Term khalīfah jamaknya adalah khulafā’, khalāif. Term ini secara leksikon dapat berarti “datang setelah” atau “menggantikan”. (Lihat, Luis Ma’luf Yusai, Al-Munjīd fī al-Lugha wa al-‘Alam, 1975: 192). Istilah khalīfah pertama kali muncul di Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti Arab pada abad ke-6 M. Pada prasasti itu tampak menunjuk kepada semacam raja muda atau letnan bertindak sebagai pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain.
Kata khalīfah muncul dua kali dalam al-Qur’andalam dua konteks, yaitu pertama, mengacu kepada Nabi Adam (baca: surat al-Baqarah: 28); kedua, mengacu kepada Nabi Daud (baca: Q.s. [37]: 257). Adapun surat yang disebut belakangan, muncul dalam konteks dengan membawa kesan kuat mengenai kedaulatan, “Kami telah menciptakan khalīfah di atas muka bumi ini,” kata Allah kepada Nabi Daud, “hakimilah manusia secara adil.” Jika ditelusuri, bagi kaum Muslim, Daud adalah nabi sekaligus raja yang mengkombinasikan baik otoritas religius maupun otoritas politik.
Kata khalīfah juga muncul beberapa kali dalam al-Qur’an dalam dua bentuk pluralnya, yaitu khulafā’ dan khalā’if. Kedua bentuk plural tersebut muncul dalam konteks dimana keduanya dapat diterjemahkan menjadi “para pengganti”, kadang-kadang berarti “para ahli waris” dan “para pemilik” atau bisa juga menjadi “raja-raja muda”. Kekhalifahan historis Islam, muncul pertama kali dan sejauh ini yang paling besar dan penting dalam institusi kedaulatan, bermula setelah wafatnya Rasulullah, dan pengangkatan Abu Bakar sebagai penggantinya dalam komunitas Muslim di Madinah. Abu Bakar adalah merupakan khalifah pertama dari rangkaian panjang khalifah. (Bernard Lewis, The Political Language of Islam, (Chicaco: University Chicaco Press, 1989; 44).
Setelah ‘Umar ibn Khattab menggantikan Abu Bakar Shiddiq, ia tidak berkenan dipanggil khalifah Rasul Allah, apalagi khalifah Allah dalam pengertian menerima kekuasaan dari Allah. Namun, belakangan ia setuju dan senang dipanggil dengan sebutan ‘Amir al-Mu’minin”. Untuk itu, ada sebuah pembicaraan menarik yang direkam dalam sejumlah versi oleh penulis Arab belakangan, kurang lebih isinya seperti ini: “Sewaktu Abu Bakar menggantikan Nabi, ia dipanggil sebagai khalīfah Rasūl Allāh, wakil Rasul Allah. Kemudian ‘Umar ibn Khattab meneruskan [atau juga menggantikannya, dalam bahasa arabnya istakhlafāhu]. Seseorang datang menghampiri ‘Umar dan menyebutnya sebagai khalīfah Allāh, wakil Allah. Akan tetapi ‘Umar membentaknya, dan lantas berkata: “Itu Daud.” Orang itu kemudian menyebut ‘Umar khalīfah Rasūl Allāh, wakil Rasul Allah, dan ‘Umar berkata: “Tapi itu Abu Bakar, yang sekarang telah wafat.”
Kemudian, orang tersebut menyebutnya sebagai khalīfah khalīfah Rasūl Allāh, (wakil-wakil Rasul Allah). Lalu ‘Umar berkata, “Nah, itu baru tepat, tetapi itu akan berkembang lebih panjang lagi nantinya.” Orang itu berikutnya bertanya, “ Lalu kami harus menyebut anda apa?” ‘Umar menjawab, “Kau adalah orang yang beriman, dan aku adalah komandanmu, maka panggillah aku ‘komandan’ kaum beriman.” (Bernard Lewis, The Political Language of Islam, (Chicaco: University Chicaco Press, 1989; 44; Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: The Macmillan Press LTD, 1970: 179).
