Oleh Alimuddin Hassan Palawa*
Dalam aspek budaya secara khusus, Raja Ali Haji mengkritik mereka yang suka memakai pakaian ala Inggris, Belanda, atau Cina, misalnya memakai celana, baju, kaos kaki dan sepatu. Dalam pandangannya pakaian orang asing tersebut tidak layak dan tidak sesuai bagi orang Melayu. (Andaya dan Virginia Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 127; Matheson, “Strategies of Survival: The Malay Royal Line of Lingga-Riau”, Journal of Southeast Asian Studies, vol. XVII, no. 1 (March 1986), 6).
Sebaliknya, ia begitu menekankan agar orang Melayu tetap memakai dan melestarikan pakaian Melayu. Baginya, pakaian Melayu pada masa lalu sesuai dengan adat dan indah dipandang mata serta tidak terlihat bengis:
“Adapun pakaian orang Melayu daripada dahulu, sehelai seluar dipakai di dalam, kemudian baharulah memakai kain, Bugiskah atau sutra, labuhnya hingga lepas lutut, kira-kira seperempat. Kemudian baharulah memakai ikat pinggang, terkadang di luar kain, terkadang di dalam kain. Kemudian baharulah memakai baju, belah dada namanya, atau baju kurung, kemudian disisipkan keris, sebelah keris kepalanya, keluar tiada meniarapkan sapu tangan bertanjak. Adapun seluarnya terkadang seluar ketat berkancing kakinya.”
Lebih lanjut, Raja Ali Haji Menulis, “Syahdan pada penglihatan mataku sangatlah tampan orang-orang Melayu memakai cara Melayu yang dulu-dulu, tiada bengis rupanya. Adapun sekarang ini yakni, waktu masa aku mengarang kitab ini, maka tiadalah aku lihat lagi pakaian orang Melayu seperti pakaian adat-istiadat lama, bercampur baur dengan kaidah pakaian orang Inggeris dan Holanda…, dan terkadang jika malam tiada kenal akan orang Melayu.” (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 197).
Dari kutipan di atas dengan gamlang Raja Ali Haji mengutarakan tradisi dan adat berpakaian di kalangan orang Melayu yang benar dan baik. Selain itu, ia juga mengungkapkan kritikan dan sekaligus mengungkaapkan kegalauannya prihal cara berpakain sebagian orang Melayu yang sudah berubah dengan tidak lagi menggunakan pakaian adat Melayu pada masanya. Sesungguhnya, kritik Raja Ali Haji terhadap masyarakat Melayu yang ingin “menyerupai” budaya dan pola hidup orang Barat khususnya, tidak terlalu ditekankannya pada “makna lahiriahnya” (baca: memakai pakai ala bangsa Asing, seperti celana, baju dan sepatu).
Akan tetapi, kritikannya lebih ditekankan pada “makna bathiniahnya” (baca: menghilangkan indentitas dan budaya dan adat Melayu yang luhur dan agung). Karena, menurut Raja Ali Haji, orang-orang Melayu yang memakai pakaian orang-orang asing tersebut bertujuan untuk menghilangkan identitas kemelayuannya. Orang Melayu semacam ini disindir Raja Ali Haji, “supaya di malam hari orang tidak mengenal mereka sebagai orang Melayu”. Dengan begitu, mereka bebas berbuat semaunya dan sekehendak hatinya.
Pandangan dan pendirian Raja Ali Haji tersebut sama dengan pandangan guru intelektual dan sepritualnya, Imam al-Ghazali. Masalah ini, sebelumnya telah diperingatkan al-Ghazali bahwa pakaian adalah untuk menutup “telanjang” dan bukan untuk menyembunyikan identitas seseorang dan ‘sembunyilah dihadapan makhluk, sehingga kamu menyeleweng. (Lihat, Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 123). Dengan begitu, mereka akan bebas melakukan perbuatan tercela yang tidak sejalan dengan adat-istiadat dan budaya Melayu yang baik dan luhur.
Pandangan Raja Ali Haji terhadap budaya dan tradisi Melayu diekspresikan tidak hanya sebagai pembelaan terhadap sikap dan tingkah laku mencirikan adat-istiadat “Melayu”. Akan tetapi, lebih dari itu, dimaknai sebagai sebuah dalih agar penegakan moral sosial kerajaan dapat dipertahankan. Apabila masyarakat senantiasa menuruti adat dan atauran untuk bertingkah laku baik dan patut, maka hubungan harmonis antara manusia dengan manusia; masyarakat dengan penguasa; dan manusia dengan Tuhan akan tercapai dengan sendirinya. (Lihat, Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 127; Virginia Matheson, “Strategies of Survival: The Malay Royal Line of Riau Lingga”, 6).
