Oleh: Alimuddin Hassan Palawa,
Agama dan budaya merupakan dua entitas yang absurd untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Dalam pentas sejarah perkembangan peradaban anak manusia di bebarapa belahan jagat ini. Karenanya, agama dan budaya selalu mengalami pergumulan secara sangat intens signifikan, dan tak terkecuali pada belahan Dunia Melayu-Nusantara. Maka agama dan budaya dalam di kawasan ini mempunyai pertalian yang jalin-berkelindan. Dengan kata lain, persebatian agama Islam dan budaya Melayu di kalangan masyarakat Melayu, khususnya Riau sudah menyatu dan senyawa dalam kehidupan mereka.
Sekedar catatan bahwa kata “persebatian” berasal dari kata dasar “bati” yang arti etimolginya: sesuai, selaras, senyawa, bersatu-padu dan sangat mesra. Dengan demikian, kata “sebatian” berarti perpaduan dua atau lebih menjadi satu. Jadi, kata “persebatian” bermakna “Proses persatu-paduan antara dua orang/sesuatu atau lebih untuk menjalin keselarasan hubungan yang sangat akrab dan mesra.” (Lihat, Teuku Iskandar, Kamus Dewan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1970: 79; Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988: 84).
Selanjutnya, dengan memeluk agama Islam, selain berberadat-istiadat dan berbahasa Melayu menjadi penentu bagi “kemalayuan” seseorang. Bahkan ketika sifat kemelayuan ini menjadi syarat dasar yang harus dipenuhi oleh orang Melayu jika ingin dianggap “manusia”. (Lihat, Jan van der Putten, “Pemekaran Negeri Kata-Kata: Konfigurasi Kebudayaan Melayu di Riau”, dalam Amin Sweeney et.al., Keindonesian dan Kemelayuan dalam Sastra, Depok: Desantara: 26).
Dengan kata lain, seseorang dapat dianggap “Melayu”, misalnya apabila telah memenuhi persyaratan utamanya, yaitu beragama Islam. Dalam hal ini, menurut Chou, “kajian atas masyarakat Melayu cenderung menekankan homogenitas bentuk-bentuknya yang difokuskan kepada Islam disamping adat dan bahasa Melayu sebagai fitur essensial “menjadi Melayu.” (Lihat, Cynthia Chou, “Orang Laut Women of Riau: An Exploration of Difference and the Emplems of Status and Prestige”, dalam Indonesia Circle, no. 67 (1995), 175). Maka dikebanyakan daerah Sumatera, Semenanjung dan Kalimantan, menurut Reid, masuk agama Islam berarti juga ”menjadi Melayu” (masuk Melayu). (Lihat, Anthony Reid, “Introduction”, dalam The Making of an Islamic Discourse in Southeast Asia, Monash Paper on Southeast Asia – No. 27, Clayton, Victoria: Monash University, 1993: 3).
Di kalangan orang Melayu terkadang muncul kebingungan, siapa sesungguhnya orang Melayu itu. Ketika orang menyebut term “Melayu” ada beberapa asosiasi pengertian.
Pertama, Melayu dalam arti satu ras di antara berbagai ras lainnya di dunia. Ras Melayu adalah ras manusia yang berwarna kulit coklat. Dalam pengertian, semua orang yang berwarna kulitnya coklat di Nusantara (Asia tenggara umumnya) adalah Melayu.
Kedua, Melayu dalam pengertian suku (etnis) Melayu itu sendiri yang mendiami, khususnya di kawasan pesisir timur Sumatera.
Ketiga, Melayu dalam pengertian suku bangsa dalam konteks yang memiliki adat-istiatad dan budaya Melayu (Melayu perspektif kultural). Maka suku bangsa yang tidak memiliki adat (budaya) Melayu disebut sebagai non-Melayu.
