Beragama di tengah Pandemi Covid 19

Beragama di tengah Pandemi Covid 19

Virus corona COVID-19  telah menyebar hampir  ke 213 negara dan wilayah di seluruh dunia. Pandemi, yang muncul pada akhir Desember di Wuhan, tiongkok ini  telah menyebar ke seluruh dunia pada tingkat yang  mengkhawatirkan bahkan berdasarkan data yang di kutip dari laman resmi Pemerintah RI Kasus terkonfirmasi di seluruh dunia telah mencapai 2.356.414 orang dengan jumlah kematian sekitar 160.120 orang di seluruh dunia per tanggal 21 April 2020.

Sedangkan di Negara Indonesia Sendiri jumlah kasus terkonfirmasi pertanggal 21 April 2020 telah mencapai 7.135 kasus positif, 842 orang di vonis sembuh dan sekitar 616 orang meninggal dunia di akibatkan covid 19 ini, sehingga secara tidak langsung menjadikan Indonesia menjadi Negara dengan kasus Covid 19 terbanyak di kawasan Asia tenggara . Selain itu secara tidak langsung Covid 19 ini juga telah melemahkan tingkat perekonomian bangsa Indonesia bahkan menteri keuangan indonesia yaitu Sri Mulyani mengatakan bahwa dalam skenario terburuk perekonomian Indonesia hanya bisa tumbuh 0,4% pada tahun 2020 ini.

Selain aspek perekonomian maka Aspek keagamaan di tengah pandemic covid 19 ini menjadi sebuah perkara yang hangat untuk di diskusikan,kenapa tidak? Dengan adanya covid 19 ini Maka para ulama di seluruh dunia telah berijtihad mengenai larangan untuk melaksanakan sholat berjama’ah dan sholat jum’at selama pandemic covid 19 ini,hal Ini berlaku bagi daerah yang berada di zona merah atau daerah yang telah terjadi penularan local covid 19. Pada dasarnya hal ini mendapatkan penolakan dari beberapa golongan Masyarakat yang dimana mereka beralasan bahwa Shalat berjamaah dan jum’at  harus tetap dilaksanakan di masjid dikarenakan itu merupakan salah satu aturan dari agama.bahkan ada yang berpendapat bahwa hal ini adalah salah satu cara orang yang membenci islam untuk menjauhkan umatnya dari masjid.

Padahal Umat agama lain di Indonesia  juga dilarang untuk melaksanakan kegiatan keagamaan yang mengumpulkan orang banyak.  bahkan peribadatan pada hari minggu bagi umat Kristen juga di alihkan kerumah masing masing. Sehingga secara tidak langsung pendapat yang menyatakan bahwa pelarangan sholat berjamaah dan jumat di masjid adalah cara untuk menjauhkan umat islam dari masjid adalah pikiran dan opini yang salah kaprah dan hanya pendapat yang ngawur dan tidak dapat di pertanggung jawabkan.

Berkenaan larangan  Sholat berjamaah dan jumat di masjid maka ulama al azhar yang dipinpin oleh Syeikh Ahmad Tayyib telah berfatwa bahwa larangan sholat berjamaah dan jumat di masjid adalah salah satu upaya melestarikan lima tujuan pokok yang merupakan induk dari semua ketetapan hukum yang bersifat furû`iyyah (cabang). Kelimanya disebut al-dharûriyyât al-khams (lima hal fundamental), yaitu: (memelihara) jiwa, agama, keturunan, harta dan akal.yang dimana hal ini berdasarkan kepada ayat al quran surah al Baqarah :2/195 yaitu :’Janganlah engkau menjerumuskan dirimu kedalam kebinasaan.

