Oleh: Ali M. Hassan Palawa*
Buku The Spirit of Islam karya pemikir modern “apologic” Islam, Syed Ameer Ali dari Anak-Benua India telah dialih-bahasakan oleh H.B. Jassin dalam bahasa Indonesia. Konon, tatkala buku ini dialih-bahasakan, Soekarno menyarankan agar judul buku The Spirit of Islam ini diterjemahkan menjadi “Api Islam”. Disebut “konon” karena saya tidak bias melacak ulang dari mana sumbernya.
Namun yang pasti, Cak Nur (Nurcholish Madjid-Allahummayarham) kembali mengingatkan: “Dahulu Bung karno menyeru umat Islam untuk “menggali api Islam”, karena agaknya ia melihat bahwa kaum Muslimin saat itu, mungkin sampai sekarang, hanya mewarisi “abu” dan “arang” yang mati dan statis dari warisan cultural mereka.” (Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenandan Keindonesiaan, 1989: 80).
Dewasa ini, ungkapan “al-Islam yu’la wa la yu’la ‘alaih” (Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengatasinya), sepertinyahanya berlaku pada tataran idealitas, dan bukan pada tataran realitas. Dulu umat Islam memang pernah membuktikan ungkapan tersebut dalam realitas sejarah. Lalu, bagaimana objektivikasi ungkapan tersebut di masa kini dan mendatang? Dalam mengejawantahkan ugkapan itu lagi, umat Islam terlebih dahulu membuktikan bahwa Islam adalah “Salih fi kulli zaman wa makan” dalam menghadapi dan menjawab tantangan modernitas di kekinian dan di kedisinian.
Dalam mencermati problem-problem dihadapi dunia Islam terdapat beberapa variasi pandangan dan pemikiran di kalangan intelektual dan pemikir pembaharu Muslim sebab keterbelakangan kaum Muslim, dan sekaligus upaya pemecahannya. Namun, rumusan sebab dan upaya pemecahan keterbelakangan itu, sepertinya masih jauh “panggang dari api.” Sehingga dewasa ini dunia Islam merupakan kawasan bumi paling terkebelakang di antara penganut agama-agama besar di jagad ini.
Selama dalam dua abad belakangan, Cak Nur menyebutkan bahwa negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia baru yang bergama Protestan; oleh Eropa Selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh Israil yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong serta Singapura yang Budhis-Konfusionis; oleh Jepang yang Budhis-Teois; dan oleh Thailan yang Budhis. (Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 21.
Sebetulnya kondisi memilukan menimpa dunia Muslim ini selama berabad-abad belakangan tidak perlu berlanjut hingga kini. Umat Islam dapat saja, minimal mengurangi jarak ketertinggalannya dari negara-negara maju, dan sekaligus menjadi “bulan-bulanan” (baca: menjadi negeri terjajah), khususnya dari negara Eropa Barat. Namun, sungguh disayangkan, umat Islam tidak mau menyahuti seruan gagasan dan pembaharuan pemikiran beberapa pembaharu pemikir Islam secara sungguh-sungguh agar bangkit dari kemunduran dan keterbelakangan.
Pada paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20 sejumlah pembaharu pemikiran Islam dari berbagai belahan dunia Islam, khususnya Mesir dan India. Misalnya, Muhammad Abduh dan Syed Ahmad Khan menyerukan pembaharuan pemikiran Islam agar umat Islam kembali menangkap ajaran agama Islam yang lebih kreatif, dinamis dan logis, dan liberal, dan segaligus lebih otentik dengan kemampuan menangkap “api Islam” dan meninggakalkan “abunya”, sebagaimana yang pernah diperagakan oleh umat dalam sejarah Islam klasik selama berabad-abad. (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 22).
Namun, kenyatannya tidaklah demikian, jangankan menangkap “api” Islam, umat Islam justru meninggalkan ajaran agamanya dan hanya menggenggam “abunya”. Karenanya, Muhammad Abduh benar ketika mengatakan, “umat Kristen maju karena meninggalkan agamanya; dan ummat Islam mundur karena meninggalkan agamanya.” (Fazlur Rahman, Islam, 1984: 322-323; dan Hourani, Arabic Thoughth in the Liberal Age 1798-1939, 1962: 130-159).
