Oleh Alimuddin Hassan Palawa*)
Mari kembalikan ingatan kita pada lebih dua dasawarsa silam, tepat 23 tahun silam, sewaktu akan dibukannya Program Pascasarjana IAIN Susqa Pekanbaru [kini UIN Suska Riau], persisinya pada 1997. Konon, untuk pembukaan program pascasarjana itu, Pak Harun (demikian murid-muridnya menyapa-akrab Prof. Dr. Harun Nasution) mensyaratkan dua hal. Pertama, harus mendapat legitimasi legalitas dan sokongan dana dari Pemerintah Provinsi Riau. Al-Hamd Allah, Bapak Saleh Djasit, Gubernur Riau pada saat itu menyetujui dan mendukung secara moral dan financial pembukaan program pascasarjana tersebut. Sayang, kita seperti mau melupakan (menghapus) jasa dan kebaikan sesorang (baca: Bapak Saleh Djasit) dari benak-memori.
Kedua, harusmembukajurusan yang berbedadenganpascasarjana di lingkungan Kemenag RI yang telah ada sebelumnya, dan sekaligus menjadi “ciri kekuatan” Program Pascasarjana UIN Riau. Maka waktu itu pengelola pendirian menetapkan dengan membuka dua jurusan: (1) Jurusan Perkembangan Islam Regional Asia Tenggara (PIRAT) [dalam keterbatan ingatan saya, kalau tidak salah, nama singkatan awalnya adalah PRIAT: Perkembagan Regional Islam Asia Tenggra]; (2) JurusanPerkembangan Modern Dalam Islam (PMDI). Akan tetapi, disayangkan kedua jurusan ini sudah lama “terkubur” dalam kenanganan alumninya.
Kebijakan penetapan kedua jurusan di atas, menurut hemat penulis, bukan saja tepat, tetapi sekaligus cerdas. Disebut tepat dan cerdas karena kedua jurusan itu mencerminkan/menggambarkan suatu bangunan intelaktual dan keilmuan yang utuh dan relevan. Artinya, semangat yang dikandung dari eksistensi kedua jurusan itu adalah ingin membangun budaya intelektual yang, meminjam ungkapan Cak Nur (NurcholishMadjid), memiliki pertautan dengan warisan khazanah Islam masa silam, khususnya Islam di Asia Tenggara, dan secara kreatif dan cerdas diterjemahkan kepada hal-hal yang relevan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman modern.
Ada firman Allah (Q.s. Ibrahim [14]: 24-26) yang memberikan gambaran metapor bagi bangunan intelektual utuh dan relevan itu: “Tidakkah engkau lihat, bagaimana Allah membuat perumpamaan: kalimat yang baik adalah bagaikan pohon yang baik; pangkalnya kukuh (menghujam dalam bumi) dan cabangnyaada di langit. Pohon itu mendatangkan makanan (buah) setiap saat dengan izin Allah. Allah membuat berbagai perumpamaan untuk manusia supaya mereka merenungkan. Dan perumpamaan kalimat yang jelek adalah bagaikan pohon yang jelek: tercerabut akarnya dari atas bumi dan tidak ada kekukuhan sedikit pun padanya.”
Belajar dari metapora Allah di atas, “kalimat” yang baik bagaikan pohon mempunyai pangkal kukuh: tidak akan tercerabut akarnya dari muka bumi, dan terus produktif menghasilkan mamfaat untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Bila perumpamaan ini ditarik kepada sebuah bangunan intelektual, maka kita memerlukan bangunan intelektual yang memiliki pangkal dan akar dalam tradisi keilmuan masa silam dalam peradaban kita. Justru adanya pangkal yang kukuh itu akan membuat kita, menurut Nurcholish Madjid [semoga Allah swt. senantiasa merahmatinya], mampu “membuahkan” inisiatif dan kerativitasi ntelektual sebagai usaha kita untuk merespon tuntutan perkembangan zaman modern.
Dengan kata lain, respon atas tuntutan perkembangan zaman modern menjadi absurd, setidaknya rapuh dan tidak bisa berdiri lama kalau tidak berasas pada bangunan tradisi intelektul masa lalu dan/atau tercerabut dari akar historistasnya. Prihal ini Cak Nur menyontohkan pada kasus negara Turki dan Jepang.
Pertama, kasus Turki dengan pemimpinanya Mustafa Kemal tidak berhasil (gagal) melakukan upaya modernisasi karena tidak berasas pada budaya dan tradisi dan tercerabut dari akar-akar sejarahnya (baca: Islam) dan menggatinya dengan Nasionalisme, Sekularisme dan Westernisme.