Bahkan Ulama al azhar berpendapat bahwa orang yang tetap bersikukuh untuk melaksanakan Sholat berjamaah dan jum at di masjid padahal dia berada di daerah yang rawan terpapar virus covid19 telah melakukan pencerobohan dan pengabaian ayat al qur’an dan hadis Rasulullah Saw.sebagaimana yang diriwayatkan dari Ad Daruqutni yang berbunyi :’’ Janganlah engkau membahayakan diri sendiri dan orang lain. Hal ini Dikarenakan apabila mereka tetap melaksanakan sholat berjamaah dan jumat secara berjamaah di masjid padahal daerah tersebut masuk kepada daerah yang rawan terpapar covid19 maka sesungguhnya perbuatannya tersebut telah bertentangan dengan apa yang di firmankan oleh allah swt dan disabdakan oleh Rasulullah Saw.

Oleh karena itu segala aktivitas ibadah yang berpotensi untuk mengumpulkan orang banyak baik itu berbentuk Tablik Akbar,pengajian pengajian di masjid Maupun pelaksanaan Misa di gereja berserta berbagai bentuk ibadah dari agama lain hendaknya lah di hentikan sementara.dan diganti dengan acara tablig akbar atau pengajian serta siraman rohani berbasir online yang mudah di akses oleh khalayak ramai .sehingga penyebaran pandemic covid19 ini dapat di minimalisir dan Kemungkinan bahaya yang di timbulkan dapat dihilangkan.

Namun walaupun larangan melaksanakan kegiatan  yang menimbulkan kerumunan sudah di keluarkan oleh pemerintah/ulil amri dan telah pun di fatwakan para ulama akan hukumnya,   masih begitu banyak di kalangan masyarakat kita yang Kurang kesadaran dan cenderung menyepelekan anjuran dari pemerintah dan pemuka agama ,sehingga kita dapat melihat banyak diantara kita yang masih melaksanakan sholat secara berjamaah dan jumat di masjid. Begitu juga bagi pemeluk nasrani dan agama lainnya masih banyak yang bersikeras untuk tetap pergi ke gereja dan ke tempat ibadahnya. Bahkan yang lebih ironisnya Masih ada para peng khotbah lintas agama yang mempropokasi jamaahnya untuk tetap pergi beribadah ke tempat ibadahnya,padahal hal itu sangat membahayakan dirinya dan jamaah nya sendiri.

Sebaiknya segala bentuk kegiatan keagamaan  pada masa pandemic covid 19 ini hendaklah di laksanakan  secara sendiri maupun bersama keluarga di rumah dan segala bentuk pengajian maupun khotbah di hari minggu hendaknya dilaksanakan secara online melalui pemanfaatan media Tegnologi informasi pada Mutaakhir ini.demi mencegah penyebaran virus covid 19 di dunia khususnya di Indonesia dengan tetap melaksanakan segala bentuk  kegiatan keagamaan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi di era globalisasi ini.

Demikian juga dengan pelaksanaan Shalat Taraweh dan tadarus di masjid pada bulan ramadhan hendaklah di alihkan ke rumah masing masing,yang dimana kepala keluargalah yang bertugas meminpin kegiatan ibadah keluarganya di rumah,baik itu ibadah sholat taraweh maupun tadarus al –qur’an bersama.disisi lain kita dapat melihat bahwa ini merupakan momentum yang paling tepat untuk meningkatkan keharmonisan di dalam keluarga kita dan sebagai sarana untuk meningkatkan ‘ubudiyah kita kepada allah swt.

by: Hardiansyah Siregar (Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN SUSKA RIAU)

Spekulasi di Musim Pandemi

Spekulasi di Musim Pandemi

Sejak ditemukan pertama kali di Wuhan, China pada 2019 lalu, penyakit Koronavirus 2019 (Coronavirus disaese 2019, atau disingkat COVID-19) sampai saat ini belum ada vaksinnya. Keadaan ini membuat keresahan karena menyebar hampir ke seluruh dunia, tak hanya di China, tetapi sudah masuk ke negara-negara Islam, termasuk Indonesia, bahkan per 19 April sudah ada lebih dari 6575 kasus.

Berbagai spekulasi pun muncul di kalangan umat muslim di Indonesia. Ada yang mengatakan ini adalah musibah bukan wabah—kita harus berserah diri kepada Allah, ada juga yang mengatakan kiamat sudah dekat karena semua masjid ditutup termasuk ka’bah yang berada di Makkah, dan ada lagi yang paling nyeleneh yakni virus COVID-19 ini sebagai peringatan agar kembali ke sistem khilafah.

