38. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (2): Sekelumit Sejarah Islam Klasik Era Rasul Allah

38. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (2): Sekelumit Sejarah Islam Klasik Era Rasul Allah

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Kelahiran agama Islam di tengah-tangah masyarakat Arab jahiliyah di Mekkah melulu dipandang dari perspektif teologis dan moral dengan pertimbangan masyarakatnya adalah pengunut paganisme dan bobrok akhlaknya, an sich. Sementara itu, kelahiran Islam dan tampilnya Nabi Muhammad di Mekkah, hampir-hampir tidak pernah dihubungan dengan motif lain, misalnya ekonomi dan politik. Padahal di Mekkah pada masa itu telah terjadi ketimpangan ekonomi-perdagangan dan ketidakadilan politik-kekuasaan. Yang kuat menindas; dan yang lemah ditindas.

Perolehan harta secara berlebih-lebihan, merampas hak-hak orang lemah dan mengabaikan orang-orang miskin di Mekkah tidak dapat dibenarkan. Karenanya, menurut Watt, ajaran yang mula-mula disampaikan oleh Nabi Muhammad sangat sarat dengan tema-tema tersebut, seperti tulisnya, “surah-surah yang paling awal dalam al-Qur’an menegaskan bahwa akar dari kegelisahan sosial di Mekkah adalah materialisme individualistik kebanyakan penduduknya.

Kesombongan saudagar-saudagar besar melalui kekayaannya terhadap orang-orang miskin dan tertindas mendapat kecaman. Bahkan ajaran-ajaran teologis dalam surah-surah awal ini mempunyai relevansi dengan situasi tersebut. (Lihat, W. Montgemory Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Tokoh Orientalis, Jokyakarta: Tiara Wacana, 3-4). Dalam bahasa yang hampir sama, Fazlur Rahman, setelah membandingkan agama Islam dengan agama monotaimse lainnya, menyatakan:

“Bagi monitasme Muhammad, sudah dari sejak awanya berkelindan dengan humanisme dan raasa keadalian sosial-ekonmomi yang tidak kalah dengan intensitas konsep monotaistik lainnya. Karennya, kalau secara seksama kita membaca wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad tentu saja kita akan mengambil kesimpulan bahwa keduanya seyogyanya dipandang sebagai ungkapan pengalaman yang sama.” (Fazlur Rahman, Islam, 2002: 12).

Mekkah sebagai kota perdagangan menjadikan penduduknya “…. kalau bukan seorang pedangan maka ia seorang makelar”, kata Straff, seorang perwira tentara Romawi yang ikut berperang di jazirah dalam menuliskan pengalamamnya.” “Jika mereka diseru menunaikan sholat Jum’at,” demikian firman Allah, “ Bergegaslah kamu mengingat Allah dan tinggalkan jaua-beli.” (Q.S. 62:9).

Dikalangan orang Mekkah, hari Jum’at adalah hari suka-cita dan orang-orang pada sibuk di pasar. Ada hadis Nabi yang mengisahkan, betapa Nabi Muhammad sedang berkhutbah, ditinggalkan jama’ah dan yang tersisa hanya dua belas orang, gara-gara mereka menyambut kafilah yang tiba membawa dagangan. (Lihat, H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah: Suatu Penafsiran Baru, Bandung: Mizan, 1990: 55).

Dengan kondisi di atas kota Mekkah telah melahirkan konglomarasi yang memenopoli perdanganan, sehingga kekayaan (modal) terkonsentarisi pada segelintari orang, sekaligus memiskinkan sejumlah banyak orang. Konsekwensinya, menyerat timbulnya ketegangan-ketegangan di antara mereka, dan boleh jadi berakhir dengan peperangan di antara suku-suku yang ada.

Dalam kondisi seperti ini, Nabi Muhammad tampil untuk memberikan peringatan tentang bahaya yang akan melanda Mekkah beserta perdagangannya. (Lihat, M.A. Shaban, Sejarah Islam: Penafsiran Baru 600-750, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993: 1-9). Maka munculnya Nabi Muhmmad dalam panggung sejarah guna melakukan revolusi dalam rangka merubah tatanan kepercayaan, ekonomi dan politik masyarakat Mekkah. (Bernard Luwis, The Political Language of Islam, Chicaco: University Chicaco Press, 1989: 92).

