Intoleransi Memicu Radikalisme

Intoleransi Memicu Radikalisme

by Rahmi Putri Nanda

14344_74484.jpg

Masalah utama bangsa ini adalah radikalisme. Paham ini memiliki tujuan untuk melakukan perubahan dalam waktu yang singkat dengan menggunakan cara yang ekstrem. Hal yang sering dikaitkan dengan paham ini adalah terorisme.

Tindakan meneror kelompok yang tidak sesuai dengan paham yang mereka anut ini tak jarang menelan korban yang tak bersalah. Menurut sejarahnya, radikalisme bukanlah ajaran agama tertentu; ia hanyalah suatu bagian dari fenomena politik.

Radikalisme pertama kali dipaparkan oleh Charles James Fox pada akhir abad ke-18. Negarawan terkenal dari Inggris ini menyerukan “Reformasi Radikal” dalam sistem pemerintahan. Seruan perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada ini dipakai untuk mendukung pergerakan revolusi parlemen di Britania Raya.

Dewasa ini, radikalisme sering dikaitkan dengan ajaran suatu agama, khususnya Islam. ISIS merupakan satu contoh kelompok yang dianggap sebagai gambaran dari paham keyakinan yang dibawa oleh rasul tersebut. Pasukan ini melakukan teror terhadap beberapa negara di dunia dengan membawa simbol-simbol keislaman dalam setiap aksi mereka.

Lalu, apakah benar tindakan teror merupakan gambaran dari ajaran yang dibawa rasul? Hal tersebut tidaklah benar.

Sebagian besar umat muslim mengutuk tindakan keji yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Di dalam tubuh ISIS tidak terdapat urusan Islam. Menurut seorang jurnalis muslim asal Prancis yang berhasil menyusup di antara simpatisan ISIS, ia hanya menemukan sekelompok pemuda yang tersesat, frustrasi, dan dengan mudah ditanamkan istilah jihad di dalam pikirannya.

Mirisnya, tak sedikit bangsa Indonesia yang berangkat ke Suriah demi menjadi “muslim yang berjihad di jalan Allah”. Pada umumnya, orang yang bertujuan memperjuangkan Islam tersebut terpengaruh oleh saudara yang telah dahulu bergabung. Mereka rela menghabiskan harta yang dimiliki hanya untuk bergabung dengan golongan itu.

Kelompok radikal menyebar dengan luas akibat kekecewaan terhadap pemerintah. Etika segelintir elite politik yang kurang terpuji menyebabkan mereka menjadi masa bodoh terhadap demokrasi, lalu berpikir bahwa menjadi radikal merupakan jalan terbaik.

Sebagian masyarakat berjuang untuk menegakkan keadilan. Mereka berpikir bahwa seorang pemimpin negara hanya berpihak pada satu golongan tertentu. Lalu, kelompok ini melakukan protes yang keras demi memperoleh persamaan hak yang diinginkan.

Faktor finansial adalah salah satu alasan mengapa masyarakat menjadi memberontak dan menuntut perubahan. Sebagian orang dengan kelas ekonomi lemah menjadi berfikiran sempit. Mereka mudah percaya pada tokoh-tokoh radikal yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik.

Pendidikan dapat memengaruhi bangsa untuk menjadi radikal. Cara mendidik dan pengajaran yang salah dapat mananamkan radikalisme di dalam diri masyarakat. Seseorang yang berguru kepada penganut radikalisme akan terpengaruh dan ikut-ikutan menjadi memaksakan perubahan sesuai dengan yang diinginkan.

Radikalisme juga dipengaruhi oleh wawasan yang kurang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagian masyarakat merasa tertindas dan kalah dalam persaingan di bidang politik dan ekonomi. Hal itulah yang mendasari mereka untuk menyelesaikan dengan cara kekerasan dan pengingkaran terhadap perbedaan-perbedaan.

Fenomena radikalisme yang sering terjadi di Nusantara adalah terorisme. Golongan yang tidak setuju dengan kondisi Indonesia saat ini memilih untuk melakukan pemberontakan dengan cara yang ekstrem. Banyak hal yang mereka lakukan, seperti meledakkan bom bunuh diri, melakukan teror di keramaian, dan menyebarkan berita yang merisaukan masyarakat.

Awal dari sikap radikal adalah bangsa yang tidak terbiasa menerima perbedaan. Banyak dari masyarakat yang memilih untuk memusuhi dan enggan untuk bergaul dengan orang yang berbeda dalam segi agama dan suku. Banyak dari mereka tidak paham manfaat dari perbedaan dan keberagaman. Anggapan bahwa suku dan agama merekayang yang paling baik mendasari sikap ini.

Hal lain yang juga kerap terjadi adalah penindasan golongan tertentu yang hidup sebagai minoritas di suatu daerah. Sebagian bangsa Indonesia tidak bisa menerima perbedaan. Mereka memilih untuk memusuhi, sinis, bahkan melakukan kekerasan terhadap golongan yang menganut paham yang berbeda.

Sejatinya, setiap orang memimpikan untuk hidup aman dan damai di tanah kelahiran mereka. Keinginan tersebut sering rusak akibat ketidakmampuan masyarakat untuk menerima perbedaan. Akibat adanya suatu perbedaan, tak jarang bangsa menjadi bermusuhan bahkan saling menyakiti.

Setiap masalah pasti memiliki jalan keluar. Begitu juga dengan hal yang terjadi di negara ini.

Apabila tidak setuju dengan keadaan dan keputusan yang dibuat, selesaikan dengan cara yang damai dan tanpa kekerasan. Jangan sampai mempertaruhkan jati diri bangsa yang merupakan sebuah negara demokrasi dengan menempuh cara ekstrem demi perubahan yang diinginkan.

Perbedaan merupakan suatu hal biasa. Dengan adanya perbedaan, bangsa dapat menjadi saling mengenal satu sama lain. Tak perlu menempuh jalan yang tak seharusnya hanya demi menghapuskan hal yang tidak sesuai dengan paham yang dimiliki. Perbedaan akan menjadi sangat indah apabila orang yang berbeda tersebut saling menghargai.

Moderasi Islam

Moderasi Islam

by  Siti Thohiroh

Akhir-akhir ini, ‘moderat’ menjadi istilah yang bertendensi mengangkat satu kelompok tertentu dan menjatuhkan kelompok yang lain. Tanpa disadari, istilah ini sering digunakan untuk mengategorikan orang-orang yang bertindak dan berpikir secara liberal dalam beragama dan tidak anti Barat (baca: anti kapitalisme). Sedangkan orang-orang yang berseberangan dengan itu disebut radikal dan seolah menjadi antagonis moderat yang menolak ideologi kapitalisme, sekuler, anti demokrasi, dan tidak mau berkompromi dengan Barat.

Moderasi Islam?

Di antara karakteristik Islam yang secara eksplisit Allah sebut dalam al-Quran adalah al-wasathiyyah/moderat (lihat QS. al-Baqoroh: 143). Dr. Afrizal Nur, MIS dan Mukhlis Lubis, Lc., M.A. mendefinisikan al-wasathiyyah sebagai kondisi terpuji yang menjaga seseorang dari kecenderungan menuju dua sikap ekstrem; sikap ifrath (berlebih-lebihan) dan muqashshir (mengurang-ngurangi sesuatu yang dibatasi Allah SWT).

Dalam bahasa yang lebih sederhana, moderasi Islam dapat dipahami sebagai pandangan atau sikap berusaha mengambil jalan tengah. ‘Muslim moderat’ menjalankan Islam secara mendalam (kaffah) dan seimbang, baik pada tataran hubungannya dengan Allah (hablun minallah) maupun kepada sesama manusia (hablun minannas).

Kehidupan muslim moderat cenderung fokus untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan pengetahuan, sistem ekonomi dan keuangan, politik, kebangsaan, pertahanan, persatuan, maupun persamaan ras.

Akidah

Moderasi di bidang akidah memiliki arti bahwa Islam tidak memaksakan akidahnya kepada agama lain. Seorang Muslim harus menghormati dan menghargai kelompok agama lain. Dalam konteks ke-Indonesia-an, sikap seperti ini disebut dengan istilah ‘toleransi’.

Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan, Islam tidak mengenal kompromi.

Toleransi merupakan pemberian kebebasan kepada sesama manusia untuk menjalankan keyakinan, mengatur hidup dan menentukan nasibnya masing-masing. Kebebasan ini dibatasi oleh syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.

Salah satunya, muslim milenial perlu memahami bahwa Islam melarang umatnya untuk ‘memaksa’ pemeluk agama lain memeluk agama Islam.

Toleransi dalam beragama bukan berarti bebas menganut agama lain atau dengan ‘sesuka hati’ mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat.

Toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan akan adanya agama-agama lain selain Islam dengan segala bentuk sistem dan peribadatannya serta memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.

Menghina Tuhan dan agama orang lain tentu suatu hal yang dilarang. Apabila hal ini dilakukan (baca: ‘menghina’) akan memicu masalah yang besar dalam kehidupan. Sejatinya Islam mengatur segala sendi kehidupan, termasuk larangan menghina, mengolok-olok dan mencaci sesembahan penganut agama lain. Demikianlah, Islam sangat menjunjung dan menghargai perbedaan.

Begitu juga dalam berhubungan dengan sesama masyarakat. Muslim harus berbuat adil walaupun terhadap non muslim dan dilarang untuk menzalimi hak mereka. Artinya umat Islam diperbolehkan berbuat baik kepada mereka.

Umat Islam juga diizinkan hidup bermasyarakat dan bernegara dengan orang-orang yang berbeda agama selagi mereka berbuat baik dan tidak memerangi umat Islam. Dengan demikian, kehidupan lintas agama dapat berdampingan secara harmonis.

Ibadah

Islam mewajibkan penganutnya untuk melakukan ibadah dalam bentuk dan jumlah yang sangat terbatas. Keterbatasan ini dapat dilihat dari beberapa ibadah yang diperintahkan; shalat lima kali dalam sehari, puasa sebulan dalam setahun, dan  haji sekali dalam seumur hidup. Selebihnya, Allah SWT mempersilakan manusia untuk berkarya, bekerja dan mencari rezeki di muka bumi.

Wilayah ibadah memiliki cakupan yang sangat luas, meliputi seluruh aktivitas keseharian manusia. Sungguh, sangat sempit pemikiran sebagian kalangan yang menganggap bahwa ibadah hanya sekedar sholat, puasa, zakat, dan haji.

Bukankah syariat Islam tidak hanya berbicara tentang halal, haram, sunnah dan makruh? Masih ada perkara mubah yang dapat bernilai ibadah jika di dalamnya terdapat niat dan maksud yang baik.

Ulama salaf memiliki kebiasaan untuk tidur di awal malam. Mereka bangun cepat untuk melaksanakan sholat dan mengharapkan pahala dari tidurnya sebagaimana mengharapkan pahala dari sholatnya.

Kebiasaan mereka dapat dijadikan contoh bahwa ‘tidur’ pun dapat bernilai ibadah, jika sebelumnya telah diniatkan. Hal ini juga berlaku pada aktivitas keseharian lainnya.

Pemahaman di atas akan menjadikan seorang muslim dapat menghadapi kehidupan secara profesional, karena semua yang ia lakukan adalah ibadah kepada Allah SWT. Namun, pemahaman tersebut perlu didasari atas komitmen bahwa pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan memiliki niat yang benar, tekun (profesional) dan ihsan, senantiasa menjaga aturan-aturan yang Allah SWT tentukan, dan pekerjaan tersebut tidak menghalangi dirinya untuk taat beragama.

Berdasarkan pemahaman di atas, seorang Muslim semestinya tidak hanya fokus dengan ibadahnya sendiri (hablunminallah), tetapi juga berusaha menyeimbangkan dengan ibadah sosial (hablunminannas). Dengan demikian, seseorang yang taat ber-ibadah pun dapat memberikan kontribusi dalam menunjang pembangunan nasional, baik di bidang pengembangan sumber daya manusia, finansial dan perokonomian maupun bidang-bidang lainnya.

Muslim Moderat

Berdasarkan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berusaha menerapkan prinsip moderasi Islam disebut muslim moderat. Mereka berusaha menjalankan Islam secara mendalam (kaffah) dan menyeimbangkan kehidupannya, baik pada tataran hablunminallah maupun hablunminannas. Konsep ini juga sesuai dengan cermin masyarakat muslim yang disebutkan al-Quran, muslim rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta).

Kutipan www.qureta.com