50 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (5) Era Kemunduruan dan Penghapusan  Kerajaan Johor-Riau

50 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (5) Era Kemunduruan dan Penghapusan Kerajaan Johor-Riau

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Sepeninggalan Raja Haji pada 1784, sebagai akibat kekalahan perang melawan Belanda, kerajaan Melayu-Riau dalam politik-militer bukanlah lagi suatu kerajaan berdaulat penuh. Dalam kenyataannya pemerintah Hindia Belanda kerapkali turut campur dan menentukan kebijakan dalam pemerintahan kerajaan Melayu Riau. Di akhir tahun 1784, misalnya, karena kebencian Belanda kepada orang-orang Bugis, pemerintah Belanda memberikan ultimatum kepada Sultan Mahmud –sebagai salah satu upaya adu domba– untuk mengusir orang Bugis dari kerajaan dan jabatan Yang Dipertuan Muda selama ini dijabat secara turun temurun di kalangan orang Bugis diperintahkan untuk dihapus.

Untuk itu, sultan sendiri harus menghadap kepada Jacob Van Braam di kapal komando Utrecht. Tentu saja ultimatum dan keinginan pemerintah Belanda ditolak sultan. Akibatnya terjadilah perang dengan Belanda dipimpin YDM V Raja Ali. Tentu saja perlawan ini dengan mudah dikalahkan Belanda. Akibatnya, YDM V Riau Raja Ali bin Kamboja beserta keluarganya meninggalkan Kerajaan Melayu Johor- Riau. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 213-222).

Konsekwensi logis dari kekalahan itu, Sultan Mahmud Syah terpaksa (tepatnya dipaksa) menandatangani perjanjian di bawah tekanan pemerintahan Belanda pada 10 November 1784.Dalam pasal-pasal perjanjian tersebut antara lain dinyatakan bahwa seluruh pelabuhan dalam kerajaan Melayu Riau menjadi milik pemerintahan Hindia Belanda. Untuk itu, Hindia Belanda akan menempatkan tentaranya di kawasan kerajaan Melayu Riau dan pemegang monopoli perdagangan di kawasan Riau,danapabila sultan mangkat, penggantinya harus mendapat persetujuan dari pihak kolonial Hindia Belanda.

Kerajaan Melayu Riau semakin tidak berdaya menghadapi persekutuan pihak Belanda dan Inggris yang melahirkan Konvensi London 1814. Perjanjian kedua negara itu adalah bahwa Indonesia kembali diserahkan dan menjadi jajahan pemerintahan Hindia Belanda. Satu dekade berikutnya perjanjian itu diteguhkan dengan “The Anglo-Datch Treaty of London” atau lebih sering disebut “Traktat London 1824”. Sehingga kerajaan Melayu-Riau semula mencakup daerah Johor diserahkan kepada Inggris. (Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 252-254). Kemudian, setelah perjanjian ini ditanda tangani, pemerintah memperbarui kontrak politik antara pemerintah Hindia-Belanda dengan Sultan Riau-Lingga yang semakin membatasi kekuasan dan wewenang sultan pada 29 Oktober 1830. (Hasan Junus, “Residen C.P.J. Elout: Arsitek Kontrak Politik 29 Oktober 1830” dalam Engku Putri Raja Hamidah Pemegang Regalia Kerajaan Riau (Pekanbaru: Unri Press, 2002), 196).

Pasca perjanjian-perjanjian disebut di atas, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa Kerajaan Melayu Riau-Lingga bukan lagi sebagai kerajaan yang berdaulat penuh. Meskipun dalam kondisi demikian, tidak berarti penguasa kerajaan Melayu Riau-Lingga tidak melakukan perlawanan dan mengupayakan kembalinya kedaulatan negerinya. Belakangan, pada 1903 raja terakhir kerajaan Melayu Riau, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah melakukan perlawanan kultural yang sangat berani, yaitu dengan mengibarkan bendera kerajaan Belanda dipasang di bawah bendera Kerajaan Riau Lingga di depan istana. Residen Riau melaporkan persitiwa itu ke Batavia, dan Sultan Abdul Rahman mendapatkan peringatan keras dari Gubernur Jenderal Rooseboon di Batavia.

Pada kejadiaan lainnya, dalam menegakkan marwah dan kedaulatan kerajaan, Sultan Abdul Rahman menuntut agar Residen Riau tidak melakukan pengangkatan pejabat kerajaan sebab itu menjadi wewenang kerajaan.Sikap perlawanan sultan semakin jelas saat sultan enggan bekerja sama dan menolak untuk menandatangani Surat Perjanjian (kontrak baru) pada 1910. (Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 225; Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century Islamic Centre of Riau”, Archepel, 37(1989: 163).

Konsekwensinya, pada bulan Februari 1911 sultan dimakzulkan dari tahta kekuasaannya, dan putranya, Tengku Besar Umar dicoret namanya sebagai calon sultan. (Lihat, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 56). Surat abdikasi sultan dibacakan Residen Riau G. F. de Bruyn Kops(1911-1913) di markas gedung “Rushdiah Klab”, sebuah lembaga perkumpulan intelektual Melayu-Riau yang selalu kritis dan melakukan perlawanan secara moral terhadap kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. (Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 189).

Di kalangan pengurus Rusydiah Klab, setelah pemakzulan sultan, melakukan upaya diplomasi, misalnya tahun 1904-1905 kerajaan Melayu Riau mengutus Raja Ali Kelana untuk menemui Sultan Turki Utsmani di Istambul (Turki) guna meminta bantuan, tetapi upaya ini tidak berhasil. Selanjutnya, upaya diplomasi yang sama juga dilakukan pada 1905 oleh pihak kerajaan untuk menemui konsul Jepang di Singapura. Upaya diplomatis itu dilanjutkan lagi pada tahun 1912-1913 dengan mengutus Raja Khalid Hitam ke Tokyo untuk menemui Mahara Jepang guna meminta bantuan di dalam menghadapi penjajahan Belanda. Namun usaha-usaha diplomasi tersebut tidak berhasil di dalam menjalankan misinya. Malah Raja Khalid Hitam sendiri yang sedang menjalankan misinya di Jepang terbunuh pada 1914. Pembunuhan ini diduga kuat dilakukan oleh mata-mata Belanda. (Barbara W. Andaya, “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Allies by the Rules of Riau 1899-1914, dalam Indonesia, No. 24, (1977), 153-154).

Setelah keputusan pemakzulan Sultan Abdul Rahman tersebut, pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa seluruh tugas dan kewenangan sultan di kerajaan Melayu-Riau dan seluruh daerah kekuasaannya berada langsung di bawah kendali Residen Belanda. Seluruh rakyat Melayu Riau terpaksa/persisnya dipaksa untuk menaati segala peraturan kolonial Belanda. (Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 326).Dalam kondisi seperti ini Sultan ‘Abd Rahman meninggalkan kerajaannya pergi ke Singapura, dan wafat dalam “pengasingannya” di sana pada 1930. Sebagian besar masyarakat mengikuti sultan meninggalkan Pulau Penyengat menuju Singapura. (Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190; Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 163). Bahkan dapat dikatakan masyarakat “eksodus” meninggalkan tanah kelahiran mereka menuju Singapura, Johor dan daerah-daerah sekitar lainnya.

Dari hasil penelitian Muhammad Afan, sebagaimana dikutip Hasan Junus, menyebutkan “… dari sekian ribu penduduk pulau kecil yang menjadi pusat pemerintahan di kerajaan itu hanya lebih kurang lima ratus jiwa saja yang tetap tinggal, karena sebagian besar penduduk pindah ke Johor dan Singapura.” Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190). Untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang “eksodus” meninggalkan Pulau Penyengat dapat dilihat dari data “perbandingan” berikut ini: (i) bahwa masyarakat yang tidak meninggalkan Pulau Penyengat haya tinggal 500 orang; (ii)_bahwa jumlah penduduk di pulau kecil ini pada akhir abad ke-19 diperkirakan mencapai sekitar 9.000 jiwa. Kedua data nyata menunjukkan bahwa Pulau Penyengat benar-banar ditinggal-pergi oleh penduduknya. (Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162).

Raja Ali Kelana juga meninggalkan negeri kelahirnya dan menetap hingga wafatnya di Johor pada 1927. Raja Ali Kelana meninggalkan negerinya lantaran, menurutnya, telah “berubah kelakuannya” (diperintah Belanda). Raja Ali Kelana menyatakan prinsip ini, seperti katanya dalam Bughyāt al-‘Any fī Ḥurūf al-Ma‘āni: “Apabila negeri itu berubah kelakuannya maka tinggalkanlah dia!”Akhirnya, pemerintahan Belanda mengeluarkan keputusan penghapusan kerajaan Melayu Riau-Lingga dari “peta bumi” pada 11 Maret 1913. (Hasan Junus &UU. Hamidi, “Sumbangan dan Peranan Cendikiawan Riau”, 136; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 326.