Keempat, Melayu dalam pengertian agama Islam, khusus misalnya kawasan pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaysia, sesorang dapat dikatakan Melayu kalau beragama Islam. Maka kalau ada orang masuk Islam, ia dikatakan masuk Melayu. (Lihat, Muchtar Lutfi, “Interaksi Antara Melayu dan Non-Melayu Serta Pengaruhnya Terhadap Pembauran Kebudayaan dan Pendidikan”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya (Pekanbaru: PEMDA Riau, 1986), 488; Timothy Bernard, “Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century”, dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, ed. Timothy Barnard, Singapore: Singapore University Press, t.t, 107).
Dari pengertian “Melayu”, sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan ini, karenanya, agama dan budaya dalam tradisi intelektual Melayu absurd dipisahkan. Meskipun demikian, agama dan budaya dua entitias yang distingtif, tentu dapat dibedakan. Perbedaan prinsip antara agama dan budaya setidaknya dengan dua alasan.
Pertama, “argumen ideal-epistimologis”. Bahwa agama adalah kebenaran bersumber dari wahyu (revilation) sebagai ciptaan Tuhan (God made-riligion). Untuk itu, kebenaran yang dikandungnya bersifat absolut dan universal, berlaku untuk semua waktu dan ruang. Sementara budaya adalah kebenaran berasal dari akal (ratio) sebagai ciptaan manusia ( man made-culture). Karenanya, kebenaran yang dikandungnya bersifat relatif dan lokal, terbatasi oleh waktu dan ruang. Maka ketika kedua kebenaran ini dikonfrontir, tentu saja, kebenaran absolut-universal (agama) dimenangkan ketimbang kebenaran relatif-lokal (budaya). (Lihat, Nurchalish Madjid, Islam Agama Kemausiaan, 1995: 36).
Kedua, “argumen empiris-historis”, merupakan kelanjutan dari yang pertama. Bahwa agama dipahami, meminjam istilah Azra, sebagai tradisi besar (great tradition), sedangkan budaya dipahami sebagai tradisi kecil (little tradition). Lebih lanjut, agama adalah primer atau centeral tradition; dan budaya adalah sekunder atau periferal tradition. Konsekwensi logisnya, kebanyakan budaya-politik berdasarkan agama, tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Maka agama menjadi faktor determinan bagi budaya; dan budaya menjadi subordinasi terhadap agama. (Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam, 1999: 13; Nurchalish Madjid, Islam Agama Kemausiaan, 1995: 36).
Agama, utamanya Islam mengandung nilai-nilai yang sangat kondusif bagi pengembangan budaya. Al-Attas, mislanya menyebutkan “karena agama Islam adalah agama yang mengandung semangat keagamaan yang rasional dan sekaligus melahirkan daya intelektualisme kepada penganutnya.” Al-Attas menambahkan, “semangat rasionalisme dan intelektualisme tidak termanifestasi pada masa sebelum Islam.” (Syed M. N. al-Attas, Prelimenary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, 1969: 11).
Dalam perkembangan emperis-historisnya, agama Islam telah menjadi landasan dan model bagi dunia Melayu dengan membentuk “budaya tinggi”, dan ini semakin meluas awal abad ke-17. Sebelum kedatangan Islam, nilai-nilai budaya [politik] Melayu, umpamanya, ada ungkapan: “pantang Melayu mendurhaka!” –ketaatan tanda reserve rakyat vis a vis penguasa. Belakangan, setelah Islam masuk, adigium tersebut diubah: “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah!” (Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas, Perspektif Politik Melayu, 1995: 18).
Argumen empiris-historis ini diperkuat sendiri oleh al-Attas, misalnya, ketika ia menyoroti bahasa Melayu sebagai lingua franca: “Sesungguhnya tanggapan umum bahwa bahasa Melayu itu telah lama tersebar luas sebagai lingua franca sebelum datangnya Islam masih boleh diperdebatkan, sebab di zaman pra-Islam perdagangan di kepulauan ini tidak meluas pasarannya …. Kemudian, jika sungguh benar bahwa bahasa Melayu itu sudah merupakan lingua franca di zaman pra-Islam, mengapa ia tidak menjadi bahasa sastra selama berkurun-kurun itu –sedangkan yang demikian itu tercapai hanya sesudah datangnya Islam.” (Syed M. N. Al-Atas, Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1990: 65).