Kita ke pandangan yang pertama, oke, kita harus berserah diri kepada Allah, karena segala sesuatu itu datangnya dari Allah. Ane setuju, tapi kalau kita hanya berserah diri kepada Allah, tanpa adanya usaha juga tidak pas karena Allah memerintahkan kita untuk berdoa-berikhtiar-bertawakal. Lalu, di mana letak ikhtiar antum? Pandangan seperti ini sering sekali kita dengar akhir-akhir ini kala wabah COVID 19 merebah.

Mereka beralasan bahwa hidup dan mati ada di tangan Allah, betul ada di tangan Allah, tapi kita diciptakan dengan akal gunanya adalah untuk berfikir dan berusaha (al-kasb) tidak hanya berdoa. Pandangan seperti ini tak ubahnya pandangan teologis Islam klasik yaitu Jabariah yang menyerahkan segala sesuatu kepada Allah dan menafikan usaha. Jika kita hanya menyerahkan diri kepada Allah tanpa menjaga jarak dengan pasien positif COVID-19 sama saja dengan mati bunuh diri.

Ada juga yang mengatakan bahwa virus yang berasal dari Negeri Tirai Bambu ini adalah tanda bahwa kiamat sudah dekat. Ya, kiamat memang sudah dekat, pendapat ini juga hampir sama dengan pandangan di atas yang membuat seseorang akan pasrah dan menunggu kiamat, padahal jika kita telaah lagi sebetulnya kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah tanda terbesar dari kiamat yang artinya kiamat sejak dulu dekat.

Alasan lain kenapa wabah ini mereka yakini dunia akan berakhir adalah karena penutupan Kabah atau Masjidil Haram. Mungkin mereka lupa atau tidak membaca sejarah bahwa Ka’bah beberapa kali ditutup: pada tahun 693 M ketika Hajaj bin Yusuf al-Staqafi menyerang Ka’bah, kemudian 930 M Ka’bah sempat ditutup bahkan selama 22 tahun karena suku Qaramithah menyerang Bani Abbasiyah, pada 1814 juga ditutup karena ada epidemi yang menewaskan 8000 orang di Hijaz.

Tidak relevan jika menyebut tidak adanya haji tahun ini dunia akan berakhir, bahkan disampaikan dengan penuh keyakinan. Padahal kiamat atau belum yang tahu hanya Yang Maha Tahu, jika meyakini COVID-19 adalah tanda hari akhir tak ubahnya seorang peramal yang akan meramalkan kiamat tahun 2012. Berhentilah meyakini apa yang sekiranya dugaan apalagi dikaitkan dengan kepercayaan.

Jika dua spekulasi di atas sudah nyeleneh, maka spekulasi yang ini lebih nyeleneh lagi yaitu adanya wabah ini karena peringatan agar kita kembali lagi ke sistem khilafah. Ada gempa bumi kembali ke sistem khilafah, ada banjir ke sistem khilafah, ada kebakaran hutan kembali ke sistem khilafah. Semua kembali ke sistem khilafah. Ah, antum maunya khilafah mulu.

Sepertinya antum gak pernah baca dah, pada masa Khalifah Umar bin Khatab ada wabah yang menelan korban sampai 30.000 jiwa. Jangankan masa khilafah, pada masa Nabi pun ada wabah—namanya tho’un, juga menelan banyak korban, bahkan sampai beberapa kali. Jadi, wabah atau penyakit tidak ada hubungannya dengan khilafah. Lha wong di masa khilafah aja ada wabah kok, gimana?

Apa yang sebaiknya kita lakukan di masa pandemi? Sebagai umat muslim wajib hukumnya kita berdoa agar selalu dalam lindunganNya. Ikhtiar dengan cara menjaga kesehatan, berolahraga, makan yang bergizi, istirahat yang cukup, cuci tangan, gunakan masker, tetap di rumah aja, tetap jaga jarak aman dan patuhi himbauan pemerintah. Terakhir bertawakal kepada Alllah.

by: Agus Nurwansyah (mahasiswa fakultas dakwah dan ilmu komunikasi UIN SUSKA RIAU)

Ada Apa Dengan Corona (AADC)

Ada Apa Dengan Corona (AADC)

Ditengah mewabahnya virus merah jambu yang melanda banyak anak remaja, virus yang satu ini tidak hanya menyerang kaum yang muda melainkan semua orang yang lemah dan tidak kuat imunnya. Ya, Covid-19 virus yang pertama kali muncul di Wuhan ini sudah menjalar secara global di seluruh dunia. Dengan sekejap virus ini mengubah seluruh keadaan manusia. Tidak hanya dikalangan pejabat melainkan mereka juga yang berprofesi petani. Banyak gejala yang ditimbulkan dari terinfeksinya virus ini selain itu virus ini dapat bertahan selama 72 jam di permukaan.

AADC ( Ada Apa Dengan Corona)???

Mengapa virus ini menjadi hal yang sanggat ditakuti?, Apa penyebab virus ini muncul?, dan yang terpenting hikmah  apa yang terjadi dibalik ini semua?

Banyak spekulasi yang muncul dikelangan masyarakat dan untuk menjawab hal tersebut seringkali mereka melihat berita dan banyak mendengarkan informasi dari yang lainnya. Akan tetapi yang disayangkan, penginformasian yang diberikan tak jarang justru malah menyebarkan kepanikan dibanyak pihak. Membuat mereka yang tidak mampu justru makin terpuruk.

Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia dan hewan. Virus ini bisa menyerang siapa saja, dari berbagai tingkat usia mulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa maupun lansia. Ibu hamil dan ibu menyusui juga sangat rentan terkena virus ini. Gejala awal yang akan dialami oleh penderita yang terpapar inveksi virus corona seperti flu, demam, pilek, sakit tenggorokan, sakit kepala dan batuk kering yang disertai mual-mual. Setelah itu disertai gejala yang lebih berat. Pasien bisa mengalami demam tinggi, batuk berdahak bahkan berdarah, sesak napas, dan nyeri dada. Hal tersebut muncul sebagai bentuk perlawanan tubuh dalam mengatasi virus corona.

Setelah dikeluarkannya peraturan dari pemerintah untuk “Belajar, Bekerja dan Beribadah dari rumah”, dan meminalisir untuk tidak keluar rumah dan tetap stay at home, kecuali karena keperluan mendesak. Membuat mereka yang diatas berlomba-lomba untuk menyiapkan keperluan sehari-hari mereka dengan memborong semua keperluannya baik dipasar maupun di tempat lainnya tanpa menghiraukan mereka yang berpenghasilan sehari-hari justru kewalahan, baik itu dari segi uang bahkan bahan makanan pokok yang hampir habis.

Sejak adanya virus corona ini tercatat bahwa Indonesia berada pada urutan ke-empat dengan jumlah pasien terbanyak terpapar virus corona di dunia dan menandakan meningkatnya akan penggunaan APD. Kamis 16/4/20 gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan mengumumkan bahwa penggunaan APD meningkat menjadi dua kali lipat dari yang penggunaan sebelumnya sekitar 5000 sekarang menjadi 10.000. Selain mereka yang bertugas sebagai tim medis masyarakat juga dihimbau untuk selalu menaati peraturan pemirantah untuk selalu berada dirumah dan ketika diharuskan keluar hendaknya memakai masker atau alat pelindung tubuh lainnya.

Dan sampai saat ini tercatat korban yang terkonfirmasi positif corona di Indonesia sudah mencapai 5,923 kasus dengan 4,923 yang dirawat, 520 meninggal dan 607 yang sembuh. Dengan meningkat dan bertambahnya kasus tersebut membuat pemerintah mengambil langkah lebih lanjut dengan memberlakukannya social distancing (menjaga jarak) dengan memutuskan hubungan social dengan orang-orang yang terdekat/dicintai dan kemudian dilanjutkan dengan physical distancing (jarak fisik), tidak berhenti dengan cara tersebut pemerintah justru memberlakukan system PSBB berskala besar, ya,,, upaya pencegahan penyebaran ini bertujuan untuk memutuskan mata rantai dari penyebaran virus corona. Dengan memberlakukan aturan tersebut dimaksudkan untuk semua masyarakat Indosenia mampu mematuhi dan melaksanakannya. Karena semua upaya yang dilakukan pemerintah tidak akan dapat direalisasikan dan terlaksana tanpa adanya kerjasama dari semua pihak utamanya masyarakat Indonesia.

