Ciri-ciri Menonjol dalam Kekhalifah Islam
“Annual International Conference on Islamic Studies” (AICIS) diselenggarakan pada 2007 dengan “tuan rumah” UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Dalam sebuah forum pleno ilmiah yang sangat berwibawa salah seorang pembicara utamanya adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.Phil., MA. Pada saat sesi tanya jawab, seorang dosen Perguruan Tinggi di Pekanbaru –ada baik saya tidak sebut nama dan PT– mengajukan pertanyaan dan/ atau menyampaikan pikiran dan perasaannya yang ditujukan kepada Prof. Azra, kurang lebih begini: “Agak sulit kita untuk memperjuangan penekakan kekhalifahan Islam di Indoensia, karena seorang intelektual seperti Prof. Azra bukannya mendukung, tapi justru mempertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya, sebagaimana tulisanya di Kompas (18/8/2007).” Pada gilirannya, Prof. Azra menjawab dengan memberikan menjelasakan sejumlah khalifah dari berbagai Dawlah Islamiyah yang penguasanya bersifat dispotik dan kerap kali menyalahgunakan agama demi melanggengkan kekuasannya. Di akhir jawabanya, Prof. Azra menyarankan agar dosen bersangkutan mempelajaran kembali sejarah kekhalifahan Islam.
Saran Prof. Azra di atas saya makanai berlaku untuk umum bagi siapapun yang melakukan kajian keilsamam, khusus bagi mereka yang bergelut dalam sejarah dan pemikiran Islam. Saya sebagai murid Prof. Azra di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyahuti himbauan Sang Guru Besar untuk (kembali) mempelajari sejarah kekhalifahan dengan sedikit kritis. Untuk itu, saya membaca di antaranya “melembar-lembar” buku “History of the Arabs” karya Phillip K. Hitti; “Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim” karya Farag Faudah; “Islamic History: New Interpretation” (2 Volome) karya M.A. Shaban, dan “Tārikh al-Khulafa’” karya Jalaluddin al-Suyūṭi. Di antara hasil dari bacaan saya itu, saya paparkan berikut ini.
Dalam kekhalifah Islam, khusus kekhalifahan pada masa Dawlah Umayyah dan Abbasyiah di kalangan penguasa/khalifah atau pangeran di istana memiliki dua ciri utama. Pertama, bahwa kehidupan istana diwarnai prilaku pesta pora dan foya-foya dengan bergelimang harta dan meteri melimpah serta makan dan minum yang bercita rasa lezat tiada tara. Kedua, bahwa kehidupan seksual di lingkungan istana dengan dikelilingi wanita-wanita muda serta cantik yang kadang jumlahnya tidak terkirakan banyaknya sejalan dengan era perbudakan dan perseliran pada masanya.
Dalam mengurai kehidupan seksul yang bebas ditopang tersedianya wanita yang dijadikan budak dan selir, Philip K. Hitti dan Farag Fauda merujuk kepada karya sejarawan Islam awal yang dipandang otoritatif dan terpercaya, seperti al-Mas’udi, ibn al-Atsir, al-Ṭabari, dan lainnya. Baik Hitti maupun Fauda menyebutkan betapa perseliran sebegitu dahsyat baik pada masa Bani Umayyah maupun Bani Abbasyiah, misalnya bahwa khalifah Harun al-Rasyid yang masyhur dengan kisah “alfu layl wa layl” (1001 Malam) memiliki selir 1.000 (seribu) orang. Dan belakangan lebih hebat lagi khalifah al-Mutawakkil, seorang khalifah Abbasyiah, diriwayatkan memiliki selir sebanyak 4.000 (empat ribu) orang kesemuanya telah diajak “menemaninya tidur” selama seperempat abad kekuasaannya. Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs 342; Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim (Jakarta: Dian Rakyat, 2003), 145.
Kehidupan mewah, bergelimang harta, perbudakan dan perseliran sedemikian marak pada kekhalifahan Islam, terutama pada masa Bani ‘Abbashiyah dan Bani ‘Umayyah. Sedemikian maraknya perbudakan dan perseliran pada masa Bani ‘Abbasyiah, sehingga hanya ada tiga orang khalifah lahir dari rahim ibu merdeka, yaitu: Abu Abbas, al-Mahdi dan al-Amin. Selain itu, khalifah-khalifah Abbasyiah adalah keturunan wanita-wanita budak dari berbagai daerah dan bangsa. Misalnya, ibu al-Mansur adalah budak Barbar; ibu al-Ma’mun adalah seorang budak Persia; ibu al-Watsiq dan al-Muhtadi adalah seorang budak Yunani-Abissinia; dan bahkan ibu Harun al-Rasyid adalah juga seorang budak dari negeri lain yang dikenal sebagai “al-khayuran”, seorang wanita pertama yang memiliki pengaruh penting dalam urusan kenegaraan/ pemerintahan Bani Abbasyiah.
Para khalifah sudah terbiasa dan menjadi tradisi menerima hadiah dari para gubernur dan para jenderalnya. Hadiah tersebut tidak saja berupa materi, tetapi juga hadiah berupa anak gadis-gadis cantik yang diambil baik secara suka rela maupun secara paksa di kalangan warga kerajaan. (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 332). Tradisi pemberian hadiah gadis-gadis cantik semacam ini pada khususnya dan pemberian budak-budak pada umumnya juga telah marak seiring dengan penaklukan Islam, terutama pada dinasti kehalifahan Bani ‘Umayyah. Philip K. Hitti menyebutkan, sebagimana ia kutip dari Maqqari dan Ibn al-Athir, bahwa Musa bin Nusayr menawan 300.000 orang di Afrika kecil, seperlima di antaranya diserahkan kepada al-Walid (meskipun angka-angka ini, sepertinya terlalu dibesar-besarkan); selain itu ia juga menawan 30.000 gadis dari kalangan bangsawan Gotik di Spanyol.
Bagi seorang bangsawan di kalangan Bani ‘Umayyah memiliki 1.000 budak bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa. Bahkan Zubair bin Awwam, salah seorang di antara sepuluh sahabat yang dijamin Nabi saw. masuk surga, menurut al-Mas‘udi, mewariskan sebanyak 1.000 (seribu) orang budak laki-laki dan perempuan. (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 335). Selain mewariskan budak sedemikian banyak itu, Zubair bin Awwam –dan sejumlah sahabat yang dijamin surga lainnnya, yaitu Sa‘ad bi Abi Waqas, Talhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Abd Rahman bin ‘Auf — juga memiliki harta peninggalan begitu banyak dan melimpah.
Ibn Sa’ad dalam al-Ṭabaqāt al-Kubrā, seperti dikutip Farag Fauda, menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam meninggalkan kekayaan (harta warisan kepada keluarganya) berupa: (i) uang dirham yang jumlahnya sangat fantastik, yaitu kira-kira 51 juta dirham (bandingkan dengan Ali bin Abi Thalib yang hanya meninggalkan sekitar 250 dirham serta mushaf dan pedangnnya); (ii) beberapa armada di Mesir, Aleksadria dan Kufah; (iii) angkutan darat dan hasil panen yang dipersembahkan kepadanya oleh penduduk di Basra. Prihal Sa‘ad bin Abi Waqas, di akhir hayatnya, putrinya A‘isyah bin Sa‘ad bin Abi Waqas mengisahkan bahwa: “Bapakku meninggal di istananya yang antik sekitar sepuluh mil dari Madinah.” (Lihat, Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang, 64-65 dan 67).
Melihat praktek perseliran di istana disebgaian kekhalifah Islam, dapat diduga kuat bahwa penguasa menghabiskan waktu sampai larut malam bersama-sama istri dan gundik/selirnya dalam memuaskan hawa nafsu dan hasrat libido seksual mereka. Sementara pada siang harinya terlelap tidur karena semalaman, sebagaimna disebutkan tadi, bergadang (“berasyik-mausyuk” dengan istri dan gundik/selirnya). Tanpa bermaksud menafikan sejumlah khalifah yang memang baik dan bijaksana, tetapi mengingat gambaran nyata hampir merata prihal kehidupan penguasa nota bene muslim, tetapi prilakunya tidak bermartabat dan bermarwah. Ironisnya, sebagian mereka mengklaim dirinya sebagai “khalīfah Allāh fī al-arḍ” (“wakil Allah di bumi”) dan memproklamasikan kekhalifahan berasaskan Islam.
