GUS DUR, MODERASI DAN HUMANISME: (Belajar dari Jejak Bijak Sang Guru Bangsa Memaknai Kemanusiaan)

GUS DUR, MODERASI DAN HUMANISME: (Belajar dari Jejak Bijak Sang Guru Bangsa Memaknai Kemanusiaan)

Prolog

“Yang Lebih Penting dari Politik Adalah Kemanusiaan” (Gus Dur)

Dewasa ini, pergolakan pemikiran dan dinamika yang terjadi ditubuh bangsa ini kian hari kian komplek. Hal ini tidak dapat dipungkiri bagi suatu bangsa yang beranjak “menjelang dewasa” dari perjalanan panjang negeri ini mengarungi problematika dan menuju perubahan yang menjanjikan dan mencapai cita bangsa yang luhur dan berperi-keadilan. Namun perjalanan sejarah bangsa ini tidaklah berjalan dengan mulus begitu saja, sejak diproklamasikan pada 17 agusutus 1945 oleh proklamator Ir. Soekarno hingga sampai pada masa dewasa ini, banyak rintang silih berganti menghampiri. Jika kala pertama bangsa ini harus berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme untuk merebut kemerdekaan, kini bangsa ini harus berjuang melawan “dirinya sendiri”.1

1 Pada pidato presiden Soekarno, beliau pernah mengucapkan “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Saat setelah Indonesia merdeka.

Sebagai suatu Negara yang memiliki identitas budaya dan jati diri sendiri, Indonesia menjadi “surga” dari keberagaman dan banyaknya budaya yang menyebar di seantero negeri, jati diri sebagai masyarakat yang heterogen dan multi-etnis yang menjadi sumber rujukan dimana harusnya toleransi dan nilai kebersamaan didapatkan. Itu semua menjadi harta paling berharga di atas segalanya, bahkan lebih berharga dari PT. Freeport yang menghasilkan emas berlian, lebih berharga dari Blok Rokan yang memberikan jutaan barel minyak dan gas alam, dan jauh lebih berharga dari jutaan hektar lahan serta luasnya samudera lautan di bumi Indonesia ini.

Namun, ada hal yang membuat kita harus miris akhir-akhir ini, ibarat kutipan lirik lagu Pance Pondaag “mengalun sendu pilu terasa”. Keinfantilan pemerintah dalam lini politik serta elite yang orientik kepentingan individu dan golongan seolah cenderung telah menafikan hal tersebut. Segala macam cara dilakukan demi memenangkan kontestalasi

politik kekuasaan, masyarakat di adu domba, etnis di pecah belah, masyarakat di bodohi dengan informasi dan tak mencerdaskan, kemanusiaan pun hilang makna, dan ironinya, masyarakat kita yang masih belum tersentuh pendidikan secara merata dan pemahaman kebangsaan yang masih minim akhirnya terlibat konfrontasi horizontal dan terkadang harus saling pukul dan meneteskan darah, sebut saja kasus konflik agama di Madura, konflik agama di Ambon, Maluku, konflik etnis jawa dan masyarakat tempatan di Deli, atau kasus kemanusiaan di Papua yang selalu termarjinalkan.

Belajar dari Gus Dur, “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”. Bagaimana Gus Dur menjadi tokoh central ditengah konflik horizontal masyarakat, memberikan pencerahan bukan sekedar kepentingan, jembatan antara konflik vertical rakyat dan pemerintah tanpa imbalan, menjadi pemimpin yang mengutamakan kedamaian dibanding pertikaian, dengan celana pendek dan disambut ratusan ribu petisi jihad siap mati demi Gus Dur ketika keluar dari Istana, dengan sederhana Ia berucap “Tak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian”, keutuhan bangsa ini harus lebih diutamakan, lalu apakah masih ada tokoh masa kini yang mau mengikuti jejak bijak Beliau? Tentu kita nantikan!.