Bersama-sama kita melawan virus corona dengan memulai dari diri kita sendiri dan kemudian orang-orang yang berada di sekitar kita. Dengan cara sering cuci tangan, memakai masker ketika keluar rumah, ketika batuk dan bersin hendaknya ditutup guna menghindari penyebaran kepada orang yang berada di sekitar kita, menjauhi keramaian, dan meminalisir untuk tidak bersentuhan dengan orang lain. Kalau bukan kita!! Siapa lagi???. Bersatu kita melawan corona dengan harapan semua kembali normal dan cepat berakhir sehingga kita bisa kembali dengan aktivitas kita seperti sedia kala. AAMIIN….

by: Nur Asiah Simatupang (fakultas tarbiyah dan keguruan UIN SUSKA RIAU)

ISAIS sebagai Wadah Mengasah dan Melampiaskan Hasrat Intelektual; Sebuah Refleksi

ISAIS sebagai Wadah Mengasah dan Melampiaskan Hasrat Intelektual; Sebuah Refleksi

Oleh: Ahmad Mas’ari (Dosen Agama di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau)

Dulu, semasa menimba ilmu di Jakarta, siangnya saya kuliah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tepatnya konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih, Fakultas Syariah dan Hukum. Malamnya saya tinggal sekaligus belajar hadis dan Ilmu Hadis di Pesantren Luhur Ilmu Hadis (Hight Institute for Hadith Sience) di bawah asuhan langsung al-marhum Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA (Guru Besar Hadis IIQ Jakarta dan mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta), yang berlokasi sekitar 1 Km dari Kampus 1 kuliah UIN Syarif Hidayatullah. Saya merasa, Kampus UIN Jakarta memberikan kebebasan mimbar akademis yang pada akhirnya menjadikan mahasiswanya deomokratis dan tercerahkan. Berbagai kajian dan diskusi juga banyak opsinya untuk bisa kita pilih dan ikuti, baik aliran ‘kanan’, maupun ‘kiri’. Saya yang waktu itu murni sebagai ‘thalib al-‘ilmi’ (pencari ilmu) yang juga masih mencari jati diri selalu mengikuti kedua ‘aliran’ itu.

Selain itu, berbagai program gratis banyak ditawarkan ke mahasiswa, seperti kursus kebahasaan. Saya pernah mengikuti kursus Bahasa Turki yang ditaja oleh Turkish Corner yang berada di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Jakarta. Begitu juga saya pernah mengikuti kursus Bahasa Persia yang ditaja oleh Iranian Corner yang juga di bawah naungan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Jakarta. Di sini saya juga belajar tentang syiah kepada penganut syiah langsung, bukan mendengar dari penganut sunni, sehingga lebih obyektif. Saya juga sering membawa teman-teman mahasiswa sebagai audien di beberapa acara di Tv Swasta Nasional, seperti di Metro Tv dan Tv One dalam acara-acara Talk Show.

Di luar kampus, saya juga sering mengikuti kajian dan diskusi, baik aliran ‘kanan’ maupun ‘kiri’. Waktu itu sangat kentara sekali ‘perang pemikiran’ antara kelompok ‘kanan’ dan ‘kiri’ ini. Paling kentara waktu itu adalah ‘perang’ antara kelompok Utan Kayu yang diwakili oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang waktu itu dinakhodai oleh Ulil Abshar Abdallah, dan kelompok Kalibata yang diwakili oleh INSIST (Lembaga kajian alumni ISTAC Malaysia) yang dipimpin oleh Adian Husaini, di mana mereka waktu itu fokus meng-counter ide-ide yang mereka anggap ‘nyeleneh’.

Selain itu, saya juga mengikuti kajian-kajian yang dilaksanakan di Paramadina, ICAS-Paramadina, Komunitas Salihara, Mizan, Moslem Moderat Society, dan lain-lain. Waktu libur kuliah, saya kadang ‘mondok’ di Pondok Tahfizh al-Qur’an Manba’ul Furqon, Bogor untuk menghafal al-Qur’an. Saya kadang juga ‘mondok’ di Pesantren Ciganjur, milik Gusdur. Waktu itu, kami belajar tafsir langsung diasuh oleh Gusdur. Selain itu, saya juga aktif sebagai surveyor

lapangan dari Lembaga Survey Indonesia (LSI) dan SMRC, keduanya lembaga survey pimpinan Saiful Mujani, di mana pengamat politik, Burhanuddin Muhtadi menjadi koordinator survey waktu itu. Saya juga merupakan alumni Pendidikan Kader Ulama (PKU) yang diselenggarakan oleh MUI DKI Jakarta selama dua tahun dan diwisuda oleh Gubernur DKI waktu itu, Fauzi Bowo. Pendidikan ini saya ikuti disela-sela kesibukan saya kuliah S2 di Kampus UIN Jakarta. Semua pengalaman saya belajar di Jakarta dan mengikuti kajian-kajian yang ada, saya belajar bagaimana melihat orang lain yang berbeda dengan saya.

Itu dulu ketika masih belum masuk ke ‘dunia nyata.’ Sekarang setelah memasuki ‘dunia’ nyata, setelah mengabdi sebagai dosen tetap di UIN Suska Riau, saya kaget. Atmosfirnya sangat jauh berbeda dengan kampus di mana saya belajar dulu. Mimbar akademis kurang dihormati. Segala pemikiran yang dianggap baru, dimusuhi. Tokoh-tokoh yang terpersepsi nyeleneh ditolak sebagai pembicara seminar di kampus ini. Saya bingung, ke mana mencari tempat untuk belajar dan menambah wawasan. Saya tidak tahu ke mana saya bisa mengasah dan melampiaskan hasrat intelektual saya yang sudah saya bangun selama ini.

Akhirnya, di tahun 2015, saya melihat sebuah baliho diskusi dalam rangka memperingati haul Cak Nur, yang mendatangkan anak-anak ideologis Cak Nur sebagai pembicara seperti Budhi Munawar Rahman, Ahmad Gaus. AF, dan lain- lain. Saya kaget lagi. Kok bisa Cak Nur masuk kampus UIN ini? Siapa/ apa yang membawanya ke kampus ini? Setelah saya selidik, ternyata ISAIS yang dimotori oleh pak Ali Hasan. Mulai sejak itu, saya intens mengikuti kajian-kajian yang ditaja oleh ISAIS ini. Sudah banyak saya mengikuti kegiatan-kegiatan ISAIS, seperti bedah buku, Academic Writing, Kursus Bahasa Inggris, dan lain-lain. Terbaru saya mengikuti acara Short Course Managing Diversity yang ditaja oleh ISAIS bekerjasama dengan Asia Foundation, 20-23 Februari 2020 di Pesonna Hotel, Pekanbaru. Selain bisa menggali ilmu dan pengalaman dari para pembicara, yang terpenting dari acara ini adalah kami dipertemukan dengan mereka yang beda agama dan sekte di inetrnal agama, sehingga mainset kita berubah ketika kita melihat orang lain yang berbeda dengan diri kita.