Padahal, dalam kenyataannya penguasa semacam itu acapkali tidak menjadikan dirinya sebagai wakil Allah. Dan klaimnya bahwa Islam sebagai asas kekhalifahannya hanya sekedar “alat” untuk menjastifikasi prilaku mereka yang tidak islami (praktek-praktek aspirasi jahiliyah). Dengan kata lain, klaim khalifah berasas Islam adalah demi melanggengkan kekuasaan dalam genggaman yang memang mengasayikkannya, sebagaimana bisikan syaithan kepada Adam: wa mulk lā yablā (dan kekuasaan yang tidak akan binasa). Firman Allah: “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi[948] dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Q.s. Ṭāhā [20]: 120).
Belakangan, sebagian umat Islam merindukan ingin menegakkan pemerintahan Islam di bawah bendera kekhalifahan. Apakah kekhalifahan dengan penguasa tidak memiliki rasa takut pada Allah, tidak taat beragama dan memiliki akhlak bobrok serta tidak cakap mengurus negara,berkuasa secara zalim dan sewenang-wenang itu yang, seperti kebanyakan dipraktek penguasa dalam sejarah kekhalifahan Islam, kembali didambakan?
Nada pertanyaan “sarkesme” semacam itu terilhami dari pertanyaan-pertanyaan retorik dari Farag Fouda. Menurut Fouda, khalifah yang disematkan/ diselubungi dengan kata “Islamiyyah” dalam sejumlah besar sejarah umat Islam tidak lebih merupakan sistem kekuasaan monarki absolut yang totaliter dan disepotik.
Farag Fouda mempertanyakan lebel “Islamiyyah” di belakang penyebutan “khilafah”, ia berusaha menunjukan bahwa yang sering mencuat dalam pentas sejarah politik kekuasaan Islam justru praktek-prakter yang bertolak belakang dengan ajaran Islam. Karena penguasa khilafah Islam itu memisahkan ajaran Islam dari praktek kekuasaan, maka praktek khilafah dalam sejarah dapat dikritik, dicela. Untuk itu, Farag Fouda bertanya: Mengapa orang-orang yang menuntut kembalinya khilafah begitu membenci bar, mencela biduan, dan mengkafir-kafirkan para penarinya? Bukankah itu kelanjutan dari masa lalu dan bahkan bagian darinya? Mengapa saya harus menerima ajakan mereka untuk menegakkan negara agama, sementara mereka hanya berpegang pada kulit-kulit agama? (Lihat, Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang, vi, vii, dan 35, 171).
Mohon maaf, karena tulisan sederhana dan terbatas ini hanya melihat sisi “kelam” sejarah kekhalifahan Islam, sementara sisi “gemilang”nya diabaikan. Bukan bermaksud mengangkat sisi buruk dan meninggalkan sisi baiknya, ini persoalan perspektif semata. Pertimbangannya adalah lantaran soal sisi baik dan gemilang sejarah kekhalifahan ini sudah menjadi pengetuhuan yang “mengarus-utama” (main stream).
Sementara soal sisi buruk dan kelam sejarah kekhalifahan Islam tidak/belum diketahui secara umum dan/atau baru menjadi pengetahun “pinggiran”, sehingga perlu ditarik agak sedikit “ke tengah” agar kita dapat melihat sejarah Islam lebih berimbang. Begitu juga, mohon maaf kepada penggiat “khilafah Islam”, kalau tulisan superficial (dangkal) ini sedikit mengganngu pikiran dan perasaan. Teruslah perjuangkan menghadirkan “khilafah Islam”, meskipun ada orang diseberang sana yang mengatakan bahwa menegakkan khilafah Islam di Bumi Pertiwa bagaikan menegakkan “benang basah”. Akan tetapi, bukan mustahil benang basah bisa ditegakkan.
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
By: Alimuddin Hassan Palawa