Dari Anak ‘Bandel’ Hingga Tokoh Moderat

Greg Barton dalam karya Best Sellernya, Gus Dur The Authortized Bioghrapy Of Abdurrahman Wahid, menceritakan secara netral perjalan tokoh satu ini. Dilahirkan 7 Sebtember 19402 dari garis keturunan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ary. Sosok Gus Dur boleh dikatakan sebagai anak yang tidak bisa stagnan atau diam dan lebih suka keluar dan menemukan hal-hal baru dengan keingin tahuannya yang sangat kuat. Masa kecilnya saja Ia pernah jatuh 2 kali dari pohon yang sama dan membuat tangannya patah terkilir saat itu. Mengabiskan masa kecil dalam keluarga yang agamis dan tradisionalis lantas tak membuatnya menjadi anak yang tunduk patuh begitu saja, ketika sudah mulai beranjak remaja dan melanjutkan pendidikan di pesantren bahkan ia pernah mendebat gurunya dan

2 Tanggal lahir beliau terdapat dua versi, yang pertama yang dimuat dalam Wikipedia dan yang terdapat di KTP beliau adalah 7 september 1940 dan versi lain lahir pada tanggal 4 agustus 1940, Greg Barton menjelaskan perbedaan ini bahwa 4 september itu dibuat pada bulan kedelapan tahun hijriah dan tepatnya 7 september 1940. Sebab dahulu penulisan tanggal lahir pada islam pedesaan ditulis pada kalender hijriah. Dan tanggal lahir Gus Dur ini keduanya diakui dan dirayakan, menurut Alissa Wahid, tanggal lahir Gus Dur 7 Sebtember adalah benar dan tanggal lahir 4 Agustus adalah legal. Beberapa pegiat dan akademisi yang meneliti Gus Dur lebih cenderung mengidentik kasus ini sebagai humor yang identic dengan Gus Dur, dan sosok Gus Dur yang dipandang Kontroversi, Mahfud Md contohnya, menyebutkan kontroversi Gus Dur itu wajar saja, tanggal lahirnya saja sudah kontroversi.

mengajak tukar pandangan yang dalam hal ini merupakan hal yang tabu dalam lingkungan pesantren dan pendidikan tradisionalis.

Selesai menempuh pendidikan di pesantren dan pendidikan atas (aliyah), Gus Dur diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar, Cairo. Namun, sesampainya disana, bukannya menyelesaikan study strata I –nya malah beliau bolos dan lebih sering menonton film, main bola, dan belajar serta membaca buku diperpustakaan. Hal ini bukan tidak berdasar, sebab penempatannya di kelas dasar kelas bahasa yang membuatnya bosan serta materi kuliah yang Ia anggap membosankan dan tidak ada hal baru yang akan Ia pelajari, sebab mata kuliah tersebut telah Ia selesaikan semasa di pondok pesantren. Hal ini bisa dibuktikan dengan kemampuan serta kecerdasan beliau yang melebihi pelajar seusianya, misalnya ketika Musthafa Bisri melakukan kursus bahasa Prancis di Cairo, sedang Gus Dur asyik mendengarkan pelajaran tersebut dari luar, malah Gus Dur yang lebuh dahulu fasih bahasa prancis.

Selama di Mesir, Gus Dur yang juga sibuk mengurusi Persatuan mahasiswa dan pelajar Indonesia Timur Tengah tak ketinggalan informasi serta kejadian yang terjadi di tanah air, sehingga kelak kepulangannya ke Indonesia tidak lantas membuatnya minim pengetahuan tentang Indonesia.. Sekembalinya ke Indonesia, Gus Dur sudah dihadapkan pada banyak persoalan internal NU dan dinamika kebangsaann yang begitu komplek. Sebagai seorang cucu pendiri NU dan laki-laki tertua diantara keluarganya beliau diharapkan mampu meneruskan perjuangan kakek dan ayahnya Wahid Hasyim.