Pernyataan Naquib al-Atas di atas secara umum ada benarnya. Meskipun pada bagian awal pernyataan tersebut perlu dipertanyakan. Apakah bahasa Melayu pra-Islam belum menjadi lingua frangca kalau dihubungkan dengan bidang perdagangan pada masa pemerintahan maritim kerajaan Sriwijaya, misalnya? Akan tetapi, pernyataan Naquib al-Atas menjadi benar ketika bahasa Melayu –tidak menjadi lingua frangca— dikaitkan dengan perkembangannya sebagai bahasa sastra di Nusantra, karena bahasa Melayu baru menjadi bahasa sastra setelah datangnya Islam lewat rintisan kesulatanan Aceh.
Kemudian, bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa tulis dan karya-karya literer lainnya yang lebih serius dan canggih di bawah asuhan intelektual Muslim Sermabi Mekkah, seperti Hamzah Fanzuri, Syams al-Din dan Nur al-Din al-Raniri pada abad ke-17. Dan pada abad berikutnya geneologi bahasa Melayu sebagai bahasa ilmiah diteruskan oleh intelektual Muslim di Sumatra Selatan, misalnya ‘Abd Samad al-Palembang; intelektual Muslim Kalimatan Selatan, seperti Muhammad Arsyad al-Banjari, dan kawasan lainnya. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 1995: 166-266:
Upaya mengembangan bahasa Melayu menjadi bahasa tulis, menurut Nurcholish Madjid, “terjadi dengan menggunakan fasilitas huruf Arab yang dengan sendirinya sudah merupakan bagian dari kekeayaan atau rujukan kultural sebuah kekuasaan Islam. Bahasa Melayu dengan huruf Jawi itu kemudian menyebar ke seluruh Nusantara, dan dengan terlebih dahulu menjadi pola utama kebudayaan di deerah-daerah pesisir Selat Malaka, baik sisi Sumatera maupun sisi Semenanjung.”
Belakangan, selama rentang abad ke-19 bahasa Melayu sebagai bahasa sastra dan bahasa tulis dengan fasilitas huruf Arab-Jawi semakin berkembang yang, menurut Nurcholis Madjid, puncaknya terwujud di Riau, dan Pulau Penyengat sebagai Pusat denyut nadinya di bawah binaan intelektual Muslim Melayu-Riau, Raja Ali Haji dan generasinya. Sehingga, ketika bahasa Indonesia belum dikenal di awal abad ke-20, menurut Muhammad Hatta, “…. Yang dikenal sebagai lingua franca ialah bahasa Melayu Riau. Orang Belanda menyebutknya Riouw Meleisch. Ada yang menyebutkan berasal dari logat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Penyengat dalam lingkungan pulau Riau.” (Hasan Junus dan Tim Penulis, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji, 71).
Di Melayu-Riau sendiri agama telah menjadi faktor utama dalam mendorong aktifitas dan kreatifitas intelektual, dan sekaligus mengangkat kebudayaan Melayu. Sebelum Islam kebudayaan Melayu-Riau, kata Hasan Junus, “tidak lebih dari sebuah kebudayaan periferi yang tidak memperlihatkan mutu intelektual mengesankan.” (Lihat, Nurcholish Madjid, “Khazanah Kesufiaan, Kekayaan Terpendam dalam Perpendaharaan Budaya Kemanusiaan dan Peran Rintisan Aceh dalam Pertumbuhan Keindoneseian”, Makalah, KKA 170 Paramadina, Regent Hotel, 24 Agustus 2001; Hasan Junus Lihat “Pengantar” dalam U.U. Hamidi, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Budaya, 1988: 10).
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.