Penegakan moral sosial kerajaan, menurut Raja Ali Haji, merupakan prasyarat utama sebuah negeri akan berjaya dan sejahtera, sekaligus terhindar dari kehancuran dan laknat Allah. Dalam syarinya “Nasehat”-nya, Raja Ali Haji mengingatkan:
Tingkah laku tidak kelulu
perkataan kasar keluar selalu
Tidak memikirkan aib dan malu
bencilah orang hilir dan hulu.
Jika ananda menjadi besar
tutur dan kata janganlah kasar
Jangan seperti orang yang sasar
banyaklah orang menaruh gusar.
Kita menjabat pekerjaan orang
jangan diperbuat sebarang-barang
Jika raja perangainya garang
kenalah kita murka dan berang.
Beberapa negari terkena bala’
sebab perbuatan kepala-kepala
Karena perbuatan banyak yang cela
Datanglah murka Allah.
Jika datang murkanya Allah
ahli negeri tiada ketahuan
Kelakuan seperti binatang dan haiwan
hilanglah malu hilanglah bangsawan.
Akan tetapi hendaklah ingat
akan segala tentara dan rakyat
Hendaklah jagakan segala yang jahat
supaya kerajaan jangan mudharat.
Sejalan dengan itu, Raja Ali Haji mengajurkan baik kepada masyarakat pada umumnya, penguasa dan pembesar kerajaan pada khususnya, agar senantiasa mempergunakan akalnya. Karena kemuliaan dan kehinaan manusia, menurutnya, ditentukan dengan ada atau tidak adanya (penggunaan) akal. Ia menegaskan “… maka mulialah orang yang dikaruniai Allah Ta’ala akal itu. Barangsiapa tiada dikaruniai akal hinalah orang itu.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 216).
Pada bagian lain dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, Raja Ali Haji menyatakan bahwa kelebihan dan kemulian anak-cucu Adam tertelak pada akal dan budi bahasanya, dan bukannya pada asal-usul keturunannya (afḍal bi al-‘aql wa al-adab laysa bi al-nasb). (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 57). Dalam Gurindam Duabelas pada pasal kelima dengan indahnya, ia menuturkan:
Jika hendak mengenal orang berbangsa
lihat kepada budi bahasa.
Jadi, ukuran seseorang itu “berbangsa” atau “berbangsat” sangat ditentukan oleh “budi bahasanya”. Walau seseorang keturunan bangsawan dan bahkan raja sekalipun, sekiranya tidak memiliki akal dan budi bahasa, menurut Raja Ali Haji ini, niscaya tidak ada kemuliaan bagi orang tersebut, “tiada kelebihannya, kehinaan jua”; atau ungkapannya lagi, “barang siapa jahat adabnya, sia-sialah nasabnya.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 57).
Ungkapan yang sama dari R.A. Kartini dalam suratnya kepada Nona Zeehandelaar tanggal 18 Agustus 1899, sebagaimana dikutip oleh K.H. Saifuddin Zuhri, antara lain terbaca agak keras: “Bagi saya hanya dua macam bangsawan: bangsawan pikiran dan bangsawan budi. Tiada yang lebih gila dan bodoh pada pemandangan saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya. Dimanakah gerangan letak jasanya orang bergelar graaf atau baron? Tidak terselami oleh pikiranku yang picik ini.” Lihat, K.H. Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia Jilid 2” (Jakarta: Gunung Agung, 1983), 25.
Pada gilirannya, bila penguasa tidak memiliki kemuliaan atau kehormatan, bagaimana dia bisa memberikan kemuliaan dan kehormatan pada orang lain, khususnya pada masyarakat. Pada dasarnya, hanya orang “memiliki” bisa “memberi”, seperti kata pepatah Arab, “al-insān la yu’tī illā mālahū ” (manusia tidak dapat memberi kecuali ia memiliki). Makanya, hanya orang yang memiliki kemulian dan kehormatan yang dapat memberi kemulian dan kehormatan orang lain. Ia mengingatkan para penguasa dan bangsawan agar menghormati orang lain dan menjaga sikap dan prilaku selaras dengan adab dan adat, seperti ungkapnya “…. jikalau kita jadi orang besar sekalipun. Karena orang besar-besar itu, orang yang memelihara adab dan adat.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 65-66).