Dengan penghapusan kerajaan Melayu-Riau dari “peta bumi” pada sisi kekuasaan dan pemerintahan dapat dikatakan kerajaan Melayu Riau-Lingga ini tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran dan kejayaannya di masa silam.Apa penyebabnya Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan YDM Riau hampir tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran pada masa lalu. Menurut penelitian Matheson ini disebabkan orang-orang di Pulau Penyengat pada umumnya, dan raja-raja dan keluarga istana pada khususnya lebih memilih memusnahkan harta benda dan barang-barang yang ada dalam rumah mereka (melakukan semacam “bumi hangus” daripada (mereka khawatir kalau) Belanda akan menyita seluruh harta kekayaannya. (Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162).

Akan tetapi, dari sisi persuratan intelektual-keagamaan dan kebudayaan, kerajaan Melayu-Riau telah meninggalkan “jejak-jejak”kebesaran dan kejayaan masa lalunya –kendatipun belum/tidak sampai pada puncak kejayaan tertinggi– lewat generasi-generasi terpelajar yang menghasilkan “bertaburan” karya di Pulau Penyengat sepanjang menjelang paroh kedua abad ke-19 hingga awal abad ke-20. (Ong Hok Ham, “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, dalam Masyarakat Malayu Riau dan Kebudayaannya, 185).

Dengan situasi politik yang tidak menentu, maka ketika Indonesia memasuki era sastera modern yang ditandai dengan lahirnya Balai Pustaka pada dasawarsa kedua abad ke-20, Sapardi Djoko Damono menyebutkan, “tampaknya peran para sastrawan dari Riau tidak begitu menonjol”, untuk tidak mengatakan tenggelam sama sekali. (Lihat, Sapardi Djoko Damono, “Sastrawan Riau dan Sastra Indonesia Mutahir”, dalam Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan, ed. Heddy Shri Ahimsa-Putra (Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengambangan Budaya Melayu, 2007: 289-290).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.
BERDAMAI DENGAN MENELADANI NABI

BERDAMAI DENGAN MENELADANI NABI

Helmaya Indra Sari

Sebagaimana agama-agama lainnya, Islam sesungguhnya merupakan agama yang peduli dan mendorong kepada umatnya untuk menjaga kedamaian seluruh umat manusia. Merujuk pada makna dasar Islam sendiri, yakni salam, maka Islam membawa misi keselamatan dan kedamaian. Namun demikian, kedamaian tidak bisa ditanggung oleh beberapa pihak saja namun seluruh elemen kehidupan harus berperan di dalamnya, agar tercipta sebuah kedamaian.

Secara historis, peran dan aktualisasi dari hal itu telah melekat dan tergambar pada profil Nabi Muhammad, sang pembawa risalah. Wajah keteduhan dan kedamaian terekspresi dengan baik bersama Nabi. Sehingga Alquran memproklamirkan Nabi sebagai sosok pembawa rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Tidak lah heran jika kemudian kita diberikan sitiran Hadits bahwa ”Sesungguhnya aku diutus (Tuhan) untuk menyempurnakan kemuliaan Akhlaq”.

Ketika Nabi di Mekkah, sedang mengalami tahun kesedihan dan penolakan kafir Quraisy yang keras, maka beliau hijrah ke Thaif, dengan harapan mendapatkan tempat baru yang representatif. Tetapi di Thaif justru memperoleh perlakuan yang semakin keras, bahkan nabi dilempari batu, dan melukai beliau. Tetapi beliau tetap sabar. Bahkan ketika malaikat datang, untuk membantu nabi menurunkan bencana kepada masyarakat Thaif, nabi menolak. Dengan landasan, bahwa beliau masih optimis, anaknya atau keturunan orang Thaif yang memusuhinya masih berpotensi menjadi pengikut rasulullah.

Pada saat Rasulullah Saw. pulang dari masjid dan diludahi oleh seorang kafir, namun beliau tak marah. Bahkan, beliau bergegas menjenguk ketika orang tersebut diketahui sedang sakit, sehingga orang tersebut kemudian masuk Islam.

Dari kisah-kisah tersebut, kita melihat keluhuran budi atau akhlak Rasulullah Saw. Kedzaliman, kemarahan, dan kebencian yang dilancarkan pada beliau tak dibalas dengan hal serupa, namun justru dibalas dengan kasih sayang, perhatian, dan harapan yang baik. Dari sanalah sinar kedamaian Islam itu terpancar, sehingga bisa menerangi dan memberi hidayah bagi mereka yang belum mengerti.

Dalam hal toleransi, keteladanan Nabi ditunjukkan dengan perlakuan Nabi Muhammad ketika berhadapan dengan kelompok Yahudi maupun Nasrani. Nabi selalu menonjolkan perdamaian dari pada konflik. Misalnya, sebuah perjanjian yang ditulis pada masa Nabi ketika menerima delegasi Kristen yang mengunjungi Nabi SAW pada 628 Masehi di Madinah. Isinya adalah:

“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, sebagai perjanjian bagi siapa pun yang menganut kekristenan, jauh dan dekat, bahwa kami mendukung mereka. Sesungguhnya saya, para pelayan, para penolong, dan para pengikut saya membela mereka, karena orang-orang Kristen adalah penduduk saya; dan karena Allah! Saya bertahan melawan apa pun yang tidak menyenangkan mereka.

Tidak ada paksaan yang dapat dikenakan pada mereka. Sekalipun oleh para hakim mereka, maka akan dikeluarkan dari pekerjaan mereka maupun dari para biarawan-biarawan mereka, dari biara mereka. Tidak ada yang boleh menghancurkan rumah ibadah mereka, atau merusaknya, atau membawa apa pun daripadanya ke rumah-rumah umat Islam.

Jika ada yang memgambil hal-hal tersebut maka ia akan merusak perjanjian Allah dan tidak menaati Rasul-Nya. Sesungguhnya, mereka adalah sekutu saya dan mendapatkan piagam keamanan melawan apa pun yang mereka benci.

Tidak ada yang memaksa mereka untuk bepergian atau mengharuskan mereka untuk berperang. Umat Islam wajib bertempur untuk mereka. Jika ada perempuan Kristen menikahi pria Muslim, hal ini tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan perempuan itu. Dia tidak dapat dilarang untuk mengunjungi gerejanya untuk berdoa.

Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang memperbaiki dan menjaga perjanjian-perjanjian sakral mereka. Tidak ada dari antara bangsa (Muslim) yang boleh tidak mematuhi perjanjian ini hingga Hari Akhir.”

Betapa mulianya Nabi dalam memperlakukan kelompok lain yang berbeda. Dengan nalar humanisnya, Rasulullah tetap memberikan hak kepada siapa pun untuk menjalankan aktivitas. Bahkan, pihak-pihak yang secara nyata menghujat Rasulullah tidak dibalas dengan perlawanan serupa. Rasulullah justru menunjukkan sebuah senyuman yang justru bisa meluluhkan siapa pun yang pernah menghina dirinya.

Dengan mewarisi kemuliaan beliau, maka menjaga perdamaian dalam Islam merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Untuk itu setiap umat Islam haruslah menjadi ‘agen of change’ dan ‘maintain peace on earth’, agar Islam semakin berkembang, dianut oleh banyak orang, dan dicintai oleh seluruh umat.

MERAWAT PANCASILA MERAWAT ISLAM

MERAWAT PANCASILA MERAWAT ISLAM

Oleh: Fadila Khusnun

 

Sejak awal republik ini berdiri, perdebatan tentang dasar negara serta bentuk negara, sudah mencuat. Wacana untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Khilafah (Baca: berlandaskan syariat Islam) bukanlah ihwal baru. Serupa dengan diskursus menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler. Setelah melalui perdebatan dan renungan panjang, dengan kearifan serta kebijaksanaan para pendiri bangsa ini, kemudian sepakat untuk menjadikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar negara Indonesia.

Namun pada perjalananya, pada saat sidang Konstituante tahun 1959, faksi Islam kembali memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Akhirnya, memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit, kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia. Di era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, beliau menegaskan kembali bahwa hanya Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi dasar negara bagi bangsa ini, bukan Islam, sekularisme, apalagi komunisme. Ketika Orde Baru tumbang, masyarakat bebas bersuara, dinamika perdebatan dan dialektika wacana mengenai hal ini menguap kembali ke permukaan, seiring dengan menguatnya isu radikalisme berbasis agama.

Trend radikalisme berbasis agama, saat ini merambah ke kampus-kampus serta pelajar Indonesia. Di lingkup akademis inilah paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tumbuh subur. Hal ini tidak bisa dilihat secara kasat mata, tapi dampaknya terasa. Pelajar dan mahasiswa dipupuk dengan ideologi Indonesia mesti menjadi negara Islam, perang dibolehkan melawan musuh Islam, dan kafir bagi kaum yang tidak mendukung syariat Islam (Hassanuddin Ali, 2019).

Mengembalikan tujuh kata yang dihilangkan dari Piagam Jakarta (Jakarta Charter), “berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” kembali diembuskan sebagai napas perjuangan mereka. Alasan-alasan seperti Islam sebagai mayoritas tidak mendapatkan haknya secara penuh serta Islam sebagai solusi di segala lini, khususnya atas permasalahan yang terjadi di Indonesia, dijadikan spirit untuk mengganti dasar negara dan bentuk negara menjadi negara Islam. Bagi mereka, agama—dalam hal ini Islam dan negara sejatinya merupakan integralistik yang tidak dapat dipisahkan. Semestinya, ini menjadi alarm wake up call bagi kita: the ideology of the nation is under attack.

Jika ditilik ke belakang, secara historikal, umat Islam sendiri mulai hidup bernegara sejak Nabi saw. hijrah ke Yatsrib (saat ini Madinah). Di Madinah, suatu komunitas bangsa dengan cita-cita bersama membangun negara berlandaskan kehidupan yang majemuk terlahir. Kemajemukan itu dibuktikan dengan adanya kaum muslim dan non muslim, kaum Muhajirin pengikut Nabi dari Mekah dan kaum Anshar pengikut Nabi dari Madinah.

Setelah menetap di Madinah, Nabi merumuskan dan mengumumkan Piagam Madinah. Isi Piagam Madinah yang dinyatakan di antaranya, “Kaum Muslimin adalah umat bersatu utuh, mereka hidup berdampingan dengan dengan kelompok-kelompok masyarakat lain. Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib (Madinah) dan Surat Perjanjian ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di Madinah mau pun sedang di luar Madinah, kecuali berbuat aniaya dan dosa.” Kandungan pokok Piagam Madinah tersebut mencerminkan sifat pluralisme sebagai suatu bangsa, bukan sebagai suatu negara berdasarkan agama tertentu (Dahlan, 2014). Piagam Madinah menjadi bukti bahwa sejak awal,peran Islam amat krusial dalam hal kenegaraan,dengan visi mempersatukan seluruh masyarakat dalam ikatan politik kenegaraan, bukan dalam ideologi agama Islam.

Prinsip hidup bernegara yang dibangun oleh Nabi, dipandang bersifat egaliter, inklusif, pluralis, dan aspiratif (Dahlan, 2014).  Hal ini dapat dilihat dari Perjanjian Hudaibiyah yang ketika itu Nabi mendengarkan aspirasi dari Suhail bin Amr, Seorang utusan Quraisy. Nabi meminta Ali bin Abi Thalib menulis “Dengan Nama Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengasih”, Suhail menyela bahwasannya dia tidak mengenal sifat Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih, kemudian ia meminta untuk diganti menjadi, “Dengan nama-Mu ya Tuhan”. Lalu, Nabi meminta Ali untuk menuliskan seperti apa yang diingini Suhail. Ketika Nabi meminta Ali menulis, “Berikut ini merupakan naskah perjanjian yang dicapai antara Muhammad utusan Allah dan Suhail bin Amr”, Suhail juga menyelanya dengan mengatakan bahwa, “Jika aku memercayai Beliau sebagai utusan Allah, maka aku tidak akan memusuhinya” dan ia meminta agar kata-kata “Muhammad utusan Allah itu dihapus menjadi Muhammad bin Abdullah”, yang hal ini kemudian menjadikan sahabat marah. Tetapi, sekali lagi Nabi meminta Ali untuk menulis seperti apa yang dikehendaki Suhail. Melalui prinsip hidup bernegara tersebut, Nabi mencapai kesepakatan dengan kaum Quraisy, sehingga Nabi dan para sahabatnya masih bisa menjalankan ibadah umrah di Makkah.

Sebagai satu negara yang berdiri di atas kemajemukan, mestinya kita bisa belajar dari hal tersebut. Para pendiri bangsa ini bukanlah orang-orang yang tidak berpikir panjang. Mereka memfinalkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah negara, dengan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 di tengah puspa ragam perbedaan bukanlah tanpa alasan. Pancasila merupakan bentuk kompromi para pendiri bangsa, tidak ada keberpihakan di dalamnya. Penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta bukan pula tanpa alasan, para pendiri bangsa mendengar aspirasi masyarakat Timur, meski pun mereka sebagai minoritas.

Kalangan yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, mungkin hendaknya diingatkan kembali. Barangkali, kalangan tersebut ialah kalangan ahistoris yang lupa proses dialektika sejarahnya, bahwa bangsa ini meraih kemerdekaannya bukan karena satu atau sekelompok gologan saja, namun dihasilkan dari keberhasilan banyak kelompok atau golongan yang berhasil mengubur egonya. Tak lagi membedakan agama, suku, dari mana mereka berasal serta hal yang bersifat primordial lainnya.

Pertentangan terhadap Pancasila dengan nilai Islam, semestinya memang tidak perlu. Pancasila ialah manifestasi dari bentuk negara Islami. Nilai-nilai dasar dalam Pancasila mengandung unsur-unsur keIslamian meski pun tidak tertulis secara gamblang, yang dijadikan acuan dalam bertindak sebagai bangsa yang berkeadaban. Sehingga, dari pada disibukkan dengan wacana mengganti dasar dan bentuk negara berlandaskan syariat Islam, alangkah lebih arif jika nilai-nilai Islam sendiri digunakan untuk merawat Pancasila.

LAKI-LAKI JUGA SEORANG FEMINIS

LAKI-LAKI JUGA SEORANG FEMINIS

“Isu feminisme di Indonesia masih mengalami kompleksitas persoalan. Islam dan feminisme di Indonesia masih mengalami ketegangan” begitu Prof. Alimatul Qibtiyah mengawali pembahasannya pada diskusi minggu, tanggal 08 November 2020. Guru Besar UIN sunan Kalijaga Yogyakarta ini, kemudian menunjukkan bagaimana pola berfikit, penafsiran, dan keyakinan umat Islam yang masih mengakar dan membudaya dalam menempatkan perempuan yang tidak sebanding dengan atau bahkan di bawah kaum laki-laki. “Hal ini lah, yang kemudian melahirkan banyak persoalan dan penderitaan pada perempuan. Kaum perempuan seringkali mengalami diskriminasi dan bahkan perlakuan-perlakuan tidak adil” imbuh anggota Komnas Perempuan ini.

Kegiatan tersebut merupakan rangkaian kegiatan ISAIS UIN SUSKA RIAU yang bekerjasama dengan MAARIF Institute. Suguhan diskusi kali ini, mengungkap topik”Arah Gerakan Feminis Muslim”.Selain Prof. Alimatul Qibtiyah, ada Syafiq Hasyim, Ph.D, Direktur Perpustakaan dan Budaya Universitas Islam Internasional Indonesia,yang juga memberikan uraian tentang gerakan feminisme di Indonesia. Webinar yang dimulai pukul 13.00 dan berahir jam 15.00 ini, dibuka oleh Abd. Rahim Ghazali, selaku Direktur Maarif Institute. Diskusi kali ini dimoderatori oleh Heru Lesmanda selaku Mahasiswa Pascasarjana UIN SUSKA Riau.

Secara historis, sesungguhnya perempuan dan laki-laki diciptakan sama. Bahkan Rasulullah SAW. memberikan contoh nyata kepada kita betapa beliau memulyakan perempuan. Nabi telah mampu mengangkat peran perempuan. Persoalan waris misalnya, perempuan memperoleh hak waris, setelah perempuan seperti tidak bernilai dimata kaum Jahiliyah.Gerakan feminisme bukan berarti melakukan penunggalan atau domistifikasi peran perempuan, melainkan mendorong agar perempuan bebas memilih peran terbaiknya, asalkan itu pilihan bebas dan tanpa paksaan.

Di Indonesia, kata Prof. Alimatul Qibtiyah, tidak semua pembela hak-hal perempuan bersedia menyebut dirinya sebagai feminis. Yang berani menyebut feminis justru dari kalangan LSM itupun yang muda-muda. Generasi tua, kebanyakan mereka enggan menyebut dirinya feminis. Beberapa mengatakan “Meskipaun kami berjuang untuk perempuan, tapi kami bukanlah feminis”. Penolakan ini, sebut perempuan jebolan UWS Australia ini, disebabkan oleh adanya stigma yang melekat pada istilah feminisme, misalnya feminisme sering dikaitkan dengan pengaruh Barat, individualistis, berkaitan dengan Gerakan Wanita PKI (Gerwani), anti laki-laki, dan pendukung lesbianisme. Bahkan di Barat sekalipun, ditahun-tahun 1990-an, mereka sering mengatakan “I am not feminis but …. i love equality”.

Pada tahun-tahun 90-an, para tokoh seperti Masdar F. Mas’udi, K. H. Husein Muhammad, dan lainnya sudah melakukan kajian serius untuk melakukan rekonstruksi tentang peran dan reproduksi perempuan. Pria Alumni Berlin Graduate School Muslim Cultural and Societis, Free University Berlyn German ini, menegaskan bahwa soal mendasar terkait dengan isu feminisme ini adalah soal persepsi mengenai tubuh perempuan. “Seringkali orang menganggap bahwa tubuh perempuan ini, merupakan obyek, tempat untuk dilakukan penindasan” imbuhnya. Padahal pertanyaan ini, sesungguhnya sudah pernah dikemukakan oleh Ahmad Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah, tegas pria yang menulis tentang Hal-hal yang tak Terpikirkan tentang Isu-isu Perempuan dalam Islam (Mizan, 2001) ini.

Tubuh perempuan yang lemah dan lembut itu, sesungguhnya sama dengan konstruksi tubuh laki-laki. Semua memiliki potensi yang sama untuk dilatih, dibina, dan dikembangkan sedemikan rupa. Sehingga, jangan melihat sisi “lembut” tubuh perempuan. Dengan demikian, laki-laki pun sesungguhnya memiliki kecendrungan yang sama jika lingkungannya mengkontruksi “tubuhnya” menjadi perempuan. Dengan demikian, persoalan feminisme ini, bisa mengalami rekonstruksi selama budaya dan lingkungannya mendukung atas pembelaan hak-hak perempuan. Jika Nabi Muhammad sendiri seorang feminis, maka muslim di Indonesia pun bisa menjadi pejuang feminis, semoga.

49 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (4): Era Kejayaan Kerajaan Johor-Riau dan Perang Riau

49 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (4): Era Kejayaan Kerajaan Johor-Riau dan Perang Riau

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Setelah meletakkan dasar pemerintahan politik dalam negeri, Sultan Sulaiman dan YDM I Kerjaan Johor-Riau (1722-1728) Daeng Marewa melakukan hubungan politik dan perdagangan dunia luar. Pada gilirannya secara berangsur-angsur kerajaan Melayu Riau mulai ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah dan bangsa, misalnya dari Cina, Siam India dan Arab. Keadaan ini semakin bertambah maju ketika Daeng Cellak memangku jabatan YDM II Kerajaan Johor-Riau (1728-1745). Pada masa pemerintahannya, sebagaimana disebutkan Raja Ali Haji dalam Tuḥfat al-Nafīs, Daeng Cellak membangun perkebunan gambir yang menjadi salah satu komoditi penting perdagangan bagi pendapatan ekonomi kerajaan.(Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 97).

Daeng Cellak juga mengembangan pertambangan timah di daerah Selangor, dan belakangan kebijakan ini diteruskan Daeng Kamboja YDM III (1748-1764) Melayu Riau.Perdagangan timah ini pernah menjadi penyebab peperangan pada masa pemerintahan YDM III Daeng Kamboja dengan kompeni Belanda, karena Daeng Kamboja menjual timah kepada Inggris secara bebas dan besar-besaran. Sedangkan hak monopoli perdagangan timah, menurut perjanjian Linggi, berada di tangan kompeni Belanda. Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 98; lihat juga, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji, 94.

Pada masa ini kerajaan Melayu Riau menjadi pusat perdagangan, dan pelabuhannya menjadi transito antara barat dan timur. Kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia berlabuh di pelabuhan kerajaan Melayu Riau. Dengan begitu, semakin memberikan peluang penarikan cukai yang sangat besar jumlahnya bagi keuntungan pemasukan pendapatan kerajaan. Kondisi ini tampak jelas diuraikan Raja Ali Haji dalam Tuḥfat al-Nafīs:

“Syahdan kata sahibul hikayat pada masa inilah negeri Riau itu ramai serta makmurnya dan segala dagangpun banyaklah datang dari negeri Jawa dan kapal dari Benggala membawa apium dan lain-lain dagangan, dan segala perahu dagang di Kuala Riau pun penohlah daripada kapal dan kichi… segala perahu-perahu rantau berchuchuk ikatan bersambung dan mendarat, demikianlah. Kemudian pada masa Yang Dipertuan Muda Daeng Kamboja rosaklah sebentar, kemudian baik pula semula hingga Yang Dipertuan Muda Raja Haji, makin ramailah. (lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs,97).

Di samping itu, kerjaaan Melayu Riau memegang hegemoni dalam bidang politik dan militer (armada tempur) yang tangguh serta disegani di daerah perairan Nusantara belahan barat. Kenyataan ini terlihat, misalnya ketika menjadi kelana –sebagai pembantu YDM III Daeng Kamboja– selama kurang lebih tiga dasawarsa, Raja Haji menyusun angkatan laut dan mengorganisir kekuatan militer serta menjalin hubungan diplomatik dalam perjalanan ekspedisinya di wilayah kawasan kerajaan-kerajaan tetangga, yaitu Selangor, Perak, Kedah Indragiri, Jambi, Bangka, Palembang, Mempawah dan Pontianak. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 97).

Dalam ekspedisi keberbagai daerah Raja Haji memainkan peran penting. Di Kedah, misalnya Raja Haji menjadi penengah ketika di sana terjadi perebutan tahta kekuasaan. Di Selangor ia terlibat perang dengan penjajah Belanda dan mengukuhkan saudaranya, Raja Lumu menjadi sultan. Di Asahan ia mengikat tali hubungan dengan memperistri putri raja. Ia berkunjung ke Jambi atas undangan raja Jambi. Dari kerajaan ini Raja Haji diberi gelar Sutawijaya setelah memperistri putri raja Jambi.

Setelah dari Jambi ia pergi ke Indragiri untuk membantu mengembalikan kekuasaan raja Indrigiri dari kekuasaan raja Bayan, dan pada akhirnya menjadi menantu raja setempat dengan memperistri putrinya, Raja Halimah. Di daerah ini atas izin raja ia membuka dua buah negeri, kuala Cinaku dan Pekan Lais. Tidak lama berselang, ia kembali berkunjung ke Mempawah dan Pontianak. Disini ia membantu Pangeran Syarif Abdurrahman dalam perang pengalahkan Penembahan Senggau, dan pada akhirnya menobatkan Pangeran Syarif Abdrurrahman menjadi raja di Pontianak. Atas jasanya itu Raja Haji mendapat kehormatan dan istana dari Pangeran Sharif Abdurrahman.(Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 133 dan 153; Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 376-384; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabililah, 30).

Pada masa pengembaraannya sebagai kelana, Raja Haji banyak sekali mendapat gelar disandangkan oleh penjajah Belanda kepadanya, misalanya ia dijuluki “pengembara yang merugikan”, “pemimpin kharismatik yang gemar berperang”, “pahlawan Skandinavia kuno yang tindakannya akan didendangkan orang dalam syair dan lagu”, ”pejuang ternama yang diingini oleh setiap raja berada dipihaknya”, dan “petualang yang kegagahannya menjadi cerita dan legenda”. (Lihat, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 30-31).

Ketika berada di Pontianak, Raja Haji mendapat kabar bahwa YDM III Daeng Kamboja telah mengkat, maka ia bergegas pulang ke Riau. Setelah sampai di Riau, Raja Haji dilantik menjadi YDM IV Riau pada 1777. Meskipun masa pemerintahan Raja Haji sebagai YDM IV Riau ini berlangsung singkat, hanya sekitar tujuh tahun, tetapi pada masanya Kerajaan Johor-Riau-Lingga mencapai kegemilangan dan kejayaan dalam bidang ekonomi-perdagangan dan politik-militer.

Keadaan kerajaan Johor-Riau pada masa Raja Haji ini dipaparkan Raja Ali Haji dalam Tuḥfat al-Nafīs bahwa Kerajaan Johor Riau-Lingga menjadi makmur. Kemakmuran ini disebabkan di antaranya banyaknya mendapatkan pemasukan kerajaan dari cukai. Dari dana itu pula Raja Haji membangun armada tempurnya yang sangat disegani di perairan barat Nusantara.Selain itu, pada masa ini kondisi politik kerjaaan demikian stabil, aman dan makmurnya, harga-harga barang dan komuditas menjadi murah, dan para pedagang mendapatkan untung karena ramainya pembeli. (Virginia Matheson (ed.), Tuḥfat al-Nafīs Sejarah Melayu Islam, 197).

Masyarakat Pulau Penyengat memandang bahwa pada abad ke-19 merupakan masa keemasan Pulau Penyegat.Pada waktu itu, masyarakat pulau ini boleh dikatakan hidup dengan sejahtera dan tidak terdapat orang miskin. Pada masa itu jumlah penduduk di Pulau Penyengat diperkirakan mencapai sekitar 9.000 jiwa, sedangkan di Tanjung Pinang dan Daik-Lingga masing-masing hanya sekitar 4.000 jiwa. Sumber pendapatan masyarakat Pulau Penyengat susah untuk diidentifikasi, tapi beberapa raja Pulau Penyengat mempunyai properti di Singapura, mempunyai pertambangan di kepulauan Riau dan menekuni bisnis yang sangat menguntungkan. Bandingkan, misalnya dengan jumlah penduduk kota Surabaya pada masa pemerintahan Sultan Agung yang berjumlah 60.000 jiwa. (Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 159; Barbara W. Andaya, “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Allies by the Rules of Riau 1899-1914, dalam Indonesia, no. 24, (1977), 217; Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (Jakarta: Gramedia, 1985), 137; Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 9).

Dari hasil ekonomi dan perdagangan tersebut Raja Haji membangun istana di Pulau Malam Dewa beserta “kota-kota yang indah-indah yang bertatah dengan pinggan dan piring dan satu pula dindingnya cermin, yang disebut memancarkan sinarnya bila diterpa sinar matahari.” Juga disebutkan bahwa perhiasan istana dibuat dari emas dan perak, sedangkan “pinggan mangkuk dan cawan kahwa dan teh diperbuat dari negeri cina…” Di samping itu, ia juga membangun istana yang indah untuk Yang Dipertuan Muda Besar, Sultan Mahmud di sungai Galang Besar. Dari penjelasan ini tergambar jelas bagaimana kedikjayaan politik dan kejayaan ekonomi kerajaan Johor Riau di era Raja Haji. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 187; Virginia Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu Islam, 196-197.)

