Kearifan Melayu terhadap Alam

Kearifan Melayu terhadap Alam

Oleh – Imam Hanafi
Sekretaris ISAIS UIN Suska Riau
Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini mengalami berbagai macam bencana. Sejak Desember 2004 hingga 2014, bencana alam secara silih berganti menghantam negeri tercinta ini.
Mulai dari gempa bumi Nabire, tsunami dahsyat di Aceh dan Nias, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, gempa bumi Jogjakarta, tsunami Pangandaran dan Cilacap, sampai gempa bumi 7,9 skala richter yang menimpa Sumatera Barat, Bengkulu, dan Jambi. Lalu, sejak Desember 2013 sampai sekarang, banjir besar sempat melumpuhkan ibu kota negara, sebagian besar wilayah Pantura Jawa, dan Manado.
Disusul erupsi Gunung Sinabung serta Gunung Kelud yang masih berlangsung sampai sekarang. Serta di daerah kita kebakaran hutan yang secara massif bergejolak di Riau, yang berakibat pada munculnya kabut asap di Riau saat ini.
Tidak sedikit yang menjadi korban atas berbagai bencana tersebut. Pada tahun 2013, dari 1.387 kejadian bencana di Indonesia, telah menyebabkan 825 jiwa tewas, 24.121 jiwa luka-luka, 3,8 jiwa mengungsi dan menderita, dan lebih dari 86.000 rumah rusak.
Sedangkan tahun 2014 dalam dua bulan ini. sudah ada 372 kejadian bencana dengan dampak 245 jiwa tewas. selain itu lebih dari 1,6 juta warga mengungsi dan lebih dari 9.400 rumah rusak.
Sesungguhnya, pada konteks teologis, apapun yang disebut bencana atau musibah, baik yang terjadi di darat, laut maupun udara merupakan sunnatullah (kehendak atau hukum Allah).
Namun demikian, perilaku manusia menjadi pemicu terjadinya bencana alam, bahkan memberikan kontribusi terhadap besar kecilnya kerugian dan penderitaan akibat bencana tersebut.
Diskripsi atas pernyataan tersebut, dijelaskan oleh Alquran yaitu : “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. 30:41).
Sepakat dengan ayat tersebut, dalam konteks pemerhati lingkungan, bencana yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia dinilai karena eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang berlebihan.
Eksploitasi alam yang dilakukan selama bertahun-tahun tanpa memikirkan keseimbangan ekosistem telah membuat alam Indonesia menjadi rentan terhadap bencana.
Melihat Kearifan Melayu
Tentu menjadi sebuah kontradiksi, di bumi Melayu yang memiliki ungkapan-ungkapan (petatah-petitih) yang secara nyata membela dan menjaga kelestarian alam, namun justru melahirkan massifikasi asap dari ”rahim bumi” melayu.
Coba kita renungkan sejenak bagaimana kearifan Melayu dalam memandang alam:
Tanda orang memegang adat, alam dijaga petuah diingat. Tanda orang berbudi pekerti, merusak alam Ia jauhi.
Tanda orang berakal budi, merusak hutan Ia tak sudi.
Tanda orang berpikiran panjang, merusak alam Ia berpantang. (Tennas Effendy, 2004: 664)
Kutipan tersebut, menjelaskan betapa buruknya pandangan orang Melayu terhadap mereka yang melakukan penghancuran terhadap alam.
“Bumi ini adalah titipan untuk anak cucu” yang menjadi jargon pemerhati lingkungan, menjadi bagian integral dari khasanah kearifan Melayu. Karena mencemarkan kelestarian dan tanpa memikirkan akibatnya bagi kehidupan masa kini dan anak cucunya di kemudian hari, merupakan pantangan bagi orang Melayu.
Banyak bukti yang memperlihatkan bahwa masyarakat Melayu hidup berdampingan dengan alam secara harmonis. Praktik masyarakat Melayu yang menyesuaikan diri dengan alam juga terlihat dari cara membangun rumah (rumah panggung). Bagian paling bawah dari rumah adalah batu sebagai penopang tiang-tiang utama rumah yang terbuat dari kayu.
Tetapi, tidak seperti rumah pada umumnya, masyarakat Melayu tidak menggali tanah untuk pondasi.
Batu hanya diletakan di atas tanah. Jika kontur tanah tidak rata, maka bukan tanah yang menyesuaikan sehingga diratakan, tetapi batu dan tiang kayu yang menyesuaikan.
Jadi, panjang pendeknya batu mengikuti kontur tanah. Namun sayang, rumah model ini sangat jarang kita jumpai saat ini. Selain itu, apabila masyarakat Melayu dulu akan menggunakan kayu maka kayu yang akan dipakai adalah kayu-kayu yang telah kering dan tua.
Kayu bakar tersebut diperoleh dari pohon yang sudah dimakan rayap atau batang pohon dan ranting yang jatuh terserak. Masyarakat Melayu dulu tidak sembarangan menebang pohon untuk kayu bakar.

Pertanyaannya kemudian adalah masihkah kita menelantarkan anugerah kearifan lokal kita yang begitu agung tersebut? Jika itu ada, semoga tahun depan tidak akan ada lagi kabut asap di bumi Melayu ini. 

Dikutip dari www.radarbangka.co.id 07-03-2019

Leave a Reply