Namun, selama periode Mekkah (611-622) Nabi Muhammad tidak berhasil mengemban misinya. Ia hanya mendapat pendukung sekelompok kecil dari kalangan yang tidak mempunyai pengaruh serta tidak mempunyai wilayah dan kedaulatan di Mekkah. Posisi mereka pada waktu itu sangat lemah sebagai golongan minoritas tertindas dan tidak mampu menentang kekuasaan kaum Quraisy Mekkah. (J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, 1996: 1).

Faktor utama kegagalan itu disebabkan Nabi Muhammad dan pengikutnya mendapat tantangan dari kaum Quraisy, kelompok penguasa Mekkah yang ingin mempertahankan status qua. Bahkan musuh-musuhnya yang kaya itu melakukan pemboikotan ekonomi. Karena di Mekkah tidak kondusif untuk melakan perbaikan, dan malah kesalamatan jiwanya dan pengikutnya terancam, maka mereka tidak mempunyai alternatif, kecuali meninggalkan tanah kelahirannya (M.A. Saban, Sejarah Islam: 12) untuk hijrah ke Yastrib (belakangan berganti nama kota Madinah).

Semua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. di kota hijrah itu adalah refleksi dari ide yang terkandung dalam perkataan Arab “madinah”. Dari segi etimologis kata ini berarti “tempat peradaban”, yaitu padanan perkataan Yunani “polis” , seperti dalam nama kota “Constantinopel”. Dan “madinah” dalam arti itu adalah sama dengan “hadlarah” dan “tsaqafah”, masing-masing sering diterjemahkan, berturut-turut “peradaban” dan “kebudayaan”.

Akan tetapi, secara etimologis mempunyai arti “pola hidup menetap” sebagai lawan “badawih” yang berarti “pola hidup mengembara, nomad. Karena itu perkataan “madinah” dalam peristilahan modern, menunjuk kepada semangat dan pengertian “civil society ”, suatu istilah bahasa Inggris yang berarti “masnyarakat sopan, beradab dan teratur dalam bentuk negara yang baik. Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusian, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 187

Ketika berada di kota Madinah, Nabi Muhammad membangun sebuah komunitas baru dengan mempersatukan kaum Muhajirin dan kaum Anshar dalam ikatan persaudaraan berdasarkan iman. (Lihat, Abdullah al-Ahsan, Ummah or nation? Identitas Critis in Contemporary Muslim Society, The Islamic Foundation, 1992: 9; Hakim Javid Iqbal, “Konsep Negara Dalam Islam”, dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, 1996: 60). Di kota ini, menurut Harun Nasution, umat Islam mempunyai kedudukan yang baik dan segera berkembang menjadi suatu komunitas kuat dan mampu berdiri sendiri.

Nabi sendiri menjadi pemimpin masayakat yang baru dibentuknya itu, dan akhirnya menjadi sebuah negara yang wilayahnya kekuasaannya, ketika Nabi wafat, meliputi seluruh kawasan semenanjung Arabiah. Untuk itu, dengan sendirinya, ungkap T. Strothmsann, seperti dikutip Harun Nasution, kapasitas dan peranan disandang Nabi Muhammad menjadi ganda: sebagai Nabi dan kepala negara. (Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1986: 3 dan 92). Bahkan pada periode Madinah ini, menurut penilaian Philip K. Hitti, unsur kenabian dalam dirinya surut kebalakang, dan sikap politis-praktisnya yang mencuat kepermukaan. (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arab, 1970: 116).

