LAKI-LAKI JUGA SEORANG FEMINIS

LAKI-LAKI JUGA SEORANG FEMINIS

“Isu feminisme di Indonesia masih mengalami kompleksitas persoalan. Islam dan feminisme di Indonesia masih mengalami ketegangan” begitu Prof. Alimatul Qibtiyah mengawali pembahasannya pada diskusi minggu, tanggal 08 November 2020. Guru Besar UIN sunan Kalijaga Yogyakarta ini, kemudian menunjukkan bagaimana pola berfikit, penafsiran, dan keyakinan umat Islam yang masih mengakar dan membudaya dalam menempatkan perempuan yang tidak sebanding dengan atau bahkan di bawah kaum laki-laki. “Hal ini lah, yang kemudian melahirkan banyak persoalan dan penderitaan pada perempuan. Kaum perempuan seringkali mengalami diskriminasi dan bahkan perlakuan-perlakuan tidak adil” imbuh anggota Komnas Perempuan ini.

Kegiatan tersebut merupakan rangkaian kegiatan ISAIS UIN SUSKA RIAU yang bekerjasama dengan MAARIF Institute. Suguhan diskusi kali ini, mengungkap topik”Arah Gerakan Feminis Muslim”.Selain Prof. Alimatul Qibtiyah, ada Syafiq Hasyim, Ph.D, Direktur Perpustakaan dan Budaya Universitas Islam Internasional Indonesia,yang juga memberikan uraian tentang gerakan feminisme di Indonesia. Webinar yang dimulai pukul 13.00 dan berahir jam 15.00 ini, dibuka oleh Abd. Rahim Ghazali, selaku Direktur Maarif Institute. Diskusi kali ini dimoderatori oleh Heru Lesmanda selaku Mahasiswa Pascasarjana UIN SUSKA Riau.

Secara historis, sesungguhnya perempuan dan laki-laki diciptakan sama. Bahkan Rasulullah SAW. memberikan contoh nyata kepada kita betapa beliau memulyakan perempuan. Nabi telah mampu mengangkat peran perempuan. Persoalan waris misalnya, perempuan memperoleh hak waris, setelah perempuan seperti tidak bernilai dimata kaum Jahiliyah.Gerakan feminisme bukan berarti melakukan penunggalan atau domistifikasi peran perempuan, melainkan mendorong agar perempuan bebas memilih peran terbaiknya, asalkan itu pilihan bebas dan tanpa paksaan.

Di Indonesia, kata Prof. Alimatul Qibtiyah, tidak semua pembela hak-hal perempuan bersedia menyebut dirinya sebagai feminis. Yang berani menyebut feminis justru dari kalangan LSM itupun yang muda-muda. Generasi tua, kebanyakan mereka enggan menyebut dirinya feminis. Beberapa mengatakan “Meskipaun kami berjuang untuk perempuan, tapi kami bukanlah feminis”. Penolakan ini, sebut perempuan jebolan UWS Australia ini, disebabkan oleh adanya stigma yang melekat pada istilah feminisme, misalnya feminisme sering dikaitkan dengan pengaruh Barat, individualistis, berkaitan dengan Gerakan Wanita PKI (Gerwani), anti laki-laki, dan pendukung lesbianisme. Bahkan di Barat sekalipun, ditahun-tahun 1990-an, mereka sering mengatakan “I am not feminis but …. i love equality”.

Pada tahun-tahun 90-an, para tokoh seperti Masdar F. Mas’udi, K. H. Husein Muhammad, dan lainnya sudah melakukan kajian serius untuk melakukan rekonstruksi tentang peran dan reproduksi perempuan. Pria Alumni Berlin Graduate School Muslim Cultural and Societis, Free University Berlyn German ini, menegaskan bahwa soal mendasar terkait dengan isu feminisme ini adalah soal persepsi mengenai tubuh perempuan. “Seringkali orang menganggap bahwa tubuh perempuan ini, merupakan obyek, tempat untuk dilakukan penindasan” imbuhnya. Padahal pertanyaan ini, sesungguhnya sudah pernah dikemukakan oleh Ahmad Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah, tegas pria yang menulis tentang Hal-hal yang tak Terpikirkan tentang Isu-isu Perempuan dalam Islam (Mizan, 2001) ini.

Tubuh perempuan yang lemah dan lembut itu, sesungguhnya sama dengan konstruksi tubuh laki-laki. Semua memiliki potensi yang sama untuk dilatih, dibina, dan dikembangkan sedemikan rupa. Sehingga, jangan melihat sisi “lembut” tubuh perempuan. Dengan demikian, laki-laki pun sesungguhnya memiliki kecendrungan yang sama jika lingkungannya mengkontruksi “tubuhnya” menjadi perempuan. Dengan demikian, persoalan feminisme ini, bisa mengalami rekonstruksi selama budaya dan lingkungannya mendukung atas pembelaan hak-hak perempuan. Jika Nabi Muhammad sendiri seorang feminis, maka muslim di Indonesia pun bisa menjadi pejuang feminis, semoga.

Leave a Reply