Oleh Alimuddin Hassan Palawa*
Pada akhir dekade abad ke-19 dan awal dekade abad ke-20 Singapura menjadi kota kosmopolitan. Kota ini menjadi pusat kegiatan keilmuan, keagamaan dan dakwahdi kawasan Dunia IslamMelayu-Nusantara kira-kira seabad setelah dibangun/didirikan Thomas Stamford Reffles (1819). Terkait dengan ini, Anthony Reid mengutarakan dengan baik kondisi dan arti penting kota Singapura pada masa itu:
“Singapura menjadi tempat berkumpulnya bukan hanya para calon yang setiap tahun pergi ke Mekah dari wilayah kekuasaan itu, tetapi juga orang-orang yang tidak senang, para petualang dan lain sebagainya, yang, seperti sering ditunjukkan, rela memilih tempat ini sebagai basis (pangkalan) bagi kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang mengganggu kepentingan-kepentingan Belanda di Kepuluan Hindia Belanda ini. Di tempat inilah musuh-musuh pemerintah Belanda dapat bertemu, dan kadang-kadang menyusun seruan-seruan kepada Turki, dengan jaminan bahwa Pemerintahan Pendudukan Inggris kurang memiliki pengetahuan dan perhatian terhadap apa-apa yang dilakukan oleh mereka.” (Lihat, Anthony Reid, “Pan-Islamisme Abad KesembilanBelas”: 7).
Dari kutipan di atas dengan jelas disebutkan bahwa kota Singapura menjadi pangkalan umat Islam yang akan pergi dan pulang menunaikan ibadah haji. Lebih dari itu –dan ini yang jauh lebih penting seiring munculnya kesadaran keagamaan dan kebangsaan (nasionalisme)– sepulang dari melaksanakan ibadah haji mereka menjadikan kota Singapura sebagai basis dakwan agama dan perjuangan cinta tanah air. Meskipun demikian, pernyataan Anthony Reid tersebut sangat terkesan tendensius, mencurigai dan menyudutkan umat Islam, layaknya mewakili “bahasa-bahasa” penjajah kolonial Belanda.
Pada masa itu banyak ulama-ulama (cendikiawan Muslim) baik yang pulang dari menunaikan ibadah haji, dan terutama yang baru menyelesaikan/menempuh pendidikannya di Mekkah-Madinah dan Mesir bermukim di Singapura. Di kota “Singa” ini meraka melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan, termasuk dalam menyuarakan ajaran-ajaran agama lewat penerbitan-penerbitan surat kabar dan majalah atau jurnal dalam bahasa Melayu. Sepertinya, aktifis-aktifis keagamaan sudah memandang perlu keberadaan media penerbitan untuk kepentingan penyebaran pemikiran dan dakwah Islam.
Di kawasan dunia Melayu, menurut William Roff,dalam rentang waktu 65 tahun (dari 1876 sampai menjelang pecahnya Perang Dunia II) terdapat tidak kurang mencapai 147 terbitan. Di antara begitu banyak surat kabar dan majalah Melayu yang sudah eksis sebelum Al-Imam terbit pada tahun 1906, misalnya ada Jawi Peranakan (1876) yang merupakan surat kabar berbahasa Melayu pertama di kawasan ini. Mengikuti Jawi Peranakan, pada 1877 di sana terdapat dua Surat kabar Melayu, yaitu Najumul-Fajr dan Peredaran Al-Shamsu Wal-Qomar.
Kemudian, pada 1888 disana barulah lahir Sekolah Melayu, berikutnya Sri Perak (1893), Tanjung Penagari (1894), Pimpinan Warta (1895), dan Jajahan Melayu (1896). Dalam 1890 saja, telah diterbitkan tiga surat kabar Melayu yakni: Lengkongan Bulan, Bintang Timur dan Cahaya Pulang Pinang. Pada 1901 terdapat satu surat kabar Melayu yang dilaporkan keberadaannya, yaitu Jambangan Warta. Belakangan pada 1904 terdapat dua media yang lahir, yaitu Taman Pengetahuan dan Khazanah al-Ilmu.
Tidak ada bukti yang dapat diusut untuk membuktikan keberadaan tentang surat kabar dan majalah Melayu yang lain pada 1906. Pada tahun itu hanya Al-Imam yang eksis, selain dari Cahaya Pulau Pinang (1900-1908). Akan tetapi,terbitan yang disebut belakangan ini adalah surat kabar harian dan tidak terbit secara periodik. Baik Cahaya Pulau Pinang maupun Al-Imam dalam waktu yang bersamaan masing-masing menghentikan penerbitannya pada 1908.(Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society: 1906-1908, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1991: 17-18; W. R. Roff, Sejarah Surat-Surat Kabar Melayu: 7-11).
Dari sekian banyak surat kabar dan majalah tersebut sebagian besar terbit di Singapura. Ada pertanyaan masih belum terjawab, kenapa sejumlah surat kabar, jurnal/majalah, khususnya jurnal keagamaan diterbitkan di Singapura? Pertanyaan yang lebih mendasar adalah kenapa aktivitas keilmuan dan dakwah Islam berkembangdi sebuah kota koloni Inggris, dan bukannya terbit di negeri-negeri Melayu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20? Atas pertanyaan ini, terdapat sejumlah kemungkinan jawaban dapat dikemukakan.
Pertama, karena Singapura sebagai sebuah koloni Inggris memberikan peluang bagi masyarakat dengan bebas dan leluasa dalam masalah-masalah keagamaan. Kondisiini berbeda dengan di negeri-negeri Melayu dimana urusan keagamaan merupakan kekuasaan prerogatif tetap dari pemerintahan monarki.
Kedua, Singapura, pada waktu itu, merupakan persinggahan para pedagang dan pelayaran internasional yang lalu-lalang melakukan hubungan dan transaksi. Dengan begitu, menjadikan pulau “singa” itu sebuah “pusat kosmopolitan Dunia Muslim-Melayu di kawasan ini.
Ketiga, para saudagar dan pedagang dermawan membantu baik material maupunmoral terhadap sejumlah penerbitan, khususnya ataspenerbitan majalah Al-Imam yang berkedudukan di Singapura (Abu BakarHamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society: 2-3).
Keempat, pada paroh kedua abad ke-19 masyarakat Melayu-Riau pada khususnya, dan masyarakat “Jawi” Melayu-Nusantara pada umumnya, sebagian besar di antara mereka pergi menunaikan ibadah haji dengan mengambil surat jalan dari dan pulang melalui pintu Singapura.
Bahkan lebih dari awal itu disebutkan bahwa ayah Raja Ali Haji, Raja Ahmad sekembalinya ke Riau dari perjalanan niaganya di Batavia, kapal terakhir dari Singapura sudah berangkat menuju ke tanah Arab. Maka Raja Ahmad tidak dapat mewujudkan niatnya menunaikan ibadah haji menuju ke Tanah Suci pada musim tahun ini, dan dengan terpaksa harus ditundanya pada tahun depan. Akhirnya, pada 1827 Raja Ahmad dan rombongan dapat bertolak menuju ḥaramayn, Mekkah dan Madinah untuk melaksanakan kewajiban rukum Islam yang terakhir. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs: 301).
Ada sejumlah alasan, sehingga masyarakat Melayu-Nusantara lebih memilih lewat Singapura sebagai “pintu” keluar dan masuk dalam menunaikan kewajiban ibadah haji. Pertama, sepanjang abad ke-19 pemerintahan Belanda memperlakukan peraturan yang ketat bagi calon jama‘ah haji sebelum berangkat ke Mekkah. Sebuah peraturan dikeluarkan antara tahun 1825-1852 yang menetapkan biaya paspor naik haji yang cukup besar senilai 110 rupiah (Belanda).