Dalam riwayat lain, menurut Imam al-Nawāwi, bahwa gelar Amīr al-Mu’minīn pertama kali diucapkan oleh Adi bin Hatim dan Labid bin Rabi’ah ketika mereka berdua datang menemui ‘Umar sebagai utusan dari Irak. Adi bin Hatim dan Labid bin Rabi’ah menuju Madinah dan sesaat setelah sampai di Masjid Nabawi, mereka bertemu dengan Amr bin ‘Ash. Salah seorang di antara mereka berkata, “Mintakan kami izin untuk menemuni Amirul Mukminin.” Amr bin ‘Ash berkata, “Demi Allah, nama yang kalian sebutkan sangat cocok untuk Umar.”
Kemudian, Amr bin ‘Ash masuk menemui Umar, dia berkata, “Assalamu ‘Alaikum, ya Amirul Mukminin.” Umar menjawab, “Apa yang terbetik di benakmu hingga kamu menyebutkan nama itu?” Beri tahukanlah kepadaku apa yang membuatmu memanggilku dengan nama seperti itu.” Amr bin ‘Ash memberi tahu prihal yang terjadi, lalu ia berkata, “Engkau adalah amir (pemimpin), adapun kami adalah kaum mukminin. Maka jadilah sebutan Amirul Mukminin bagi Umar. Sejak saat itulah, surat-surat yang dikirim Umar Ibn Khattab menggunakan gelar itu. (Lihat, Imam al-Sayuti, Tarikh al-Kulafā’, (Jakarta: Hikmah, 2010: 139-140).
Dalam tradisi politik Islam klasik terdapat gelar-gelar sanjungan berlebih yang disematkan kepada penguasa, yaitu: “khalīfah Allāh fī al–arḍ” (wakil Allah di bumi) dan “zil Allāh ‘alā al-arḍ” (bayang-bayang Allah di bumi) atau “zil Allāh ‘alā al-‘ālam”(bayang-bayang Allah di alam). Gelar-gelar yang berlebihan ini tidak pernah dipergunakan pada masa kekhalifahan Khulāfa al-Rashidūn. Bahkan ‘Umar Ibn Khattab, seperti disebut sebelumnya, menolak dengan membentak seseorang karena menyebutnya dengan gelar “khalīfah Allāh” (wakil Allah). Gelar khalīfah Allāh ini, seperti dikutip Philip K. Hitti dari al-Mas‘udi, disematkan untuk kali pertama pada khalifah al-Mutawakkil (847-861) dari Dawlah Abashiyah (lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs: 317). Akan tetapi, Lewis menyodorkan data berbeda lebih dini yang menyebutkan bahwa gelar khalīfah Allāh pertama kali digunakan oleh ‘Abd al-Malik bin Marwan (687-705), khalifah kelima Dinasti ‘Umayyah (Lihat, Bernard Lewis, The Political Language of Islam,45-46; Ovamir Anjum, Political, Law and Community in Islam Thought, 2012: 47).
Pada era sebelumnya, klaim khalifah sebagai amanah Allah disimbolkan dengan “khalifah Rasul” pada masa khulafa’ al-rasyidun, khususnya khalifah Abu Bakar Siddiq. Kemudian berubah/diganti menjadi “khalifah Allah” pada era Abashiyah atau pada era sebelumnya yang dapat disebut sebagai sebuah anomali dalam sejarah politik Islam dengan pengaruh yang sangat kental dari Persia (John L. Esposito, Islam the Straight Path, Oxford: 53). Sekiranya penguasa berdaulat tertinggi dalam politik kamunitas Muslim adalah khalifah, tetapi masalahnya adalah ia khalifah siapa: apakah khalifah Rasul atau Allah? Dalam literatur bidang hukum dan politik Sunni, menurut Lewis, tidak ada pernyataan resmi menyebutkan penguasa itu sebagai khalifah Allah. Dengan kata lain, pandangan ahli hukum dan pemikir politik Islam dengan tegas menyatakan bahwa penguasa yang berdaulat itu adalah khalifah Rasul, dan sama sekali bukan khalifah Allah (Lihat, Bernard Lewis, The Political Language of Islam,44-45).
Gelar khalīfah Allāh (wakil Allah) itu, misalnya muncul dalam syair-syair puji-pujian yang ditujukan kepada khalifah-khalifah Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasyiah. Begitu pula, Gelar khalīfah Allāh (wakil Allah) yang terdapat pada prasasti dan mata uang negara, misalnya di gunakan oleh khalifah Bani Umayyah, ‘Abdul Malik (687-705, dan khalifah Abbashiyah, al-Ma’mun (813-833) digunakan secara tentatif dan tidak resmi. Dengan bahasa lain, prasasti dan mata uang dengan gelar kata khalīfah Allāh itu digunakan secara umum hanya untuk menggambarkan bahwa penguasa sebagai khalifah, tanpa menyatakan dari apa dan siapa ia bertindak sebagai khalifah, dan untuk siapa ia menjalankan kekhalifahan tersebut (Lihat, Bernard Lewis, The Political Language of Islam, 45).
Gelar untuk menopang “aurah ilahiah” seorang penguasa diberi pulah tambahan menjadi khalīfah Allah fī al-arḍ, dan atau penambahan gelar yang terinspirasi dari Persia, yaitu “zil Allāh ‘alā al-‘ālam” (bayang-bayang Allah”. Selain itu, menurut Abdullah Ahmad Al-Na‘im, Dinasti Umayyah juga menggunakan gelar “Amin Allāh” dan gelar “Nā’ib Allah”. Gelar-gelas itu semakin menunjukkan besar dan agungnya otoritas keagamaan yang dimiliki seorang khalifah. Untuk terus mengukuhkan tanda otoritas khalifah, gelar-gelar itu selalu diumumkan menjelang pelaksanaan khutbah Jum‘at di semua wilayah yang mereka kuasai (Abdullah Ahmad al-Na‘im, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan Syariah: 100).
Gelar khalīfah Allāh al-arḍ dan zil Allāh ‘alā al-‘ālam dengan jelas menandai suatu klaim terhadap semacam hak ilahiah dari kerajaan, yaitu sebuah otoritas yang diperoleh langsung dari Allah (Bernard Lewis, The Political Language of Islam: 46). Dengan kata lain, penggunaan bahasa agama yang tercermin dari gelar-gelar khalifah tersebut menjadi bahasa politik, menurut Azra, tidak jarang oleh penguasa Muslim dimanipulasi dengan memberikannya muatan atau menyelubunginya dengan aura keagamaan. Dengan begitu, penguasa dapat memperoleh tambahan legitimasi dan otoritas keagamaan yang sering dipandang sakral oleh masyarakat pada umumnya (Azyumardi Azra, “Pengantar: Bahasa Politik, Politik Bahasa dan Agama dan Kritik Terhadap Lewis” dalam Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam: xix-xx).
Dalam konteks apa yang disebutkan Azra di atas, penguasa dalam sejarah kekhalifahan Islam, selain ada yang bersifat despotik dan lalim –ada di antara yang menyebut dirinya khalifah lslam itu– tidak jarang dengan pongahnya melabrak doktrin-doktrin agama. Pada Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasyiah, misalnya, sekedar menyebut beberapa prilaku bejat dan tidak senonoh, ada khalifah yang penggemar/kecanduan minuman arak; ada khalifah yang menjadi al-Qur’an sebagai sesaran tembakan anak panah; ada pula khalifah yang memiliki gundik sampai angka 4.000; dan ada khalifah yang memiliki prilaku homoseksual (Faraq Fauda, Kebenaran yang Hilang Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim: 2003; Phillip K. Hitti, History of the Arab: 1970).
Gelar penguasa yang agung, seperti khalīfah Allāh al-arḍ dan zil Allāh ‘alā al-‘ālam, misalnya dengan protokol istana yang ketat, dan etika ketika akan menghadap penguasa, rakyat diharuskan menundukkan kepala, dan bahkan diharuskan mencium lantai sebagai simbol kekuasaan khalifah yang absolut (John L. Esposito, Islam the Straight Path, Oxford: Oxford University Press, 1991: 53). Begitu pula, persepsi anugerah “keilahian” penguasa sebagai khalīfah Allāh al-arḍ dan zil Allāh ‘alā al-‘ālam berlaku pada tradisi politik Melayu Nusantara, misalnya bahwa rakyat diharuskan mencurahkan seluruh “bakti” dan ketaatannya raja. Daulat raja harus dijunjung tinggi sebagai wujud ketaatan dan pengabdian rakyat kepada raja semata-mata.
Sebaliknya, rakyat jangan sekali-kali mendurhaka kepada rajanya kalau mereka tidak mau ditimpa tulah (kemalangan dan kebinasaan yang tragis) dalam hidup. (Lihat, Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara,90; lihat juga, T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu:, 26). Berawal dari konsep “keilahian” penguasa sebagai khalīfah Allāh al-arḍ dan zil Allāh ‘alā al-‘ālam, sehingga dalam teks-teks Melayu Nusantara ada ungkapan-ungkapan bahwa dengan melihat wajah raja sama artinya dengan melihat “wajah” Tuhan; melayani raja sama artinya dengan melayani Tuhan; dan melawan raja sama artinya dengan mendurhakai Tuhan (Sharifah Maznah Syed Omar, Mitos dan Kelas Penguasa Melayu: 62).
Gelar “khalīfah Allāh al-arḍ” (wakil Allah di bumi) dan/atau “zil Allāh ‘alā al-ālam” (bayang-bayang Allah di alam) dalam kekhalifahan Islam berpengaruh luas pada masa-masa awal pemerintahan kesultanan Islam Melayu-Nusantara. Gelar “zil Allāh fī al-arḍ” atau “zil Allāh fī al-ālam” ini, menurut Azra, sedari awal telah dinisbatkan kepada penguasa kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara. Gelar-gelar tersebut, misalnya disandang oleh Merah Sulu, raja Pasai (dalam Hikayat Raja-raja Pasai); Muzaffar Syah, sultan Malaka (dalam Undang-undang Malaka dan Sulālat al-Salāṭīn); begitupun sultan-sultan Aceh menggunakan gelar itu (dalam Bustān al-Salāṭīn) (Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, 91-97; Lian Yock Fang (ed.), Undang-Undang Malaka, 1976: 64).
Gelar dan entitas politik Melayu Nusantara seperti disebutkan di atas, menurut Azra, jelas dipengaruhi penguasa-penguasa dari Timur-Tengah. Kenapa sejumlah raja-raja di Melayu Nusantara mendambakan kuat untuk mendapatkan gelar “sultan” dari otoritas politik-keagamaan tertentu di Timur-Tengah? Azra menyebutkan bahwa para raja itu selain ingin mendapatkan legitimasi tambahan bagi kekuasaannya, mereka juga berhasrat untuk mensosialisasikan diri dengan pusat-pusat otoritas politik dan keagamaan lslam dari Timur-Tengah (Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: 92).
