Oleh Alimuddin Hassan Palawa*
Awal Kata
Dalam melakukan tipologi dan pemetaan pemikiran, menurut Luthfi Assayaukanie, sekurang-kurangnya ada dua pendekatan. Pertama, pendekatan taksonomis, yaitu mengurai sejarah pemikiran berdasarkan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Artinya, fenomana pemikiran didekati lewat klasifikasi-klasifikasi berdasarkan mazhab pemikiran (school of thought) dengan memilahnya dalam berbagai kelompok, misalnya tradisonalis, sekularis dan modernis.
Kedua, pendakatan biografis atau sejarah sosial-intelektual. Pendekatan ini berasumsi bahwa pemikiran tidak bisa dipisahkan dari sang pemikir yang menghasilkan pemikiran-pemikiran itu. Dengan memaparkan biografi dan perjalanan sejarah sang pemikir, dengan sendirinya pemikiran-pemikiran tertentu dari sang tokoh akan tereksplorasi. (Luthfi Assyaukanie “Pengantar”, dalam Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, xv).
Untuk keperluan tipologi dan pemetaan dalam penelitian ini akan dipergunakan pendekatan taksonomis dengan hanya menyebutkan dua tipologi yang dilakukan oleh Fazlur Rahman dan Muhammad ’Imarah.
A. Tipologi Fazlur Rahman
Dalam melihat dialektika perkembangan pembaharuan pemikiran Islam, Fazlur Rahman membaginya dalam empat tipelogi gerakan. Pertama, gerakan revivalisme pramodernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd Wahhab; di India oleh Shah Wali Allah; dan di Afrika oleh al-Sanusi. Gerakan revivalisme pramodernis dengan sendirinya tidak terkena sentuhan/ pengaruh Barat.
Adapun ciri-ciri umum dari gerakan pemikiran revivalisme pramodernis ini adalah: (i) keperihatian yang mendalam terhadap degenerasi dan dekandensi sosial-moral umat Islam disertai usaha sungguh-sungguh untuk merubahnya; (ii) menghimpau umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejati dengan mengenyahkan takhayyul, bid’ah dan khurafat yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer; (iii) menyeru umat Islam untuk meninggalakan gagasan tentang obsolutisme dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berupaya untuk melakukan ijtihad; (iv) mengajak umat Islam untuk meninggalkan corak pemikiran dan prilaku predeterministik; dan (v) menyeru umat Islam untuk melaksanakann pembaharuan yang dianutnya, kalau perlu lewat kekuatan senjata.
Kedua, modernisme klasik muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan modernisme klasik ini terpengaruh dan terbuka terhadap ide-ide dari Barat dan karenanya lebih aprisiatif terhadap intelektualisme. Dengan begitu, menimbulkan kesan bahwa gerakan modernisme klasik ini bersifat westernized (kebarat-baratan). Gerakan modernisme klasik ini meneruskan dan memperluas cakupan ijtihad yang dilakukan oleh gerakan sebelumnya. Gerakan modernisme klasik ini menciptakan kaitan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui seumber al-Qur’an dan hadis. Rahman sendiri memberikan apresiasi atas upaya ini sebagai suati prestasi besar yang tidak bersifat artifisial dan terpaksa.Meskipun demikian salah satu kekurangan gerakan ini belum mengelaborasi secara tuntas metode yang dikembangkannya. Menariknya, hakekat penafsisran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ”Sunnah historis” (biografi Nabi) yang dibedakan dengan ”Sunnah teknis” (hadis-hadis Nabi). Gerakan modernisme klasik pada umumnya sekeptis terhadap hadis, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah. (Taufik Adnan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: 18-19; bandingkan Abu A’la, Dari Neomodernismeke Islam Liberal: 2 dan 20).
Ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis lahir sebagai reakasi tidak menerima metode dan semangat modernisme klasik. Akan tetapi, mereka tidak mampu mengembangan metodologi apa pun untuk menegskan posisinya, selaih hanya berupaya membedakan Islam dan Barat. Meskipun dalam realitasnya gerakan ini menerima masalah-malasah substantif yang diangkat oleh gerakan modernis, misalnya demokrasi, tetapi penerimaan mereka lebih bersifat terpaksa.
Keempat, neomodernisme lahir dibawah pengaruh dan sekaligus tantangan terhadap neorivivalisme. Untuk gerakan ini, Rahman sendiri mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya. Gerakan pembaharuan ini, tentu saja sangat berbeda dengan gerakan-gerakan sebelumnya, berupaya untuk melihat dan menyikapi secara kritis dan obejektif hasil-hasil pemikiran umat Islam dan sekaligus pemikiran orang Barat. Melalui sikap kritis dan objektif, neomodernisme ingin membangun Islam dalam berbagai dimensinya dalam satu kerangka yang utuh, menyeluruh, sistimatis serta mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an dan teladan Nabi yang sebenarnya.Taufik Adnan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: 18-19; bandingkan Abu A’la, Dari Neomodernismeke Islam Liberal: 2 dan 20).
