Oleh Alimuddin Hassan Palawa*
Raja Ali Haji termasuk figur penulis/pengarang yang sangat produktif, komprehensif dan otoritatif di Alam Melayu pada abad ke-19. Meskipun demikian, buah pena Raja Ali Haji tidak banyak diketahui masyarakat awan (kebanyakan), kecuali hanya terbatas pada karyanya, Gurindam Duabelas. Untuk itu, agak ironis memang, “orang banyak tahu” siapa Raja Ali Haji ketika dinisbatkan pada Gurindam Dua belas, tetapi sedikit “orang tahu banyak” siapa sesungguhnya tokoh intelektual Melayu-Riau ini.
Kebenaran ungkapan bahwa sedikit orang tahu banyak itu dapat dibuktikan, misalnya ketika dilontarkan pertanyaan, “apa yang anda ketahui tentang Raja Ali Haji?” Paling tidak, orang tersebut akan menjawab, “ Raja Ali Haji adalah pengarang Gurindam Dua belas; dan Gurindam Dua belas dikarang oleh Raja Ali Haji.” Jawaban ini kelihatannya sangat bersahaja dengan dua prase yang “melingkar”. Malah terkesan salah satu dari kedua jawaban itu tidak berarti, redundant, pemborosan bahasa. Tidak lebih dari itu (pengetahuan mereka tentang Raja Ali Haji).
Ada benarnya kalau Gurindam Dua belas telah memperkenalkan dan mengangkat kebesaran nama Raja Ali Haji. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan justru sebaliknya, Gurindam Dua belas telah menjadi tabir dan bahkan mengerdilkan bagi kebesaran namanya. Alternatif terakhir ini dapat saja menjadi benar kalau dilihat implikasi logisnya, misalnya bahwa ia hanya dikenal sebagai seorang sastrawan atau seorang penyair. Sehingga aspek intelektual lainnya, semisal bahwa ia juga seorang sejarawan, budayawan, ulama dan pemikir politik; pendek kata bahwa Raja Ali Haji seorang cendikiawan yang mumpuni dalam berbagai aspek, menjadi ternafikan.
Pada awal karier penulisannya, pemikiran-pemikiran keagamaan Raja Ali Haji terangkum dengan sangat baik, apik dan padat dalam bentuk puitis yang terdapat pada karya monumentalnya, Gurindam Dua belas. Untuk itu, keistimewaan Gurindam Dua belas tidak saja terletak pada keindahan “bentuk luar/zahir”nya semata, tetapi yang lebih penting justru terdapat pada “bentuk dalam/batin”nya. Karenanya, U.U. Hamidi menyatakan dengan tepat keistimewaan Gurindam Dua belas:
“Maka dari segala karya Raja Ali Haji, Gurindam Dua belas merupakan karya yang sulit dicari bandingannya. Keutamaan karya ini bukan semata-mata atas keindahan sajak dan pilihan kata dalam bentuk yang artistik, tetapi lebih-lebih atas keindahan batinnya, yakni kandungan pesan-pesannya yang amat mendalam, jernih dengan sinar kejelasan yang murni. Gurindam Dua belas agaknya telah ditulis oleh Raja Ali Haji, sebagai hasil apresiasi beliau atas Surah Ibrahim ayat 24 yang maksudnya “Kalimat yang baik bagaikan sebatang pohon yang rindang berbuah lebat; akarnya terhunjam ke bumi dan dahannya menjulang ke angkasa.” (Q.s. Ibrāhīm [14]: 24). (Lihat, U.U. Hamidi, Jagat Melayu Dalam Lintas Budaya di Riau, Pekanbaru: Bilik Kreatif Press, 2003:137).
U.U. Hamidi memberikan penjelasan yang benar dan tepat tentang kehindahan makna batin Gurindam Dua belas karya Raja Ali Haji sebagai hasil apresiasinya terhadap makna metafor al-Qur’an. Kalimat yang baik, menurut Abdullah Yusuf Ali, pada khususnya memang berasal dari kalam/firman Allah, ajaran dan agama yang benar. Akan tetapi, pada umumnya kalimat yang baik dapat pula berupa kata yang baik, kalimat yang benar berdasarkan pada pengertian dan pemahaman agama dalam mengatur kewajiban manusia terhadap Allah dan terhadap sesama manusia. (lihat, Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Maryland: Amana Publications, 2004, 610, catatan kaki no. 1900.)