Kerajaan Melayu Johor-Riau memegang hegemoni dalam pemerintahan politik-militer dan ekonomi-perdagangan pada paroh kedua abad ke-18 di bawah pemerintahan Yang Dipertuan Muda (YDM) IV Melayu-Riau, Raja Haji (1777-1784), kakek Raja Ali Haji, sehingga mengantarkan negeri ini kepada kejayaan dan kemakmuran. Kemakmuran itu membaut suasana kondusif untuk menyemai bibit ilmu dan pemahaman keagamaan serta pengalaman spritual. Akan tetapi, hegemoni politik-militer kerajaan Melayu-Riau berakhir –dan ekonomi-perdagangan turut (pula) surut– setelah terjadi peperangan antara Belanda dan kerajaan Johor-Riau di bawah pimpinan YDM IV Riau Raja Haji.

Dalam Tuḥfat al-Nafīs Raja Ali Haji menuturkan bahwa casus belli terjadinya perang Riau antara Raja Haji dengan kompeni Belanda, karena pihak Belanda melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama dengan pihak Raja Haji. Terdapat versi lain yang menyebutkan penyebab perang Riau, yang menurut pengakuan Raja Ali Haji, sumbernya ia peroleh dari “Sirah Lingga dan Riau” karangan Engku Busu. Sirah karangan Engku Busu menyebutkan bahwa Raja Kecil Tun Dalam Yang Dipertuan Trengganau sepakat dengan Kapten Class mengatur siasat untuk memancing kemarahan orang Riau. Mereka sepakat, Kapten Class akan membuat kerusahan di Kuala Riau agar orang-orang Riau marah kepada Belanda, dan Raja Kecil Tun Dalam akan menyerahkan, sebagai imbalan seorang wanita cantik cina yang baru masuk Islam, Jamilah namanya, sebagai imbalannya. Akhirnya, Jamilah hamil di tangan Kapten Class. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 196-197).

Dalam perjanjian antara meraka disebutkan bahwa musuh orang Belanda adalah juga musuh kerajaan Melayu Riau. Namun ketika terjadi penangkapan kapal Inggris bernama “Betsy” memuat candu di pelabuhan Bayan, dalam kawasan teluk Riau, Raja Haji menginformasikan kepada pihak Belanda di Malaka. Akan tetapi, dua belas hari kemudian, Mathurin Barbaron datang ke Riau untuk membawa kapal tersebut ke Malaka tanpa sepengetahuan Raja Haji.

Kemudian candu tersebut dijual dengan harga yang sangat mahal di Batavia. Dan Raja Haji tidak mendapatkan hasil dari penjualan itu yang, kalau menurut perjanjian, seharusnya pihaknya juga mendapat separuh dari hasil penjualan candu tersebut. Dengan begitu, Raja Haji merasa dikhianati dan dirugikan serta kehormatannya merasa sudah diinjak-injak oleh Belanda. Karenanya, ia mengembalikan surat perjanjian dan dipandangnya sudah tidak berlaku lagi. Atas sikap tegas Raja Haji ini disikapi pihak Belanda dengan mempersiapkan angkatan perang untuk menyerang kerajaan Melayu-Riau. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 196-207; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 58-59; Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 134; Lihat juga, Reinout Vos, “The Broken Balance the Origins of the War Between Riau and the VOC in 1783-1784”, dalam State and Trade in the Indonesian Archipelago, ed. G. J. Schutte (Leiden: KITLV Press, 1994), 115-139).

Belanda mengirim pernyataan perang kepada Raja Haji pada 18 Juni 1783 ketika kapal-kapal Belanda tiba di perairan Riau di bawah pimpinan Toger Abo. Tiga hari berselang, pada 23 Juni 1783, Raja Haji menjawab pernyataan perang tersebut. Dengan kekuatan perang di bawah komandonya langsung, Raja Haji memulai perang babak pertama dengan menyerang 13 kapal Belanda yang terdiri dari 1500 orang personil. Dalam pertempuran ini, pihak tentara Belanda merasa kewalahan menghadapi pasukan Raja Haji, danolehkarenanya, pihak Belanda mengirim bantuan dari Batavia untuk meneruskan peperangan. Pimpinan angkatan perang Belanda kali ini dipegang oleh Arnoldus Lemker di atas kapal komando “Malaka’s Welvaren”.

Merasa kembali terdesak pihak Belanda menawarkan perundingan, tetapi tawaran tersebut ditapik oleh Raja Haji. Dengan ditolaknya tawaran itu Belanda melancarkan serangan besar-besaran 6 Januari 1784. Namun dalam pertempuran yang berkecamuk, malang bagi pihak Belanda, Kapal komando “Malaka’s Walvaren” mampu diledakkan pasukan Raja Haji. Dan kapal-kapal angkatan perang Belanda masih tersisa lainnya mundur dan kembali berlabuh di Malaka. Sehingga peperangan babak pertama ini kemenangan ada pada pihak Raja Haji. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 196-207; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 66;Hasan Junus, Raja Ali Haji: Budayawan, 134).

Kemudian, peperangan babak kedua berlangsung pada 13 Februari 1784 ditandai dengan mendaratnya pasukan Raja Haji di Teluk Katapang, Melaka. Kemudian perang dilanjutkan dengan mengikutsertakan orang dari Selangor dan Rembau. Dengan kekuatan penuh yang dimiliki itu, Raja Haji mempu merebut kembali kubu-kubu yang selama ini dikuasai oleh Belanda, misalnya di Semabuk, Bunga Raya, Bandar Hilir dan Bukit Cina.

Menyadari kondisinya yang semakin terpojok, pihak Belanda di Malaka kembali menghubungi Gubernur Jederal Belanda di Batavia agar mengirimkan bantuan pasukan dan peralatan perang. Maka dikerahkan pasukan secara besar-besaran yang baru datang dari negeri Belanda dibawah panglima yang tidak asing lagi, Laksamana Jacob Pieter van Braam. Penambahan kekuatan dari Batavia ini tidak tanggung-tanggung terdiri dari: 6 buah kapal perang dengan 2130 personil pasukan, dan 326 buah meriam. Armada perang ini pada mulanya akandipersiapkan untuk dikirim ke Maluku karena di Ternate juga terjadi pemberontakan terhadap Peta Alam yang menjadi vasal VOC. (Lihat, Rustam S. Abrur, et.al., Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 71).

Pada awal 1784 Sultan Mahmud datang ke Teluk Ketapang menemui YDM Raja Haji. Pada kesempatan inilah, di hadapan Sultan Mahmud, Raja Haji sudah siap untuk mendapatkan “faḍīlah shahīd”. Pada 20 Mei 1784 kapal-kapal perang di bawah komando J. P. van Braam tiba di Melaka dan berlabuh di Teluk Katapang. Sekitar setengah bulan kemudian, persisnya, 18 Juni 1784 pasukan Belanda mendarat.

Kemudian terjadilah pertempuran habis-habisan di antara kedua belah pihak. Pada peperangan babak pertama pimpinan perang Belanda yang tewas, maka pada peperangan babak kedua ini pimpinan perang Riau, Raja Haji sendiri menemui ajalnya di jalan Allah di teluk Ketapang pada tanggal 18 Juni 1784. Raja Haji wafat dijalan Allah (fī sabīl Allāh) demi memperjuangkan kedaulatan kerajaan dan membela marwah negerinya, serta mempertahankan kebenaran agama diyakininya, maka sepeninggalannya ia dikenal dengan nama Raja Haji Fisabilillah. (Mengenai perang Riau, lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 196-207; bandingan dengan Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 55-76 dan 87-124 ; lihat pula, Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 134. Barbara W. Andaya dan Leonard Y. Andaya, History of Malaysia, 79; E. Netscher, Belanda Di Johor dan Siak 1602-1865, terj. Wan Ghalib, dkk. dariDe Nederlandeers in Djohor en Siak 1602 tot 1865 (Yayasan Arkeologi dan Sejarah ”Bina Pustaka”, 2002), 295; W.E. Maxwell, “Raja Haji”, dalam Journal of Straits Branch of the Royal Asiatic Society), No. 81 (1890), 188-224).

Gambaran tentang kepahlawanan dan keberanian Raja Haji terlihat, misalnya menjelang ajalnya sebelum beberapa peluru bersarang di dadanya, ia berdiri di samping mariam memimpin dan memberi semangat pasukan dengan sebilah badik di tangan kanannya, dan sebuah kitab Dalāyl al-Khayrāt di tangan kirinya. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 207; E. Netscher, Belanda Di Johor dan Siak, 329). Sedangkan mengenai kemenangan perang pertama Raja Haji melawan Belanda, Tengku Lucman Sinar menyimpulkan:

“Sebenarnya patut dicatat bahwa inilah suatu peristiwa perang pertama di Asia Timur, di mana armada salah satu adi kuasa maritim terkuat di Eropa dikalahkan oleh armada perahu imperium kerajaan Johor-Riau di perairan Asia.” (Lihat, Rustam S. Abrur, et.al., Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, xxii).Akan tetapi, kedahsyatan perang di bawah pimpinan Raja Haji ini belum tercatat dalam penulisan sejarah nasional Indonesia. Begitu pula, usulan pengangkatan Raja Haji sebagai pahlawan nasional harus menunggu waktu yang cukup lama untuk kemudian dikukuhkan oleh pemerintahan pusat. Padahal, perlawanan perang Riau di bawah pimpin Raja Haji itu sangat merepotkan pihak Belanda, dan kepahlawanan Raja Haji sendiri tidak kalah heroiknya, misalnya dengan kepahlawanan Imam Banjol, Pangeran Dipanegoro dan Sultan Hasanuddin yang masyhur itu.

Dan mengenai tokoh kepahlawanan Raja Haji dengan baik dapat dilihat lebih lanjut dari hasil seminar, “Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah”, yang kemudian diterbitkan oleh Pemda Tingkat I Riau; sebagaimana dikutip sebelumnya.Ketokohan dan kepahlawanan Raja Haji sendiri dalam menentang kolonialisme Belanda baru belakangan diakui oleh pemerintah Indonesia dengan diangkatnya sebagai pahlawan nasional. Akan tetapi, pemberian gelar oleh pemerintah pusat baru diberikan kepadanya setelah menunggu waktu yang cukup lama sejak diusulkannya oleh pemerintah daerah Provinsi Riau tahun 1988.

Kesimpulan utama dari Seminar “Sejarah Pejuangan Kepahlawanan Raja Haji Fisabilillah” diselenggarakan pada 26-28 Mei 1988di Tanjung Pinang, adalah merekomendasikan pengangkatan Raja Haji sebagai Pahlawan Nasional. Kesimpulan ini diambil berdasarkanfakta-fakta sejarah di sempaikan pakar yang otoritatif. Tim Pengkaji dan Penulisan Seminar, terdiri dari: Suwardi MS, Drs. M. Daud Kadir, Hasan Junus, Ismail Kadir, R. Hamzah Yunus, Eddy Mawuntu, Abubakar Matrang, Drs. Auni M. Nur, Drs. S. Fauzul, Drs. Nyat Kadir, dan H. Mukhsin Khalaidi. Narasumber pada seminar itu dan masing-masing judul makalahnya adalah (diurut sesuai dengan ‘Daftar Isi” buku Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah): 1)Tengku Lucman Sinar, SH., “Kepahlawan Yamtuan Muda Raja Haji Fisabilillah Marhom Teluk Katapang”; 2) Prof. Dr. S. Budhisantoso, “Peranan dan Tradisi Sejarah Kepahlawanan Raja Haji Fisabilillah”; 3)Abdurrachman Surjomiharjo, “Kesadaran Sejarah, Pahlawan dan Integrasi Nasional”; 4) Taufik Abdullah – Makalah: Abad 18 Di Selat Malaka dan Raja haji yang Terlupakan”; 5) Tanu Suherly, “Konsep politik dan Strategi Raja haji Yang Dipertuan Mudaa IV Kerajaan Melayu Riau (Sebuah Tnjauan)”; 6) A.B. Lapian, “Riau dan Pelayaran di Perairan Selat Malaka Pada Abad XVIII”; 7) Dra. Ar. D. Kemalawati, “Peranan Raja Haji dalam Perjuangan Melawan Penjajah Belanda di Riau”; 8) Prof. Dr. Ibrahim Alfian, “Gema Perang Fisabilillah Raja Haji”; 9) Hamid Abdullah, “Melacak Perjuangan Raja Haji”; dan 10) Rustam S. Abrus, “Raja Haji Fisabilillah Memimpin Rakyat Riau Dalam Perang Melawan Kolonialisme Belanda (1782-1782)”. Lihat, Rustam S. Abrur, et.al., Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, (Pekanbaru: Pemda Raiu, 1988).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.
48 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (3): Sumpah Setia Antara Melayu dan Bugis

48 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (3): Sumpah Setia Antara Melayu dan Bugis

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Pembenuhuan yang dilakukan oleh Raja Kecil kepadaSultan Abdul Jalil, dan perlakuan terhadap keluarganya, membuat sang “putra mahkota”, Raja Sulaiman beserta saudara perempuannya, Tengku Tengah tidak puas.Keduanya sepakat ingin menuntut balas atas kematian orang tuanya. (Lihat, Muhammad Yusoff Hashim, Hikayat Siak, 127; Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 191; Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 54-61).Akan tetapi, menurut Hikayat Siak, sesungguhnya yang lebih sakit hati kepada Raja Kecil adalah saudara perempuan Raja Sulaiman bernama Tengku Tengah. Dia sakit hati kerena sewaktu ayahnya, Sultan Abdul Jalil, masih hidup, Tengku Tengah telah dipinang oleh Raja Kecil. Akan tetapi, perkawinan itu tidak pernah terwujud, lantaran Raja Kecil lebih tertarik dan memilih adiknya, Tengku Kamariah yang lebih cantik dan jelita. Pada akhirnya Tengku Kamariah dinikahi oleh Raja Kecil, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Untuk mewujudkan maksud tersebut, Raja Sulaiman dan Tengku Tengah meminta bantuan kepada keturunan bangsawan Bugis putra Opu Tendri Borong Daeng Rilekka lima bersaudara: Daeng Parani, Daeng Manambung, Daeng Marewa, Daeng Calla’dan Daeng Kamase yang berasal dari Sulawesi Selatan.Menurut Tuḥfat al-Nafīs, tersebutlah di kerajaan Luwu’, Sulawesi Selatan seorang Raja bernama La Maddusilat yang mempunyai tiga orang putra, masing-masing bernama Pajung, Opu Tendri Borong Daeng Rilekka dan Opu Daeng Biasa.

Sewaktu Raja La Maddusilat mangkat, naiklah putra sulungnya, Pajung menggantikan singgasana ayahndanya.Sedangkan kedua adiknya diangkat menjadi menteri-menteri kerajaan. Akan tetapi, tidak lama kemudian, kedua adiknya tersebut bermohon kepada kakandanya untuk pergi merantau dan mengembara di negeri orang di sebelah barat Nusntara. Belakangan adik bungsunya, Opu Daeng Biasa menjadi kelana di tanah Jawa dan belakangan menjadi bagian pasukan Belanda dalam menduduki tanah Jawa. Atas jasanya, pihak Belanda mengangkatnya menjadi pimpinan keturunan Bugis di negeri Batavia.

Sedangkan Opu Tendri Borung Daeng Relakka –karena ketidakstabilan pemerintahan di kerajaan asalnya –beserta lima orang putranya pergi merantau dan mengembara ke Siantan, Malaka dan Johor serta sampai di Kamboja. Di Kamboja, misalnya Opu Tendribuang Daeng Rialaga beserta putra-putranya disambut dan dimuliakan oleh raja Kamboja [di sini putranya, Daeng Parani dikawinkan dengan putri raja Kamboja –ketika belakangan putranya lahir dari hasil pernikahan itu diberi nama Daeng Kamboja].

Akhirnya, tidak lama setalah meninggalkan wilayah Kamboja Opu Tendri Borong Daeng Rilekka wafat.Sepeninggalan ayahnya, putra tertuanya, Daeng Parani menggantikan kedudukan ayahndanya untuk memelihara adik-adiknya yang masih muda, khusus adiknya, Daeng Kamase dan Daeng Calla’. Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 181-182; A. Samad Hasan, Kerajaan Johor-Riau (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1985), 1-8; Untuk ejaan nama-nama keturunan Bugis lebih benar dan sekaligus lebih dapat dipertanggungjawabkan dari hasil penelitian Andi Ima Kesuma. Andi Ima Kesuma, Migrasi dan Orang Bugis: Penglusuran Kehadiran Opu Daeng Rilakka Pada Abad XVII di Johor (Penerbit Ombak, 2004), 96-100.

Ketidakstabilan politik di Sulawesi Selatan setelah hegemoni kerajaan Goa dikalahkan oleh penjajah Belanda, menyebabkan pengembaraan dan diaspora para bangsawan Bugis/Makassar ke berbagai daerah di Nusantara. Di bagian sebelah barat Nusantara mereka menyebar di pulau Jawa, Kalimantan, di kawasan perairan Selat Malaka, dan bahkan sampai di Ayuthia, Siam (Mung Thai). (Lihat, Taufiq Abdullah, “Abad 18 di Selat Malaka dan Raja Haji Yang Terlupakan”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 170; Leonard Y. Andaya, “The Bugis-Makassar Diaspora”, JMBRAS, Vol. 68, Part 1 (1995), 119-138; lihat juga Christian Pelras, “Petualangan Orang Makassar di Ayuthia (Mung Thai) pada Abad Ketujuhbelas”, Masyarakat Indonesia, Jilid IX, no. 2 (Desember 1982), 207227; Christian Pelras, “Beberapa Penjelasan Mengenai Dua Anak Bangsawan Makassar yang Pernah ke Perancis pada Abad ke XVIII”, Masyarakat Indonesia, Jilid IX, no. 1, (Juni 1982), 57-67).

Kesepakatan mereka terjadi dalam undangan Raja Sulaiman untuk jamuan makan malam kepada keturunan bangsawan Bugis lima bersaudara. Salah satu bentuk komitmen Tengku Tengah dengan saudaranya, Raja Sulaiman demi mengobati rasa sakit hatinya, iab ersedia “disandingkan” dengan salah seorang dari lima keturunan bangsawan Bugis. Sewaktu jamuan makan malam sedang berlangsung, seperti dituturkan Raja Ali Haji dalam Tuḥfat al-Nafīs:

“… kemudian Tengku Tengah keluar dan berdiri di pintu selasar membuka bidai, melepas subang di telinganya, seraya dia berkata, “Hai raja Bugis, jikalau sungguh hamba berani, tutuplah kemaluan hamba ini akan anak beranak saudara bersaudara! Maka (apabila) kemaluan beta semua (ini) tertutup, maka relalah beta (semua ini) menjadi hamba raja Bugis, jika hendak disuruh menanak nasi (raja) sekalipun relalah beta.” Setelah mendengar pernyataan Tengku Tengah itu, maka Opu Daeng Perani menjawab, seraya berkata, “Insya Allah, seboleh-bolehnya hamba tolonglah dan hamba tutupkan kemaluan Tengku semua anak beranak adik beradik.” (Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 191; Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 59-60; Muhammad Yussof Hashim, Hikayat Siak, 128).

Ada beberapa argumen, kenapa pilihan Raja Sulaiman memohon bantuan kepada keturunan bangsawan Bugis, lima bersaudara putra-putra Opu Tendri Borong Deng Rilekka, dan bukannya pada kekuatan lainnya. Pertama, setelah runtuhnya kerajaan Malaka pada 1511 telah memperlihatkan kemerosotan kepemimpinan penguasa Melayu. Proses degradasi ini terus berlanjut hingga terbunuhnya Sultan Mahmud II pada 1699. Penyebab utama kemerosotan tersebut, menurut Andaya, karena kelompok “Orang Laut” merupakan pendukung utama dari kerajaan, terutama berhubungan dengan kekuatan militer di perairan, sudah tidak bersedia lagi memberikan pengabdiannya kepada penguasa baru bukan keturunan langsung dinasti kerajaan Melaka. Menurut mareka, pengabdiannya secara total berakhir pada penguasa keturunan terakhir kerajaan Malaka. (Lihat, Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor, 323; Hamid Abdullah, “Melacak Perjuangan Raja Haji”, dalam SejarahPerjuangan Raja Haji Fisabililla, 282-283).

Kedua, sebelum masa Sultan Sulaiman, campur tangan Bugis pernah terjadi (kali pertama) pada tahun 1679 atas undangan Sultan Ibrahim ketika diusir dari Johor dan lari ke Riau. Sejak itu dan khususnya memasuki abad ke-18 sejarah Riau dan daerah sekitarnya selalu terikat dengan kekuatan opu-opu Bugis yang muncul dengan pesat dan memainkan peranan sangat penting di perairan Malaka. Di kalangan ahli sejarah menyebutkan bahwa dalam abad ke-16 dan ke-17 ada dua kekuatan berpengaruh di Riau dan daerah sekitarnya, yaitu pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-17 adalah Aceh; dan pada paroh kedua abad ke-17 hingga abad ke-18 adalah Bugis. (Lihat, Ong Hok Ham, “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, ed. S. Budisantoso, 1986:185).

Orang-orang Bugis menjadi kekuatan sangat diperhitungkan pada masa akhir abad ketujuh belas dan awal abad ke delepan belas karena La Maddusalat merupakan keturunan raja-raja Luwu’, Bone, Soppeng dan Wajo, sehingga keturunannya Opu Tendri Borong Daeng Rilekka dan putra-putranya lima bersaudara mempunyai hubungan geneologi yang luas di Sulawesi Selatan. Dengan begitu, Opu Tendri Borong Daeng Rilekka beserta putra-putranya lima bersaudara dapat diterima oleh suku-suku bangsa Bugis dari berbagai asal “kerajaan” (seperti, Luwu, Gowa, Bone, Wajo, Soppeng, Tanete, Suppa dan Pammanah, dan lainnya) sebagai pemimpin mereka di perantuan. Karenanya, tampilnya lima orang bersaudara memulihkan dan menegakkan kedaulatan kerajaan Johor dari serangan Raja Kecil tidak dapat disangkal kalau keberhasilan itu didukung secara serempak dari kaum migrant Bugiss di Johor. (Lihat, Andi Ima Kesuma, Migrasi dan Orang Bugis, 103).

Ketiga, Pada abad ke-18 dalam pengembaraan keturunan lima orang bangsawan Bugis semakin memperlihatkan kekuatan dan kedikjayaannya di bidang peperangan di perairan wilayah bagain Barat Nusantara, khususnya di daerah Melaka dan sekitarnya. Pada masa ini para pengembara keturunan Bugis terlibat secara aktif dan menjadi kekuataan utama di Selat Malaka. Dengan Riau berada di tangan mereka, sekali lagi Selat Malaka dikontrol oleh pasukan yang mampu memberikan kondisi aman dan stabil dalam bidang perdagangan di kawasan ini. Apa lagi setalah mereka mengalahkan Raja Kecil pada 1728, kekacauan dan gangguan perdagangan yang sebelumnya lazim terjadi di Selat Malaka kini mulai memperlihatkan kondisi lebih mapan dan stabil. (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Medern 1200-2004, 159).

Dengan bantuan bangsawan Bugis lima bersaudara tersebut Raja Kecil berhasil dihalau dari Kerajaan Melayu-Riau pada 1722, dan putra Abdul Jalil, Raja Sulaiman, diangkat menjadi sultan menduduki singgasana kerajaan Melayu Johor-Riau. ( D.G.E. Hall, A History of South-East Asia (London: Macmillan & Co Ltd, 1964), 328). Dalam Tuḥfat al-Nafīs dilukiskan bahwa tidak kurang dari sebelas kali terjadi konflik perang/ kontak pisik langsung antara pihak Raja Kecil dengan pihak opu-opu keturunan lima orang bangsawan Bugis dalam memperebutkan kekuasaan di kerajaan Melayu-Riau. Lebih lanjut lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 155-157.

Setelah pengangkatan Raja Sulaiman menjadi sultan, diikuti dengan pengangkatan Daeng Marewa sebagai Yang Dipetuan Muda (YDM) I dalam pemerintahan kerajaan Melayu Johor-Riau.Setelah pengukuhan Raja Sulaiman menjadi Sultan kerajaan Melayu Johor-Riau, ia kemudian bertitah kepada keturunan bangsawan Bugis: “Janganlah balik ke Bugis dulu dimintanyalah salah seorang dari opu-opu lima beradik itu menjadi Yang Dipertuan Muda dalam memerintah kerajaan Riau dan Johor dan Pahang dengan segala takluk daerahnya.”

Ketika Daeng Parani –sebagai yang paling senior –mengungkapkan bahwa apapun keputusan banginda Sultan ia akan menerimanya. Namun, khusus untuk dirinya, ia tidak mau menjadi YDM dan menyerahkan kepada adik-adiknya. Selanjutnya, sebagai tertua yang kedua, Daeng Manambung memberikan jawaban bahwa ia tidak sanggup mengemban jabatan itu, di samping ia telah mengikat janji dengan Sultan Matan di Mempewa. Kemudian Daeng Chellak memberikan jawaban bahwa ia tidak mau menjadi YDM selagi kakaknya, Daeng Marewa masih ada. Sementara Daeng Kumisi juga memberikan jawaban bahwa ia tidak berhajat untuk memangku jabatan YDM dan lebih memilih untuk tinggal di Sambas.

Kini tiba giliran Daeng Marewa untuk memberikan jawaban bahwa ia tidak mau menjadi YDM sekiranya ia ditinggal saudara-saudaranya. Mendengar jawaban kelima bersaudara bangsawan Bugis itu, baginda sultan terdiam. Dalam situasi hening, lalu Daeng Manumpuk, sebagai orang dituakan, berkata (dalam bahasa Bugis), diterjemahkan kedalam bahasa Melayu, kira-kira seperti ini, “Janganlah kiranya paduka anaknda sekalian hampakan maksud (paduka kakanda baginda) Sultan Sulaiman itu, tiada sedap dihampakan, karena yang kitapun (telah) mengangkat serta membesarkan dia, adapun titahnya kepada paduka anaknda sekalian pasti berlaku.

Setelah itu, Daeng Parani berucap bahwa adapun keberatan adinda Daeng Marewa untuk tidak mau ditinggalkan oleh saudaranya, maka ia menyanggupi untuk membantunya. Setelah sepakat dengan baginda Sultan Sulaiman maka dilantiklah Daeng Marewa sebagai Yang Dipetuan Muda I Kerajaan Johor-Riau. Adapun Daeng Chellak, tidak lama, dalam minggu itu juga, ia dikawinkan dengan Tengku Madak, saudara Sultan Sulaiman sendiri. Virginia Matheson, Tuḥfat al-Nafīs Sejarah Melayu-Islam (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991),213-215; Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 61-62.

Pengangkatan Daeng Merewa sebagai YDM sebagai konsekwensi logis dari “sumpah setia” dari kedua belah pihak yang diikrarkan sebelumnya, yaitu bahwa “apabila bangsawan Bugis berhasil memulihkan kehormatan Raja Sulaiman maka bangsawan Bugis akan diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda Kerajaan Melayu Johor-Riau secara turun-temurun.”(Lihat, Raja Ali Haji, Silsilah Melayu Bugis, 1973), 67-68).

Jabatan Yang Dipertuan Muda di kerajaan Johor Riau-Lingga, menurut Muhammad Yusoff Hashim, tidak dikenal dalam tradisi pemerintahan Melayu sebelumnya, tetapi merupakan “jawatan ciptaan baru yang dilakukan oleh/ untuk kuturuan lima bangsawan Bugis yang telah mengembalikan kekuasaan dan kehormatan Sultan Sulaiman.” Lihat, Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu: Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara, 1992: 457). Mereka berjanji untuk saling mengakui persaudaraan satu dengan lainnya dan berjanji untuk saling tolong-menolong di antara mereka dengan melakukan sumpah setia di bawah persaksian kitab suci al-Qur’an. (Buyong bin Adil, Sejarah Johor (Kuala Lumpur: Dewan dan Pustaka Kementerian Pelajaran Melayu, 1971: 101).

Jabatan Yang Dipertuan Muda, menurut Muhammad Yusoff Hashim, tidak dikenal dalam tradisi pemerintahan di kerajaanAlam Melayu sebelumnya. Akan tetapi, jabatan penting Yang Dipertuan Muda itu merupakan “jawatan ciptaan baru yang dilakukan oleh keluarga Bugis.” (Lihat, Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu, 457). Meskipun sebelumnya dalam tradisi Melayu ada jabatan yang, warisan dari kerajaan Malaka, disebut “Raja Muda”, tetapi jabatan ini memiliki pengertian dan fungsi berbeda dengan jabatan Yang Dipertuan Muda yang dipangku secara turun-tumurun oleh bangsawan Bugis dari Sulawesi Selatan yang memiliki kewenangan besar dan dominan dalam pemerintahan.Di awal abad ke-18 hirarki pentadbiran (kekuasaan dan pemerintahan)di kerajaan Johor-Riau yang diwarisi dari kerajaan Malaka terdiri dari berbagai kedudukan dan jabatan: Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, diikuti jabatan berturut-turut: Raja Muda (kandidat sultan), Bendahara, Temenggung, Laksamana, dan Kadi. Khusus untuk jabatan Raja Muda, misalnya Raja Indra Bungsu menduduki jabatan ini pada tahun 1708.

Dengan demikian, menurut Hamid Abdullah, kepemimpinan gabungan di kerajaan Melayu Johor-Riau itu merupakan tipe kepemimpinan pertama yang terjadi di dalam sejarah Semenanjung dan/atau di Nusantara yang lahir pada abad ke-18. Inilah peristiwa pertama kali terjadi dikawasan ini suatu kelompok etnis datang dari luar telah berjaya masuk dalam struktur kekuasaan Melayu. Untuk itu, pengangkatan YDM dalam struktur pemerintahan kerajaan (apalagi secara turun-temurun), menurut Hamid Abdullah, mempunyai implikasi politik. Pertama, bangsawan Bugis yang semula “out sider”, lalu tampil ke depan dan menjadi “determinator” dalam struktur politik dan pemerintahan Melayu Johor-Riau. Kedua, pemerintahan gabungan ini telah membawa kerajaan Melayu Johor-Riau kepada kejayaan dan dominasi politik di perairan selat Malaka dan sekitarnya lebih dari setengah abad. (Hamid Abdullah, “Melacak Perjuangan Raja Haji”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabililla, 282-283).

Meskipun secara teoritis, kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan, namun secara oprasional kekuasaan berada di tangan Yang Dipertuan Muda. Wilkinson memberikan satu ilustrasi yang menarik: “Yang Dipertuan Besar, menempati posisi sebagai “seorang istri”, ia baru dapat makan kalau diberi makanan kepadanya. Akan tetapi, Yang Dipertuan Muda, menempati posisi sebagai “seorang suami”, setiap keinginannya harus menjadi kenyataan.”(“The Yang Dipertuan Besar is to occupy the position of a woman only, he is to be fed when we choose to feed him, but the Yamtuan Muda is to be in position of a husband, his will is always prevail”). (Pernyataan Wilkinson dalam karyanya, A History of the Peninsular Malays, dikutip dari Hamid Abdullah, “Melacak Perjuangan Raja Haji”, 282-283; lihat juga Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu, 457).

Belakangan, ilustrasi Wilkinson ini tergambar dalam pergantian pemilihan baik pemilihan sultan (Yang Dipertuan Besar) maupun pemilihan Yang Dipertuan Muda, bahwa pihak Bugis kerapkali memaksakan kehendaknya, dan pada akhirnya menjadi kenyataan.

Ketika Sultan Sulaiman wafat (1722-1760) setelah putranya, Sultah Abdul Jalil (1760-1761) dan cucunya, Sultan Ahmad (1761-1761) keduanya wafat sewaktu masih bayi, pihak Melayu mengajukan calon yang sesuai dengan keinginan mereka, tetapi pihak Bugis memiliki keinginan calon, dan memaksakan keinginannya tersebut. Akhirnya, mereka mengangkat Sultan Mahmud (1761-1812) yang beribukan putri dari Daeng Cella’ untukmenjadi sultan. Apa lagi pemilihan YDM, sultan sebagai penguasa tertinggi di kerajaan tidak dapat menentukan sesuai dengan keinginannya, tanpa ada persetujuan dari pihak Bugis. Bahkan apabila keinginan keduanya berbeda tentang siapa akan diangkat menjadi YDM, dalam banyak kejadian keinginan pihak Bugislah yang harus menjadi kenyataan. Misalnya, peristiwa ketika YDM VII Riau Abdul Rahman (1831-1844) wafat, pihak sultan mengajukan beberapa calon pengganti, tetapi pihak Bugis tetap memaksakan keinginginannya, dengan sokongan dari pihak Belanda, untuk mengangkat Raja Ali bin Ja’farjadi YDM. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 138-139).

Jadi, menurut Taufik Abdullah, tidaklah mengherankan jika sultan kadang-kadang merasa dirinya “terbelenggu” dominasi kelompok Bugis. Maka sultan dan kelompok orang Melayu terus berusaha mengembalikan keunggulannya dipercaturan politik internal kerajaan Johor-Riau. (Taufik Abdullah, “Abad 18 di Selat Malaka dan Raja Haji yang Hampir Terlupakan”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 174).

Dalam perjalanan sejarah kerajaan Melayu Johor-Riau yang panjang, kehadiran bangsawan etnis Bugis dan peranan dominan sebagai Yang Dipertuan Muda kerajaan Melayu-Riau kerapkali menimbulkan pertentangan dan persengketaan antara keduanya, kondisi ini tentu saja dapat mengancam kelangsungan kerajaan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa peran dominan keturunan Bugis belum dapat diterima sepenuhnya oleh keturunan etnis Melayu, misalnya dengan melancarkan fitnah. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 103,145, dan 245).

Meskipun demikian, pertentangan secara terbuka di kalangan orang-orang Bugis dan Melayu dengan latarbelakang etnik, menurut Putten, sepertinya hanya sedikit bukti pendukungnya. Jelas memang ada pertentangan di antara mereka, misalnya sewaktu pemecatan Sultan Mahmud dengan dukungan orang-orang Bugis pada 1857. Akan tetapi, pertentangan itu lebih disebabkan masalah politik, ketimbang dilatarbelakangi perbedaan etnik diantara sebagai orang Bugis danMelayu. (Lihat, Putten, A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim’s Strategy of Survival,” dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, ed. Barnard, Timothy, J. (Singapore: Singapore University Press, t.t), 121; lihat juga Putten, “A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim’s Strategy of Survival,” dalam Journal of Southeast Asia Studies, Vol. 32, No. 3 (Oktober 2001), 343).

Memahami posisinya sebagai keturunan berdarah dari kedua etnis tersebut, Raja Ali Haji berusaha untuk menghilangkan pertentangan dan permusuhan di antara keduanya. Meskipun permusuhan antara kedua etnis ini pada masanya relatif sudah mereda dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Namun, Raja Ali Haji senantiasa memberikan peringatan dan nasehat untuk meredam “hawa nafsu” agar benih-benih permusuhan tidak mencuat ke permukaan.

Raja Ali Haji dengan arif mencermati dan menyiasati gejala-gejala keruntuhan yang sedang mengancam masyarakat. Ancaman keruntuhan itu, menurutnya, berasal dari perselisihan di kalangan orang-orang Melayu dan Bugis. Raja Ali Haji acap kali memperingatkan agar masyarakat di kerajaan Melayu Johor Riau-Lingga dapat mengekang hawa nafsu dan senantiasa merenungkan akibat negatif yang akan ditimbulkannya. Untuk itu, Raja Ali Haji menganjurkan untuk selalu memuliakan rasa malu (rendah hati), ilmu (pengetahuan), dan akal (nalar). Dengan tanpa memiliki sifat ini adalah pangkal awal dari keruntuhan negeri. (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 1986: 230; Andaya dan Matheson, “Islamic Thougth and Malay Tradition – Writing of Raja Ali Haji of Riau”, dalam Perceptions of The Past in Southeast Asia, ed. Anthony Reid dan David Marr, 1979), 117).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.