Alimuddin Hassan Palawa*
Dunia Islam telah lama berdiri di luar sejarah, seolah-olah Islam tidak mempunyai orientasi. Dunia Islam bagaikan orang sakit yang pasrah, seakan-akan rasa sakitnya sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dirinya. Menjelang datang abad ini, tiba-tiba Dunia Islam mendengar suara yang meneriakkan penyakit yang mengeram dalam tubuhnya. Segera ia keluar dari kamar tidurnya yang gelap dan pengap, serta kini dirasakan sakitnya disana-sini.
Ketika Dunia Islam menyadari penyakitnya, menurut Malik Bennabi, kini ada harapan akan munculnya fajar yang dapat dipandang sebagai awal babakan sejarah baru yang disebut ‘kebangkitan’. Namun, apa indikasi menyingsinya fajar baru tersebut? Karenanya, sebelum ‘bangkit’ menongsing fajar baru yang menyingksing itu, penyakit atau rasa sakit umat Islamt harus diobati. Maka, kata Malik Bennabi, kita mesti menempatkan istilah “sakit” di atas dalam perspektif kedokteran. Dengan demikian, kita dapat melihat kerangka berfikir yang benar. Sebab perbincangan penyakit (rasa sakit) bukanlah pembeberan tentang obat (Malik Bennabi, Syuruth Nahdhah 1961: 52)
Beberapa kajian yang dilakukan untuk mengobati penyakit dunia Islam yang berupa penyakit keterjajahan (bidang politik), penyakit kebodohan (bidang ilmu pengetahuan), dan penyakit kemiskinan (bidang ekonomi). Akan tetapi, menurut Malik Bennabi, pada kajian tersebut tidak ditemukan analisis metodologis tentang penyakit Dunia Islam yang telah diderita selama berabad-abad. Benar bahwa Jamaluddin al-Afghani melihat bahwa persoalan ummat Islam adalah persoalan politik, dan karena itu harus di atasi dengan cara politik pula. Sementara itu, benar bahwa Muhammad Abduh melihatnya sebagai persoalan yang tidak mungkin diselesaikan kecuali dengan melakukan reformasi di bidang aqidah dan pendidikan.
Namun, semua identifikasi yang dibuat oleh pembaharun tersebut sama sekali tidak menyentuh dan mengobati penyakit sesungguhnya diderita Dunia Islam. Apa yang dilakukan kedua pembaharu, Jamal al-Afghani dan Muhammad Abduh, menurut Malikn Binnabi, baru pada tahap berbicara seputar yang tidak esensial. Hasil dari identifikasi seperti ini, kata Malik Bennabi lebih lanjut, bukannya berusaha untuk mengobati penyakit, tetapi baru pada tahap membicarakan bentuk-bentuk penyakit.
Karena itu, kata Malik Bennabi, hasilnya bisa disamakan dengan hasil yang diperoleh oleh seorang dokter yang mengobati suatu penyakit dengan melakukan infus beberapa zat tertentu yang tidak berfungsi untuk membasmi penyakit, melainkan sekedar menurunkan demam yang muncul ketika seseorang sedang terserang penyakit. Padahal penyakit tersebut sudah sangat lama diderita. Pada dasarnya mereka tidak mengetahui hakikat penyakit yang mengeram dalam tubuhnya. Dan anehnya tidak berusaha untuk mengetahuinya. Akibatnya, penyakitnya bertambah parah, dan nyaris tubuhnya menjadi sarang penyakit.
Pada dasarnya, menurut Malik Bennabi, ada dua cara untuk mengatasi kondisi sakit tersebut: (1) membasmi penyakit, atau (2) suntik mati orang yang sakit tersebut. Persoalannya, apakah orang yang sakit dan masuk rumah sakit, tanpa tahu secara pasti penyakit dirinya, bisa berspekulasi untuk menghilangkan penyakitnya atau harus mengatasi persoalan dirinya terlebih dahulu. Inilah persoalan dunia Islam, dia masuk rumah sakit peradaban Barat untuk minta disembuhkan. Akan tetapi, disembuhkan dari penyakit apa dan dengan obat apa?
