37. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (1): Futuhat Awal Sejarah Islam Klasik dan  Pertautan Politik dalam Islam

37. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (1): Futuhat Awal Sejarah Islam Klasik dan Pertautan Politik dalam Islam

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Kelahiran Islam lewat pewahyuan (selama rentang tahun 610-632) pada figur Nabi Muhammad saw. dinilai sangat tepat-ruang dan pas-waktu. Pertama, disebut “tepat-ruang” karena Mekkah dan Madinah (jazirah Arab umumnya) relatif “jauh” dari jangkauan kekuasaan dan pertikaian dari dua negara adi-kuasa: Kekaisaran Romawi dan Khousru Persia. Boleh jadi, Jazirah Arabiah merupakan kawasan yang kurang “menarik” di tengah-tengah persaingan dan peperangan di antara mereka.

Kedua, dikatakan “pas-waktu” karena saat itu kedua negeri super power tersebut semakin melemah akibat peperangan yang berkesenantiasa (terus-menerus) antara keduanya. Sehingga, menurut J.J. Saunders, “andaikata Islam lahir seabad sebelumnya, maka kaisar Yustianus (Romawi) yang kuat pada era itu akan menghalangi penyebaran Islam. Begitu pula, apabila seabad setelahnya, barangkali Arabia telah memeluk agama Kristen karena kekuatan Byzantium dan Persia telah pulih kembali.”

Pada bagian lain, Saunders melanjutkan imajenasi-inteletualnya yang mengada-ngada, “andaikan saja Abraham berhasil benguasi Mekkah, maka seluruh jazirah Arab akan terbuka untuk penerobosan Kristen dari Byzantium. Akibatnya, tanda Salib akan menjulang tinggi di atas Ka’bah; dan Muhammad mungkin akan mati sebagai pastur atau pendeta. ”(Lihat, J.J. Saunders, A History of Medieval Islam, 1965: 14-15).dan 36-37). Al-hamd li Allah, ini hanya sekedar pengandaian J.J. Saudders di siang bolong. Lagi pula, sejarah tidak dapat diajak berandai-andai.  Karenanya, disebut sejarah karena ia adalah peristiwa masa lalu yang real terjadi dan memiliki fakta yang kuat dan data yang akurat.

Dengan kondisi faktual sejarah di atas, sehingga dalam waktu relatif singkat (hanya 23 tahun lamanya) Nabi Muhammadsaw. berhasil dengan sangat mencengangkan dalam mengemban tugas dan misi dari Allah. Sepeninggalan Nabi Muhammad saw (w. 632) keberhasilan dalam Islam dilanjutkan pula dengan sangat gemilang oleh Khulafa al-Rasyidin, khususnya pada masa Khalifah ‘Umar ibn Khattab. Agama Islam yang masih “remaja” di masa Umar ibn Khataab ini merembah ke mana-mana untuk melakukan “pembebasan” (futuhat).

Segera penobatannya sebagai khalifah kedua dari Khulafa al-Rasyidun, ‘Umar ibn Khattab membebaskan Suriah dan Palestina yang saat itu merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk pada 636 Masehi pasukan Islam secara gemilang mengalakan pasukan Byzantium. Pada tahun yang sama Damaskus jatuh, dan dua thun kemudian Yerusalam tunduk dalam kekuasaan Islam. Pada 639 Masehi pasukan Islam menyerang Mesir, dan dalam waktu hanya tiga tahun penaklukan atas wilayah Mesir selesai.

Pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab itu pasukan Islam merambah ke dunia wilayah timur. Pada 641 Mesehi seluruh wilayah Irak berada di bawah kekuasaan Islam. Dan pada 642 pasukan tentara Islam mampu mengalahkan pasukan kerajaan Sassanid. Menjalang wafatny Umar ibn Khattab pada tahun 644, sebagian besar bagian barat Iran telah disapu oleh pasukan Islam. (Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah, 2009: 286).