Dengan pengertian semacam ini, Gurindam Dua belas termasuk “kalimat yang baik”.Gurindam Dua belas ibarat “pohon” memiliki akar yang kokoh (artinya: berasal dari pemahaman agama [al-Qur’an dan hadis]); dahannya menjulang ke angkasa (artinya: jangkauan pengaruhnya membahana seantero alam Melayu); daunnya rimbun dan buahnya lebat (artinya: kandungannya memberi tuntunan yang melindungi diri dan menenteramkan jiwa serta membahagiakan manusia).
Agama sebagai pedoman dan tuntunan, menurut Raja Ali Haji, sangat penting dalam pri-kehidupan manusia di dunia ini. Makanya, ia mengawali penuturan puitisnya prihal kedudukan agama yang sangat penting ini dalam Gurindam Dua belas:
Barangsiapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama
Berpegang teguh pada agama sebagai ajaran yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad saw. untuk ummat manusia, menurut Raja Ali Haji, merupakan suatu keniscayaan hidup. Kalau seseorang melakukan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dan/atau bertentangan dengan ajaran agama, dipahami dan diyakininya, akan merusak martabat dan nama baiknya. Untuk kasus dirinya, misalnya ketika ia difitnah telah memperhamba seorang wanita setelah perang Reteh.
Untuk kasus di atas, Raja Ali Haji mengatakan dalam suratnya kepada sahabatnya, Van de Wall, tertulis: “Maka itu pekerjaan sekali2 tiada patut kepada agama kita dan kepada nama kita. Apabila kita berbuat yang demikian itu jadi hilanglah nama kita yang selama2 ini…. Tiada sekali2 niat kita hendak memperbuat dia hamba.” (lihat, Puttendan Al-Azhar, Di DalamBerkekalanPersahabatan, 41).
Dalam pandangan Raja Ali Haji memelihara agama dan menjaga nama (baik) sangat penting dan utama. Ia menyebutkan bahwa tidak mengapa walau kita dalam kemiskinan dan menjadi rakyat biasa asalkan agama dan nama terpelihara dengan baik. Bahkan ia menyatakan dengan nada keras bahwa seseorang yang tidak menjankan agama dan menjaga/memelihara nama baiknya maka kedudukannya sama dengan binatang.
Dengan bahasanya sendiri Raja Ali Haji mengungkapkan masalah ini: “Syahdan yang kita pegang selama2ini, biaralah kita jadi orang miskin atau jadi orang kecil asal jangan kita cacat kepada agama dan nama. Karena apabila orang2 tiada memelihara yang dua perkara itu, tiada guna panjang umur di dunia karena sama juga dengan binatang.”(Lihat, Puttendan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 43).
Sikap dan pandangan Raja Ali Haji, seperti ditunjukkan dalam pengalaman hidupnya di atas, semakin mencerminkan bahwa dirinya benar-banar seorang, sekali lagi meminjam istilah Abdul Hadi W. M., “ulil albab”. Karena seorang ulil albab tidak saja memahamai dan mengajarkan doktrin-doktrin agama, tetapi sekaligus mengamalkannya dan memberi suri-tauladan bagi masyarakatnya.
Seorang uwlūal-bāb, layaknya Raja Ali Haji, tentunya tidak pernah mau mengajarkan sesuatu doktrin agama yang ia sendiri tidak/belum amalkan. Pertimbangannya bukan saja demi kehidupan sosiologis (masyarakat tidak akan mau mengikutinya), tetapi juga didasari atas pertimbangan teologis (cerminan keimanan dan ketakwaan kepada Allah) dan kehidupan eskatologis (pantulan keyanikan dan keimanan akan kehidupan akhirat beserta dan siksaan dalam neraka), firman Allah: ”Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”(Q.s. al-Ṣāf [61]: 2-3)
Sebaliknya, seseorang mengetahui sebuah perbuatan baik dan tidak dilakukannya; atau seorang mengetahi suatu perbuatan dilarang agama dan tetap dilakukannya, menurut Raja Ali Haji, dia itu bukan manusia, tetapi syaitan, Gurindam Dua belas pasal 9:
Tahu pekerjaan tak baik tapi dikerajakan
bukannya manusia ia itulah syaitan.
Di Dalam Gurindam Duabelas, sebelum Raja Ali Haji bertutur “Barangsiapa mengenal diri Maka telah mengenal Tuhan yang bahari, ia mengawali dengan gubahan indah:
Barang siapa yang mengenal yang empat
maka itulah orang yang ma‘rifat.
Akan tetapi, seseorang tidak mungkin “mengenal yang empat” dan apalagi pada gilirannya menjadi orang “ma’rifat”, kalau orang itu tidak berpegang dan menjalankan syariat agama, seperti ungkapannya:
Barangsiapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilang nama.
Artinya, untuk sampai pada “tangga” ma’rifat sebagai anak tangga tertinggi, seseorang terlebih dahulu niscaya melewati anak tangga-anak tangga sebelumnya, yaitu shari‘ah, ṭarīqah dan ḥaqīqah. Karenanya, Tarekat dan hekekat tidak bisa dipisahkan dari shari‘ah sebagai “tangga/ langkah” awal menuju ma‘rifat kepada Allah. Dengan kata lain, tarekat dan hekekat yang menjadi pengetahuan kaum sufi merupakan bagian dari shari‘ah. Bahkan dengan tegas disebutkan bahwa tarekat dan hakekat tunduk pada shari‘ah. (Lihat, Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sifisme dan Syari’ah, Jakarta: Rajawali Press, 1993, 271).
Bukankah untuk menaiki suatu ketinggian harus mulai dengan menginjak anak tangga pertama? Bukankah untuk menapaki suatu perjalanan jauh harus diawali dengan langka pertama? Sejalan dengan ini, meminjam adagium kaum sufi: “Hanya orang yang mampu berjalan di tanah datar yang bakal mampu mendaki bukit.”(Adagium sufi ini dikutip dari Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 2000), 44).Oleh karena itu, untuk sampai pada puncak makrifah seseorang harus melalui secara berturut-turut shari‘ah, ṭarīqah, haqīqah.
Makanya adalah wajar kalau ada yang memahami –walaupun pemahamannya terkesan “melompat” atau jumping to conclusion-– tentang yang “empat” dalam Gurindam Dua belas dengan penafsiran: shari‘at, tarīqat, ḥakīkat dan ma’rifat. Pemahaman semacam ini, misalnya, dilakukan Abu Hassan Sham, meskipun pada bagian lainnya, ia memahami seperti yang dimaksudkan Raja Ali Haji itu sendiri dalam Gurindam Dua belas nya. Adapun yang “empat” dalam pemahaman Raja Ali Haji secara kasat mata teruntai secara beriringan dengan indahnya dalam Gurindam Dua belas pada pasal pertama, yaitu: Allah; diri, dunia, dan akhirat:
Barangsiapatiadamemegang agama
sekali-kalitiada bolehdibilangnama.
Barangsiapamengenal yang empat
makayaitulah orang yang makrifat.
Barangsiapamengenal Allah
suruhdantegahnyatiadaiamenyala.
Barangsiapamengenaldiri
makatelahmengenalTuhan yang Bahari.
Barangsiapamengenaldunia
tahulahiabarang yang terpedaya.
Barangsiapamengenalakhirat
tahulahiaduniamudharat.
Dari keempat ini yang paling penting diketahui terlebih dahulu adalah diri manusia itu sendiri. Agama (syari‘at) menjadi tidak bermakna kalau seseorang tidak mengenal/tidak memiliki kesadaran (siapa) dirinya. Untuk itu, mengenal diri adalah “anak tangga” pertama atau “langkah” paling awal untuk menapaki dan sampai pada “anak tangga” paling tinggi atau langkah terakhir menuju ma’rifaf pada Allah. Karenanya, dalam Gurindam Dua belas, Raja Ali Haji memahami benar adigium sufistik yang masyhur dari doktrin tasawuf: “man‘arafa nafsah fa qad arafa Rabbah” (sesiapa mengenal diri, sungguh ia telah mengenal Tuhan).
Sekedar catatan, kalangan kaum sufi mengklaim bahwa ungkapan “man‘arafa nafsah fa qad arafah Rabbah” itu berasal dari sabda Nabi Muhammad saw., sementara kalangan ahl al-Hadis, seperti Imam al-Nawawi dan Imam Ibn Taimiyah berpendapat sama dengan masing-masing redaksi yang berbeda, yaitu bahwa hadis itu adalah laisa bi thabit dan hadis palsu. (Lihat, Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 78-79).
Kalimat “man‘arafa nafsah fa qad arafa Rabbah” ditangan Raa Ali Haji diterjemahan dalam bahasa puitis, sebagaimana tertera dalam Gurindam Dua belas:
Barangsiapa mengenal diri
Makatelah mengenal Tuhan yang bahari.
“Mengenal diri” yang paling hakiki lebih dimaksudkan –kalau manusia terdiri dari tiga unsur yaitu unsur al- jasm (jasmani, raga atau fisik), al-nafs (nafsani, jiwa atau psikis), al-rūh(rohani, sukma atau spirit)– pada al-nafs (jiwa). Kata “nafs” (dalam kalimat “man ‘arafah nafsah”) dari hadis di atas dipertegas oleh hadis nabi yang lainnya. Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. berkata bahwa dia berkata, “Wahai Rasul Allah, kapan manusia mengenal Tuhannya? Rasul Allah menjawab, “Apabila ia mengenal jiwanya sendiri.” (Lihat, al-Ghazali, Bidāyah al-Hidāyah, Jakarta: Menara, 2006, 191.)
Adigium sufistik yang sangat populer ituterkait erat dengan ungkapan Nabi saw. lainnya dalam bentuk hadis qudsi ketika menjelaskan kenapa Allah menciptakan alam semesta, terutama manusia: “Kuntu kanzan makhfiyyan, fa aḥbabtu ‘an u‘raf fa khalaktu al-khalqa li kay u‘raf ” (Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi dan aku ingin (sekali) dikenal. Karena itu, Aku lalu menciptakan makhluk agar mengenal-Ku).
Pengenalan diri dan pengenalan Tuhan merupakan dua entitas yang jalin-berkelindan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainya: mengenal Tuhan tanpa mengenal diri adalah absurd; dan mengenal diri tanpa mengenal Tuhan adalah nihil. Pengenalan terhadap Tuhan merupakan langkah awal sebagai tercerminan dari ungkapan “man‘arafa nafsah fa qad arafah Rabbah”, dan ini mutlak berlanjut pada pada jenjang “mengingat” Tuhan. Artinya, setelah mengenal Tuhan, manusia harus senantiasa “mengingat” Tuhan (tanpa mengingat, makna mengenal menjadi hilang dan musfrah [sia-sia]).
Sedemikian penting “mengingat” Tuhan sebab kalau manusia melupakan Tuhan pada titik nadir tertentu, maka Tuhan akan membuat manusia lupa (tidak kenal lagi) pada dirinya.Firman Allah, Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (Q.s. al-Ḥashr [59]: 19).
Hanya dengan mengenal dan mengingat Tuhan sebagai eksistensi niscaya (wājib al-wujūd) maka manusia baru (dapat) memiliki eksistensinya (mumkīn al-wujūd), tanpa eksistensi Tuhan, manusia tidak akan bereksistensi. Karenanya, bagimanusia hanya dengan meyakini “ada”-Nya Tuhan, manusia baru dapat melihat “ada-ada” yang lain. Sebaliknya, kalau manusia tidak mengenal dan melupakan keberadaan Tuhan maka segala eksistensi, termasuk eksistensi dirinya menjadi tidak ada, apalagi perbuatannya sungguh menjadi musfrah dan tidak mempunyai makna apa-apa, lantaran terputus dari Tuhan sebagai hakekat keberadaan dan pusat orientasi manusia (seluruh makhluk).
WaAllāha‘lam bi al-Ṣawāb.
MāTawfīqwa al-Hidāyahilla bi Allāh