Kiprahnya dimulai ketika Ia menjadi Ketua PBNU, dan mulai memodernisasi NU dan ikut serta dalam dinamika kebangsaan. Keterlibatannya dalam dinamika kebangsaan tak berjalan mudah, disebabkan penguasa pada saat itu yang cenderung otoriter dan berhadapan dengan kelompok yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Banyak kesempatan ketika terjadi konflik dalam satu daerah, Gus Dur menjadi tokoh yang dikirim untuk menyelesaikan hal tersebut. Mulai dari Aceh hingga keberangkatannya ke Timur Indonesia. Walaupun Gus Dur berseberangan dengan pemimpin saat itu, Soeharto, namum ketika berhadapan persoalan kemanusiaan dan kebangsaan, Gus Dur pasti menghilangkan perbedaan pandangan tersebut dengan Soeharto.

Penyelesaian-penyelesaian secara persuasive yang dilakukan Gus Dur jauh berbeda dengan cara-cara yang dilakukan oleh Soeharto yang mengandalkan gaya militer. Terbukti dengan pendekatan Humanisme-nya Gus Dur, persoalan tersebut dapat memberikan hal

yang solutif, contohnya saran dan pendekatan dialog antar agama yang harus diterapkan secara berkala dan kontiniu. Cara-cara yang dilakukan Gus Dur tersebut terus berlanjut hingga beliau menjadi orang nomor satu di Negara ini. Pembelaannya terhadap kaum minoritas tak lantas membuatnya ciut dari cercaan sebagaian kaum yang mengkritik. Baginya keadilan adalah persamaan derajat (Egaliter) sehingga beliau digelar bapak Pluralisme. Pembelaanya terhadap agama minoritas membuatnya dijadikan sebagai panutan dalam melalui perjalanan bangsa ini.

Dari sikap Moderat inilah beliau beranjak dalam perpikir dan berpijak dalam melangkah, menghilangkan cara-cara kekerasan dan mengutamakan cara persuasive kemanusisaan. Maka ketika berbicara kebangsaan, beliau sebagai nahkoda NU pada saat itu yang juga ikut serta sepakat menjadikan mencasila sebagai asas tunggal sebagai paradigm dan ideology bangsa. Kebagsaan beliau yang tak bisa ditawar-tawar dan cara-cara moderat beliau dalam menyelesaikan permasalahan menjadikannya tokoh yang patut dikenang dan diikuti sebagai tokoh yang memeberikan sumbangsih besar dalam makna moderasi Bergama dan medorasi dalam pikir dan sikap.

Semua Demi Humanisme

Prof. Dr. Asy-Syiddieq dalam bukunya Falsafah Hukum Islam menyebutkan bahwa hokum itu berpijak pada dasar kemanusiaan, maka segala hokum yang ada adalah hokum kemanusiaan. Gus Dur adalah figure yang menjadi sumber kemanusiaan bagi masyarakat dan bangsa yang “tersesat” mencari makna dan menerapkan hokum demi kemanusiaan.

Perjalanan sejarah yang Ia ukir dalam menerapkan hokum kemanusiaan tak bisa lagi dibantah, hail-hasil yang Ia dapatkan dalam meneyelesaikan problematika kebangsaan dan konflik perbedaan yang terjadi di Negara ini pantas menjadi jejak bijak yang akan selalu dikenanng dan dijadikan referensi dalam menghadapi persolaan hingga dewasa ini hingga bagaimana Ia memberikan pemaknaan Islam yang rahmat jauh dari term-term kekerasan yang diajarkan oleh paham transnasional.

Salah satu ajaran dengan sempurna menampilkan universalisme Islam yang dapat dipetik dari sisi Gus dur:

  1. Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum.
  2. Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama.
  3. Keselamatan keluarga dan keturunan.
  4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum;
  5. Dan keselamatan profesi

Yang kesemua poin itu menjadi landasan beliau dalam berbuat. Dari paparan di atas terlihat bahwa Gus Dur menemukan universalisnme Islam di dalam ajaran kemanusiaan. Artinya, segenap nilai utama yang meliputi tauhid, fiqih, dan akhlaq ternyata menunjukkan kepedulian mendalam atas nasib kemanusiaan. Demikianlah Gus Dur, guru bangsa yang menjadi sumber ajaran kemanusiaan.