Mengenai kondisi dunia Islam tersebut Malik Bennabi menyatakan: “Sungguh nyata bahwa kita tidak tahu sama sekali berapa lama pengobatan seperti ini akan berlangsung. Namun, kondisi yang disodorkan ke depan mata kita semenjak setengah abad yang lalu, memiliki bukti-bukti sosiologis yang perlu kita jadikan objek perenungan dan analisis. Di tengah analisis yang kita upayakan, kita dapat memahami makna realistis dari periode sejarah. Dimana kita sedang berada, sekaligus melakukan revisi-revisi apa yang mesti kita tambahkan.
Malik Bennabi membagi periode sejarah ke dalam tiga periode: Pertama, periode pra-peradaban, kedua, periode peradaban, dan ketiga periode pasca-peradaban. Menurutnya periode pasca-peradaban berawal dari jatuhnya Daulah Murabutun hingga sekarang. Tapi dengan adanya upaya kebangkitan di kalangan ummat Islam, maka ummat Islam saat ini, menurut Malik Bennabi yang dapat mengantarkan ummat Islam memasuki periode baru ‘awal peradaban’. (Lihat, Malik Bennabi, Membangun Dunia Baru Islam, hal. 168 dan 197).
Dalam periode ini, Dunia Islam bagaimanapun juga, harus tetap memperoleh kepastian tentang penyakitnya. Sesudah itu, dia diantar ke bagian pengobatan tertentu, sebagaimana lazimnya bila seseorang berobat ke rumah sakit. Hal itu dimaksudkan agar dia dapat disembuhkan dari penyakitnya yang memang belum diketahui secara pasti, yang akan disembuhkan dengan obat berdasarkan resep yang diberikan kepadanya. Karenanya, dalam konteks penyembuhan penyakit Dunia Islam, Malik Bennabi, mengatakan:
“Pada bagian tertentu Dunia Islam harus menanam ‘benih’ guna menentang kebodohan, di bagian lain harus mengambil ‘kayu’ pemukul untuk melawan penjajah, di bagian lain lagi harus memiliki ‘modal’ agar tidak tertimpa kemiskinan. Dia harus membangun sekolah di satu sisi, di sisi lain harus merebut kemerdekaan, dan di segi lainnya lagi harus membangun pabrik-pabrik. Meskipun demikian, dalam kondisi seperti itu, ketika dilihat dari dekat, ternyata kita tidak merumuskan bagian dari dirinya yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Artinya kita tidak menemukan peradaban.”
Dari kutipan di atas ada tiga sentral yang harus dilakasanakan ummat Islam kalau mau merobah nasib, yaitu (i) menanam “benih” pengetahuan untuk membasmi kebodohan; (ii) memiliki “modal” untuk membangun sarana ekonomi dalam memberantas kemiskinan; (iii) mengambil “kayu” untuk membangkitkan kesadaran politik dalam menentang penjajahan.
Kalau diperhatikan dengan seksama tema sentral dari pemikiran Malik Bennabi dalam upaya penyembuhan penyakit Dunia Islam adalah ‘peradaban’. Oleh karena itu, menurut Malik Bennabi, kita harus memahami terlebih dahulu cara dan teknologi yang dipergunakan oleh Barat dalam menjajah. Sebab pada abad ke-20 ini, kata Malik Bennabi, ummat Islam hidup di suatu alam yang terlihat nyata bahwa sumbangan-sumbangan peradaban Barat sudah menjadi hukum historis zaman ummat Islam. Bahkan menurut pengakuannya, ‘dalam kamar tempat saya menulis sekarang ini, segala sesuatu adalah Barat, kecuali sedikit yang ada di depan mata saya’. Itu artinya, adalah sia-sia bila ummat Islam membuat tabir pemisah antara peradaban yang ingin direalisasikan oleh Dunia Islam dari peradaban modern yang notabene adalah Barat.
Meskipun demikian, sadar Malik Bennabi, kenyataan seperti ini sepenuhnya akan menimbulkan problem tersendiri. Untuk itu, bukanlah merupakan suatu keniscayaan bagi ummat Islam, dalam upaya menumbuhkan dan membangun peradaban dengan mengadopsi segala sesuatu dari Barat. Sebab hal tersebut, ungkap Malik Bennabi, pada akhirnya mengantarkan kita pada usaha yang benar-benar mustahil untuk dilakukan, bila secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Pertama, secara kualitatif, munculnya kemustahilan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa sesuatu peradaban, yang manapun, tidak mungkin bisa dibeli sekaligus, baik meliputi benda-benda yang diproduksi ataupun gagasan-gagasannya. Artinya, bahwa tidak mungkin ummat Islam membeli semangat, gagasan-gagasan dan kenyataan-kenyataan yang berdimensi internal, yaitu suatu himpunan gagasan dan makna-makna yang tidak bisa disentuh dengan jari yang terdapat dalam buku-buku atau institusi-institusi. Namun, tanpa semua itu, segala barang yang kita beli akan tidak menjadi berarti karena tidak memiliki semangat dan tujuan.