Kegiatan ISAIS yang sedang berjalan dan intens saya ikuti adalah “Satu Semester Kuliah Bersama Prof. Munzir Hitami, MA; Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik.” Saya sebenarnya dari dulu tidak terlalu suka belajar sejarah. Alasannya, sebagaimana alasan orang yang tidak suka belajar sejarah lainnya, yaitu malas menghafal tanggal, tahun, nama orang, dan menghafal lainnya. Tapi beberapa pertemuan saya intens mengikuti kegiatan ini, mainset saya tentang belajar sejarah menjadi berubah. Saya merasa menjadi tertarik untuk mempelajari sejarah Islam klasik ini. Ternayata, banyak sisi-sisi sejarah selama ini tidak pernah terbaca. Selama ini saya beranggapan, sejarah awal Islam itu berjalan seperti air mengalir saja, tanpa ada gesekan, permusuhan, rivalitas, intrik licik, apalagi sampai terjadi pembunuhan. Hal ini karena selama ini saya hanya memperoleh informasi sejarah awal-awal Islam ini sisi baiknya saja. Persepsi saya selama ini salah. Ternyata banyak sisi lain dan untold story yang selama ini tak saya ketahui. Dalam “Membaca Ulang Sejarah Islam Klasik” ini, Prof. Munzir dengan apik bisa mengkombinasikan referensi sejarah Islam klasik dengan literatur kontemporer karya para sejarawan kontemporer dan orientalis. Jadi, perspektifnya menjadi lebih kaya.

Saya juga baru menyadari, ternyata belajar sejarah itu penting. Salah satu tujuan mempelajari sejarah adalah mempelajari tentang peristiwa yang terjadi di masa lampau. Berkat sejarah kita dapat mengetahui apa yang terjadi di masa lalu, siapa yang terlibat, di mana peristiwa terjadi dan apa dampak dari peristiwa tersebut. Sejarah juga mengajarkan kita tentang keberhasilan dan kegagalan manusia dari para pendahulu kita. Dari sejarah, kita dapat mempelajari faktor apa saja yang mempengaruhi kemajuan dan kemunduran sebuah peradaban.

Selain itu, dalam hal ini sejarah sangat erat hubungannya dengan kemampuan analisa. Apalagi sebagai akademisi yang berlatar belakang keilmuan syariah/ hukum Islam akan sangat membantu memahami konteks penerapan sebuah hukum. Konteks itu sangat erat dengan sejarah. Ternyata banyak juga produk fiqih itu bertendensi politis. Hal ini akan meningkatkan kemampuan analisa semua informasi sejarah yang ada dan akhirnya membantu dalam membuat kesimpulan sendiri meskipun sebenarnya kesimpulannya sudah ada dan sudah dianalisis sebelumnya oleh sejarahwan. Termasuk juga misalnya, apakah Khilafah Islamiyyah seperti yang digaungkan oleh kelompok Hizbuttahrir merupakan sistem ideal dan mampu menjawab semua persoalan yang ada sehingga harus diterapakan di zaman modern ini. Semua itu bisa kita ketahui lewat sejarah.

Kadang, karena informasi sejarah yang diperoleh terbatas, apalagi ada distorsi sejarah oleh penguasa, kita akan menemukan fakta baru bahwa banyak peristiwa di masa lalu yang berbalut masalah tidak memiliki jawaban yang jelas. Kita harus melihat sejarah itu secara murni yang bertumpu pada rasio. Ketika mengkaji sejarah, kita harus benar-benar objektif dan terhindar dari interest apapun yang dapat menghalangi obyektifitas tersebut, seperti keyakinan bahkan agama yang dianut sekalipun. Dalam kasus fitnah al-kubra misalnya, Thaha Husein mengkritik sejarahwan muslim yang masih menganggap sejarah Islam sebagai ajaran agama. Implikasinya, mereka tidak menundukkan Khlaifah Usman bin Affan sebagai manusia biasa yang mungkin dapat berbuat salah. Akibatnya, banyak sejarahwan muslim membela mati-matian Khalifah Usman bin Affan, pada hal menurutnya peristiwa sejarah tidak ada hubungannya dengan keyakinan dan keimanan seseorang.

Sebagai ‘simpatisan’ ISAIS berharap agar kegiatan-kegiatan seperti ini terus berlanjut, dan tidak berhenti di tengah jalan. Kalau boleh usul, setelah “Satu Semester Kuliah Bersama Prof. Munzir Hitami, MA, dilanjutkan dengan program berkelanjutan yang sama, yaitu Short Course metodologi penelitian kuantitatif atau kualitatif yang diampu oleh satu orang pemateri saja selama satu semester.