Konklusi

Ajari kami!

Bagaimana cara memberi?

Menurut sila kelima penuh arti

Tentang tuan

Tentang social yang berkeadilan

Tentang semua raup penghasilan

Tentang segala yang sudah kalian harta pribadikan

Tentang kami

Tentang menahan lapar dan mengulur mati

Tentang menyeka pilu dan mengusap luka hati

Tentang semua tengadah tangan mohon dikasihani

Ajari kami!

Bagaimana supaya tak lagi meminta

Cara terlepas dari ketergantungan tuan harta dan tahta

Jalan hidup menjauh dari semua iba yangterpaksa

Melupa! Dan mengangap kalian tak pernah ada

Bisakah?

Beri kami hormat saat tuan melempar sebungkus nasi

Pandang kami manusia bukan miskin tua penuh alergi

Bolehkan?

Kami mengambil sesuatu dengan rasa bangga

Bukan dengan setiap saat dengan tetesan air mata

Bolehkan?

Kita berdiri sama tinggi lalu duduk sama rata

Tertawa bersama lupakan kasta

Walaupun dengan cerita kau kupuja dan kau balas sandiwara

Agar kita sama menjadi menusia dan taka da dewa.

Pekanbaru, 03 September 2020

By: Asmin Mahdi (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia UIN Sultan Syarif Kasim Riau)

Budak: Pembebasan Priode Mekkah

Budak: Pembebasan Priode Mekkah

Term hamba dalam perbincangan keseharian, kerapkali disandingkan dengan term hamba. Padahal, antara kedua term tersebut mempunyai diferensiasi makna yang cukup  siknifikan. Kalaupun harus dipersamakan maka buru-buru harus ditambahkan dengan kata “sahaya” sehingga menjadi “hamba sahaya”.  Mengingat term yang disebut pertama lebih berkonatasi kepada hubungan dan pengabdian manusia kepada Tuhan. Sementara yang disebut belakang lebih diidentikkan dengan hubungan dan pengabdian seseorang tertentu terhadap tuannya. Lagi pula,  term “budak” –sebagai term hubungan manusia dengan manusia (habl min al-nās) [sesuai dengan defenisi di atas] mengandung makna bahwa ketika seseorang telah menjadi budak, maka  dengan sendirinya hak dan kebebasannya menjadi terpasung dan seketika sirna. Sedangkan term “hamba” –sebagai term hubungan manusia dengan Tuhan (habl min Allah)– hak dan kebebasan manusia di hadapan Tuhan sedikitpun tidak terenggut. Karena dengan hanya ber-Tuhan-kan pada Allah justru berarti manusia membebaskan dirinya dari berbagai bentuk perbudakan.

Dalam mengungkapkan kedua term “hamba” dan “budak”, al-Qur’an mempergunakan kata yang berbeda. Untuk term yang disebut duluan, term hamba, al-Qur’an mempergunakan kata “’abd”. Kalaupun al-Qur’an menggunakan term ini beronotasi kepada hubungan sesama manusia, hanya sekali dijumpai dalam al-Qur’an yang (Q.s.. al-Baqarah [2]: 221). Namun, term  ‘abd (hamba) tersebut  akan acap kali diketemukan dalam al-Qur’an, khusus pada hubungan manusia dengan Allah. [Lebih lanjut term ‘abd  tidak menjadi fokus karena tidak relevan dengan pembahasan dalam tulisan ini]. Artinya penghambaan yang dibolehkan al-Qur’an hanya kepada Allah; sementara penghambaan terhadap manusia, manurut al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw., adalah terlarang. Karena itu, menurut panelitian Quraish shihab, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata raqabah yang dinisbatkan kepada orang-arang Mukmin. Atau dengan kata lain, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata rikabatukum atau riqabukum. Hal ini untuk memberikan pelajaran bahwa kalau pun seseorang satu dan lain hal memiliki budak,  maka ia harus tetap memperlakukannya secara manusia. Dengan kata lain ia tidak boleh memperlakukannya sebagai budak yang terbelenggu lehernya. (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir atas Surat-surat Pendek Beredasarkan Urutan Turunnya Wahyu: 810).

Untuk term yang disebut belakangan, term budak terkadang al-Qur’an mempergunakan kata “raqabah” dan di lain tempat al-Qur’an mempergunakan kata “malakat aimanukum”. Kata raqabah terulang di dalam al-Qur’an, menurut Quraish Shihab, tersebut sebanyak enam kali dalam bentuk tunggal; dan dalam bentuk jamaknya, riqab, sebanyak tiga kali. Kata ini pada mulanya berarti “leher”, kemudian diartikan sebagai manusia yang terbelenggu (terikat lehernya) dengan tali. Karena  memang demikianlah nasib dan  keadaan budak-budak pada zaman  dahulu. Sementara kata malakat aimanukum, di dalam al-Qur’an tercantum juga sebanyak sebanyak enam kali; dan empat di antarnya berkonotasi khusus kepada budak-budak wanita dalam melakukan “hubungan” dengan tuannya baik tidak lewat pernikahan ataupun lewat pernikahan. Mengingat kesan diperoleh dari istilah raqabah di atas sangat buruk, yaitu menggambarkan seseorang terbelenggu lehernya seperti binatang, maka al-Qur’an  memilih untuk tidak menamai mereka dengan ‘abd (hamba sahaya), tetapi menamainya malakat aimanukum (apa yang dimiliki oleh tangan kananmu). (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim,  809-810).

Dalam al-Qur’an, sembari memberikan perumpaan, Allah mendefenisikan sendiri bahwa  budak adalah seseorang “hamba sahaya yang dimiliki dan tidak dapat bertindak sesuatu apapun”. Firman Allah: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan. Adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (Al-Qur’an, Al-Nahl [16]: 75).

Dari batasan ayat ini didapatkan pemahaman bahwa budak adalah seseorang yang dikuasai dan tidak dapat berbuat sesuatu apapun atas namanya sendiri atau tidak berbuat apapun tanpa sepengetahuan dan seizin tuannya. Bahkan lebih dari itu, budak berkewajiban mengikuti jejak tuannya dalam berbagai kehidupan, termasuk mengekor dalam hal ideologi dan kepercayaan-keagamaan. Seorang budak tidak punya hak kesempatan untuk berbeda pandangan, apalagi membantah pendapat tuannya. Seorang budak tidak berhak untuk menolak perintah tuannya; dan ia berkewajiban untuk menaati apapun permintaan dan hasrat tuanya, termasuk ajakan untuk melacur diri demi keuntungan dan  kepuasan sang tuan. Nasib seorang budak sangat tergantung dari tuannya; kebebasan dan kemerdekaanya berada dalam genggaman tuannya; si tuan berhak menjatuhkan hukuman apapun atau si tuan tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan imbalan kebaikan kepada budak yang dimilikinya. Pendek kata, budak tidak mempunyai hak-hak apapun tetapi mempunyai kewajiban-kewajiban sedemiian banyak dan besar. (lihat, W. Montgemory Watt, Muhammad at Madina, Oxford: OUP, 1956: 293).