Selain itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan aturan baru pada tahun 1859 yang mengharuskan setiap calon jama‘ah haji (i) untuk meminta “pas jalan” kepada Bupati tanpa ongkos resmi; (ii) untuk memperoleh sebuah sertifikat dari Bupati yang menerangkan kemampuan finansial membiayai kepulangan mereka dari Mekkah dan para tanggungannya yang ditinggal di kampung halaman; (iii) untuk diuji oleh Bupati –atau orang ditunjuk untuk itu– sepulang dari Mekkah, setelah itu mereka baru diperkenankan memakai gelar “haji” dan pakaian haji. (Lihat, K.A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 236-237; lihat juga, Anthony Reid, “Pan-Islamisme Abad Kesembilan Belas di Indonesia dan Malaysia”, dalamNico J. G. Kaptein, Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang Pan-Islamisme di Hindia-Belanda Timur pada Akhir Abad Kesembilan Belas dan Awal abad Kedua Puluh, Seri INIS XLII (Leiden-Jakarta: INIS, 2003, 7).
Karenanya, atas perlakuan tersebut calon jema’ah haji lebih memilih lewat Singapura sebab pemerintahan Inggris tidak memberlakukan syarat-syarat yang ketat, sebagaimana diterapkan pemerintahan Hindia Belanda (W.R. Roff, The Origin of Malay Nationalism: 38). Meskipun belakangan kebijakan biaya paspor yang mahal diralat oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan biaya paspor yang wajar atas permintaan perusahaan Perkapalan Kerajaan Belanda (KPM) demi melipatgandakan jumlah penumpang kapal. (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 67).
Kedua, pemerintahan Hindia Belanda melakukan pemeriksaan terhadap jama‘ah sepulang mereka menunaikan ibadah haji. Pemerintahan Belanda menaruh curiga kepada jama’ah haji kalau mereka mendapatkan pengaruh sosial dan politik. Selain itu pemerintah kolonial Belanda khawatir kalau orang-orang yang baru menunaikan ibadah hajiitu melakukan tindakan subversif di wilayah mereka masing-masing sepulang menunaikan ibadah haji (K. A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, 234-243).
Ketiga, pemerintahan Hindia Belanda tetap tidak membentuk konsulat di Jeddah hingga tahun 1872, meskipun calon jama’ah haji dari Melayu-Nusantara (Hindia Belanda) dalam jumlah yang besar tinggal dan melalui Hijaz. Melihat jumlah calon jama‘ah haji yang demikian besar, seyogyanya pemerintah Hindia Belanda memberikan kemudahan dan bantuan dengan membuka konsulat di Jeddah. Konsulat ini idealnya mempunyai tugas, yaitu memberikan kemudahan dan bantuan atas pengaduan jama‘ah berbagai masalah yang dihadapi, misalnya pengaduan tentang perlakuan pegawai Mekah, perusahan kapal, atau terjadi perampokan perjalanan antara Jeddah dan Mekkah dengan harapan dapat memperoleh uang dari konsulat itu.
Akan tetapi, pada kenyataannya konsulat tidak dapat memberikan bantuan maksimal, selain faktor teknis, seperti pegawai konsulat tidak menguasai bahasa Arab dan Indonesia. Parahnya lagi, menurut Steenbrink, “…sejarah Konsulat Belanda di Jeddah ini merupakan kumpulan peristiwa yang cukup menyedihkan. Ada konsul yang sangat korup, yang mencari uang dengan visa dan yang bekerja sama dengan agen perusahan pelayaran untuk menambah gaji mereka (K.A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, 234-243).
Keempat, perusahaan kapal laut Belanda tidak satupun mengambil peran dalam memberangkatkan calon jama‘ah haji Melayu-Nusantara ke Mekkah hingga akhir abad tersebut. Sungguh-pun sikap resmi pemerintah Belanda berubah pada 1889 dengan diangkatnya C. Snouck Hurgronje sebagai penasehat atas urusan Penduduk Pribumi dan Arab, tetapi kebijakan itu dibatalkan sebelum 1902, sehingga satu dekade abad ke-20 calon jemaah haji Melayu-Nusantara tetap berangkat melalui Singapura. Pada tahun 1900, misalnya terdapat 14.000 orang yang menunaikan ibdah haji lewat Singapura, 70 % dari mereka menumpang kapal-kapal Inggris (Sharon Siddique, “Posisi Islam di Singapura”, dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988: 396).