Kedua, kasus Jepang yang mampu bangkit dari kehancurannya pada Perang Dunia II. Belakangan Jepang berhasil dalam melakukan upaya restorasi dan modernisasil lantaran pemimpin dan rakyatnya menghargai warisan khazanah intelektual masa lalunya.
Miskinnya ilmu pengetahuan dan keterbatasan inforamasi kita tentang kawasan Islam Asia Tenggara dalam mengambil inisiatif yang sejati sekaligus kreatif, antara lain disebabkan, karena kita kurang mengenal dan menghargai warisan khazanah intelektual yang kita miliki. Untuk sekedar contoh, bila kita dihadapkan pada persoalan-persoalan kekinian dan kedisinian kemungkinan besar kita buta. Lantaran penguasaan sumber rujukan tidak kita punyai, sehingga kita tidak mengetahui bagaimana hal yang sebanding pernah terjadi dalam tradisi khazanah intelektual kita untuk dapat dijadikan rujukan dan sumber ilham.
Sekedar umpama, persolan-persoalan politik, yang dihadapi pada masa kontemporer ini, terutama menyangkut masalah etika politik, akan dengan mudah dipecahkan (dicari jalan solusinya) kalau kita mengambil rujukan dari al-Ahkam al-Sulthaniyah-nya al-Mawardi perspektif fiqh al-siayah; mengambil hikmah dari Madhinah al-Fadhilah-nya al-Farabi dalam perpektif “falsafah al-siyasah”; dan/atau mengambil ilham dari Nasihat al-Mulk-nya al-Ghazali dalam perspektif “sufi al-Suyasah”. Sama halnya untuk rujukan di Asia tenggara, kita dapat mengambil pelajaran dari Taj al-Salatin-nya Bukhari al-Jawhari; Sejarah Melayu-nya Tun Sri Lanang; atau Bustān al-Salāṭin-nya Nurdin al-Raniri; atau mengambil tuah dari Tuhfat al-Nafis dan Tsamarat al-Muhaimmah dan Muqaddimah fi al-Intizam-nya Raja Ali Haji.
Tanpa mengetahui warisan khazanah intelektual Islam masa lalu, maka dengan semena-mena kita mengklaim diri kita sebagai “penemu” ilmu dan kebenaran itu. Padahal, jangan-jangan ilmu tersebut sudah “ditemukan” oleh orang-orang (sarjana-sarjana Muslim) sebelum kita. Masalahnya, bukannya ilmu-ilmu itu yang tidak ada, tetapi persoalannya adalah kita saja yang tidak tahu. Artinya, “ketiadaan ilmu bukanlah berarti ilmu tentang itu tidak ada” (‘adam al-‘ilmalaysailman bi ‘adamih). Pendeknya, ketidaktahuan khazanah bukan berarti khazanah itu tidak ada. Dengan sendirinya, jadilah kita a histories (tidak menyejarah) dan tercerabut dari akar sejarah.
Kembali merujuk kepada metapora di atas, paling tidak, kita dapat mengelaminir tuduhan sementara pihak (terutama orang-orang di luar IAIN dulu) yang mengatakan bahwa studi keislaman (Islamic Studies) yang dilaksanakan di lembaga itu bersifat abstrak dan tidak menyentuh realita sempiris (mengawang-ngawang). Bahkan secara tandas mereka menyatakan kajian-kajian tersebut tidak layak untuk disebut ilmu.
Memang kritik itu tidak seluruhnya salah, kajian yang dilakukan di lembaga ini (baca: IAIN dulu) ada kelemahannya, contoh, misalnya dalam bidang Teologi. Kajian Teologi pada awalnya lebih banyak menggunakan análisis sejarah dan perbandingan pemikiran yang digambarkan secara deskriftif, seperti sejarah pemikiran aliran teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan lain-lainnya.
Tema-tema yang diperbincangkan lebih banyak merespon persoalan-persoalan masa lalu dan tidak menyentuh relitas sosial masyarakat modern dewasa ini. Perbincangannya selalu diseputaran, misalnya, apakah Tuhan menciptakan alam ini dari ada atau tiada (creation ex nihilo); apakah al-Qur’an qadim (tidak diciptakan) atau baharu (diciptakan); apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak; apakah kebangkitan di akhirat nanti bersifat jasmani atau ruhani; apakah surga dan neraka itu sudah ada sekarang atau belum; dan apakah iblis nanti (juga) masuk surga atau kekal di neraka; dan masih banyak lagi yang lainnya.
