Bencana di negeri ini dipandang dari kacamata apapun, menjadi suatu yang
sungguh fenomenal. Rentetan peristiwa “bersejarah” yang mengenaskan dan
memilukan terjadi silih berganti dalam hitungan hari.
Dimulai dari Tsunami di Aceh yang mengharu-birukan dunia kemudian hadir
kembali di tepian pantai selatan Jawa beberapa waktu lalu, gempa tekto-fulkanik
di Irian, Maluku, Jogjakarta dan terakhir di Sumatera Barat.
Bencana longsor yang hampir merata dari Irian Barat, Jawa Barat hingga
Sumatra Barat, sampai pada bencana yang berpangkal dari ulah manusia seperti
semburan Lumpur Lapindo dan kecelakaan transportasi darat, laut dan udara tak
pernah berhenti terjadi bagai tak bosan mendera rakyat dan bangsa ini.
Begitu runtun dan kerapnya jarak antara satu bencana dengan bencana
lainnya sehingga sepertinya sudah -meminjam istilah sosial-“mentradisi” di
tanah air tercinta ini.
Pertanyaannya adalah, sejauh mana fenomena bencana negeri ini berpengaruh
terhadap sikap dan pemikiran masyarakat kita? Bagaimana wacana teologis
masyarakat dalam menyikapi bencana dahsyat yang menimpa sekeliling mereka?
Hal ini perlu dicermati karena bencana bencana tidak saja berdampak pada
persoalan ekonomi, sosial, psikologi dan politik, tetapi juga masalah teologi
dan alam pikir masyarakat yang terkena dan yang menyaksikan bencana.
Dahulu kita selalu diyakinkan atau di-nina bobokkan dengan
istilah-istilah yang menggambarkan kehebatan dan kesuburan Indonesia. Mulai
dari istilah negeri “Untaian zamrud khatulistiwa”, negeri “tongkat kayu dan
batu jadi tanaman” (Koes Plus). Tapi sekarang hutan kita telah gundul dan
menjadi penyebab longsor dan banjir bandang di mana-mana termasuk ibu kota.
Penduduknya yang ramah, suka bergotong-royong dan saling tolong-menolong kini
telah berubah menjadi individualis dan pragmatis.
Setidaknya ada tiga arus pemikiran yang mengitari masyarakat kita ketika
menyaksikan bencana yang terus-menerus silih berganti antara bencana alam dan
bencana yang timbul dari ulah manusia dalam tiga tahun belakangan ini yakni;
teologi mistis, nihilistic dan religio-fenomenologis.
Pertama, teologi mistis-klenis. Rentetan bencana yang secara kebetulan
terjadi dan mendera bangsa ini makin sering di masa kepemimpinan SBY-Kalla. Hal
ini, mengundang spekulasi pemikiran berbau klenik bahwa duet pemimpin ini tidak
diterima atau lemah secara spiritual untuk memimpin negeri ini.
Bencana yang menyatakan kehendak alam ditafsirkan sebagai keengganan
kalau bukan penolakan atas representasi mereka. Bahkan ada yang dengan
kotak-katik asal jadi ala klenik, mengambil persamaan kata dengan tokoh dan
alam pikir dunia pewayangan, meyakini bahwa jika yang berkuasa di bumi adalah
Bethara Yudho (Yudhoyono?) dan Bethara Kala (J Kalla?), maka yang akan terjadi
adalah bencana.
Pemikiran dan pemahaman (baca: teologi) semacam ini tidak hanya salah
dari logika karena mengukur dengan mitos yang berkembang di belakang hari tanpa
preseden, tetapi sekaligus juga menyesatkan karena berbasis tahayul dan
apriori.
Kedua, teologi nihilistis. Rentetan bencana yang selalu membawa kematian
yang begitu kerap terjadi di tengah himpitan kesulitan hidup dan merajalelanya
ketidak-adilan politik, sosial dan ekonomi menjadikan masyarakat terbiasa acuh
dan kehilangan kepekaan alam dan sosialnya.
Penyebabnya adalah ekspos terhadap rusaknya alam dan sosial yang terlalu
akrab di telinga dan mata mereka atas kemajuan di bidang telekomunikasi dan
informasi menyebabkan bencana yang terjadi dianggap sebagai suatu hal yang
biasa.
Bisa dibayangkan eksposs berita bencana di berbagai stasiun teve sedang
dilambungkan angannya oleh gaya hidup para selebriti (infotainment),
menyebabkan masyarakat kesulitan memilih dan memilah, antara yang benar-benar
terjadi dengan yang hanya sekadar sandiwara.
Di lain pihak, dalam dunia riil dihadapan mereka dengan jelas disaksikan
para politisi, pemimpin, hakim dan penegak hukum seringkali tidak peduli,
bahkan dengan seenaknya memperlakukan rakyat kecil sebagai bulan-bulanan
politik dan ketidak adilan tanpa ada yang mampu melindungi mereka.
Bencana sosial, ekonomi dan politik yang mendera tanpa habis dirasakan
oleh mereka di daerah, telah membuat mereka tidak lagi sempat memperhatikan
orang lain yang sedang tertimpa musibah di tempat lain. Akhirnya sikap acuh tak
acuh mengkristal karena membentuk pikiran mereka sehingga masyarakat cenderung
untuk berpikir apatis.
Ketiga, teologi religio-fenomenologis. Konsep ini, biasanya merujuk
kepada Alquran, yaitu doktrin bahwa “Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mareka sebahagian dari (akibat) perbuatan mareka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar)” (QS Ar-Rum ayat 40).
Hal ini, muncul tidak lepas dari sifat ketamakan atau kerakusan manusia
yang lebih mementingkan diri sendiri daripada kemaslahatan umat, sehingga
mereka tidak mau mendengar panduan Ilahi.
Yang menjadi persoalan adalah ketika konsep “bencana”, yang pada awalnya
dipahami sebagai “symbol” peringatan Tuhan terhadap sikap-sikap egoisme manusia
terhadap alam, secara berlahan mulai memudar.
Karena, hal ini akan memunculkan apatisme -untuk tidak mengatakan erosi
teologis- dalam ruang sadar umat di negara ini, terhadap setiap bencana yang
muncul. Sehingga, orang tidak lagi merasa prihatin terhadap musibah yang
menimpa saudara-saudara mereka.
Apabila kondisi ini, menjadi mindset dalam setiap kepala umat di negeri
ini, maka tidak ada harapan lagi bagi umat di negeri ini untuk bangkit.***
Dardiri Husni MA, Kepala Institute for Southeast Asia Islamic Studies
(ISAIS) UIN Suska Riau. Imam Hanafi, mahasiswa Program Pasca Sarjana UIN Suska
Riau.
Dikutip Riau Pos 16 Maret 2007 Pukul 08:48