Kedua, secara kuantitatif, kemustahilan seperti itu juga tidak kalah besarnya. Adalah absurd bagi ummat Islam membayangkan bisa membeli sejumlah besar benda-benda, dan ummat Islam pun tidak mempunyai dana untuk itu. Kalau sekiranya kita menganggap itu bisa dilakukan, maka hal itu secara pasti akan mengantarkan ummat Islam kepada kemustahilan ganda, dan pada akhirnya akan menjerumuskan ummat Islam pada abad yang disebut ‘peradaban benda-benda’, disamping akan membuat ummat Islam mensakralkan benda-benda peradaban tersebut.
Pada keniscayaan persepsi sosial bahwa sejarah memiliki rotasi dan perjalanan yang berkesinambungan. Sesekali sejarah merekam peristiwa-peristiwa besar dan capaian-capaian yang agung untuk manusia, pada kali lain meluncur ke dasar yang paling dalam dan hina dan untuk selanjutnya tertidur pulas. Menurut Malik Bennabi, kalau pengalaman sejarah tersebut kita jadikan pelajaraan, maka dalam upaya ummat Islam untuk mengatasi berbagai problem yang dihadapi, ummat Islam harus melihat posisinya dalam putaran sejarah, memahami kondisinya yang berada di dalamnya, dan menemukan berbagai faktor yang menyebabkan kemerosotan dan upaya kemajuan yang akan dilakukan.
Agaknya, faktor tersebut yang menyebabkan keterpelantingan ummat Islam dari jalur sejarah adalah ketidaktahuan ummat Islam tentang nuktah yang mana akan memulai sejarahnya. Dan barangkali faktor yang paling utama bagi kekeliruan-kekeliruan para pemimpin Islam adalah karena rekaman-rekaman sosial tersebut luput dari perhitungan mereka. Dan dari situlah awal munculnya bencana, dan kereta api ummat Islam pun keluar dari rel menuju arah yang tidak menentu.
Karenanya, ketika ummat Islam, kata Malik Bennabi, telah berhasil menentukan posisinya dalam putaran sejarah, maka mudahlah bagi ummat Islam untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan kemundurannya dan sekaligus mengetahui supaya yang akan mengantarkannya kepada kebangkitan. Ketika ummat Islam sudah mengetahui titik sejarahnya, ungkap Malik Bennabi, di hadapan mencuat kenyataan sekaligus pertanyaan: “Sekarang, kita adalah orang-orang yang akan mulai melakukan perjalanan, dan kafilah kita sudah mulai melangkahkan kakinya.
Namun, kemana dia akan berjalan? Dan dengan bekal apa pula di gunakan bila nantinya macet dalam perjalanan?” Pernyataan dan pertanyaan itu meniscayakan ummat Islam berhadapan dengan berbagai kondisi. Sebab dalam setiap perjalanan, ummat Islam harus tahu arah dan tujuannya serta dengan memiliki bekal yang akan dipergunakan selama dalam perjalanannya. Pertanyaan-pertanyaan ini penting, tetapi, menurut Malik Bennabi, tidak boleh dijawab secara spontan –tidak pernah mengalami perubahan– terdapat dalam Al-Qur’an: “Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan dalam Sunnatullah” (Q.s. 48: 23).
Hal pertama yang harus diketahui oleh ummat Islam yang baru bangkit –sedang sisi-sisi tidur dan mimpinya yang lelap dan panjang masih menempel dalam benaknya– adalah: “Adakah dia memiliki sesuatu yang menjadi sebab kebangkitan?” Kata Malik Bennabi, dalam Al-Qur’an ditemukan teks yang mengemukakan tentang prinsip bio-historis, berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa selama bangsa itu tidak mau mengubah dirinya sendiri”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurut Malik Bennabi, “Ya” bukanlah jawaban yang baik, kecuali apabila dipahami dan diperoleh kejelasan tentang dua syarat: Pertama, kesesuaian hukum sejarah dengan prinsip Qur’ani; kedua, berpedoman dan berpegang kepada Al-Qur’an.
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.