Dengan kata lain, propinsi-propinsi jajahan dua adi-kuasa: Kekaisaran Romawidan Khousru Persia yang sangat berkuasa sebelumnya, seperti Syiria, Palestina, Yerusalem, Damaskus, Mesir, Irak dan Iran (Persia) sudah berada dalam genggaman kekuasaan. Bahkan tak terkecuali kedua ibukota negeri super power tersebut juga mampu ditaklukkan oleh tentara Islam.(Lihat, Marshall G.S. Godgson, The Venture of Islam Conscience and History in a World Civilization, 1961:197-206).

Dengan jatuhnya kota Iskandaria pada 651 di tangan jenderal Amru bin ‘Ash menandai rampungnya penaklukan Islam terhadap Timur Dekat, sekaligus berakhirnya kekuasaan Persia dan Byizantium di wilayah tersebut. Kurang dari lima puluh tahun berikutnya tentara Islam menaklukan Spanyol di belahan Barat. Pada waktu yang hampir bersamaan di masa Dinasti Ummayah tentara Islam mampu menerobos wilayah India di belahan Timur.(Lihat, Howard T. Turner, Science in Medieval Islam, 1961: 5).

Penaklukan yang dilakukan Umar ibn Khattab, menurut Michael Hart, lebih spektakuler –sebagai sebuah catatan tambahan– daripada penaklukan yang pernah dilakukan oleh Julius Caesar. Berat dugaan, mungkin atas pertimbangan inilah, sehingga Michael Hart menempatkan Umar ibn Khattab (pada urutan 52) mengatasi Julius Caesar (pada urutan 67) dalam rentetan 100 tokoh paling berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia. (Michael H. Hart, 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah, 2009: 283-287).

Menurut Majid Fakhri, setidaknya ada dua alasan kenapa penaklukan Islam begitu mudah dilancarakan. Pertama, upaya perluasan dilakukan oleh kekaiasaran Romawi, Heraklius pada 610 mengakibatkan timbulnya pertarungan dahsyat antara orang-orang Persia dan Byzantium yang sebelumnya telah berjibaku dalam peperangan panjang guna menancapkan pengaruh militer mereka di wilayah Timur Dekat.

Peristiwa perang berkepanjangan di antara mereka mengakibatkan melemahnya kekuatan masing-masing. Dengan demikian, tentara Islam dengan mudah mencatat serangkai kemenangan demi kemenangan dari kedua bala tentara yang jumlahnya lebih banyak dan sangat terlatih; dibandingkan dengan tentara Islam yang jumlahnya sedikit, ditambah belum berpengalaman dalam medan peperangan besar.

Kedua, faktor perbedaan dan pertentangan keagamaan yang melibatkan kaum Nestorian, Monofosit dan Melchite (aliran ortodoks) mengakibatkan rasa tidak senang dan aman bagi penduduk Mesir, Syiria dan Irak. Dalam kondisi demikian, tidaklah aneh kalau kedatangan orang-orang (tentara-tentara) Islam disambut dengan suka cita sebagai “pembebas” (futuhat). Dan sebagian besar berharap bahwa orang-orang Islam dapat menghilangkan penindasan dari Konstantinopel dengan alasan demi menjaga ajaran-ajaran ortodoksi, khususnya masa pemerintahan Justinian (527-565). (Lihat, Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, 1970: 12-13).

Bahkan tentara Islam mampu menyeberangi pegunungan Pyrene di Eropa Barat yang letaknya antara Spanyol dan Prancis.Namun belakangan, pemerintahan Islam di Andalusia tidak pernah sungguh-sungguh lagi untuk menyeberangi pegunungan itu guna menaklukan Prancis. Karena dalam persepsi (tentara) ummat Islam pada saat itu bahwa daerah-daerah di sebelah utara itu terlalu dingin dan tidak cocok untuk mengembangan peradaban; dan dalam penilaiannya mereka manusianya terlalu kasar dan bodoh. (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki langit Peradaban, 1997: 10; bandingkan Bernard Lewis, Muslim Discovery of Europe, 1982: 8).Patut disayangkan sikap dan pandangan ini, sekiranya pasukan Islam mau dan mampu menerobos pengunungan Pyrenelewat pintu Prancis, sejarah Eropa Barat dan Islam di belahan timur, mungkin menjadi lain.

Kejayaan politik dan kesukesesan sprektakuler ekspansi militer Islam di atas menjadi salah satu karektristik agama Isam pada awal-awal penampilannya. (Musda Mulya, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, 2001: 1). Untuk itu, wajar sekali kalau W. Motgemory Watt, misalnya melihat secara umum, “sepanjang sejarah manusia, agama selalu terlibat secara intens pada keseluruhan hidup manusia dalam masyarakat, termasuk dalam bidang politik. Bahkan Yesus pun bukannya tanpa relevansi politik”. Khususn agama yang dibawa Nabi Muhammad, tulis Watt, “Islam telah memiliki reputasi sebagai agama politik.”(W. Motgemory Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, 1987:32-36).

Berbeda dengan agama Yahudi dan Kristen, Islam sejak kelahirannya, terutampada fase Madinah, menurut Phillip K. Hitti, telah menjadi sebuah agama dalam negara. Bahkan setelahterjadinya perang Badr, Islam berubah menjadi lebih dari sekedar agama negara, tetapi Islam merupakan negara itu sendiri. (Phillip K. Hitti, History of Arab, 1970: 146-147). Dengan demikian, menurut Thomas W. Arnold, kedudukan Nabi Muhammad di Madinah adalah sebagai pemimpn agama, dan sekaligus pemimpin negara. (Thomas W. Arnold, The Caliphate, 1965: 30).

Sementara itu, menurut Muhammad Assad, adalah mustahil untuk dapat memperoleh penilaian yang tepat tentang Islam tanpa mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada masalah politik. (Lihat, Salam Azzam (ed.), Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan dalam Islam, 1990: 70). Karena Islam adalah din wa siyasah (agama dan politik), maka dalam realitas historisnya adalah absurd untuk memisahkan antara Islam dan politik. (Lihat, Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, 1996: 229). Bahkan Al-Ghazali menandaskan bahwadalam Islam “al-din wa al-mulk tau’aman fala yastaghni ahadu-huma min al-akhar (agama dan pemerintahan adalah saudara kembar, yang satu tidak bisa jalan tanpa yang lain). (Lihat, Gustave E. von Grunebaum, Islam Kesatuan Dalam Keragaman, 1983: 217).

Sikap Islam memang berbeda dengan agama-agama Yahudi dan Kristen terhadap hubungan politik dan negara. Agama Yahudi mula-mula berasosiasi dengan negara, tetapi kemudian berpisah dari negara dan kekuasaan politik. Sementara itu, agama Kristen sudah terpisah dari negara dan kekuasaan politik pada masa-masa formatifnya (pertumbuhan awalnya). Sehingga, belakangan doktrin agama Kristen menyatakan: “render unto Caesar the thing which are Caesar’s; and unto God the thing which are God’s” (berikan kepada sang kaisar apa yang menjadi hak kaisar; dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan). Doktrin semacam ini sama sekali tidak diketemukan dalam doktin sekaligus dalam sejarah peradaban Islam.

Dalam Islam integrasi politik ke dalam agama Islam terlihat jelas dalam ekspresi keagamaan dan politik pada masa Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, menurut Amin Rais, dalam banyak hal dilanjutkan dan diiukuti oleh al-Khulafa al-Rasyidin, empat khalifah sesudah Rasul Allah. Hal yang sama juga terjadi pada kekhalifahan Bani Ummayah dan Bani Abbasiyah serta beberapa kerajana-kerajaan Islam sesudahnya. Meskipun, ketika praktek politik dan pemerintahan setelah masa Khulafa’ al-Rasyidun ini berakhir, sulit lagi untuk diklaim secara absah seiring dengan konspesi politik dan kekuasaan yang diperaktek oleh Nabi Muhammad saw. di Madinah.

Kemudian, dalam perkembangannya berikutnya, persoalan politik dengan segala dinamikanya, tentunya senantiasa berlanjut seiring dan inhairen dalam perjalanan sejarah politik ummat Islam. Sehingga, menurut Nurchalish Madjid, memperbincangkan masalah ummat Islam acap kali merambah, secara tak terhindarkan, ke masalah politik dalam Islam. Lebih lanjut Nurchalish Madjid memaparkan:

“Jika masalah politik selalu muncul dalam berbagai pembahasan tentang Islam, hal itu wajar sekali, dan seharusnya tidak perlu menimbulkan keheranan. Dalam kaitannya dengan masalah politik ini, kaum muslimin bisa mengatakan bahwa agama Islam berbeda dengan agama yang lain. Pernyataan yang sering muncul secara streotifikal itu memang mengandung kebenaran yang substansial. Maka mengingkari hal itu akan berarti sama dengan mengingkari kenyataan sejarah yang telah berabad-abad dan yang akan masih berlangsung entah selama berapa abad lagi. Dan tentu hal itu juga berarti sama dengan mengingkari sebagaian dari essensi agama Islam.”

Realitas faktual tersebut telah manjadi salah satu temuan terpenting dalam kajian ilmiah tentang Islam, termasuk oleh mereka yang non-Muslim yang kadang-kadang simpati dan kerap kali antipati. Maka Marshall Madgson, misalnya, sebagimana dikutip oleh Nurckholish Madjid, melihat keseluruhan sejarah Islam sebagai “venture” [dijadikan judul bukunya, The Venture of Islam] atau usaha yang tidak kenal berhenti untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Dan “venture” itu melibatkan orang-orang Muslim dalam praktek semua bidang kehidupan, dan dengan sendiri juga pada bidang politik. (Lihat, Nurcholish Madjid, “Pengatar” dalam H. Munawir Sjazali, Islam dan Tata Negara, 1990:v).

Betapapun, menurut Cak Nur, upaya memahami hubungan Islam dan politik tidak mudah dengan dua pertimbangan. Pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah sepanjang lebih empat belas abad. Jadi akan merupakan sebuah kenaifan jika kita menganggap bahwa selama abad-abad tersebut segala sesuatunya tetap stasioner dan berhenti. Kesulitannya adalah bahwa sedikit sekali di kalangan umat Muslim yang memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran, tentang sejarah tersebut.

Kedua, bahwa beranekaragamnya bahan-bahan kesejarahan yang harus dipelajari dan diteliti kekuatan-kekuatan dinamis yang menyeratinya. Selain itu, terdapat pula perbendaharan teoritis yang sangat kaya raya tentang politik yang hampir setiap kali muncul bersama dengan munculnya sebuah peristiwa atau gejala sejarah yang penting. Sampai sekarang masih diperdebatkan dikalangan pemikir politik Islam, misalnya, mengapa Nabi Muhammad tidak dengan jelas dan tegas menunjuk siapa yang bakal menjadi penggantinya (khalifah) setelah wafat?

Persoalan yang cukup problematik di atas telah banyak menyita perhatian dan pengkaji sejarah pemikiran politik Islam. Dan pada gilirannnya, menimbulkan jawaban spekulatif dari pertanyaan tersebut, “kenapa dalam kepiawaiannya dalam berorganisasi Nabi Muhammad mengabaikan untuk membuat semacam ketetapan bagi nasib masa depan komunitas yang baru didirikannya itu. Pendak kata,kenapa Nabi tidak menunjuk penggantinya?” Boleh jadi, kerena kesehatannya semakin melemah untuk beberapa saat, sebelum akhirnya benar-benar sakit, sehingga Nabi Muhammad saw. tidak menyelesaikan masalah tersebut dengan menunjuk penggantinya.

Akan tetapi, kemungkinan yang lebih besar bahwa Nabi Muhammad saw. merupakan anak zamannya, dan menyadari sepenuhnya kekuataan perasaan suku Arab yang tidak mengenal prinsip-prinsip keturunan dalam bentuk-bentuk kehidupan politik yang primitif. Dan oleh karenya, Rasul Allah membiarkan angggota suku (para sahabat) dengan bebas untuk memilih pemimpinnya. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa itu adalah sikap bijak dari Nabi Muhammad untuk tidak menetapkan siapa penggantinya, dan tidak menentukan bagaimana mekanisme pemilihan.

Sikap Nabi semacam itu, menurut pendapat disebut belakangan, dimaksudkan agar umat Islam sepeninggalannya tidak kaku dan terpaku pada satu sistem pemilihan, dan dalam mengatasi urusan-urusan politik dan pemerintahannya. Dengan begitu, umat Islam bebas untuk mencari kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih “cerdas” dalam mengatasi persoalan politik sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. (Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, 1993: 63).

Adalah wajar kalau belakangan di kalangan pemikir politik Islam lahir pertanyaan, apakah institusi politik merupakan kewajiban agama atau bukan? (Lihat, Qamarauddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyah (Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1982), 23). Kalau, ya. Bagaimanakah bentuk institusi politik yang dikehendaki dalam Islam? Institusi politik di kalangan pemikir politik Islam, khususnya pemikir politik Sunni, tidak terdapat doktrin tunggal yang diterima secara universal. Dasar pemikiran Sunni itu sendiri tidak memungkinkan diterimanya suatu teori apapun yang definitif dan final. Sebab institusi politik dalam pemikiran politik Islam tidak dapat dikungkung dalam suatu rumusan-rumusan tertentu.

Pemikiran politik di kalangan umat Islam di masa silam, menurut Hamid Enayat, merupakan salah satu disiplin dalam cakrawala pemikiran khazanah Islam klasik yang ruang lingkupnya tidak terbatas. Bagi pengkaji pemikiran politik, ungkap Hamid Enayat lebih lanjut, akan menemukan dalam sejarah Islam selama enam atau tujuh abad pertamnya suatu mozaik yang mencengangkan dari aliran-aliran pemikiran dan praktek politik dalam Islam. (Lihat, Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, t.t.: 4).

Dari kenyataan di atas, dalam mencermati hubungan antara agama dan negara; Islam dan politik, khususnya dalam pemikiran politik dan ketatanegaraan, menurut Munawir Sjadzali, umat Islam terbagi dalam tiga aliran pemikiran.

Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama yang mengatur totalitas hidup dan menawarkan pemecahan terhadap semua masalah, dan tak terkecuali dalam masalah politik. Karenanya, dalam kehidupan bernegara umat Islam harus kembali kepada sistem politik Islam. Sistem politik Islam yang dimaksudkan adalah apa yang telah dipraktekkan oleh Rasul Allah dan Khulafa’ al-Rasyidun di Madinah. Dalam aliran pemikiran politik ini, tokoh utamanya adalah Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Rashid Ridha, dan terutama Abu A’la al-Maududi.

Kedua, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama semata, dan tidak ada hubungannya dengan politik. Artinya, Islam hanya mengatur hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa keberadaan Nabi Muhammad hanya seorang utusan Allah, sama dengan rasul-rasul Allah sebelumnya. Bagi aliran ini, Nabi Muhammad diutus tidak untuk berpretensi untuk mendirikan dan menjadi kepala negara.Aliran ini disebut-sebut berpaham sekuler, sebagaimana paham yang berkembang di Barat sebelumnya, yang memishkan antara urusan agama dan negara, Islam dan politik. Dalam wacana pemikiran politik Islam yang dimasukan dalam aliran ini, misalnya Ali Abdul Raziq dan Thaha Husein.

Ketiga, aliran yang berpendirian jalan tengah dari dua aliran sebelumnya. Menurut aliran ini bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem politik dan ketatanegaraan. Akan tetapi, Islam mengandung seperangat tata nilai etik bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat.Dengan kata lain, aliran ini berpandangan bahwa Islam memang bukan agama yang mengatur seluruh persoalan kehidupan, apalagi secara detail dan rinci. Namun, aliran ini menolak pula paham bahwa Islam adalah yang hanya mengatur hubungan personal antara manusia dan Tuhan. Tokoh yang dimasukkan dalam aliran “substansial” ini, Munawir Sjazali menyebut di antaranya adalah Muhammad Husain Haykal.(Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, 1990: 1-2).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)