Pada dekade awal abad ke-20 jumlah jama’ah haji berasal dari Asia Tenggara semakin bertambah banyak seiring meningkatnya kondisi ekonomi dan kesadaran religiusitas masyarakat di kawasan ini. Angka jama‘ah haji, khususnya Melayu-Nusantara (Netherlands India) selalu meningkat dari tahun ke tahun, misalnya 28.000 orang jama‘ah pada 1913/1914; 40.000 jama‘ah dalam tahun 1923/1924; dan 52.000 jama‘ah pada 1926/1927.
Jama‘ah haji asal Melayu-Nusantara (Netherlands India) mencapai puncaknya pada 1920-an, dan merupakan sepertiga jumlah dari umat Islam di seluruh dunia yang menunaikan ibadah haji. (Lihat, Jacob Vredenbregt, “Haddj. Some of Its Features and functions in Indonesia”, dalam BKI, 118, 1 (1962), 92-94. Data lain tentangjama‘ah haji Melayu-Nusantara dari tahun ketahun (1879-1939), lihat, H. Aqib Suminto, Islam di Indonesia: Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986), 222-223, khususnya pada “Lampiran V”).
Beberapa tahun sebelumnya data statistik Pemerintahan Belanda menyebutkan bahwa antara tahun 1911-1914 jama‘ah haji Indonesia mencapai 50 persen dari total jemaah haji dari seluruh penjuru dunia (Lihat, ZamakhsyariDhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 2011: 67). Dengan kenyataan ini wajar kalau orang-orang Melayu, menurut Wilkinson, mengklaim bahwa mereka lebih banyak mengirim jama‘ah haji ke Mekkah, ketimbang umat Islam dari berbagainegara, seperti India, Persia dan Turki. (Virginia Matheson dan A.C. Milner, “Tuhfat al-Nafis: The Precious Gift”: 38).
Untuk kawasan Melayu-Riau, terutama yang berdomisili di Pulau Penyengat, menurut penelitian Barnard, sebagian besar masyarakat elitnya, baik keturunan Melayu maupun Bugis, sudah menunaikan ibadah haji pada 1900-an (Timothy P. Barnard, “Taman Penghiburan: Entertainments”, 22). Antara 1897 sampai 1914 disebutkanterdapat 939 masyarakat terdaftar telah menunaikan ibadah haji. Dan khusus pada 1926 tercatat ada 111 orang jama‘ah dari Riau menunaikan ibadah haji. (Lihat, Barbara W. Andaya, “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Alliesby the Rulers of Riau, 1899-1914”, dalamIndonesia, No. 24 (October), 1977, 139).
Kemudian, dengan kenyataan ini maka di akhir abad ke 19, menurut pengkajian Matheson, Pulau Penyengat dijuluki sebagai “Serambi Mekkah” atau “Pintu Gerbang Mekkah”. Julukan terhadap Pulau Penyengat itu diberikan karena masyarakat yang tinggal di daerah Riau dan wilayah sekitarnya selalu berkunjung (pamitan dengan saudara/kerabatnya yang masih hidup dan menziarahi makan saudara/kerabatnya di Pulau Penyengat. Dan tidak terkecuali mereka juga menziarahi makam-makam tertentu, seperti makam Raja Haji–kakek Raja Ali Haji– yang dikeramatkan, makan Raja Hamidah Engku Putri, serta makam Shaykh/ulama, khususnya makam ulama Shaykh Abdul Wahab di Pulau Penyengat menjelang keberangkatan mereka menunaikan ibadah haji ke tanah suci, Mekkah (Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”: 163).
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh