Month: March 2019
Kearifan Melayu terhadap Alam
Sekretaris ISAIS UIN Suska Riau
Pertanyaannya kemudian adalah masihkah kita menelantarkan anugerah kearifan lokal kita yang begitu agung tersebut? Jika itu ada, semoga tahun depan tidak akan ada lagi kabut asap di bumi Melayu ini.
Dikutip dari www.radarbangka.co.id 07-03-2019
Aku Lebih Baik daripada Dia – Imam Hanafi
Sekretaris Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau
PADA suatu hari, di hadapan Nabi Muhammad saw, para sahabat sedang memperbincangkan sahabat lainnya yang memiliki tingkat kesalehan lebih tinggi dari pada mereka. Nabi pada saat itu tidak memberikan komentar sedikitpun tentang sahabat yang saleh tersebut. Padahal, Nabi adalah sosok yang paling suka memuji kebaikan orang, meski sekecil apapun. Tiba-tiba datanglah seseorang, “inilah orang yang kami bicarakan, wahai Rasul Allah”, kata para sahabat. Nabi yang mulia berkata, “tetapi aku melihat bekas usapan setan di wajahnya”.
Orang itu setelah mengucapkan salam, kemudian duduk di majelis Nabi. Lalu Nabi mendekatinya dan bertanya; “Apakah setiap kamu masuk ke dalam kumpulan orang, kamu merasa bahwa kamulah yang paling baik dia ntara mereka?” Ia menjawab, “benar”.
Tidak lama kemudian orang “saleh” itu bangkit dan pergi salat ke masjid. Tanpa diduga Nabi bersabda: “Siapa yang akan membunuh orang itu?” Abu Bakar orang pertama yang menyatakan kesediaan untuk membunuhnya. Tetapi, sesaat kemudian Abu Bakar kembali sambil berkata: “Bagaimana mungkin saya membunuhnya, sementara ia sedang rukuk dengan sangat khusyuk”.
Ketika Nabi mengulangi pertanyaannya, Umar berdiri menuju orang tersebut. Ia juga kembali dengan mengajukan keberatan: “Tidak mungkin saya membunuhnya. Ia sedang meratakan dahinya di atas tanah, bersujud dengan sangat khidmat”. Hingga sampai pada giliran Ali untuk berdiri dan menuju ke masjid orang tersebut. Tetapi ia pun kembali dengan pedang yang bersih. Ali melaporkan bahwa orang tadi sudah tidak berada lagi di dalam masjid. Kemudian Nabi bersabda: “Jika kalian membunuh dia, umatku tidak akan terpecah setelah ini”.
Kisah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, lebih merupakan parable daripada makna harfiahnya. Nabi tidak mengajarkan kepada umatnya untuk membunuh orang yang sedang salat. Akan tetapi, Nabi mengajarkan kepada umatnya, untuk tidak terbuai oleh tingkat kesalehannya sendiri. Kesalehan dalam beragama bukanlah sebuah show business. Dengan kesalehannya, seseorang tidak lantas membusungkan dada di hadapan orang banyak. Tidak untuk menyebut-nyebut kesalehannya di hadapan orang lain.
Jauh sebelum peristiwa tersebut. Alkisah, suatu saat Nabi Musa AS diminta oleh Allah untuk mencari seseorang yang menurut Nabi Musa lebih baik dari pada dirinya. Setelah Nabi Musa mencari dengan bersusah payah, akhirnya Nabi Musa tidak menemukan orang itu. Karena selalu ada hal lain yang menjadikan orang itu lebih baik dari pada Musa. Karena gagal, Musa kemudian masuk ke tengah-tengah binatang. Dalam diri binatang pun Nabi selalu menemukan hal-hal yang lebih baik dari pada Nabi Musa. Sampai ahirnya Nabi Musa menemukan anjing yang buruk rupa, di sekujur tubuhnya penuh dengan kudis, sehingga bulu-bulunya berjatuhan. Akan tetapi, di tengah jalan Nabi Musa melepaskan anjing tersebut. Karena masih ada juga kelebihan dari padanya. Lalu kemudian Nabi Musa kembali menghadap Tuhan, sambil berkata: “Tuhan, aku tidak menemukan seorangpun yang aku lebih baik darinya”. Tuhan lalu berfirman: “Demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang membawa seseorang yang kamu pikir, kamu lebih baik dari pada dia, maka Aku akan hapus namamu dari daftar kenabian”.
Sebuah sindiran yang luar biasa menusuk bagi siapa saja yang masih memiliki kedalaman iman. Kehebatan apa lagi yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa? Toh, ia ahirnya tunduk kepada kelebihan yang dimiliki oleh sesuatu di luar dirinya. Bahkan hewan sekalipun. Barangkali itu semua merupakan mitos atau legenda yang tidak perlu dijadikan dasar bagi kita, untuk melakukannya. Tapi drama eksakatologis antara iblis dengan Allah, ketika Adam akan diangkat menjadi khalifah di bumi, menjadi sangat penting untuk kita imani bersama.
Ana Khairun Minhu
Kata ana khairun minhu, atau “aku lebih baik dari pada dia” pertama kali diucapkan oleh iblis untuk menunjukkan kesombongannya, superiority complex, di hadapan Allah. Yaitu ketika iblis diminta oleh Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam AS, akan tetapi iblis menolak sembari berkata “Aku lebih baik dari pada dia. Kau ciptakan aku dari api, sementara Adam kau ciptakan dari tanah”.
Kesombongan ini, merupakan keangkuhan geneologis atau keturunan. Iblis merasa secara geneologis lebih baik dari pada Adam. Sehingga sering disebut sebagai rasialisme. Pada aras ini, ketika seseorang menyebut dirinya atau kelompoknya “lebih baik dari pada yang lain” adalah sama dengan apa yang dilakukan iblis yang mengakibatkan dia ”dilemparkan” dari surga.
Manifestasi dari sikap iblis ini, sangat banyak terlihat di lapangan. Misalnya dengan memberikan peluang sebesar-besarnya bagi kelompok atau golongan tertentu untuk menduduki posisi-posisi strategis di wilayah publik, sekaligus memberikan proteksi yang seluas-luasnya pula bagi kelompok atau golongan lainnya yang tidak bukan bagian dari “keturunannya”.
Oleh sebab itu, Imam Al-Ghazali mewanti-wanti kepada kita semua, agar tidak terjebak pada dua jenis takabur, yaitu takabur dalam urusan agama dan takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan agama dibagi lagi menjadi dua; takabur karena ilmu dan takabur karena amal. Menurut Al-Ghazali, banyak ilmuan dan ulama yang terjebak pada sikap takabur. Apa indikasinya? Di antaranya ia merasa paling hebat, sehingga tidak mau mendengarkan orang yang lain. Pertama, ia merasa dirinya paling pintar dan merasa tidak memerlukan bantuan orang lain.
Kedua, takabur karena amal. Contoh paling sederhana adalah sebagaimana cerita pada masa sahabat di atas, yang menegaskan bahwa dirinya merasa lebih saleh daripada yang lain, merasa sudah paling sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, sehingga di luar itu adalah anti-Islam.
Takabur pada urusan dunia, kata Imam Al-Ghazali di antaranya disebabkan oleh kecantikan, kekayaan, keturunan sebagaimana yang diproklamirkan oleh iblis di atas, jabatan, dan banyaknya pengikut atau anak buah. Wallahu a’lam bi al-Showab.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 30 Oktober 2015
Meluruskan Teologi Bencana
Bencana di negeri ini dipandang dari kacamata apapun, menjadi suatu yang
sungguh fenomenal. Rentetan peristiwa “bersejarah” yang mengenaskan dan
memilukan terjadi silih berganti dalam hitungan hari.
Dimulai dari Tsunami di Aceh yang mengharu-birukan dunia kemudian hadir
kembali di tepian pantai selatan Jawa beberapa waktu lalu, gempa tekto-fulkanik
di Irian, Maluku, Jogjakarta dan terakhir di Sumatera Barat.
Bencana longsor yang hampir merata dari Irian Barat, Jawa Barat hingga
Sumatra Barat, sampai pada bencana yang berpangkal dari ulah manusia seperti
semburan Lumpur Lapindo dan kecelakaan transportasi darat, laut dan udara tak
pernah berhenti terjadi bagai tak bosan mendera rakyat dan bangsa ini.
Begitu runtun dan kerapnya jarak antara satu bencana dengan bencana
lainnya sehingga sepertinya sudah -meminjam istilah sosial-“mentradisi” di
tanah air tercinta ini.
Pertanyaannya adalah, sejauh mana fenomena bencana negeri ini berpengaruh
terhadap sikap dan pemikiran masyarakat kita? Bagaimana wacana teologis
masyarakat dalam menyikapi bencana dahsyat yang menimpa sekeliling mereka?
Hal ini perlu dicermati karena bencana bencana tidak saja berdampak pada
persoalan ekonomi, sosial, psikologi dan politik, tetapi juga masalah teologi
dan alam pikir masyarakat yang terkena dan yang menyaksikan bencana.
Dahulu kita selalu diyakinkan atau di-nina bobokkan dengan
istilah-istilah yang menggambarkan kehebatan dan kesuburan Indonesia. Mulai
dari istilah negeri “Untaian zamrud khatulistiwa”, negeri “tongkat kayu dan
batu jadi tanaman” (Koes Plus). Tapi sekarang hutan kita telah gundul dan
menjadi penyebab longsor dan banjir bandang di mana-mana termasuk ibu kota.
Penduduknya yang ramah, suka bergotong-royong dan saling tolong-menolong kini
telah berubah menjadi individualis dan pragmatis.
Setidaknya ada tiga arus pemikiran yang mengitari masyarakat kita ketika
menyaksikan bencana yang terus-menerus silih berganti antara bencana alam dan
bencana yang timbul dari ulah manusia dalam tiga tahun belakangan ini yakni;
teologi mistis, nihilistic dan religio-fenomenologis.
Pertama, teologi mistis-klenis. Rentetan bencana yang secara kebetulan
terjadi dan mendera bangsa ini makin sering di masa kepemimpinan SBY-Kalla. Hal
ini, mengundang spekulasi pemikiran berbau klenik bahwa duet pemimpin ini tidak
diterima atau lemah secara spiritual untuk memimpin negeri ini.
Bencana yang menyatakan kehendak alam ditafsirkan sebagai keengganan
kalau bukan penolakan atas representasi mereka. Bahkan ada yang dengan
kotak-katik asal jadi ala klenik, mengambil persamaan kata dengan tokoh dan
alam pikir dunia pewayangan, meyakini bahwa jika yang berkuasa di bumi adalah
Bethara Yudho (Yudhoyono?) dan Bethara Kala (J Kalla?), maka yang akan terjadi
adalah bencana.
Pemikiran dan pemahaman (baca: teologi) semacam ini tidak hanya salah
dari logika karena mengukur dengan mitos yang berkembang di belakang hari tanpa
preseden, tetapi sekaligus juga menyesatkan karena berbasis tahayul dan
apriori.
Kedua, teologi nihilistis. Rentetan bencana yang selalu membawa kematian
yang begitu kerap terjadi di tengah himpitan kesulitan hidup dan merajalelanya
ketidak-adilan politik, sosial dan ekonomi menjadikan masyarakat terbiasa acuh
dan kehilangan kepekaan alam dan sosialnya.
Penyebabnya adalah ekspos terhadap rusaknya alam dan sosial yang terlalu
akrab di telinga dan mata mereka atas kemajuan di bidang telekomunikasi dan
informasi menyebabkan bencana yang terjadi dianggap sebagai suatu hal yang
biasa.
Bisa dibayangkan eksposs berita bencana di berbagai stasiun teve sedang
dilambungkan angannya oleh gaya hidup para selebriti (infotainment),
menyebabkan masyarakat kesulitan memilih dan memilah, antara yang benar-benar
terjadi dengan yang hanya sekadar sandiwara.
Di lain pihak, dalam dunia riil dihadapan mereka dengan jelas disaksikan
para politisi, pemimpin, hakim dan penegak hukum seringkali tidak peduli,
bahkan dengan seenaknya memperlakukan rakyat kecil sebagai bulan-bulanan
politik dan ketidak adilan tanpa ada yang mampu melindungi mereka.
Bencana sosial, ekonomi dan politik yang mendera tanpa habis dirasakan
oleh mereka di daerah, telah membuat mereka tidak lagi sempat memperhatikan
orang lain yang sedang tertimpa musibah di tempat lain. Akhirnya sikap acuh tak
acuh mengkristal karena membentuk pikiran mereka sehingga masyarakat cenderung
untuk berpikir apatis.
Ketiga, teologi religio-fenomenologis. Konsep ini, biasanya merujuk
kepada Alquran, yaitu doktrin bahwa “Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mareka sebahagian dari (akibat) perbuatan mareka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar)” (QS Ar-Rum ayat 40).
Hal ini, muncul tidak lepas dari sifat ketamakan atau kerakusan manusia
yang lebih mementingkan diri sendiri daripada kemaslahatan umat, sehingga
mereka tidak mau mendengar panduan Ilahi.
Yang menjadi persoalan adalah ketika konsep “bencana”, yang pada awalnya
dipahami sebagai “symbol” peringatan Tuhan terhadap sikap-sikap egoisme manusia
terhadap alam, secara berlahan mulai memudar.
Karena, hal ini akan memunculkan apatisme -untuk tidak mengatakan erosi
teologis- dalam ruang sadar umat di negara ini, terhadap setiap bencana yang
muncul. Sehingga, orang tidak lagi merasa prihatin terhadap musibah yang
menimpa saudara-saudara mereka.
Apabila kondisi ini, menjadi mindset dalam setiap kepala umat di negeri
ini, maka tidak ada harapan lagi bagi umat di negeri ini untuk bangkit.***
Dardiri Husni MA, Kepala Institute for Southeast Asia Islamic Studies
(ISAIS) UIN Suska Riau. Imam Hanafi, mahasiswa Program Pasca Sarjana UIN Suska
Riau.
Dikutip Riau Pos 16 Maret 2007 Pukul 08:48
Foucault dan Pendidikan Kita
Sekretaris Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau
Baru-baru ini, pendidikan agama di perguruan tinggi negeri kita, terutama pendidikan Islam, menuai kritik dari Menteri Riset dan Teknologi. Hal ini disadari dengan munculnya berbagai aksi intoleransi bahkan radikalisasi yang diusung oleh sebagian umat Islam. Kritik yang disajikan adalah model pembelajaran agama di perguruan tingga yang orientasinya cenderung normatif, teologis dan kognitif.
Munculnya berbagai kasus penodaan agama, kerusuhan dan intoleransi beragama yang terjadi akhir-akhir ini, merupakan cerminan dari ketidakmampuan pendidikan dalam memberikan pemahaman yang kondusif, damai, dan toleran bagi peserta didik kita. Model pembelajaran masih berada pada “pemaksaan” kehendak dan pemahaman satu arah saja. Model pembelajaran hanya berkutat pada sikap keagamaan yang tidak kritis, rasional dan obyektif serta penghormatan terhadap paham atau pemahaman orang lain.
Model pembelajaran seperti ini, memang agak meringankan seorang guru atau dosen dalam proses pembelajaran. Karena, dosen atau guru tidak akan memperoleh kritik. Guru atau dosen tidak akan disibukkan oleh penjelasan maupun kritikan dari peserta didiknya. Guru atau dosen tinggal memberikan informasi pengetahuan, yang tunggal dan dimaklumi sebagai sebuah kebenaran, sementara peserta didik hanya mendengar dan diwajibkan untuk menerima dan mengikuti apa yang disampaikan oleh guru atau dosennya.
Jika model pembelajan seperti itu masih menguat di dalam sistem pembelajaran kita, apalagi di perguruan tinggi, maka tidak heran jika cara-cara penyelesaian masalah dengan mengedepankan “pokoknya”, menjamur di tengah masyarakat kita. Ketika diplomasi “pokoknya” dikedepankan, maka proses mediasi apapun akan tumbang. Yang muncul justru pemaksaan dan intimidasi.
Di sini, pendidikan tentu tidak boleh melahirkan anak berupa kesadaran naif, melainkan harus menghasilkan apa yang oleh Paulo Friere sebut sebagai critical consciousness, kesadaran kritis. Karena hanya pendidikan yang kritis, dialogis, dan praksis yang memungkinkan memanusiakan manusia.
Pendisiplinan Tubuh ala Foucault
Model pembelajaran yang saya sebut di atas menurut Foucault adalah bagian dari upaya “pendisiplinan” tubuh. Menurutnya, sejak dahulu kala, tubuh telah menjadi obyek dan target dari kekuasaan; ia telah dimanipulasi, dibentuk, dan dilatih; tubuh juga dipaksa patuh dan dikendalikan agar menjadi terampil dan meningkatkan kekuatannya.
Upaya itu, bertujuan agar tubuh menjadi jinak (docile), sehingga ia mudah digunakan, digiring, diprovokasi, diubah bentuknya, atau ditingkatkan. Lebih-lebih lagi ketika tubuh telah menjadi obyek investasi angkuh oleh kekuasaan, atau yang memiliki kuasa, bisa guru, dosen, polisi, ulama, atau siapa saja yang mampu memberikan cengkraman dan pembatasan, maka tubuh akan mirip wayang yang setiap gerak langkahnya di bawah pengaruh seorang ”dalang”.
Dalam prosesnya, kekuasaan itu bekerja tidak selalu melalui penindasan dan represi, tetapi biasanya melalui normalisasi dan regulasi. Dalam Discipline and Punish Foucault mencontohkan bahwa strategi kuasa tak selalu berwujud penindasan atau represi tetapi melalui normalisasi dan regulasi yang disebut juga dengan “disiplin”. Salah satu ranah normalisasi dan regulasi itu adalah “tubuh”.
Tubuh didisiplinkan atau dinormalisasi dan diatur melalui regulasi tertentu.
Normalisasi dilakukan dengan penciptaan-penciptaan kategorikal; ini perilaku normal —tidak normal, ini paham liberal, bukan liberal, ini muslim— kafir, dan seterusnya. Sementara kontrol regulatif meliputi penguasaan wilayah-wilayah strategis yang mampu memberikan monopoli kekuasaan. Kekuasaan biasanya dipolitisasi sebagai upaya amar ma’ruf nahi mungkar. Hanya dengan merebut wilayah-wilayah strategislah, kemungkaran bisa diberangus.
Proyeksi tersebut, dalam sistem pendidikan terlihat bagaimana pendidikan mengontrol tingkah laku, tindak-tanduk, bakat, ketangkasan, bahkan pemahaman dan performa (tampilan berpakaian, gaya rambut, gaya janggut dan seterusnya) atas mahasiswa.
Pada semester-semester awal, tidak heran jika Anda mengamati di beberapa perguruan tinggi Islam, terjadi perubahan sikap, tingkah laku, pemahaman dan performa mahasiswa. Tampilan yang berubah itu, tanpa dibarengi oleh sikap kritis-dialogis di kalangan mereka. Para mahasiswa hanya menerima begitu saja “kontrol” atas kuasa dosennya.
Pada proses selanjutnya, pendidikan mengalami proses dehumanisasi, yang menurut Paulo Friere bahwa “dehumanisasi” ini muncul dari pola “pendidikan gaya bank”, di mana mahasiswa menjadi celengan dan dosen adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan dosen dengan mahasiswa. Lebih lanjut dikatakan, “konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid”. Mahasiswa hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh sang dosen, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya.
Fiqh Oriented
Kondisi tersebut di atas, menjadikan pembelajaran agama di perguruan tinggi, dalam bahasa saya adalah lebih mengedepankan nuansa fiqhiyah (fiqh oriented atau fiqh minded). Artinya, pembelajaran lebih berorietasi pada norma-norma benar-salah, pahala-dosa. Demikan juga pada pengajaran yang bersifat informal, para mubalig lebih menekankan metode “menakut-nakuti” jamaahnya dengan berbagai dimensi siksa kubur dan pedihnya azab api neraka. Setelah itu umat “dimanjakan” dengan “iming-iming” pahala yang besar dengan segala hitungan dan kelipatannya.
Setidaknya, terdapat empat ciri dari model pembelajaran yang fiqh oriented atau fiqh minded ini. Pertama, dosen hanya menyajikan satu faham saja atau satu mazhab tertentu dalam proses pembelajarannya. Yang lebih berbahaya lagi ketika faham itu dijadikan sebagai kebenaran tunggal. Akibatnya, mahasiswa akan menganggap paham di luar itu adalah salah dan harus diluruskan dengan memusuhi atau memerangi.
Misalnya adalah tentang ziarah kubur. Ada dua produk fiqih dalam memahaminya. Melarang dan membolehkannya. Masing-masing merujuk pada Alquran dan al-Hadis. Bagi yang melarang mengatakan bahwa orang yang berziarah ke kubur merupakan perbuatan syirik. Dan syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Tuhan. Menurutnya, pendapat dia itulah yang paling benar. Sehingga orang yang berziarah ke kubur dianggap musyrik. Padahal ada produk fiqih lain yang membolehkan berziarah ke kubur.
Kedua, munculnya keyakinan di kalangan dosen akan kebenaran satu mazhab. Ia berusaha berusaha untuk menjadikan mazhabnya, sebagai mazhab tunggal. Hanya satu mazhab yang benar. Umat Islam hanya bisa bersatu dan damai apabila semuanya bersatu dalam salah satu mazhab. Sehingga, dosen cukup menyampaikan dalil-dalil Alquran dan al-Hadits berdasarkan mazhab tunggal tersebut dengan mengabaikan dali-dalil yang ada pada mazhab lain. Yang lebih fatal lagi adalah keyakinan bahwa mazhab yang diyakini tersebut adalah produk tunggal dari Alquran dan al-Hadits, sedangkan mazhab lain dianggap tidak selaras dengan kedua teks tersebut. Sehingga menimbulkan anggapan bahwa hanya kelompok sendirilah yang beramal dan berprilaku seperti Alquran dan al-Hadits. Sementara kelompok yang berbeda dengan dirinya dianggap tidak mendasarkan amal dan perbuatannya pada Alquran dan al-Hadits.
Ketiga, kesalehan diukur dari kesetiaan pada fiqih. Pada posisi ini, tingkat keberagamaan seseorang diukur pada baik atau tidaknya cara menjalankan fiqihnya. Bila caranya sama dengan yang mereka lakukan, maka termasuk orang saleh. Sementara yang tidak sama dengan fiqihnya, berarti ia tidak saleh, sehingga berkewajiban untuk meluruskannya.
Ada salah satu kisah Nabi Muhammad SAW dalam kitab al-Targhib wa al-Tarhib 3:405 yang menjelaskan tentang pentingnya akhlak dalam mengukur tingkat keberagamaan seseorang. Disebutkan, suatu waktu ada seorang lelaki yang menemui Nabi Muhammad SAW dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah menjawab, “akhlak yang baik.” Orang itu kemudian mendatangi Rasulullah dari sisi kanan dan bertanya, “Apakah agama itu?” Rasulullah menjawab, “akhlak yang baik.” Lalu dia mendatangi Nabi dari sebelah kiri dan bertanya, “Apakah agama itu?” Dijawab, “akhlak yang baik.” Orang itu kemudian mendatangi Rasulullah dari belakang dan bertanya, “Apakah agama itu?” Nabi menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? (Agama itu adalah akhlak yang baik). Sebagai contoh, janganlah engkau marah.”
Belajar untuk Berbeda
Alquran dan al-Hadits merupakan sumber mutlak dan bersifat Ilahi, maka tidak ada perdebatan tentang kebenaran keduanya. Siapa yang memperdebatkan atau meragukan atau mengkritiknya, adalah salah dan kafir. Akan tetapi, sangat berbeda ketika Alquran dan al-Hadits sudah ditafsirkan menjadi sebuah pemahaman. Keduanya berubah menjadi tafsir atau fiqh. Pada posisi ini, maka ia tidak bersifat Ilahi, ia tidak mutlak. Bahkan ia bersita manusiawi.
Pada tingkat pemahaman yang bersifat manusiawi ini lah, seringkali umat Islam terjebak pada penyamaan antara pemahaman dirinya tentang Alquran dan al-Hadits dengan kebenaran Alquran dan al-Hadits itu sendiri. Sehingga mereka menyamakan fiqih-nya, menyamakan tafsirnya dengan Alquran dan al-Hadits. Jadi, ketika ada umat Islam lain menyalahkan bahkan menentang pemahamannya itu, berarti menentang Alquran dan al-Hadits. Bahkan ia akan membela mati-matian, karena menurutnya pemahamannya tesebut bukan lagi hasil pemikiran manusia, melainkan Alquran dan al-Hadits itu sendiri. Karena ia adalah Alquran dan al-Hadits, maka kebenarannya menjadi mutlak dan benar.
Oleh sebab itu, pendidikan sebagai lembaga yang bertujuan pengalihan kebudayaan (cultural transformation) dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau berupaya mengedepankan proses perkembangan manusia (human
development), maka model-model pembelajaran yang hanya mengenalkan satu tafsir, satu mazhab, sehingga terkesan melahirkan pemaksaan kehendak dan kepentingan tertentu, haruslah dihindari.
Proses pembelajaran dalam pandangan Foucault tentang “disiplin tubuh” adalah bukan pelaksanaan kehendak atas paksaan yang datang dari orang lain, tetapi disiplin merupakan pelaksanaan atas kehendak sendiri. Disiplin berbeda dengan kepatuhan seorang budak. Karena disiplin bukanlah didasarkan pada penyerahan badan atau seperti kepatuhan “pelayan”, disebabkan tidak lain karena tubuh bukan merupakan relasi “dominasi”. Disiplin lebih ditujukan sebagai pengembangan penguasaan individu terhadap “tubuhnya sendiri”.
Di antara bentuk pembelajaran yang pada titik tertentu memiliki otonomi untuk mengatur dan mengontrol tubuhnya sendiri adalah dengan memberinya pemahaman bahwa ada yang berbeda di luar dirinya, ada yang memiliki pemahaman yang tidak sama di luar dirinya, bahwa perbedaan itu sunnatullah, penghormatan atas perbedaan itu penting, dan seterusnya. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Diposkan Oleh Tim Liputan Suska News
Dikutip dari Riau Pos Edisi Rabu, 7 Juni 2017
Focus Group Discussion