Akan tetapi, belajar dari metapora Allah di atas, di Program Pascasarjana yang dulu kami ikuti, perbincangan yang saya sebutkan di atas memang masih tetap digeluti ulang pada semester pertama sebagai wacana intelektual awal agar kami tidak tercerabut dari akar, sehingga bisa menjad ia histories. Meskipun begitu, pada semester ketiga dan keempat kami juga mendapatkan mata kuliah, misalnya Perkembangan Teologi Modern yang mendiskusikan masalah-masalah teologis yang bersifat emperis sesuai dengan tuntunan zaman modern.
Dalam mengkaji teologi ini, misalnya juga dikaji pemikiran tokoh-tokoh modern dan kontemporer. Lagi pula, sewaktu studi di Program Magister (S2) di UIN Suska dulu (1997-1999) ada mata kuliah Perkembaagan Modern Dalam Islam (PMDI) yang memiliki dua orientasi, sebagaimana tersimpul dalam kaidah: “Al-Mahafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhudz bi al-jadid al-ashlah” (memelihara sesuatu tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).
Pertama, menatap ke “belakang lewat intelektual-pemikir Muslim, seperti Muhamamad Abduh dan Rasyid Ridha (Mesir), Sayyid Ahmad Khan dan Syed Ameer Ali (India) dan lainnya dalam “membedah” penyakit umat Islam: kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan umat Islam. Kemudian, “mendiagnosa” penyakit-penyakit tersebut diberikan “obat” penyembuhannya.
Kedua, menatap ke “depan” lewat intelektual pemikir Muslim, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkound, Muhammad Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, Nazr Hamid Abu Zayd, Muhammad Shahrur, dan lainnya yang berupaya untuk memberikan solusi dengan membangun “metodologi baru” dalam memahami al-Qur’an demi menghadapi tantangan moderitas.
Dan hebatnya lagi, kehadiran jurusan Perkembangan Islam Regional Asia Tenggara (PIRAT) dengan mata kuliah-mata kuliah yang ada memiliki dua orientasi. Pertama, pada kajian sejarah Islam Asia Tenggara di masa silam sebagai wujud peletakan fondasi bangunan inteleketual yang kokoh. Kedua, pada kajian Islam Asia Tenggra di masa kini dengan “proyeksi” pada masa depan.
Meminjam motafora “kalimat yang baik”, Program Pascasarjana UIN Riau telah berupaya sebagai langka awal mewujudkan, “…. bagaimana Allah membuat perumpamaan: kalimat yang baik adalah bagai kanpohon yang baik; pangkalnya kukuh (menghujam dalam bumi) dan cabangnya ada di langit. Pohon itu mendatangkan makanan (buah) setiap saat dengan izin Allah.”. Dengan begitu, kajian Islam di Asia Tenggara berjalin kelindan antara tradisi dan modernitas.
Sadar akan sabagai alumni Program Pascsarjana yang bangga sebagai “anak angkatan pertama, merespon kawan Jarir Amrun, mari kita “hidup” kembali jurusan Perkembangan Islam Regional Asia Tenggara (PIRAT) yang memang “dibunuh” secara tidak sengaja oleh tuntutan zaman. Dalam konteks ini, kita sebaiknya tidak melulu berorientasi memenuhi tuntutan“pasar”, tetapi harus ada upaya yang “tidak populer” dalam mewujudkan bangunan tradisi intelektual yang utuh dan relevan. Bukankan sebuah perubahan besar awalnya diupayakan secara sungguh-sungguh dalam “kesunyian”?
Kalaupun jurusan PIRAT itu tidak bisa “dihidupkan” (lagi) dalam waktu dekat ini, minimal kajian kajian Islam Asia Tenggara dalam berbagai aspeknya “digalakkan” kembali disemua jurusan di progran pascasarjana yang ada sekarang secara khusus, bahkan pada UIN Suska secara umum. Bukankan dalam Renstra UIN Suska Riau tersebutkan bawah “karakterisitik”nya adalah kajian Islam Asia Tenggara. Jujur, karakterisktik ini sejak kelahirannya sudah menjadi “yatim piatu”. Para alumni Program Pascasarjana UIN Suska Riau, khususunya “anak anggatan”: 1, 2, dan 3 (1997-2000) harus rela menjadi bapak/ibu anggat atas anak yatim tersebut.
Mā Tawfiq illā bi Allāh,
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
*)Direktur dan Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).