Senada dengan itu, menurut A.H. Johns, Muhammad di Madinah memerintah komunitasanya dengan menggunakan otoritas keagamaan dan politik. Pada periode di Mekkah, ia tidak suskes sebagai seorang pemimpin agama hingga mendapat kesempatan untuk mengembangkan keterampilan bawaannya sebagai seorang pemimpin politik. Namun, itu sangat meragukan bahwa ia sukses sebagai seorang pemipin politik kalau ia tidak terlebih dahulu merefresentasikan dirinya sebagai seorang pemimpin agama. (A. H. Johns, “Political Authority in Islam: Same Reflections Relevant to Indonesia”, Anthony Reid, (ed.), The Making of an Islamic Discourse in Souteast Asia, 1993: 17).

Perjuangan Nabi Muhammad dalam membangun komunitas baru di Madinah acapkali ditunjuk sebagai awal berdirinya organisasi politik dalam Islam. Fazlur Rahaman, tokoh Neo-modernisme Islam, misialnya menyebutkan bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad tersebut merupakan sebuah negara. (Lihat, Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donahue & L. Esposito (ed.), Islamic in Transition Muslim Perspective, 1982: 261). Pandangan serupa dari D.B. Macdonald yang menyatakan bahwa di kota Madinah telah terbentuk negara Islam pertama yang meletakkan dasar-dasar politik bagi penerapan perundangan-undangan Islam. (Lihat, D.B. Macdonald, Development of Muslim Theologi, Jurisprudence and Constitutional Theory, 1903: 67).

Adapun sumber perundangan-undangan di masa Nabi Muhammad saw. adalah wahyu ilahi (al-Qur’an) dan ketetapan-ketetapannya sendiri (al-Sunnah). Kalau terjadi sesuatu yang menghendaki adanya ketetapan hukum terhadap peristiwa atau masalah yang terjadi di tengah masyarakat, maka Allah menurun wahyu kepada Nabi untuk menjelaskan hukum yang belum diketahuinya. Akan tetapi, bila tidak ada wahyu yang turun, Nabi Muhammad saw. melakukan tinjauan hukum untuk menentukan ketetapan hukumnya. Hasil ketetapan Nabi Muhammad saw ini bersifat mengikat untuk diikuti oleh ummat Islam (J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan: 6).

Mengingat tindakan Nabi Muhammad saw dalam penjalankan pemerintahannya senantiasa berdasarkan pada tuntutnan dan bimbingan wahyu, maka sebagian pengakaji pemikiran politik Islam menyatakan bahwa negara yang dibentuk oleh Nabi adalah negara teokrasi dalam arti kedaulatan ada pada Tuhan. Meskipun demikian, ada juga di antar penulis keberatan dengan pandangan ini, karena banyak ayat al-Qur’an memerintahkan Nabi agar melakukan musyawarah dengan ummat. Salah satu diantaranya, “Bermusyawarah kamu dengan mereka dalam berbagai urusan, kemudian apabila kamu telah membulatakan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah” [Q.S. Al-Imran:159].

Dalam menjalankan pemerintahannya, khususnya dalam bidang muamalah, Nabi membuat perjanjian tertulis: “Piagam Madinah”. Piagam ini oleh kebanyakan penulis dan peneliti sejarah Islam serta pakar pemikiran politik Islam menyebutkan sebagai konstitusi negara Islam pertama. (Zainal Abadin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw. Konstitusi Negara Yang Pertama di Dunia, 1973).

Piagam Madinah ini merupakan landasan bagi masyarakat yang terdiri dari kaum Muhajirin, kaum Anshar serta orang-orang Jahudi dalam penyelengaraan administrasi dan keamanan di kota Madinah sebagai ummah wahidah (komunitas tunggal). Watt setuju kalau orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah dimasukkan dalam ummah wahidah. Akan tetapi, tidak sedikit ahli sejarah yang, misalnya R.B. Serjeant, Frederick M. Denny, keberatan tidak setuju) untuk memasukkah orang-orang Yahudi dalam komunitas tersebut.

