka memperingati haul Cak Nur, yang mendatangkan anak-anak ideologis Cak Nur sebagai pembicara seperti Budhi Munawar Rahman, Ahmad Gaus. AF, dan lain- lain. Saya kaget lagi. Kok bisa Cak Nur masuk kampus UIN ini? Siapa/ apa yang membawanya ke kampus ini? Setelah saya selidik, ternyata ISAIS yang dimotori oleh pak Ali Hasan. Mulai sejak itu, saya intens mengikuti kajian-kajian yang ditaja oleh ISAIS ini. Sudah banyak saya mengikuti kegiatan-kegiatan ISAIS, seperti bedah buku, Academic Writing, Kursus Bahasa Inggris, dan lain-lain. Terbaru saya mengikuti acara Short Course Managing Diversity yang ditaja oleh ISAIS bekerjasama dengan Asia Foundation, 20-23 Februari 2020 di Pesonna Hotel, Pekanbaru. Selain bisa menggali ilmu dan pengalaman dari para pembicara, yang terpenting dari acara ini adalah kami dipertemukan dengan mereka yang beda agama dan sekte di inetrnal agama, sehingga mainset kita berubah ketika kita melihat orang lain yang berbeda dengan diri kita.

Kegiatan ISAIS yang sedang berjalan dan intens saya ikuti adalah “Satu Semester Kuliah Bersama Prof. Munzir Hitami, MA; Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik.” Saya sebenarnya dari dulu tidak terlalu suka belajar sejarah. Alasannya, sebagaimana alasan orang yang tidak suka belajar sejarah lainnya, yaitu malas menghafal tanggal, tahun, nama orang, dan menghafal lainnya. Tapi beberapa pertemuan saya intens mengikuti kegiatan ini, mainset saya tentang belajar sejarah menjadi berubah. Saya merasa menjadi tertarik untuk mempelajari sejarah Islam klasik ini. Ternayata, banyak sisi-sisi sejarah selama ini tidak pernah terbaca. Selama ini saya beranggapan, sejarah awal Islam itu berjalan seperti air mengalir saja, tanpa ada gesekan, permusuhan, rivalitas, intrik licik, apalagi sampai terjadi pembunuhan. Hal ini karena selama ini saya hanya memperoleh informasi sejarah awal-awal Islam ini sisi baiknya saja. Persepsi saya selama ini salah. Ternyata banyak sisi lain dan untold story yang selama ini tak saya ketahui. Dalam “Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik” ini, Prof. Munzir dengan apik bisa mengkombinasikan referensi sejarah Islam klasik dengan literatur kontemporer karya para sejarawan kontemporer dan orientalis. Jadi, perspektifnya menjadi lebih kaya.

Saya juga baru menyadari, ternyata belajar sejarah itu penting. Salah satu tujuan mempelajari sejarah adalah mempelajari tentang peristiwa yang terjadi di masa lampau. Berkat sejarah kita dapat mengetahui apa yang terjadi di masa lalu, siapa yang terlibat, di mana peristiwa terjadi dan apa dampak dari peristiwa tersebut. Sejarah juga mengajarkan kita tentang keberhasilan dan kegagalan manusia dari para pendahulu kita. Dari sejarah, kita dapat mempelajari faktor apa saja yang mempengaruhi kemajuan dan kemunduran sebuah peradaban.

Selain itu, dalam hal ini sejarah sangat erat hubungannya dengan kemampuan analisa. Apalagi sebagai akademisi yang berlatar belakang keilmuan syariah/ hukum Islam akan sangat membantu memahami konteks penerapan sebuah hukum. Konteks itu sangat erat dengan sejarah. Ternyata banyak juga produk fiqih itu bertendensi politis. Hal ini akan meningkatkan kemampuan analisa semua informasi sejarah yang ada dan akhirnya membantu dalam membuat kesimpulan sendiri meskipun sebenarnya kesimpulannya sudah ada dan sudah dianalisis sebelumnya oleh sejarahwan. Termasuk juga misalnya, apakah Khilafah Islamiyyah seperti yang digaungkan oleh kelompok Hizbuttahrir merupakan sistem ideal dan mampu menjawab semua persoalan yang ada sehingga harus diterapakan di zaman modern ini. Semua itu bisa kita ketahui lewat sejarah.

Kadang, karena informasi sejarah yang diperoleh terbatas, apalagi ada distorsi sejarah oleh penguasa, kita akan menemukan fakta baru bahwa banyak peristiwa di masa lalu yang berbalut masalah tidak memiliki jawaban yang jelas. Kita harus melihat sejarah itu secara murni yang bertumpu pada rasio. Ketika mengkaji sejarah, kita harus benar-benar objektif dan terhindar dari interest apapun yang dapat menghalangi obyektifitas tersebut, seperti keyakinan bahkan agama yang dianut sekalipun. Dalam kasus fitnah al-kubra misalnya, Thaha Husein mengkritik sejarahwan muslim yang masih menganggap sejarah Islam sebagai ajaran agama. Implikasinya, mereka tidak menundukkan Khlaifah Usman bin Affan sebagai manusia biasa yang mungkin dapat berbuat salah. Akibatnya, banyak sejarahwan muslim membela mati-matian Khalifah Usman bin Affan, pada hal menurutnya peristiwa sejarah tidak ada hubungannya dengan keyakinan dan keimanan seseorang.

Sebagai ‘simpatisan’ ISAIS berharap agar kegiatan-kegiatan seperti ini terus berlanjut, dan tidak berhenti di tengah jalan. Kalau boleh usul, setelah “Satu Semester Kuliah Bersama Prof. Munzir Hitami, MA, dilanjutkan dengan program berkelanjutan yang sama, yaitu Short Course metodologi penelitian kuantitatif atau kualitatif yang diampu oleh satu orang pemateri saja selama satu semester.