B. Tipologi Muhammad ’Imarah
Dalam memetakan pembaharuan pemikiran Islam, Muhammad ’Imarah membagi dalam tiga tipologi. Pertama, tradisional-konservatif. Pemikiran tradisional dalam istilah Arabnya ada yang menyebutkan dengan nama Salafiyah. Ada pula yang menyebutkan golongan ini dengan nama fundamentalisme (al-Uṣuliyah). Golongan Salafiyah atau al-Uṣuliyah adalah mereka yang mengajak kembali kepada perilaku para ulama salam (al-Salaf al-Ṣālih), yaitu mereka yang hidup dalam tiga generasi: Sahabat Nabi Muhammad saw, Tabi’īn, dan Atbā’ al-Tabi’īn. Belakangan, adalah Imam Ahmad ibn Hambil dan Ibn Taymiyah yang dianggap sebagai tokoh aliran pemikiran salafiyah.
Kemudian, para pengikut Imam Ahmad ibn Hambal dilanjutkan oleh para pengikut Ibn Taymiyah dan Muhammad ibn ”Abd Wahhab. Pengikut yang disebut belakangan ini agak bersifat keras, tidak peduli dengan pendapat dan kepentingan umum. Adapun karakteeristik utama kelompok tradisonal Islam ini antara lain: (i) argumentasinya harus diambil dari ayat al-Qur’an dan al-Hadis; (ii) penggunaan rasio harus sesuai dengan nash-nash yang ṣaḥiḥ; (iii) dalam konteks aqidah harus bersandarkan kepada nash-nash saja karena nash-nash itu hanya bersumber dari Allah. Adapun tokoh-tokoh dari golongan tradisional-konservatif ini, sekedar menyebut nama, misalnya Muhammad ibn’Abd Wahhab, Abu al-’Alā al-Maudūdī, Sayyid Quṭb dan Imam Khomeini.(Lihat, M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman: Upaya Klasifikasi Pemikiran Keislaman Timur Tengah”, dalam M. Aunul Abied Shah, et. al., Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, 2001: 40-42).
Kedua, sekular dalam bahasa Arabnya adalah al-’almāniyyah. Dalam konteks diskursus pemikiran Islam, maka golongan ini tidak akan terlepas dari terminologi kesejarahan sekularisme di dunia Barat. Memang pada dasarnya, sekularisme adalah pola berpikir atau model pendekatan yang diimpor dari Barat. Adapun karakteristik dari golongan pemikir sekularisme di antaranya: (i) mengekor dan mengajak untuk mengikuti Barat dengan mengganti otoritas agama dengan rasio; (ii) pemisahan antara agama negara dan beranggapan bahwa dalam Islam tidak ada konsep kenegaraan; (iii) Islam adalah konsep masa lampau dan, karenanya, sekularisme adalah alternatif dalam membangun peradaban manusia. Adapun tokoh-tokoh dari sekular dari kalangan pemikir Islam Timur-Tengah, sekedar menyebut beberapa nama, adalah Ali ’Abd Raziq, Thaha Husain, Salamah Musa, Faraq Faudah dan Nasr Hamid Abu Zayd. (Lihat, M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman…”: 45-49).
Ketiga, Reformis Moderat. Golongan ini muncul sebagai reaksi dari dua golongan pemikiran yang bertolak belakangan sebelumnya. Golongan Salaf mengajak kepada keterasingan zaman, sedangkan kolongan sekular mengajar kepada keterasingan ruang. Untuk menetralisir kedua golongan tersebut, karenanya, pemikir reformis moderat ini bersedia untuk mengakomodasi medernisme yang diperjuangan oleh golongan sekular di satu sisi, dan pemikiran-pemikiran klasik golongan salaf. Bagi golongan reformis-moderat berpendapat bahwa Islam adalah agama universal, komprehensif dan integral. Dengan demikian, Islam akan senantiasa sesuai dan aktul untuk diterapkan pada zaman dan ruang yang berbeda (Ṣaliḥ fīkulli zamān wa makān).
Golongan reformis-moderat ini berpandangan bahwa Barat tidak perlu ditakuti, meskipun harus diwaspadai. Dengan begitu, golongan ini menyatakan bahwa umat Islam dapat saja belajar tentang sains dan teknologi dari Barat untuk mengejar kertertinggalannya. Selain itu, pemikiran reformis-moderat ini memandang perlu untuk mengatualisasikan khazanah intelektual para pemikir masa lalu yang terabadikan dalam kitab-kitab turas.
