Oleh Alimuddin Hasan Palawa*
Dalam ajaran agama disebutkan bahwa marah termasuk salah satu sifat negatif daripada penyakit hati. Artinya, sekiranya sifat marah yang bersemayam di hati itu tidak bisa ditahan, dikendalikan, dan lalu diaktualisasikan akan melahirkan prilaku jelek (akhlāq mazmūmah). Tentu saja prilaku jelek atau jahat dari aktualisasi marah ini dapat membahayakan orang lain, dan tak terelakkan pada diri sendiri.
Sebaliknya, kemampuan menahan dan menetralisir rasa amarah dalam hati itu termasuk sifat mulia dan terpuji sebagai bagian wujud ketaqwaan kepada Allah. Firman Allah: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya selauas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan (sebagian hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang yang berbuat baik.” (Q.s. Āli Imrān [3]: 133-134).
Merujuk langsung kepada ayat di atas bahwa dalam berbagai cara untuk segera mendapatkan ampunan Allah dan surga-Nya. Di antaranya adalah menahan amarah, menafkahkan harta, dan memaafkan orang lain sebagai ciri-ciri orang bertakwa. Jelas dalam ayat itu, rupanya Allah menyamakan antara menahan amarah dan menafkahkan harta. Ayat itu menyebutkan pula bahwa menahan amarah segera harus diiringi dengan prilaku memaafkan orang. Artinya, antara menahan amarah dan memafaakan orang lain adalah dua sifat dan prilaku yang memiliki hubungan erat.
Kemampuan menahan amarah dan kebiasaan memberi maaf adalah dua kualitas kemanusian yang terkait satu dengan lainnya. Keduanya bertalian satu dengan yang lainnya, dan sulit untuk dipisahkan dalam mengejawantahannya, bagaikan dua mata muka dari satu keping mata uang logam. Artinya, menahan amarah dan memaafkan merupakan dua aspek dari satu hakekat, sebagaimana telah disebut di atas, sehingga tidak mungkin dipisahkan. (Lihat, Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1994: 123).
Kemarahan yang bersemayam dalam hati dan muncul dalam prilaku pada dasarnya disebabkan atas perlakuan orang lain yang direspon secara negatif. Kemampuan menahan amarah sebagai sebuah kebajikan diwujudkan dengan menenangkan dan menyabarkan diri untuk tidak menanggapi, dan apalagi membalas perlakuan negatif orang tersebut. Karenanya, menahan amarah akan menjadi lebih penting, dan itu sangat utama dan terpuji, dan lebih mudah diwujudkan jika diiringin dengan kemauan dan kemampuan seseorang untuk memaafkan orang lain yang telah berlaku negatif/jahat kepada kita.
Kemampuan menahan amarah dan meredam untuk tidak sampai melakukan balas dendam, terutama lagi apabila diiringi kemauan yang tulus memaafkan, itu adalah cerminan jiwa dan pribadi seorang kesatriaan. Dalam konteks ini, Rasul Allah saw. sendiri menegaskan bahwa seseorang dapat dikatakan berani apabila ia kuasa meredam rasa amarahnya, sabadanya: “Laysat al-shaja’at biṣirā’at walākin al-shaja‘at al-kasf ‘an al-ghadab” (“Yang dikatakan berani bukanlah orang suka menantang kesana-kemari, tetapi yang dikatakan berani ialah orang sanggup menahan marah”).
Dalam sebuah hadis Rasul Allah dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa ada sesorang lelaki meminta nasehat kepada Rasul Allah. Kemudian Rasul Allah menasehati, “Jangan engkau marah.” Lelaki itu mengulang-ulangi permintaan nasehatnya, tetapi Rasul Allah tetap selalu menjawab, “jangan engkau marah.” Jawaban berulang-ulang Rasul Allah “jangan engkau marah” menunjukkan dengan jelas bahwa perbuatan marah itu sedapat mungkin harus dihindari.
Begitu pula, dalam sebuah riwayat ada pertanyaan dari sahabat, “Ya, Rasul Allah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang dapat memasukan dalam surga.” Rasul Allah saw. menjawab, “Lâ taghdab wa laka al-jannah” (Jangan engkau marah, maka bagimu adalah surga.” Bila diingat bahwa kemampuan meredam amarah disamakan oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman di atas, dengan menafkahkan (sebagian) hartanya dan sikap memaafkan, maka adalah sudah sepantasnya dalam hadis ini Rasul Allah memberikan janji balasan surga agar “… bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya selauas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (Q.s. Āli Imrān [3]: 133).
Sedemikian pentingnya menahan amarah, sampai-sampai disebutkan dalam suatu riwayat bahwa meraka akan dipanggal oleh Allah kelak di akhirat. Orang tersebut diberikan balasan atas kemampuannya meradam amarahnya dengan memberikan pilih-pilihan bidadari yang diinginkannya. Hadis Rasul Allah dari Mu’adz bi Jabal, “Man kadzâma ghaydan wa huwa qâdirun ‘ala an yunaffidzuh da’ahu Allah ‘Azza Wajalla ‘ala ru’ûsi al-khalâiqi yawma al-qiyâmah hatta yukhayyiruh min al-hûri mâ syâ’a.”
Raja Ali Haji sebagai intelektual Melayu-Riau semasa hidupnya lewat sejumlah karyanya telah mengingatkan agar sesorang mampu meredam sifat marah. Pesan ini terutama ditujukan kepada penguasa dalam menjalankan kekuasaan dan pemerintahannya. Menurut Raj Ali Haji jika penguasa dan pembesar kerajaan selalu memperturutkan amarahnya, tentu saja membuat masyarakat, khususnya masyarakat bawah dan kecil, merasa takut untuk menyampaikan persoalan yang dihadapi (menyampaikan pengaduannya). Pada gilirannya, penguasa tidak mengetahui masalah yang dihadapi masyarakat, dan pada akhirnya masyarakat tidak mendapatkan keadilan. (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah: 54).
Raja Ali Haji menganjurkan kepada penguasa dan pembesar kerajaan hendaklah meredam amarah, khususnya pada saat hendak memutuskan perkara hukum, terutama dalam masalah jinayat. Bila keputusan diambil tidak dalam kondisi marah akan tergambar dalam tutur kata jelas dan santun serta prilaku yang baik. Begitu pula, ia menganjurkan bahwa “padamkan sekali marah dan murka”. Dan bahkan penguasa hendaknya “maniskan muka” ketika memutuskan hukum suatu perkara, seperti ia tuturkan dengan puitis tertera di akhir Thamarāt al-Muhimmah :
Pada hukum jangan pemarah
Jangan perkataan keroh dan kerah
Khususan pula bicara darah
Jangan zalim barang sezarah.
Tatkala berhukum maniskan muka
padamkan sekali marah dan murka
mehamburkan kalam dengan berjangka
supaya orang berhati suka.
Kalau seseorang penguasa selalu marah dengan teramat sangat dapat mengakibatkan, kata Raja Ali Haji: “sampai menghilangkan akal dan malu dan sampai melalui had syara’ dan sampai menghilangkan marwah sebab berbantah dan berkelahi dan berbunuh-bunuhan.” (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 54). Dengan redaksi yang hampir sama, tetapi pendek penuh makna, Raja Ali Haji mengingatkan dalam Gurindam Duabelas, berbunyi:
Pekerjaan marah jangan dibela
Nanti hilang akal di kepala.
Sifat amarah tidak saja akan menghilangkan akal sehat, tetapi, menurut Hadis Rasul Allah, dapat pula merusak iman seseorang. Rasul Allah saw. bersabada: “Marah itu dapat merusak iman seperti pahitnya jadam merusak manisnya madu.” (HR. Baihaki). Bila iman seseorang sudah dirusak oleh sikap amarah maka kecenderungan untuk berbuat jahat dan maksiat jauh lebih terbuka lebar.
Kalimat Raja Ali Haji tentang akibat yang bisa ditimbulkan sifat marah itu, sepertinya ada kesamaan dengan pernyataan al-Ghazali. (Lihat, al-Ghazali, Jalan Mudah Menggapai Hidayah, [terj. Kitāb al-Arba‘in fī Ushūl al-Dīn oleh Rojaya], (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), 118). Kalaupun karya al-Ghazali Kitāb al-‘Arba‘īn fī Ushūl al-Dīn ini tidak dibacanya, kemungkinan pernyataan Raja Ali Haji itu berasal dari karya al-Ghazali yang lebih masyhur, yaitu Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn.
Dalam mengatasi sifat marah, saran Raja Ali Haji, seseorang harus memperbanyak sifat sabar. Pernyataannya dalam Syair Siti Sihanah bahwa kemarahan hanya bisa diobati dengan memperbanyak sabar. Ungkapan Raja Ali Haji ini relatif mirip dengan pernyataan al-Ghazali dalam al-Ṭibr al-Masbūq fi Naṣiḥat al-Mulk bahwa “kemarahan adalah perkara yang membinasakan akal, musuh dan penyakit akal,” dan “jika akal sudah mendominasimu, maka engkau harus condong kepada sifat pemaaf.” (Lihat, al-Ghazali, Etika Berkuasa Nasehat-nasehat Imam Al-Ghazali, 44).
Boleh jadi inilah pembenaraanya kenapa Allah menggabungkan antara menahan amarah dan memaafkan manuaia (“wa al-kāẓimīna al-ghayẓ wa al-‘āfīna ‘an al-nās”), sebagaimana ayat telah dikutip sebelumnya (Q.s. Āli Imrān [3]: 134). Dan perlu ditegaskan bahwa sifat sabar dan memaafkan adalah termasuk dua sifat paling mulia dan utama (Qs. Al-Shūra [42]: 43). Dengan membiasakan sifat pemaaf (meminta dan terutama memberi maaf), seseorang berarti telah meneladani sifat para nabi dan aulia.
Namun, segera harus ditambahkan bahwa rasa marah seseorang, apa lagi pada penguasa dan pembesar kerajaan, ada kalanya dibolehkan. Marah semacam ini dimaksudkan dalam rangka menegakkan keadilan, kebenaran dan kebagaikan sebagai wujud menjalankan perintah (syariat) agama. Dengan kata lain, rasa marah yang dilarang dalam ajaran agama adalah apabila diiringi dengan nafsu syaitan, dan disertai dengan tujuan jahat dan tercela.
Dalam konteks itu Nabi Rasul Allah saw. bersabda: “Inna al-ghadab min shaīṭān wa inna al-shaīṭān khuliq min al-nār mā tutfi‘ al-nār bi al-mā’i faidhā ghadib aḥadukum fal yatawadda.” (Sesungguhnya sifat marah pada diri manusia itu berasal dari shaitan, karena shaitan diciptakan dari api, maka untuk memadamkan rasa marah itu, manusia seyogyanya bersegera mengambil air wudhu‘”).
Selain itu, Raja Ali Haji menasehatkan bahwa kemarahan dapat diredam dengan cara merenungkan dan memikirkan akibat/masalah yang akan ditimbulkannya dengan akal sehat. Untuk itu, sebelum marah seyogyanya mempertimbangkan secara logis, apakah memang layak untuk marah atau tidak, tulis Raja Ali Haji dalam Gurindam Duabelas:
Ketika hendak marah dahulukan hujjah
Ketika hendak dendam dahulukan maaf
Ungkapan Raja Ali Haji “Hendak marah/Dahulukan hujjah” bukan saja dimaksudkan untuk mempertimbangkan hujjah yang melatarbelakangi “hendaknya marah”. Namun, juga harus lebih dahulu mempertimbangkan (dahulukan hujjah) dengan melihat “latar depan” atau akibat yang akan ditimbulkan dari sikap marah itu. Boleh jadi hujjah latar belakangnya membolehkan kita marah, tetapi dengan hujjah “latar depan”, yaitu akibat negatif yang akan ditimbulkannya mengharuskan kita meredam amarah.
Begitu pula, “hendak marah”, tetapi “dahulukan hujjah” menjadi penting, dan ini terkait pula dengan bila “hendak dendam”, tetapi “dahulukan maaf”. Sebabnya, kebanyakan orang marah-marah tanpa sebab yang tidak/belum jelas. Jika pun sebabnya sudah jelas, dan memungkinkan seseorang marah, maka hendaklah seseorang mendahuluan hujjah yang dapat membenarkannya.
Ketika hujjah didahulukan dapat menyebabkan keinginan untuk marah bisa jadi tertunda. Kalaupun sudah terlajur marah maka dengan pertimbangan hujjah, kemarahan dapat diredam. Bila marah sudah mampun diredam, rasa dendam untuk balas dendam pun relatif telah sirna. Dengan begitu, kini muncul sifat utama untuk memaafkan orang yang telah berbuat jahat/negatif pada diri kita.
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.