Perinsip-perinsip penting yang dapat disimpulkan dalam dalam piagam itu adalah: Kedaulatan di tangan Allah dan otoritas keunggulan hukum-Nya; negara Islam Madinah berdasaarkan hukum Islam dan Nabi adalah kepala pemerintahannya. Perinsip-perisnip lainya yang dikandung dalam piagam Madinah itu, seperti persamaan hak dan kewajiban, musyawarah, keadilan, persaudaraan, kebebasan, hidup bertetangga, toleransi beragama, perdamaian dan pertaahanan, amar makruf dan nahi mungkar, tolong menolong dan membela yang teraniaya, serta ketakwaan.

Begitu pula, Nabi sangat menekankan tentang nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), misalanya sangat nyata dalam pidato Hajj al-Wadha’ (haji perpisahan), Nabi menyerukan: “Sesungguhnya darahmu (dima’), harta bendamu (amwal), dan kehormatanmu (a’rad) adalah suci atas kamu, seperti sucinya harimu (hari suci haji) ini, dalam bulanmu (bulan suci Dzulhijjah) ini dan dinegerimu (tanah suci) ini”.

Nilai-nilai kemanusiaan itu harus tetap dijaga karena setiap manusia mempunyai nilai kemanusiaan sejagad. Firman Allah “Sesiapa membunuh suatu jiwa tanpa (kesalahan) membunuh jiwa yang lain atau membuat kerusakan di bumi, maka ia bagaikan membunuh umat manusia seluruhnya, dan barangsiapa menolong hidup suatu jiwa, maka ia bagaikan menolong hidup umat manusia seluruhnya.” (Q.S. 5: 27-32).

Dalam pidatonya itu, Nabi juga sangat menegaskan pentingnya hak-hak asasi manusia, misalny hak-hak wanita, budak dan buruh. Nilai-nilai kemanusia dan hak asasi manusia itu berulang-ulang Nabi tegaskan menjalang wafatnya. (Ajaran Islam yang ditegaskan oleh Nabi ini, belakangan mempengaruhi gerakan humanisme di Barat. Pengaruh ajaran Nabi ini dapat dilihat pada pemikiran-pemikiran kefilsafatan tentang manusia dari Giovani Pico della Mirandola, salah seorang pemikir humanis terkemuka zaman Rainassance Eropa, ketika ia menyapaikan orasi ilmiah: “Oratio de homanis dignitate (Oration on the Dignity of man)”, orasi tentang harkat dan martabat manusia di depan para pimpinan gereja.

Pembukaan orasi itu berbunyi: “Saya telah membaca, para bapak yang suci, bahwa Abdullah seorang Arab Muslim, ketika ditanya tentang apa kiranya di atas panggung dunia ini, seperti telah terjadi, yang dapat dipandang paling manakjubkan?” Ia menjawab: “Tidak ada yang dapat dipandang lebih menakjubkan daripada manusia”. Dengan panggal tolak ini Gieovani membeberakan paham kemanusiaannya. Meskipun Geiovani kemudian dimusuhi Gereja dan karena tidak tahan kemudian “bertobat”.

Akan tetapi, pandangannya itu merupakan salah satu fondasi faham kemanusiaan dan keadilan di Barat, yaitu Humanisme Modern. Belakangan, seperti John Lock merumuskan tentang hak-ha asasi manusia, yaitu Liberte (kebebesan), egalite dan propiete (pemilikikan harta). Begitu pula, pendiri Negara Amerika, Thomas Jefferson, seorang humanis besar merumuskan dokumen modern tantang American Declartion of Independence (Deklerasi Kemerdekaan Amerika), pada 6 Juni 1776, berisi penegasan Life, Liberty, and the Pursuit of Happenes (hak hidup, hak kebebaan, dan hak mengejar kebahagian). (Lihat, Nucholish Madjid, Islam Agama Kemanusia: 182 dan 221; lihat juga Nurcholish Madjid, “The Potential Islamic Doctrinal Resources for the Establishment and Appreciation of the Modern Consept of Civil Society”, Makalah, Konferensi Internasioanl tentang “Islam and Civil Society, Massages from Aoutheast Asia”, diselenggarakan oleh The Sasakawa Peace Foundation, Jepang, 5-6 November 1999).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

Leave a Reply