Pada prinsipnya golongan reformis-modernis berpendirian “ambil yang bermamfaat dan tinggalkan yang mudarat. Dengan kata lain, golongan adalah penganut prinsip: “Al-Maḥāfaẓah‘alā al-qadīm al-ṣaliḥwa al-akhudh bi al-jādīd al-aṣlaḥ” (Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik). Adapun figur-figur pemikir dari golongan reformis-modern ini, diantaranya adalah Shaikh Rifa’ah Rafi’ al-Thahtahwi, Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan Sayyid Ameer Ali. (Lihat, M. Yusuf Wijaya, “Visi-Visi Pemikiran Keislaman…”, hal. 53-55.)
Akhir Kata
Dari tipologi yang dilakukan oleh Rahman dan ’Imarah, posisi Muhamamad Abduh dengan mudah dapat diketahui. Pada membagian Rahman, Muhammad Abduh termasuk dalam gerakan modernisme klasik. Sementara pada tipologi yang dilakukan oleh ’Imarah, Muhammad Abduh masuk dalam golongan reformis-modernis. Muhammad Abduh sebagai ”Bapak Pembaharu Pemikiran Islam” memiliki sejumlah murid dan pengikut yang, kalau menurut tipologi ’Imarah, tersebar dalam tiga golongan, yaitu (i) golongan tradisional-konservatif; (ii)golongan reformis-modernis; dan (iii) golongan sekuler.
Untuk tipologi-tipologi pemikiran murid-murid dan pengikut Muhammad Abduh dapat dikategorikan, terutama dua tipologi terakhir, yaitu golongan reformis-modernis, dan golongan sekuler, misalnya Mustafa al-Maraghi, Farid Wajdi, Qasim Amin, dan Luthfi al-Sayyid, Ali Abdul Raziq, Thaha Husain. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 1975: 77-88; Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939: 161-192).
Akan halnya Rashid Riḍa, dalam tipologi Rahman dan ’Imaran masing-masing masuk pada golongan neo-revivalisme pascamodernisme dan tradisional-konservatif.Posisi Rashid Riḍa di atas dipertegas Fazlur Rahman dalam bukunya, Islam yang menyatakan bahwa ”…. gerakan salafi di bawah kepemimpinan murid Muhammad Abduh berasal Syiria, Rashid Riḍa (1865-1935), bergerak secara terus-menurus ke arah sebauh tipe fundamentalisme yang semakin dekat, dan tak dapat disangkal, dengan Wahhabisme.” (Fazlur rahman, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1979: 223).
Bukan saja Rahman, tetapi juga Gibb memberikan penilaian yang sama terhadap pradigma pemikiran Rashid Riḍa: ”…. dalam bukunya Risālatut-Tauḥīd, dia (Muhmmad Abduh – AHP) menghidupkan kembali cara berpikir dialektika yang dirasionalisasikan dari para ’ulama lama. Para pengikut ajarannya, yang dipimpin oleh muridnya dari Syiria, Syaikh Muḥammad Rashid Riḍa, meneruskan proses berpikir itu dengan gerakan khas yang halus menuju kepada ekstrimisme.” (H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam: 61).
Rashid Riḍa dalam menghidupkan ijtihad, menurut Gibb lebih lanjut, masih menggunakan “kuasi-rasionalisme” dan logika skolastik, tetapi tanpa liberalisme yang kental, sebagaimana dimilik oleh Muhammad Abduh. Pada gilirannya, Rashid Riḍa terbawa ke arah arus ekslusivisme dan kekakuan pandangan mashab Hambali. Pada tataran ini Harun Nasution memberikan perbandingan antara Muhammad Abdu dan Rashid Riḍa bahwa “guru lebih liberal dari murid”. Muhammad Abduh tidak mau terikan pada salah sati aliran atau mashab pemikiran dalam Islam. Sebaliknya, Rashid Riḍa masih memegang mazhab dan masih terikat pada pandapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah. Mengingat gerakan Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabiyah) semazhab, menurut Harun, maka ia sokong dengan kuat.(HarunNasution, Pembaharuan dalam Islam, 1975: 77-88).
Belakangan, penerbitan Al-Manar di tangan Rashid Riḍa, oleh karenanya, beralih dengan capat dari pengaruh al-Ghazali ke pengaruh tokoh fundamentalis, Ibn Taimiyyah. Rashid Riḍa bersama Al-Manar semikin jelas mengidentifikasi diri sebagai pengikut corak gerakan puritanisme. Dengan begitu, Rashid Riḍa menenkankn pentingnya Islam yang berdasrkan ajaran Nabi Muhammad saw., para sahabat serta para pengikutnya dari kalangan salaf. Pada akhirnya, dari sinilah muncul nama “Salafiyyah” tersebut.(H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam: 61-62).
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.