Budak dalam beberapa hal dapat dibandingkan dengan poligami. Seperti halnya poligami, perbudakan juga ada pada semua bangsa. Kedua hal ini, khusunya yang disebut belakangan, lambat laun akan menjadi terhapus seiring dengan bertambah majunya pemikiran dan peradaban serta dengan semakin tumbuhnya rasa kemanusiaan dan keadilan ummat manusia terhadap sesamanya. (Lihat, Syed Ameer Ali,  The Spirit of Islam: 258). Sehingga dapat dipahami, kalau tempo dulu perbudakan tetap  eksis sepanjang sejarah anak manusia sejak pada masyarakat primitif hingga sampai lahirnya agama Kristen, dua mellenium yang lampau. Bahkan agama yang dibawa oleh Nabi Isa (Alayhi al-Salām) itu, dengan ajaran “kasihnya”, dapat dikatakan gagal  mengelaminir, apalagi menghapuskan praktek-praktek perbudakan di muka bumi. Memang perbudakan pada masa-masa itu masih merupakan suatu “keniscayaan” hidup yang tak terbantahkan.

Lebih jauh, menurut Ameer Ali, Agama Kristen telah gagal dalam menghapus perbudakan. Kalangan geraja sendiri mempunyai budak-budak; dan dengan kata-kata yang nyata mengakui adanya lembaga perbudakan. Orang-orang Kristen yang mengklaim diri  mempunyai peradaban tinggi melakukan kekejaman-kekejaman yang paling begis terhadap oang-orang malang yang mereka pelihara sebagai budak. Orang Kristen kulit putih tidak pernah mengakui dan mengesahkan anakanya yang lahir dari hubunan gelap dengan budak-budaknya yang wanita negro. Dengan peremnpan-perempuan itu,  mereka  tidak dapat kawin sacara sah. Orang-orang Kristen tidak mampu menangkap dan  mengerti semangat ajaran-ajaran yang dibawa  Nabi-nya  mengenai persamaan manusia dalam pandangan Tuhan.  (Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 261-262).

Ketika Islam datang lewat Nabi Muhammad (S}allalla>hu ‘Alayhi Wasallam),  perbudakan tetap merupakan suatu fenomena dan realitas hidup keseharian. Dan sepertinya, al-Qur’an sendiri “lamban” dan “tidak tegas” menagani masalah ini; bahkan seolah-olah Islam masih “melegitimasi” adanya perbudakan. Penanganan al-Qur’an terhadap masalah ini tidak jauh berbeda dengan pelarangan minuman keras dan riba. Terhadap kedua persoalan tersebut, al-Qur’an pada awalnya masih diperbolehkan, tetapi lambat-laun, al-Qur’an menyikapinya dengan sistimatis, dan pada gilirannya al-Qur’an menyatakan pengharamannya dengan tegas dan tuntas. Begitu juga  dalam masalah perbudakan, sepertinya al-Qur’an, awalnya masih mentolerirnya, umpamanya  memerintahkan seseorang laki-laki memelihara kemaluannya kecuali kepada istri dan/ atu pada malakat yang mereka miliki, dan ini terjadi hususnya pada masa periode Mekkah, misalnya lihat, al-Qur’an, al-Nisa (4): 24, 25; al-Mu’minuun (23): 6; al-Ma’arij (70): 30. Tetapi pada periode Madinah upaya-upaya al-Qur’an dalam pembebasan budak sangat tampak dan jelas.

Padahal sesunguhnya “ruh” (semangat dan spirit)  Islam menentang dan melarang praktek-praktek perbudakan, sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an dan dilakukan Rasulullah. Sementara itu, tujuan al-Qur’an dan misi kenabian adalah untuk menciptakan masyarakat madani (civil sociaty) dengan tata kehidupan sosial-moral yang adil, egalitarian, inklusif dan pluralis serta berlandaskan iman pada Allah. Kalaupun perbudakan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat Arab pada awal kenabian, realitas tersebut hanya dapat “diterima” secara tentatif dan untuk sementara waktu.

Misi kenabian Muhammad saw. bertujuan untuk menciptakan masyarakat madani dalam sesama manusia; dan perbudakan merupakan sistem kehidupan yang paling jelas menggambarkan hubungan yang timpang dan tidak wajar tersebut yang sangat ditentang. Karena perbudakan, ibaratnya dua mata sisi yang berbahaya, tidak saja akan mencederai hubungan yang baik sesama manusia, tetapi sekaligus merusak hubungan kepada Tuhan. Perbudakan secara asasi bertentangan dengan ajaran Islam tentang tauhid yang melarang seseorang menghambakan diri kepada sesamanya atau lebih umum kepada ciptaan Tuhan  lainnya. Sebaliknya, membiarkan perbudakan berarti juga syirik, sebab orang yang memiliki budak adalah seseorang menjadikan dirinya “tandingan” Tuhan. Padahal manusia hanya boleh menghambakan diri kepada Tuhan semata dan tiada Tuhan selain Allah. Lihat,  Dawam Rahardjo,  “Ensiklopedi al-Qur’an “Abd”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 1,Vol. V, Thn. 1994, 43.

Pada masa awal sejarah Islam, Nabi Muhammad hanya mentolerir perbudakan lantaran menjadi tawanan perang. Inilah satu-satunya perbudakan yang dapat dibenarkan oleh hukum,  sampai mereka ditebus atau tawanan itu sendiri yang menebus kemerdekaannya lewat upah pekerajaan atau lewat dengan cara lain. Begitu juga pada masa pemerintahan Khalifah al-Rashidun, menurut Syed Ameer Ali, tidak dikenal perbudakan dengan jalan jual-beli (al-bay‘ah). Sekurang-kurangnya, lagi-lagi menurut Syed Ameer Ali, tidak ada data otentik yang menyebutkan bahwa terdapat budak yang diperoleh dengan jalan dibeli pada masa pemerintahan khulafa’ al-rashidun. Akan tetapi, perbudakan dengan jalan jual-beli baru kemudian pada masa munculnya dinasti Umayyah. Pada masa pemerintahan khalifah Islam inilah  terjadilah perubahan dan penyimpangan terhadap semangat dan ajaran Islam prihal “penghargaan kemanusian” yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Mua’awiyah bukan saja orang pertama dalam sejarah Islam yang  memberlakukan sistem pemerintahan Islam secara monarki, tetapi ia juga yang mula-mula  memperaktekkan pembelian budak (perbudakan) dalam Islam. (Lihat, Syed Ameer Ali,  The Spirit of Islam, 267).

Apabila tawanan/budak tersebut tidak mempunyai sumber penghasilan, Nabi  mengguggah hati nurani dan kesalehan ummat Islam  [ditambah pula dengan tanggungjawab berat diletakkan di atas pundak orang memiliki budak] tidak jarang ini menjadi sebab akhirnya budak tersebut dibebaskan. Al-Qur’an, al-Nur (24): 33.) Karenanya sedari awal, periode Mekkah, Al-Qur’an sudah mencangankan fakku raqabah, membebaskan manusia dari perbudakan. Untuk itu, dalam satu surat al-Qur’an yang diwahyukan dalam periode Mekkah awal, al-Qur’an telah mencanangkan “fakku raqabah” (membebasan budak dari perbuadakan) yang dilukiskan sebagai  ‘aqabah, “menempuh jalan yang mendaki dan lagi sulit” Maka tidakah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar tersebut? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan; atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan karabat atau orang miskin yang sangat fakir.” (Lihat, Q.s.al-Balad (90): 11-14.

Kata “fakk”, menurut Quraish Shihab, hanya ditemukan sekali dalam al-Qur’an, yaitu hanya pada pada ayat ini. Kata ini maknanya berkisar pada arti-arti: membuka, melepas, membebaskan dan menghancurkan. Jadi dalam konteks ayat ini, fakku raqabah,  berarti melepaskan tali (belenggu) yang mengikat leher seseorang atau membukanya, atau menghancurkannya sehingga manusia tersebut memperoleh kebebasan bergerak. Upaya pembebasan manusia dari perbudakan harus lebih awal dilaksanakan. Islam memandang bahwa   pembebasan   manusia   dari    segala bentuk  yang  membelenggu  dan merendahkan martabatnya kemanusiaannya harus dimulai lebih dini –untuk itu, ayat ini termasuk ayat al-Qur’an yang awal pada periode Mekkah– karena setiap langkah maju guna mencapai kemaslahatan manusia dan masyarakat tidak dapat dirahi sebelum kehormatan manusia sebagai manusia dapat ditegakkan. (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, 809-810).

Namun, karena kukuhnya sistem perbudakan dalam struktur masyarakat Arab –di samping membebaskan budak bukan perkara mudah, tapi  harus lewat jalan yang mendaki lagi sulit–serta penghapusannya akan menimbulkan gejolak sosial yang besar, maka fenomena ini di tangani oleh al-Qur’an secara persuasif dan bertahap. Lagi pula, ketika di Mekkah, Nabi Muhammad beserta pengikutnya masih merupakan golongan minoritas tertekan. Sementara itu kalau dipaksakan penghapusan budak tersebut dapat berakibat fatal bagi nasib komunitas agama yang baru dibina. (Ameer Ali, The Spirit of Islam, 262; lihat juga, Taufiq Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: 66.)

Dalam pada itu, karena sistem perbudakan merupakan tatanan kehidupan yang sudah sanagat mapan sehingga al-Qur’an tidak mungkin dengan serta-merta melarangnya dan harus lebih bijak dalam merespon peresoalan yang ada pada masa itu. (Ameer Ali, The Spirit of Islam, 262). Sikap al-Qur’an yang permisif dan masih metolerir perbudakan terlihat, misanya masih dibolehkan praktek-praktek si tuan laki-laki agar “menjaga kemaluannya, kecuali kepada istri dan budak-budak (wanita) yang mereka miliki”, menurut al-Qur’an, ”dalam hal ini mereka tidak tercela”. (Q.s. al-Mu’minūn [23]: 5-7).

Meksipun dibolehkan praktek-prektek seperti ini dikaitkan dengan himbauan moral, menurut al-Qur’an, demi menjaga kemaluan dan memelihara kehoramtan seorang laki-laki. Karenanya, al-Qur’an sendiri segera menambahkan, “barang siapa yang meencari di balik itu,” [misalnya seperti berzina, homoseksual dan praktek-prkatek seksual lain yang terlarang], menurut al-Qur’an, “maka mereka itulah orang-orang melampai batas.” Meskipun demikian, dalam kondisi struktur ekonomi masyarakat Mekkah yang timpang; adanya jurang yang terjal antara yang miskin dan kaya; serta antara yang kuat dan yang lemah, al-Qur’an acap kali mengkritik kaum bangsawan yang konglemerat karena mereka tidak mau memberikan sebagian rezeki meraka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar budak-buak mereka juga turut merasakan rezeki tersebut. Al-Qur’an menyebutkan sikap orang-orang kuat dan kaya tersebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah ((Q.s. Al-Nahl [16]: 71).

Dalam ayat periode Mekkah ini, al-Qur’an tidak melarang dan mengutuk perbudakan itu sendiri secara langsung, tatapi yang dikutuknya adalah sikap orang-orang kaya dan kuat Mekkah yang tidak mempunyai kepeduluan sosial dan tidak mau menyantuni  budak-budak yang mereka miliki yang, tentu saja, telah berbuat banyak kepada tuannya. Sementara tindakan perbudakan itu sendiri harus secara bertahap dan tidak dapat dipaksakan penerapannya seketika. Karena pembebasan manusia  dari  perbudakan  harus  bersumber  dari kesadaran dan sikap batin dari  manusia terhadap sesamanya. Cara inilah ditempuh al-Qur’an hingga Rasulullah dan para sahabat  berhasil sewaktu berada di kota Madinah.
Mā Tawfiq wa al-Hidayah illa bi Allah,
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)