Jika direnungkan lebih mendalam ungkapan Muhammad Abduh ini, akan menghasilkan argumen bahwa menjadi rasional dalam Islam adalah inheren (melakat dalam) agama itu sendiri, sedangkan pada orang Barat adalah tantangan terhadap agamanya. Jika alur logika ini diteruskan, argumen berikutnya bahwa menjadi modern dan ilmiah dalam Islam adalah konsisten dengan ajaran agama Islam, sedangkan pada orang Barat berarti penyimpangan dari agamanya. (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 165)
Belakangan, menurut Rahman, pandangan pemikiran semacam ini dipopolerkan dan diperdebatkan dengan intens oleh ahli hukum dan pemikir Anak-Benua India yang terkemuka: Syed Ameer Ali. (Fazlur Rahman, Islam, hal. 322-323). Maka sangat logis dan relevan kalau ia mengungkapkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukanlah agama yang membawa kepada kemunduruan. Tetapi sebaliknya, agama Islam adalah agama rasional dan rilberal yang mengantarkan kepada kemajuan. (Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-I Adabiyat Delli, tt.), hal. 435).
Untuk membuktikan pandangannya ini, ia kembali merujuk kepada sejarah kegemilangan umat Islam klasik. Akan tetapi, pandangan dan sikap Syed Ameer Ali seperti ini tidak jarang oleh orang Barat (orientalis) dipandangnya sebagai apologia terbesar. Lantaran menonjolkan kejayaan Islam masa klasik, akibatnya ia kerapkali disebut olah orang-orang Barat sebagai apolog terbesar Islam. Memang, melalui karyanya, The spirit of Islam, ia berusaha untuk membuktikan kepada dirinya (baca: ummat Islam) dan pada orang-orang lain (baca: orang Barat) bahwa Islam adalah baik dan benar. Disamping itu, ia memahami bahwa Islam merupakan suatu proses akhir yang paling sempurna dari agama dan kepercayaan sebelumnya.
Sebenarnya masalah apologia merupakan satu hal yang harus diketahui oleh orang yang ingin memahami pemikiran-pemikiran modern dalam dunia Islam. Karena sebagian besar pemikir Muslim modernis, menurut Mukti Ali, secara umum masuk dalam kategori ini. Tidak sedikit dari karya-karya dan pernyataan-pernyataan kaum Muslim modernis tentang agama Islam pada dasarnya adalah pembelaan diri. Oleh para ilmuan Barat, argumen para Muslim modernis pada umumnya dicemooh sebagai pembenaran belaka. Memang maksud baik para Msulim modernis tersebut diakui tetapi nilainya tidak seberapa. Paling tidak, pandangan seperti ini, menurut Baljon, ada dua alasan yang menjadi penyebabanya.
Pertama, kaum orientalis mendasarkan pendapatnya secara terlampau esklusif pada karya-karya pemikir Muslim modernis yang ditulis dalam bahasa Eropa (Inggris), khususnya buku yang sejenis The spirit of Islam tersebut. Namun tulisan-tulisan seperti ini tidak cocok untuk dijadikan contoh (dalam mengeneralisir). Alasannya sederhana saja, yaitu para penulis Muslim terlalu sadar bahwa tulisan-tulisannya akan dibaca oleh orang-orang Barat; dan bahwa penulis tersebut harus selalu waspada untuk mempertahankan nama baik Islam. Oleh sebab itu, usulan-usulannya secara apriori bersifat pembenaran dalam arti kata yang sempit.
Apa yang diuraikan para penulis Islam tadi, dalam pikiran para pembaca Barat, tampak berlebihan dan kurang meyakinkan. Sebaliknya, pandangan pembenaran yang ditulis dalam bahasa, selain bahasa Inggris, Urdhu dan Arab, misalnya jauh lebih berimbang. Karena tulisan dalam dua bahasa terakhir tidak ditujukan kepada orang asing (Kristen-Barat), sehingga tidak ada keraguan. Lagi pula, sarana bahasa yang dipergunakan lebih memudahkan mereka memformulasikan gagasan-gagasan Islam tertentu dengan menyampaikan secara tidak langsung dan sedikit lebih halus.
Kedua, lazimnya orientalis Barat tidak menyadari apologetik merupakan aplikasi agama yang sesungguhnya. Sebenarnnya, agama menggambarakan respon manusia terhadap realitas transenden. Sebuah respon seperti itu dengan sendirinya dibatasi kemampuan-kemampauan yang inheren pada diri manusia.Karenanya, kepercayaan harus menggunakan bahasa sederhana dan harus mengikuti aturan pemikiran dan petunjuk. Baik cara berbicara maupun berpikir merupakan produk masanya. Jadi agama harus mengakomodasinya sendiri terhadap semangat dan kondisi masanya. Kalau tidak, agama benar-banar tidak berfungsi. Dan dari kebutuhan yang mendesak untuk berkomunikasi dengan “dunia” pada gilirannya secara alami menuntut apologetik. Lihat, H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 143; lihat juga, J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), (Leiden: E. J. Brill, 1968), hal. 121-122.
Maksud Syed Ameer Ali mengungkapkan kejayaan Islam klasik, bukanlah sekedar untuk “onanisme” (pemuasan diri) sesaat, apa lagi sembari menepuk-nepuk dada dengan bangga. Lebih jauh dari itu, dalam pandangan Ameer Ali, ada pelajaran menarik yang dapat dijadikan pengalaman historis: apa penyebab umat Islam klasik maju, dan apa pula penyebab (setelah itu) umat Islam menjadi mundur. Menurut Syeid Ameer Ali, jawabnya singkat meskipun tidak sederhana: Liberalisme dan rasionalisme Islam.
Pandangan, sikap dan pemikiran Syed Ameer Ali yang rasional dan liber itu dituangkan lewat karya-karya, khusus karya masterpiece-nya, The Spirit of Islam, Syed Ameer Ali, melebihi penulis manapun, benar-benar telah menampilkan konsepsi Islam liberal dan rasional secara konkrit, substansial dan memuaskan. Pemikiran Ameer Ali ini sangat berpengaruh di dunia Islam. Dalam buku The Spirit of Islam, Syed Ameer Ali mengulas ajaran-ajaran Islam mengenai tauhid, ibadah, hari kiamat, kedudukan wanita, perebudakan, sistem politik.
Di samping itu, Syed Ameer Ali juga menguraikan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran rasional dan filosofis serta sufistik. Dalam pengkajian Syed Ameer Ali terhadap gagasan-gagasan Islam tersebut acapkali pemberbandingkan dengan mengutarakan baberapa ajaran agama-agama dan tradisi kepercayaan yang ada sebelum Islam. Di atas segalanya, buku The Spirit of Islam juga mengulas sejarah awal Islam, tentu saja yang menjadi fokusnya adalah sang pembawa risalah, Nabi Muhammad saw.
Karya Syed Ameer Ali itu, menurut Harun Nasution, mempergunakan metode perbandingan, dan ditambah dengan uraian yang rasional dan liberal. Dia terlebih dahulu memaparkan ajaran-ajaran yang serupa dengan agama-agama lain. Kemudian, ia menjelaskan dan menyatakan bahwa Islam membawa perbaikan dalam ajaran-ajaran bersangkutan. Selanjutnya, dia memberikan argumen rasional dan liberal untuk menyatakan bahwa ajaran Islam tersebut tidak bertentangan, dan bahkan sejalan dengan pemikiran akal. Lihat, Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarata: Bu;an Bintang), hal. 183.
Sedangkan menurut H.A.R. Gibb, secara garis besar, isi buku tersebut dibagi menjadi tiga. Pertama, Menguraikan sejarah hidup Nabi Muhammad.Dia menampilkan sosok Nabi Muhammad sebagai manusia yang menyejarah. Berbeda misalnya dengan gambaran yang diberikan oleh kaum sufi tentang Nabi Muhammad yang sarat dengan hal-hal suprarasional dan unsur-unsur kekaramatan. Meskipun memang Ameer Ali juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai contoh kebajikan yang par exellances dan penjelamaan manusia yang paling agung (insan kamil).
Kedua, ajaran Nabi Muhammad dihidangkan dalam cita-cita sosial zaman sekarang.Empat kewajiban ibadah mahdah, sholat, puasa, zakat dan haji, dia paparkan atas dasar yang masuk akal berhubungan dengan fungsi sosialnya.
Ketiga, perebudakan, poligami dan lainnya merupakan kelamahan moral dan sosial, dan itu diakui.. Akan tetapi dijelaskan bahwa kondisi tersebut bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan tanggung jawab terhadap masalah itu diletakkan di atas pundak para ulama dalam ilmu fiqh belakangan. Perbudakan misalnya bertentangan dengan (semangat) ajaran al-Qur’an tentang persamaan semua keturunan Adam; poligami terlarang dengan syarat-syarat dalam al-Qur’an; perceraian seharusnya ditolak dengan semangat ajaran dan contoh dari Nabi Muhammad. Lihat, H.A.R. Gibb, Islam Dalam Lintas Sejarah, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1983), hal. 134-135.
Tak pelak lagi, konsepsi Islam sedemikian ini telah mendapat pengakuan secara bulat dan penuh semangat dari umat Islam terpelajar, dimana sebelumnya secara diam-diam telah merasa dikecewakan atas penampilan konsepsi Islam yang konservatif dan tradisional. Sampai batas tertentu, dia telah berhasil mencapai sasarannya, dan bahkan lebih penting lagi, dia telah sukses menggerakkan para ulama ortodoks-konservatif untuk menerima dan mendukung beberapa gagasan yang dipaparkan dalam bukunya, The Spirit of Islam tersebut. (H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, 1996: 119).
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.