Konsepsi tradisi pemikiran politik di alam Melayu tentang sebutan raja/ sultan sebagai “zil Allāh ‘alā al-arḍ” atau “zil Allāh fī al-ālam” tidak saja berlaku pada masa awal kerajaan Islam (abad ke-15). Akan tetapi, belakangan (awal abad ke-20) gelar itu masih dianut, misalnya Jurnal Al-Imām, jurnal menyuarakan pembaharuan di alam Melayu, tetap mengakui penguasa sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi (zil Allāh ‘alā al-arḍ). Jurnal ini mempublikasikan, umpamanya, sebuah artikel membincangkan teori “Raja sebagai Bayang-bayang Tuhan di Bumi”, meskipun dengan menambahkan beberapa kualitas kepemimpinan sangat ideal.
Jurnal Al-Imām yang terbit di Singapura selama rentang waktu 1906-1908 ini menyebutkan: “Sesungguhnya, memang benar, raja-raja adalah bayang-bayang Tuhan di bumi. Akan tetapi, doktrin ini ditujukan kepada sifat dan kualitas tertentu, yaitu ilmu pengetahuan, kecerdasan, keberanian, keadilan, kesabaran, tingkah laku baik, simpati pada yang lemah, cinta pada rakyat, tangkas dalam administrasi dan politik, memahami sejarah raja-raja masa lalu. Secara lahiriah, karena dunia ini adalah warisan dari kerajaan-kerajaan mereka, kemudian pergantian mereka tetap diingat oleh kerajaan berikutnya.”
Pandangan jurnal “pembaharuan” yang rada-rada “konservatif” ini, menurut Abu Bakar Hamzah, harus mempertimbangkan waktu, situasi dan lingkungan mengitari terbitnya jurnal ini. Misalnya, Al-Imām terlalu memuji raja-raja dan sistem pemerintahan monarkhi. Dalam prakteknya, jurnal ini mengulas secara khusus Sultan Abu Bakar, Sultan dan Raja dari Negeri Johor sebagai kerajaan ideal di antara pemerintah dan Raja-raja Melayu di kawasan ini (Abu Bakar Hamzah, Al-Imam: Its Role in Malayu Society 1906-1908: 86-87).
Penggunaan gelar-gelar yang agung dan unsur-unsur tradisi agama dalam menyusun teori tentang “keilahian raja”, sejatinya tidaklah mencerminkan ajaran-ajaran agama. Akan tetapi, lebih tepat dikatakan sebagai penyalagunaan gagasan-gagasan agama itu sendiri demi kepentingan penguasa dan kekuasaan (Sharifah Maznah Syed Omar, Mitos dan Kelas Penguasa Melayu: 60-61). Dengan bahasa yang lebih tegas, Azra mengungkapkan bahwa “…. Meskipun sistem dan perilaku politik yang mereka jalankan tidak selalu selaras dengan prinsip dasar al-Qur’an tentang politik.” (Azyumardi Azra, “Pengantar: Bahasa Politik, Politik Bahasa dan Agama dan Kritik Terhadap Lewis” dalam Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam: xix-xx).
Sikap dan pandangan mempergunakan gelar sanjungan yang berlebihan kepada penguasa (khalifah, sulthan dan raja), sebagaimana disebutkan di atas, adalah tidak berdasarkan dari doktrin agama pada umumnya, dan teladan dari Rasūl Allāh pada khususnya. Pemikiran semacam ini dianut oleh al-Ghazāli yang beralas dari hadith Nabi Muhammad saw. Dalam suratnya kepada Nizam al-Dīn Fakhr al-Mulk, al-Ghazāli menulis: “Ketahuilah bahwa gelar-gelar yang memuji yang dikenakan atas manusia adalah ciptaan setan, dan karenanya tidak seorang muslim pun yang saleh boleh menerimanya. Rasul Allah saw. bersabda: “Saya, sebagaimana juga orang-orang yang rendah hati dan takwa di antara ummatku, membenci gelar-gelar dan julukan-julukan yang muluk-muluk.” (Abdul Qayyum (ed.), Surat-Surat Al-Ghazali kepada Para Penguasa, Pejabat Negara dan Ulama Sezamannya: 1988: 37 dan 53).
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mātawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.
By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).