Sikap dan pandangan Raja Ali Haji, seperti ditunjukkan dalam pengalaman hidupnya di atas, semakin mencerminkan bahwa dirinya benar-banar seorang, sekali lagi meminjam istilah Abdul Hadi W. M., “ulil albab”. Karena seorang ulil albab tidak saja memahamai dan mengajarkan doktrin-doktrin agama, tetapi sekaligus mengamalkannya dan memberi suri-tauladan bagi masyarakatnya.
Seorang uwlū al-bāb, layaknya Raja Ali Haji, tentunya tidak pernah mau mengajarkan sesuatu doktrin agama yang ia sendiri tidak/belum amalkan. Pertimbangannya bukan saja demi kehidupan sosiologis (masyarakat tidak akan mau mengikutinya), tetapi juga didasari atas pertimbangan teologis (cerminan keimanan dan ketakwaan kepada Allah) dan kehidupan eskatologis (pantulan keyanikan dan keimanan akan kehidupan akhirat beserta dan siksaan dalam neraka), firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.s. al-Ṣāf [61]: 2-3)
Sebaliknya, seseorang mengetahui sebuah perbuatan baik dan tidak dilakukannya; atau seorang mengetahi suatu perbuatan dilarang agama dan tetap dilakukannya, menurut Raja Ali Haji, dia itu bukan manusia, tetapi syaitan, Gurindam Duabelas pasal 9:
tahu pekerjaan tak baik tapi dikerajakan
bukannya manusia ia itulah syaitan.
Sikap dan pandangan Raja Ali Haji ini tentu saja telah mengkristal, terpatri dalam hatinya seiring pengalaman hidup dalam mempelajari, mengajarkan dan mengamalkan doktrin-doktrin agamanya berdasarkan al-Qur’an dan Hadis dan ijtihad para ulama.
Dalam mengakhiri bahasan tentang “budi bahasa” dalam pandangan Raja Ali Haji atas pembinaan bidang bahasa dan budaya, penulis ingin mengutip ungkapan Hasan Junus yang, meskipun secara langsung tidak ditujukan kepada figur penyair-intelektual Melayu ini, tetapi sangat tepat menggambarkan sosok dan peran Raja Ali Haji dalam masyarakatnya:
“Seorang cendikiawan senantiasa bergelut dengan idea-idea, lalu menuntun masyarakat ke tempat yang sesuai dengan konsep “bahasa” dan kebudayaan Melayu yang mencakup arti akal dan budi pekerti. Tanpa lidah yang fasih ia akan mendapatkan kesulitan menjelaskan gagasan yang hendak ditawarkannya secara jernih dan berkesan. Tanpa hati yang bersih, jangan-jangan masyarakat yang dituntunya itu dapat terbawa ke arah kerusakan dan keruntuhan.” (Lihat, Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 106-107).
Dengan lidah fasih-resonansif, diiringi dengan kalam tajam-produktif; akal cerdas mengajari dalam balutan hati suci-jernih mengilhami, Raja Ali Haji menuntun dan sekaligus menjadi teladan masyarakatnya. Upaya-upaya ini terus dilakukannnya agar masyarakan selalu berada pada yang “lurus” selaras dengan ajaran agama dan adat/budaya Melayu yang luhur dan agung. Jalan benar dan lurus telah ditapaki dan ditunjuki langsung oleh Raja Ali Haji ini.
Apa yang telah dilakukan Raja Ali Haji tersebut dimaksudkan tidak saja berlaku bagi generasi pada masa dan setelahnya, tetapi tetap relevan hingga kini. Bahkan apa yang telah diupayakan Raja Ali Haji semasa hidupnya tetap memiliki resonansi mondial sampai di masa sekarang. Bagian akhir ini ingin ditutup dengan ungkapan jitu dari Abdul Hadi W. M., bahwa Raja Ali Haji, “… bukan sekedar produk dari zamannya, tetapi adalah hati nurani dan suri tauladan utama bagi bangsanya.” (Abdul Hadi W. M., “Raja Ali Haji: Ulil Albab…”: 283).
Dengan begitu, Raja Ali Haji telah menuntun jalan, bagaimana kita agar berbudi bahasa. Akhirnya, kini pilihan ada pada diri kita, apakah kita akan jadi “berbangsa” atau “berbangsat”. Dengan berbangsa kita memimilik peluan untuk berjaya; dan dengan berbangsat membuka jalan ke jurang kehancuran.
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh