50 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (5) Era Kemunduruan dan Penghapusan  Kerajaan Johor-Riau

50 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (5) Era Kemunduruan dan Penghapusan Kerajaan Johor-Riau

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Sepeninggalan Raja Haji pada 1784, sebagai akibat kekalahan perang melawan Belanda, kerajaan Melayu-Riau dalam politik-militer bukanlah lagi suatu kerajaan berdaulat penuh. Dalam kenyataannya pemerintah Hindia Belanda kerapkali turut campur dan menentukan kebijakan dalam pemerintahan kerajaan Melayu Riau. Di akhir tahun 1784, misalnya, karena kebencian Belanda kepada orang-orang Bugis, pemerintah Belanda memberikan ultimatum kepada Sultan Mahmud –sebagai salah satu upaya adu domba– untuk mengusir orang Bugis dari kerajaan dan jabatan Yang Dipertuan Muda selama ini dijabat secara turun temurun di kalangan orang Bugis diperintahkan untuk dihapus.

Untuk itu, sultan sendiri harus menghadap kepada Jacob Van Braam di kapal komando Utrecht. Tentu saja ultimatum dan keinginan pemerintah Belanda ditolak sultan. Akibatnya terjadilah perang dengan Belanda dipimpin YDM V Raja Ali. Tentu saja perlawan ini dengan mudah dikalahkan Belanda. Akibatnya, YDM V Riau Raja Ali bin Kamboja beserta keluarganya meninggalkan Kerajaan Melayu Johor- Riau. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 213-222).

Konsekwensi logis dari kekalahan itu, Sultan Mahmud Syah terpaksa (tepatnya dipaksa) menandatangani perjanjian di bawah tekanan pemerintahan Belanda pada 10 November 1784.Dalam pasal-pasal perjanjian tersebut antara lain dinyatakan bahwa seluruh pelabuhan dalam kerajaan Melayu Riau menjadi milik pemerintahan Hindia Belanda. Untuk itu, Hindia Belanda akan menempatkan tentaranya di kawasan kerajaan Melayu Riau dan pemegang monopoli perdagangan di kawasan Riau,danapabila sultan mangkat, penggantinya harus mendapat persetujuan dari pihak kolonial Hindia Belanda.

Kerajaan Melayu Riau semakin tidak berdaya menghadapi persekutuan pihak Belanda dan Inggris yang melahirkan Konvensi London 1814. Perjanjian kedua negara itu adalah bahwa Indonesia kembali diserahkan dan menjadi jajahan pemerintahan Hindia Belanda. Satu dekade berikutnya perjanjian itu diteguhkan dengan “The Anglo-Datch Treaty of London” atau lebih sering disebut “Traktat London 1824”. Sehingga kerajaan Melayu-Riau semula mencakup daerah Johor diserahkan kepada Inggris. (Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 252-254). Kemudian, setelah perjanjian ini ditanda tangani, pemerintah memperbarui kontrak politik antara pemerintah Hindia-Belanda dengan Sultan Riau-Lingga yang semakin membatasi kekuasan dan wewenang sultan pada 29 Oktober 1830. (Hasan Junus, “Residen C.P.J. Elout: Arsitek Kontrak Politik 29 Oktober 1830” dalam Engku Putri Raja Hamidah Pemegang Regalia Kerajaan Riau (Pekanbaru: Unri Press, 2002), 196).

Pasca perjanjian-perjanjian disebut di atas, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa Kerajaan Melayu Riau-Lingga bukan lagi sebagai kerajaan yang berdaulat penuh. Meskipun dalam kondisi demikian, tidak berarti penguasa kerajaan Melayu Riau-Lingga tidak melakukan perlawanan dan mengupayakan kembalinya kedaulatan negerinya. Belakangan, pada 1903 raja terakhir kerajaan Melayu Riau, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah melakukan perlawanan kultural yang sangat berani, yaitu dengan mengibarkan bendera kerajaan Belanda dipasang di bawah bendera Kerajaan Riau Lingga di depan istana. Residen Riau melaporkan persitiwa itu ke Batavia, dan Sultan Abdul Rahman mendapatkan peringatan keras dari Gubernur Jenderal Rooseboon di Batavia.

Pada kejadiaan lainnya, dalam menegakkan marwah dan kedaulatan kerajaan, Sultan Abdul Rahman menuntut agar Residen Riau tidak melakukan pengangkatan pejabat kerajaan sebab itu menjadi wewenang kerajaan.Sikap perlawanan sultan semakin jelas saat sultan enggan bekerja sama dan menolak untuk menandatangani Surat Perjanjian (kontrak baru) pada 1910. (Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 225; Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century Islamic Centre of Riau”, Archepel, 37(1989: 163).

Konsekwensinya, pada bulan Februari 1911 sultan dimakzulkan dari tahta kekuasaannya, dan putranya, Tengku Besar Umar dicoret namanya sebagai calon sultan. (Lihat, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 56). Surat abdikasi sultan dibacakan Residen Riau G. F. de Bruyn Kops(1911-1913) di markas gedung “Rushdiah Klab”, sebuah lembaga perkumpulan intelektual Melayu-Riau yang selalu kritis dan melakukan perlawanan secara moral terhadap kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. (Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 189).

Di kalangan pengurus Rusydiah Klab, setelah pemakzulan sultan, melakukan upaya diplomasi, misalnya tahun 1904-1905 kerajaan Melayu Riau mengutus Raja Ali Kelana untuk menemui Sultan Turki Utsmani di Istambul (Turki) guna meminta bantuan, tetapi upaya ini tidak berhasil. Selanjutnya, upaya diplomasi yang sama juga dilakukan pada 1905 oleh pihak kerajaan untuk menemui konsul Jepang di Singapura. Upaya diplomatis itu dilanjutkan lagi pada tahun 1912-1913 dengan mengutus Raja Khalid Hitam ke Tokyo untuk menemui Mahara Jepang guna meminta bantuan di dalam menghadapi penjajahan Belanda. Namun usaha-usaha diplomasi tersebut tidak berhasil di dalam menjalankan misinya. Malah Raja Khalid Hitam sendiri yang sedang menjalankan misinya di Jepang terbunuh pada 1914. Pembunuhan ini diduga kuat dilakukan oleh mata-mata Belanda. (Barbara W. Andaya, “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Allies by the Rules of Riau 1899-1914, dalam Indonesia, No. 24, (1977), 153-154).

Setelah keputusan pemakzulan Sultan Abdul Rahman tersebut, pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa seluruh tugas dan kewenangan sultan di kerajaan Melayu-Riau dan seluruh daerah kekuasaannya berada langsung di bawah kendali Residen Belanda. Seluruh rakyat Melayu Riau terpaksa/persisnya dipaksa untuk menaati segala peraturan kolonial Belanda. (Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 326).Dalam kondisi seperti ini Sultan ‘Abd Rahman meninggalkan kerajaannya pergi ke Singapura, dan wafat dalam “pengasingannya” di sana pada 1930. Sebagian besar masyarakat mengikuti sultan meninggalkan Pulau Penyengat menuju Singapura. (Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190; Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 163). Bahkan dapat dikatakan masyarakat “eksodus” meninggalkan tanah kelahiran mereka menuju Singapura, Johor dan daerah-daerah sekitar lainnya.

Dari hasil penelitian Muhammad Afan, sebagaimana dikutip Hasan Junus, menyebutkan “… dari sekian ribu penduduk pulau kecil yang menjadi pusat pemerintahan di kerajaan itu hanya lebih kurang lima ratus jiwa saja yang tetap tinggal, karena sebagian besar penduduk pindah ke Johor dan Singapura.” Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190). Untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang “eksodus” meninggalkan Pulau Penyengat dapat dilihat dari data “perbandingan” berikut ini: (i) bahwa masyarakat yang tidak meninggalkan Pulau Penyengat haya tinggal 500 orang; (ii)_bahwa jumlah penduduk di pulau kecil ini pada akhir abad ke-19 diperkirakan mencapai sekitar 9.000 jiwa. Kedua data nyata menunjukkan bahwa Pulau Penyengat benar-banar ditinggal-pergi oleh penduduknya. (Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162).

Raja Ali Kelana juga meninggalkan negeri kelahirnya dan menetap hingga wafatnya di Johor pada 1927. Raja Ali Kelana meninggalkan negerinya lantaran, menurutnya, telah “berubah kelakuannya” (diperintah Belanda). Raja Ali Kelana menyatakan prinsip ini, seperti katanya dalam Bughyāt al-‘Any fī Ḥurūf al-Ma‘āni: “Apabila negeri itu berubah kelakuannya maka tinggalkanlah dia!”Akhirnya, pemerintahan Belanda mengeluarkan keputusan penghapusan kerajaan Melayu Riau-Lingga dari “peta bumi” pada 11 Maret 1913. (Hasan Junus &UU. Hamidi, “Sumbangan dan Peranan Cendikiawan Riau”, 136; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 326.

Dengan penghapusan kerajaan Melayu-Riau dari “peta bumi” pada sisi kekuasaan dan pemerintahan dapat dikatakan kerajaan Melayu Riau-Lingga ini tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran dan kejayaannya di masa silam.Apa penyebabnya Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan YDM Riau hampir tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran pada masa lalu. Menurut penelitian Matheson ini disebabkan orang-orang di Pulau Penyengat pada umumnya, dan raja-raja dan keluarga istana pada khususnya lebih memilih memusnahkan harta benda dan barang-barang yang ada dalam rumah mereka (melakukan semacam “bumi hangus” daripada (mereka khawatir kalau) Belanda akan menyita seluruh harta kekayaannya. (Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162).

Akan tetapi, dari sisi persuratan intelektual-keagamaan dan kebudayaan, kerajaan Melayu-Riau telah meninggalkan “jejak-jejak”kebesaran dan kejayaan masa lalunya –kendatipun belum/tidak sampai pada puncak kejayaan tertinggi– lewat generasi-generasi terpelajar yang menghasilkan “bertaburan” karya di Pulau Penyengat sepanjang menjelang paroh kedua abad ke-19 hingga awal abad ke-20. (Ong Hok Ham, “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, dalam Masyarakat Malayu Riau dan Kebudayaannya, 185).

Dengan situasi politik yang tidak menentu, maka ketika Indonesia memasuki era sastera modern yang ditandai dengan lahirnya Balai Pustaka pada dasawarsa kedua abad ke-20, Sapardi Djoko Damono menyebutkan, “tampaknya peran para sastrawan dari Riau tidak begitu menonjol”, untuk tidak mengatakan tenggelam sama sekali. (Lihat, Sapardi Djoko Damono, “Sastrawan Riau dan Sastra Indonesia Mutahir”, dalam Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan, ed. Heddy Shri Ahimsa-Putra (Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengambangan Budaya Melayu, 2007: 289-290).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.
BERDAMAI DENGAN MENELADANI NABI

BERDAMAI DENGAN MENELADANI NABI

Helmaya Indra Sari

Sebagaimana agama-agama lainnya, Islam sesungguhnya merupakan agama yang peduli dan mendorong kepada umatnya untuk menjaga kedamaian seluruh umat manusia. Merujuk pada makna dasar Islam sendiri, yakni salam, maka Islam membawa misi keselamatan dan kedamaian. Namun demikian, kedamaian tidak bisa ditanggung oleh beberapa pihak saja namun seluruh elemen kehidupan harus berperan di dalamnya, agar tercipta sebuah kedamaian.

Secara historis, peran dan aktualisasi dari hal itu telah melekat dan tergambar pada profil Nabi Muhammad, sang pembawa risalah. Wajah keteduhan dan kedamaian terekspresi dengan baik bersama Nabi. Sehingga Alquran memproklamirkan Nabi sebagai sosok pembawa rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Tidak lah heran jika kemudian kita diberikan sitiran Hadits bahwa ”Sesungguhnya aku diutus (Tuhan) untuk menyempurnakan kemuliaan Akhlaq”.

Ketika Nabi di Mekkah, sedang mengalami tahun kesedihan dan penolakan kafir Quraisy yang keras, maka beliau hijrah ke Thaif, dengan harapan mendapatkan tempat baru yang representatif. Tetapi di Thaif justru memperoleh perlakuan yang semakin keras, bahkan nabi dilempari batu, dan melukai beliau. Tetapi beliau tetap sabar. Bahkan ketika malaikat datang, untuk membantu nabi menurunkan bencana kepada masyarakat Thaif, nabi menolak. Dengan landasan, bahwa beliau masih optimis, anaknya atau keturunan orang Thaif yang memusuhinya masih berpotensi menjadi pengikut rasulullah.

Pada saat Rasulullah Saw. pulang dari masjid dan diludahi oleh seorang kafir, namun beliau tak marah. Bahkan, beliau bergegas menjenguk ketika orang tersebut diketahui sedang sakit, sehingga orang tersebut kemudian masuk Islam.

Dari kisah-kisah tersebut, kita melihat keluhuran budi atau akhlak Rasulullah Saw. Kedzaliman, kemarahan, dan kebencian yang dilancarkan pada beliau tak dibalas dengan hal serupa, namun justru dibalas dengan kasih sayang, perhatian, dan harapan yang baik. Dari sanalah sinar kedamaian Islam itu terpancar, sehingga bisa menerangi dan memberi hidayah bagi mereka yang belum mengerti.

Dalam hal toleransi, keteladanan Nabi ditunjukkan dengan perlakuan Nabi Muhammad ketika berhadapan dengan kelompok Yahudi maupun Nasrani. Nabi selalu menonjolkan perdamaian dari pada konflik. Misalnya, sebuah perjanjian yang ditulis pada masa Nabi ketika menerima delegasi Kristen yang mengunjungi Nabi SAW pada 628 Masehi di Madinah. Isinya adalah:

“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, sebagai perjanjian bagi siapa pun yang menganut kekristenan, jauh dan dekat, bahwa kami mendukung mereka. Sesungguhnya saya, para pelayan, para penolong, dan para pengikut saya membela mereka, karena orang-orang Kristen adalah penduduk saya; dan karena Allah! Saya bertahan melawan apa pun yang tidak menyenangkan mereka.

Tidak ada paksaan yang dapat dikenakan pada mereka. Sekalipun oleh para hakim mereka, maka akan dikeluarkan dari pekerjaan mereka maupun dari para biarawan-biarawan mereka, dari biara mereka. Tidak ada yang boleh menghancurkan rumah ibadah mereka, atau merusaknya, atau membawa apa pun daripadanya ke rumah-rumah umat Islam.

Jika ada yang memgambil hal-hal tersebut maka ia akan merusak perjanjian Allah dan tidak menaati Rasul-Nya. Sesungguhnya, mereka adalah sekutu saya dan mendapatkan piagam keamanan melawan apa pun yang mereka benci.

Tidak ada yang memaksa mereka untuk bepergian atau mengharuskan mereka untuk berperang. Umat Islam wajib bertempur untuk mereka. Jika ada perempuan Kristen menikahi pria Muslim, hal ini tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan perempuan itu. Dia tidak dapat dilarang untuk mengunjungi gerejanya untuk berdoa.

Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang memperbaiki dan menjaga perjanjian-perjanjian sakral mereka. Tidak ada dari antara bangsa (Muslim) yang boleh tidak mematuhi perjanjian ini hingga Hari Akhir.”

Betapa mulianya Nabi dalam memperlakukan kelompok lain yang berbeda. Dengan nalar humanisnya, Rasulullah tetap memberikan hak kepada siapa pun untuk menjalankan aktivitas. Bahkan, pihak-pihak yang secara nyata menghujat Rasulullah tidak dibalas dengan perlawanan serupa. Rasulullah justru menunjukkan sebuah senyuman yang justru bisa meluluhkan siapa pun yang pernah menghina dirinya.

Dengan mewarisi kemuliaan beliau, maka menjaga perdamaian dalam Islam merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Untuk itu setiap umat Islam haruslah menjadi ‘agen of change’ dan ‘maintain peace on earth’, agar Islam semakin berkembang, dianut oleh banyak orang, dan dicintai oleh seluruh umat.

MERAWAT PANCASILA MERAWAT ISLAM

MERAWAT PANCASILA MERAWAT ISLAM

Oleh: Fadila Khusnun

 

Sejak awal republik ini berdiri, perdebatan tentang dasar negara serta bentuk negara, sudah mencuat. Wacana untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Khilafah (Baca: berlandaskan syariat Islam) bukanlah ihwal baru. Serupa dengan diskursus menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler. Setelah melalui perdebatan dan renungan panjang, dengan kearifan serta kebijaksanaan para pendiri bangsa ini, kemudian sepakat untuk menjadikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar negara Indonesia.

Namun pada perjalananya, pada saat sidang Konstituante tahun 1959, faksi Islam kembali memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Akhirnya, memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit, kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia. Di era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, beliau menegaskan kembali bahwa hanya Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi dasar negara bagi bangsa ini, bukan Islam, sekularisme, apalagi komunisme. Ketika Orde Baru tumbang, masyarakat bebas bersuara, dinamika perdebatan dan dialektika wacana mengenai hal ini menguap kembali ke permukaan, seiring dengan menguatnya isu radikalisme berbasis agama.

Trend radikalisme berbasis agama, saat ini merambah ke kampus-kampus serta pelajar Indonesia. Di lingkup akademis inilah paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tumbuh subur. Hal ini tidak bisa dilihat secara kasat mata, tapi dampaknya terasa. Pelajar dan mahasiswa dipupuk dengan ideologi Indonesia mesti menjadi negara Islam, perang dibolehkan melawan musuh Islam, dan kafir bagi kaum yang tidak mendukung syariat Islam (Hassanuddin Ali, 2019).

Mengembalikan tujuh kata yang dihilangkan dari Piagam Jakarta (Jakarta Charter), “berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” kembali diembuskan sebagai napas perjuangan mereka. Alasan-alasan seperti Islam sebagai mayoritas tidak mendapatkan haknya secara penuh serta Islam sebagai solusi di segala lini, khususnya atas permasalahan yang terjadi di Indonesia, dijadikan spirit untuk mengganti dasar negara dan bentuk negara menjadi negara Islam. Bagi mereka, agama—dalam hal ini Islam dan negara sejatinya merupakan integralistik yang tidak dapat dipisahkan. Semestinya, ini menjadi alarm wake up call bagi kita: the ideology of the nation is under attack.

Jika ditilik ke belakang, secara historikal, umat Islam sendiri mulai hidup bernegara sejak Nabi saw. hijrah ke Yatsrib (saat ini Madinah). Di Madinah, suatu komunitas bangsa dengan cita-cita bersama membangun negara berlandaskan kehidupan yang majemuk terlahir. Kemajemukan itu dibuktikan dengan adanya kaum muslim dan non muslim, kaum Muhajirin pengikut Nabi dari Mekah dan kaum Anshar pengikut Nabi dari Madinah.

Setelah menetap di Madinah, Nabi merumuskan dan mengumumkan Piagam Madinah. Isi Piagam Madinah yang dinyatakan di antaranya, “Kaum Muslimin adalah umat bersatu utuh, mereka hidup berdampingan dengan dengan kelompok-kelompok masyarakat lain. Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib (Madinah) dan Surat Perjanjian ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di Madinah mau pun sedang di luar Madinah, kecuali berbuat aniaya dan dosa.” Kandungan pokok Piagam Madinah tersebut mencerminkan sifat pluralisme sebagai suatu bangsa, bukan sebagai suatu negara berdasarkan agama tertentu (Dahlan, 2014). Piagam Madinah menjadi bukti bahwa sejak awal,peran Islam amat krusial dalam hal kenegaraan,dengan visi mempersatukan seluruh masyarakat dalam ikatan politik kenegaraan, bukan dalam ideologi agama Islam.

Prinsip hidup bernegara yang dibangun oleh Nabi, dipandang bersifat egaliter, inklusif, pluralis, dan aspiratif (Dahlan, 2014).  Hal ini dapat dilihat dari Perjanjian Hudaibiyah yang ketika itu Nabi mendengarkan aspirasi dari Suhail bin Amr, Seorang utusan Quraisy. Nabi meminta Ali bin Abi Thalib menulis “Dengan Nama Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengasih”, Suhail menyela bahwasannya dia tidak mengenal sifat Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih, kemudian ia meminta untuk diganti menjadi, “Dengan nama-Mu ya Tuhan”. Lalu, Nabi meminta Ali untuk menuliskan seperti apa yang diingini Suhail. Ketika Nabi meminta Ali menulis, “Berikut ini merupakan naskah perjanjian yang dicapai antara Muhammad utusan Allah dan Suhail bin Amr”, Suhail juga menyelanya dengan mengatakan bahwa, “Jika aku memercayai Beliau sebagai utusan Allah, maka aku tidak akan memusuhinya” dan ia meminta agar kata-kata “Muhammad utusan Allah itu dihapus menjadi Muhammad bin Abdullah”, yang hal ini kemudian menjadikan sahabat marah. Tetapi, sekali lagi Nabi meminta Ali untuk menulis seperti apa yang dikehendaki Suhail. Melalui prinsip hidup bernegara tersebut, Nabi mencapai kesepakatan dengan kaum Quraisy, sehingga Nabi dan para sahabatnya masih bisa menjalankan ibadah umrah di Makkah.

Sebagai satu negara yang berdiri di atas kemajemukan, mestinya kita bisa belajar dari hal tersebut. Para pendiri bangsa ini bukanlah orang-orang yang tidak berpikir panjang. Mereka memfinalkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah negara, dengan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 di tengah puspa ragam perbedaan bukanlah tanpa alasan. Pancasila merupakan bentuk kompromi para pendiri bangsa, tidak ada keberpihakan di dalamnya. Penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta bukan pula tanpa alasan, para pendiri bangsa mendengar aspirasi masyarakat Timur, meski pun mereka sebagai minoritas.

Kalangan yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, mungkin hendaknya diingatkan kembali. Barangkali, kalangan tersebut ialah kalangan ahistoris yang lupa proses dialektika sejarahnya, bahwa bangsa ini meraih kemerdekaannya bukan karena satu atau sekelompok gologan saja, namun dihasilkan dari keberhasilan banyak kelompok atau golongan yang berhasil mengubur egonya. Tak lagi membedakan agama, suku, dari mana mereka berasal serta hal yang bersifat primordial lainnya.

Pertentangan terhadap Pancasila dengan nilai Islam, semestinya memang tidak perlu. Pancasila ialah manifestasi dari bentuk negara Islami. Nilai-nilai dasar dalam Pancasila mengandung unsur-unsur keIslamian meski pun tidak tertulis secara gamblang, yang dijadikan acuan dalam bertindak sebagai bangsa yang berkeadaban. Sehingga, dari pada disibukkan dengan wacana mengganti dasar dan bentuk negara berlandaskan syariat Islam, alangkah lebih arif jika nilai-nilai Islam sendiri digunakan untuk merawat Pancasila.

PENGUMUMAN LOMBA VIDEO NARASI PERDAMAIAN “Persatuan diatas Keberagaman”

Lomba Video Narasi yang diselenggarakan oleh Institute for Southeast Asian Islamic Studies pada 01 Agustus  2020 Hingga 20 September 2020 diikuti oleh 13 peserta yang sangat luar biasa. Pada hari ini telah masuk pada pengumuman hasil. Kami sangat mengapresiasi seluruh peserta yang berpartisipasi karena  telah bersusah payah mendedikasikan diri lewat narasi-narasi hebatnya serta tekhnik-tekhnik yang sangat baik dalam pembuatan Video. 

Berikut Hasil Keputusan dari perdebatan panjang dari para Juri lewat berita acara yang ditanda tangani:

  

Maka dengan sangat berbangga hati Kami berikan Selamat kepada Para Pemenang semoga kedepannya tetap mengkampanyekan perdamaian dimanapuin berada dan selalu aktif menghasilkan karya-karya yang lebih baik lagi untuk Indonesia yang lebih baik. dan kepada peserta yang belum beruntung, kami harap agar tidak berkecil hati tetap semangat dan selalu berusaha menjadi yang terbaik. 

Demikian dari kami, kurang dan lebihnya kami minta maaf. 

Wassalam. 

Pekanbaru, 02 Oktober 2020

Hormat Kami, 

Direktur ISAIS

(Dr. Alimuddin Hassan)

Ringkasan Singkat Buku The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid Karya Greg Barton

Ringkasan Singkat Buku The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid Karya Greg Barton

Buku berjudul “Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid” adalah buku yang ditulis oleh Greg Barton seorang berkebangsaan Australia. Dr. Greg Barton seorang senior lecturer di Deakin University Australia yang sangat aktif melakukan studi tentang Islam di Indonesia.

Pada tahun 1989 dia tinggal di Jakarta dan berkenalan dengan Gus Dur untuk pertama kalinya. Dari pertemuan yang hangat dan menyenangkan itu Greg akhirnya menjadi sahabat Gus Dur hingga sisa hidupnya. Tak jarang Gus Dur mengajak mahasiswa ini menemaninya dalam berbagai tugas kenegaraan ketika menjadi presiden. Hubungan antar personal inilah yang menjadi sumber informasi dari buku biografi Gus Dur.

The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian satu ke bagian berikutnya merupakan fase perjalanan hidup seorang Gus Dur dari kecil hingga saat ia menjabat sebagai pimpinan tertinggi Indonesia (Presiden).Gus Dur merupakan tokoh panutan yang sangat dihormati oleh banyak kalangan karena pengabdiannya kepada masyarakat, demokrasi, dan Islam toleran.

A. Riwayat Sang Intelektual
Sebagai seorang anak dari seorang kiai besar yang sekaligus pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, Gus Dur tidak dapat dipisahkan dari lingkungan ayah dan kakeknya yakni pesantren. Pesantren dalam lingkup Nahdlatul Ulama merupakan unsur penting dalam sendi kehidupan organisasi ini.

Ada beberapa orang yang berpengaruh dalam membentuk sosok Gus Dur di lingkungan pesantren. Mereka adalah kakek-kakek Gus Dur, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Syansuri, dan Kiai Wahab Chasbullah yang merupakan keponakan dari kakeknya Kiai Hasyim Asy’ari. Selain itu tentu dari kedua orang tuanya yakni Kiai Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Kakek-kakek Gus Dur adalah keturunan kiai-kiai besar NU, baik dari pihak ayah maupun Ibu.
Pendidikan Gus Dur sepenuhnya bersifat sekular. Namun, tentu saja ia telah mempelajari bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup pengetahuan untuk membaca Al-Qur’an. Setelah beranjak dewasa, ia mulai belajar Bahasa Arab secara sistematis.

Gus Dur juga dikenal menguasai beberapa bahasa asing. Bahasa Inggris, Prancis, Arab, Jerman, dan lainnya dikuasai secara baik.Secara garis besar buku ini juga menjelaskan kehidupan Gus Dur saat studi di Timur Tengah. Ada tiga kota besar yang mempengaruhi arus intelektualisme Gus Dur, tiga kota itu adalah Kairo, Baghdad, dan Eropa.
Di Kairo Gus Dur justru ‘gagal’ dalam studinya, ini dikarenakan lebih pada kekecewaan Gus Dur pada Al-Azhar yang menurutnya tidak memberikan pendidikan yang baik macam Barat. Di Al-Azhar ini kemudian ia merasakan kekecewaan yang begitu besar, karena baginya Al-Azhar tidak ada bedanya dengan pesantren di Indonesia, karena itulah ia tidak ingin menghabiskan waktunya dengan mempelajari apa yang telah dipelajarinya bertahun-tahun di pesantren.

Tak lama kemudian Gus Dur dikeluarkan dari universitas ini karena sering membolos. Membolosnya Gus Dur lebih sering ia gunakan membaca di perpustakan dan menonton pertandingan bola dan film India. Ketika ia mendapatkan kesempatan untuk belajar di Baghdad, ia merasakan menemukan lingkungan yang dimaksud. Di Baghdad baginya lebih kosmopolitan dengan menghadirkan sistem pembelajaran yang lebih terbuka, pun dengan koleksi perpustakaan yang lebih beragam koleksi bukunya. Di sinilah ia banyak berkenalan dengan pemikiran dan filsafat Barat.

Meski di Baghdad ia harus taat dan harus kooperatif dengan kampus. Sebab aturan di sini lebih disiplin dan ketat bagi mahasiswanya. Baghdad menjadi tempat yang paling nyaman baginya terbukti hampir empat tahun ia habiskan waktunya di sana.

Sementara itu, dalam sela-sela kuliahnya iapun meminang Nuriyah. Pernikahan ini pun berlangsung tetapi Gus Dur tidak hadir secara langsung dan diwakilkan kakeknya Kiai Bisri Syamsuri. Setelah menikah dan lulus di Baghdad Gus Dur memiliki cita-cita melanjutkan pendidikannya ke Eropa dengan harapan dapat membawa Nuriyah tinggal bersamanya di sana. Akan tetapi, harapan itu pupus setelah ijazah keluaran Baghdad tidak diakui di Eropa.

B. Islam dan Liberalisme
Ketika Gus Dur meninggalkan Jombang untuk belajar ke luar negeri, ia adalah seorang pemuda yang tengah bergulat dengan masalah bagaimana Islam bisa mengadakan perubahan. Menjelang masa dewasanya, ia pernah terpukau oleh kelompok Islamis radikal. Tujuh tahun
kemudian ia kembali ke tanah air sebagai seorang yang penuh komitmen terhadap pemahaman liberal mengenai Islam.

Pengaruh yang membentuk pemikiran liberalisme ini, pertama adalah karena keluarganya sendiri. Di dalam lingkungan keluarga ia dididik untuk bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu secara intelektual. Kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam tradisional Indonesia. Ketiga, ia dipengaruhi oleh orientasi budaya masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme.

Gus Dur yang di kalangan pesantren dikenal sebagai seorang kiai justru dalam hal pemikiran dan gagasan bisa terbilang liberal dalam pandangan sebagian Muslim Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan Greg dalam bagian ketiga buku ini. Bagaimana sosok Gus Dur mati-matian membela demokrasi dengan membentuk forum-forum yang pro demokrasi dan terus terjun ke akar rumput sembari membela dan menolak penindasan-penindasan yang dilakukan negara kepada masyarakat.

Gus Dur pun sangat terbuka dengan aliran pemikiran dan menjunjung kebebasan beragama. Karena itulah ia sering melakukan dialog antar iman dan membela hak-hak kaum minoritas yang dikebiri. Ia sendiri tetap memakai landasan demokrasi dan konstitusi dalam menyuarakan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan.

C. Menerjang Batas
Gus Dur adalah sosok yang mendobrak batas untuk keterbukaan dan kebebasan. Ia kemudian menjadi simbol kebangkitan bagi anak-anak muda NU dan Muslim umumnya dalam berpikir terbuka dan bebas. Karena itulah kehadiran Gus Dur dalam kancah pergerakan masa Orba menjadi sangat penting dan simbolik. Gus Dur menjadi simbol perlawanan bagi Soeharto, yang selama ini orang takut menghadapinya. Namun di sisi lain juga ada orang yang mengkritiknya.

Salah satu alasan utama mengapa orang mengkritik kepemimpinan Gus Dur dalam organisasi adalah bahwa ia sering kali meletakkan organisasi dalam hubungan yang bertubrukan dengan rezim Soeharto (hlm : 248). Pada bagian terakhir atau kelima, adalah lanjutan dari bagian keempat. Pada bagian ini masih menceritakan soal politik dan pergerakan menentang Soeharto dan saat ia menjabat menjadi presiden.

Pada bagian akhir ini Greg menjelaskan situasi sulit Gus Dur saat berhadap-hadapan dengan Soeharto. Pasalnya berhadapan dengan rezim adalah satu “kekonyolan” yang mengantar pada kesakitan. Dan itu disadari betul oleh Gus Dur, intimidasi, ancaman, boikot serta kampanye anti-Gus Dur dibuat untuk menjatuhkan dan melemahkan Gus Dur.
Namun sayang, semua itu gagal dan tidak berhasil melenyapkan Gus Dur. Justru hal itu membuat Gus Dur semakin dewasa dalam berhadapan dengan rezim. Tak hanya itu, orang yang dekat dengan Gus Dur seperti Megawati juga memberikan perlakuan yang sama.

Saat situasi politik memanas, kekacauan hampir terjadi dimana-mana. Pasca Timor-timor, Poso meledak. Sementara kerusuhan atas nama agamapun juga terjadi di Situbondo. Partai PDI-pun tepecah dan terjadi tragedi yang menewaskan banyak orang.

Saat situasi itu terjadi, posisi Gus Dur menjadi sangat berat. Sebagai seorang yang konsisten membela kebebasan dan perdamaian Gus Dur tetap turun ke akar rumput untuk menyerukan perdamaian dan toleransi. Saat ia menjabat, yang tak lebih dari dua tahun itu, Gus Dur mengalami pasang surut kehidupan yang luar biasa. Sikapnya yang bebas, santai, dan cuek menjadi keuntungan dan kerugian sekaligus. Karena hal itulah banyak lawan politiknya kemudian menyerangnya. Manuver politik lawan begitu kuat, dan Gus Dur hanya seorang diri, dan pada akhirnya ia harus dilengserkan dari kursi kepresidenan.
Terhadap tuduhan bahwa Gus Dur telah mulai bersikap otoriter, suatu alasan kuat dapat digunakan untuk menentang gugatan tersebut, yakni bahwa kelemahan politik Gus Dur disebabkan oleh keidakmampuannya untuk bernegosiasi dengan keras dan mencapai kesepakatan dengan musuh-musuh politiknya (hlm : 491).
Dalam menyusun buku biografi ini Barton membaginya dalam beberapa bagian yang disusun secara kronologis historis dari sebagian perjalanan hidup Gus Dur. Dan ia batasi hingga akhir tahun 2001, yakni saat masa lengser dari kursi kepresidenan RI.
Sedikit kekurangan buku ini, karena merupakan buku terjemahan maka banyak ditemukan kosakata salah ketik. Dengan demikian pembaca harus teliti untuk menentukan maksud kata tersebut. Dari sisi penulisan seringkali setiap sub pembahasan yang membahas pokok yang sama terpisah di bagian-bagian yang berbeda.

Buku ini sangat tepat untuk menggambarkan Gus Dur yang memiliki pandangan besar sebagai seorang negarawan, ulama, dan cendekiawan. Beliau seorang manusia yang memandang sesamanya sebagai seorang manusia juga. Sebagaimana kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukan, beliau memberikan keteladanan sikap kemanusiaan atas banyaknya tragedi di Indonesia. Ada banyak yang bisa kita pelajari mengenai sosok Gus Dur melalui buku ini.

By: Miftahul Huda

Humanisme Buya Syafi’i

Humanisme Buya Syafi’i

Ahmad syafi’I ma’arif yang juga akrab dipanggil Buya oleh orang-orang terdekatnya meski ia sendiri cenderung menghindarinya. Ia lahir pada 31 Mei 1935 di Bumi Calau Sumpur Kudus “Makkah Darat”. Perjalanan pendidikan Buya Syafii mencerminkan pola asuh santri baru. Gambaran pola pendidikan santri tempo dulu adalah demikian: setelah mengenyam pendidikan agama di Nggon Ngaji dan pesantren kemudian pergi haji sekaligus belajar agama kepada ulama-ulama besar di Mekkah. Oleh karena itu, Syafii kecil tidak pergi ke pesantren tradisional, tapi bersekolah di Madrasah Mualimin Muhammadiyah Lintau (1953) dan Madrasah Mualimin Yogyakarta (1956). Sarjana Muda ditempuh di Universitas Cokroamnoto Surakarta (1964), dan sarjana lengkap dalam pendidikan sejarah di IKIP (Universitas Negeri) Yogyakarta (1968). Ia pernah menghadapi lika liku Pendidikan selama di Yogyakarta, ia belajar sambil mengajar. Setelah itu, Ahmad Syafi’I Ma’arif melanjutkan studinya di Amerika, ia belajar sejarah pada Northern Illinois University (1973) dan Ohio State University (1980) hingga memperoleh gelar MA. Selanjutnya masih dinegara yang sama, di Universitas of Chicago ia memperoleh gelar PhD dengan judul disertasi “Islam As The Basic of State; A Study of The Islamic Political Ideal As Reflected In The Constituent Assembly Debates In Indonesia” yang dibimbing oleh Fazlur Rahman. Tulisan Buya Syafii tentang pendidikan Islam seluruhnya di tulis setelah era 1980-an, setidaknya yang menjadi bahan kajian ini, paska mengalami pergolakan intelektual di Chicago. Tinjauan selintas perjalanan pendidikan dan pergeseran pemikirannya, meski jauh dari memadai, sudah dapat mengambarkan latar belakang pemikiran pendidikannya. Sumbangsih pemikiran Syafi’I Ma’arif dalam bentuk karya tidak perlu diragukan lagi. Telah banyak karya buku yang telah ditulisnya, baik yang membahas agama, negara, atau keduanya sekaligus. Diantara kara-karya nya yakni Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009), Menerobos Kemelut Refleksi Cendekiawan Muslim (2006), Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (2006), Menggugah Nurani Bangsa (2005), Mencari Autentitas Dalam Kegalauan (2004), Independensi Muhammadiyah Ditengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (2000), Islam dan Politik Membingkai Peradaban (1999), Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (1997),  Keterkaitan Antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (1997), Islam dan Politik; Teori Belah Bamboo Masa Demokrasi Terpimpin (1996), Muhammadiyah Dalam Konteks Intelektual Muslim (1995), Membumikan Islam (1995), Percik-Percik Pemikiran Iqbal (1994), Peta Bumi Intelektualitas Islam di Indonesia (1994), Islam dan Politik di Indonesia (1988), Al-Quran, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (1985), Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante (1985), Dinamika Islam (1984), Islam, Mengapa Tidak ? (1984), Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia Dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia (1983), Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (1975), Mencari Autensitas Dalam Dinamika Zaman (2019), dan lain sebagainya.

Ahmad Syafi’I Ma’arif termasuk salah satu cendekiawan muslim Indonesia yang aktif merespon berbagai permasalahan bangsa ini dengan sudut pandangnya. Konsep humanism Buya Syafi’I tanpa jubah dan sorban dalam berdialektika dan bergumul dalam konteks islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Islam yang sesungguhnya adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif berlandaskan kepada tauhid, yang memberikan kebebasan, persaudaraan, serta persamaan kepada sesama. Bagi Ahmad Syafi’I Ma’arif, manusia memiliki hak dalam menentukan pilihan hidupnya, dan setiap manusia berhak memiliki keadilan untuk menganut agama apapun yang diinginkannya, karena itu adalah hak bagi manusia tanpa adanya paksaan. Kemajemukan itu adalah sunnatullah yang mau tidak mau harus diterima sebagai sebuah fitrah. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif sangat menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan tersebut, baik dari aspek keagamaan, suku, ras, budaya, sosial, dan sebagainya. Apalagi dengan kondisi Indonesia yang plural maka disinilah kita sebagai manusia dituntut untuk saling memahami keragaman tanpa lagi harus saling menuding satu sama lain dalam sebuah perbedaan.

Ahmad Syafi’I Ma’arif juga mendedikasikan seluruh kemampuannya untuk merespon dan memberikan kontribusi pemikiran kepada rakyat Indonesia baik secara langsung ataupun melalui karya-karyanya, supaya terlepas dari paham-paham yang dapat membelenggu kemajuan bangsa, melepaskan masyarakat dari kebodohan cara pandang, fanatisme yang sempit, serta paham-paham lainnya yang memperburuk situasi sosial keagamaan bangsa, agar Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara tetap utuh, tidak ternoda oleh berbagai kepentingan politik jangka pendek yang tidak sehat. Manusia, dalam pandangan Ahmad Syafi’I Ma’arif adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan ilmu dan aql (intelek atau penalaran), manusia melalui kreatifitasnya dapat menemukan ilmu pengetahuan. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif sejalan dengan rasionalitas dan pendirian bahwa dengan usaha-usaha rasional yang terus menerus Islam akan lebih dari sekedar mampu untuk menghadapi berbagai tantangan modernitas. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif adalah humanism Islam yang berkaitan dengan berbagai ajaran Islam tentang toleransi dan keharmonisan sosial yang menyangkut budaya muslim yang mendorong umat Islam tidak seharusnya takut terhadap suasana plural yang ada ditengah masyarakat modern, sebaliknya harus merespon dengan positif.

Pemikiran humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif menurut penulis sangat penting dan mempunyai nilai kontribusi pemikiran yang besar dalam memahami islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah peradaban dan kemanusiaan. Pemikiran humanism beliau akan mampu membawa Islam untuk memberikan jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi manusia sekarang ini, terutama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, antara lain: kebodohan, keterbelakangan, kefanatikan, dan tantangan sosial keagamaan bangsa lainnya. Karena itu beliau selalu menekankan satu poin penting bagi bangsa Indonesia khususnya Islam yaitu, kembalilah kepada al-Quran. Sehingga akan terlepas dari penafsiran-penafsiran keagamaan yang sarat dengan kepentingan tertentu. Berangkat dari permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif menginginkan adanya rekonsiliasi antara agama dan politik, karena agama kerap kali menjadi bulan-bulanan para pelaku politik dalam mencapai tujuannya. Ahmad Syafi’I Ma’arif ialah sosok yang memadukan antara kekuatan intelektual yang kritis dan kekuatan moral spiritual keagamaan yang telah teruji kokoh. Disaat keberagaman intelektual dihambat dan dibabad dalam tradisi kehidupan umat Islam, maka yang terjadi adalah dekadensi dalam seluruh sistem kehidupan umat terutama dekadensi moral intelektual. Ahmad Syafi’I Ma’arif pernah menyatakan dengan tegas, “mereka yang takut pada pemikiran yang berbeda adalah manusia fosil. Kalau kita takut berbeda pendapat, takut disembelih orang karena memiliki pendapat yang berbeda, maka jadi saja manusia fosil.” Ahmad Syafi’I Ma’arif senantiasa mengembangkan intelektualitas dalam tradisi Islam, maka yang harus dikembangkan adalah mendorong kemerdekaan berpikir seluas-luasnya. Inilah yang dalam pandangan beliau akan menghindarkan umat manusia terjerembab dari tragedy “manusia fosil” tadi. Kemerdekaan berpikir akan melahirkan jiwa yang merdeka. Baginya Islam yang damai, Islam yang konstruktif, dan Islam yang dapat mengayomi bangsa ini ialah dengan tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan lain sebagainya. Keislaman harus satu nafas dengan keindonesiaan dan kemanusiaan.

Dalam pandangan Ahmad Syafi’I Ma’arif, ketika Islam diaplikasikan dalam konteks keindonesiaan maka akan memunculkan sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa Indonesia. Inilah kondisi carut marut yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Permasalahan-permasalahan keagamaan dan sosial politik yang yang dialami bangsa ini, butuh sosok seorang Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam memberikan jalan tengah dan pencerahan terhadap bangsa ini.

Menurut Ahmad Syafii Maarif, secara doktrinal Islam tidak menetapkan dan menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum Muslim. H.A.R. Gibb seperti dikutip Buya Ahmad Syafii Maarif, memaparkan bahwa baik AlQur’ân maupun Sunnah tidak memberikan petunjuk yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk mempertahankan persatuannya. Argumentasi Buya Syafii Maarif ini berangkat dari asumsi bahwa Islam bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama yang lepas begitu saja. Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita- cita moralnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud Buya Ahmad Syafii Maarif tidak lain adalah negara, sehingga Syafii Maarif menolak pandangan yang menghendaki pemisahan Islam dan negara.

Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif mendukung sepenuhnya prinsip kebebasan beragama. Ia senantiasa menghargai setiap perbedaan-perbedaan tersebut meskipun berbeda dengan keyakinannya. Keimanan beliau tak tergoyahkan meskipun ia bergelut dengan agama-agama dan keyakinan yang berbeda dengannya. Syafi’I Ma’arif membuka luas-luas hak-hak individu dalam menentukan keyakinannya sendiri. Dengan demikian, pada satu sisi Syafi’I Ma’arif mendapatkan dasar teologis dan pada sisi lain mendapatkan penghargaannya terhadap kebebasan beragama berdasarkan konstitusi yang berlaku. Beliau mendasarkan humanismenya terhadap kebebasan manusia dalam menentukan pilihannya tentunya dengan segala resikonya masing-masing. Sebagai tokoh yang radikal ia senantiasa bergerak setelah mendapatkan lampu hijau dari alquran. Pilihan bebas untuk memilih sebuah keimanan juga berdasarkan landasan normative dari kitab suci tersebut, bukan sebagai ijtihad yang tak memiliki akar teologis, karena baginya iman yang dipaksakan dalam hati penganutnya merupakan sebuah Tindakan yang tidak pantas karena menghambat hak-hak asasi individu tersebut.

Humanism Syafi’I Ma’arif memandang bahwa perbedaan-perbedaan yang dimiliki manusia bukanlah untuk ditakuti yang akan melahirkan perpecahan diantara sesama, melainkan menjadi sebuah kekayaan yang mendinamiskan pemahaman visi dan pemahaman manusia tentang realitas. Perbedaan merupakan dictum untuk saling mengenal yang merupakan pondasi kultural dan religius untuk membangun persaudaraan kemanusiaan universal dan mengokohkan pluralism. Humanism Syafi’I Ma’arif menyatakan persaudaraan universal yang mampu menciptakan kedamaian yang solid dalam menerima realitas yang plural melalui sikap yang toleran. Baginya sikap yang toleran tak terlepas dari konsep kesetaraan manusia, karena keadilan dan persaudaraan yang solid tak tercipta begitu saja tanpa didukung dengan pengakuan kesetaraan status manusia, baik yang beragama atau bahkan ateis. Kondisi masyarakat Indonesia yang bersentuhan langsung dengan suasana yang plural sedang mengalami disorientasi nilai-nilai agama. Menurut Syafi’I Ma’arif, kondisi yang demikian terjadi akibat dari keangkuhan manusia itu sendiri yang merasa “lebih benar” daripada satu kelompok dan mencurigai kelompok lainnya sebagai “biang kerok” dalam bangsa dan agama ini. Akibatnya, terjadi interaksi negatif yang terkesan merendahkan dan meremehkan. Menurut Syafi’I Ma’arif sesungguhnya kemanusiaan itu tunggal, tidak ada orang lain di dunia ini kecuali semua merupakan hamba-hamba tuhan. Semuanya tercakup dalam sebuah ikatan persaudaraan universal dan berhak merasakan kasih sayang Tuhan.

Humanism Syafi’I Ma’arif berpedoman kepada al-Quran. Menurutnya al-Quran mengajarkan kepada kita bahwa sikap moderat merupakan pilihan tepat dalam menjaga dan menjalin hubungan antar umat beragama. Semangat al-Quran telah memberikan lampu hijau tentang pluralism dimana setiap kelompok masyarakat diakui eksistensinya. Kepedulian Ahmad Syafi’I Ma’arif akan masalah-masalah yang membelit bangsa ini begitu besar. Bagi Ahmad Syafi’I Ma’arif inilah pekerjaan utama bagi setiap agama yang perlu dihadapi dan dicarikan solusinya. Kondisi yang demikian, maka agama harus diletakkan sebagai fungsional supaya berbagai ancaman terhadap eksistensi keberagaman dan kemanusiaan dapat diatasi.

Fachry Ali dan Bachtiar Effendi menyebut pemikiran keislaman Buya Syafi’I bercorak modernism Islam, sebuah corak pemikiran yang berakar kuat pada kaum modernis awal (baca: Muhammadiyah dan Masyumi), tetapi dalam beberapa hal justru melampauinya. Perhatian utama Buya Syafi’I tercurah pada proses pelembagaan Islam dari sudut sejarah dan pemikiran berpapasan dengan modernisasi dan perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik yang begitu cepat.

Meski sejak kecil sudah mengenal Muhammadiyah, Syafi‟i baru benar-benar menjadi pengurus organisasi Islam itu sepulang dari Chicago. Pada tahun 1985, ia bergabung di Majelis Tabligh Muhammadiyah hingga akhirnya ia bisa menjadi Ketua PP Muhammadiyah tahun 1998. Guru besar UNY Yogyakarta ini juga pernah menjadi dosen pasca sarjana IAIN Yogyakarta.

By: Mukhlisa