Ketika Rasulullah masih berada di Mekkah penanganan masalah pembebasan perbudakan belum diupayakan secara radikal karena harus diselaraskan dengan situasi faktual dan kondisi objektif ummat Islam saat itu. Namun, setelah hijrah dan menetap di Madinah, ayat-ayat al-Qur’an turun dengan gencar dan sistimatis serta lebih radikal sebagai upaya untuk menghapus sistem perbudakan yang tidak sempat dituntaskan sewaktu masih di Mekkah. Karenanya, dalam surat al-Baqarah, termasuk sebagi surat yang pertama kali diturunkan di Madinah, Allah mengajarkan betapa mulia dan agung kebajikan yang dimiliki bagi orang yang memerdekakan budak, sampai-sampai Allah menyamakan kebajikannnya beriman kepada-Nya, beriman hari akhirat, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan al-birr lainnya.
Firman Allah: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesunguhnya kebajikan …. dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang sama dalam kesempitan, penderita dan dalam peperangan. Mereka itulah yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” Al-Qur’an, al-Baqarah (2): 177. Dan pada ujung ayat ini Allah mengklaim bahwa orang-orang yang memerdekekan budak termasuk salah seorang yang bertaqwa. Predikat ketaqwaan tersebut sangat layak dan logis untuk di sandang, bukankan memerdekan budak sebagai “jalan yang mendaki lagi sukar”.
Begitu pula, dalam pembebasan perbudakan, pemberian harta untuk membebaskan budak yang semula dikategorikan sebagai sedekah belakangan disamakan dengan pembayaran zakat. Karena itu, al-Qur’an menyebutkan bahwa zakat yang terkumpul juga dimaksudkan untuk memerdekakan budak. Ameer Ali mengutip firman Allah: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perejalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan oleh Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. al-Taubah [9]: 60; Ameer Ali, The Spirit of Islam: 262).
Seiring dengan ayat di atas, dalam upaya-upaya lebih intens, Rasul Allah saw. memerintahakan umatnya tanpa jemu-jemu atas nama Allah, karena membesaskan budah adalah perbuatan yang (paling) diredah oleh Allah. Lebih jauh Ameer Ali memamarkan sikap Nabi Muhammad saw. terhadap perbudakan: “Ia menetapkan bahwa budak diizinkan untuk menebus kebebasan dirinya dengan jalan upah pekerjaannya. Kalau budak yang malang itu tidak mempunyai pengahasilan dan bermaksud mencari pengahasilan demi menebus kebebasannya, maka mereka harus diperkenankan oleh tuannya dengan suatu perjanjian. Ia juga menentukan bahwa budak harus diberikan dana dari perbendaharaan negara guna menebus kemerdekaannya…. Rasul Allah memerintahkan agar memperlakukan para budak dengan ramah dan santun, sebagaimana perlakuan kepada keluarga dan tentangga atau seperti pada teman seperjalanan. Dianjurakan untuk “memberikan sebagian harta kekayaan yang dianugrarhkan Allah kepadamu.” Para majikan dilarang mempergunakan kekuasaanya dalam melampiaskan hawa nafsunya kepada budak yang dimilikinya. Pembebasan budak dilakukan sebagai tebusan kerena membunuh seorang Islam dengan tidak sengaja, dan perbuatan kesalahan lainnya.” (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 263).
Dari kutipan di atas nyata sekali bahwa salah satu cara dalam agama Islam untuk menghapus perbudakan adalah diperkenankannya seorang budak meminta kemerdekaannya pada tuannya dengan perjanjian bahwa ia akan membayar sejumlah uang yang ditentukan. Allah menganjurkan agar bagi mereka yang memiliki budak agar menurutkan perjanjian yang mereka inginkan serta memberikan mereka sebagaian harta yang dianugrahkan Allah. Firman Allah: “…. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (al-Qur’an, al-Nur [24]: 33.) Dan untuk lebih capat lunasnya perjanjian tersebut hendaklah budak-budak itu ditolong dengan harta yang diambil dari zakat. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam:263)
Begitu pula ajaran-ajaran al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. memerintahkan para tuan agar menyantuni para budak yang mereka miliki. Firman Allah: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (Q.s. al-Nahl [16]: 71).
Pada bagian lain Allah memerintahkan agar memberdayakan budak lewat memberi zakat. Firman Allah: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. al-Taubah [9]: 60).
Di sisi lain, al-Qur’an juga mempuyai cara tersendiri dalam upaya-upayanya pemebebasan/ menghapus perbudakan dalam Islam. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa bagi seseorang yang melakukan pelanggaran ajaran agama maka kaffarah alternatifnya, di antaranya adalah membebaskan budak. Misalnya, pertama, apabila seseorang membunuh dengan tidak sengaja (tidak dibenarkan syara’) seorang mukminm, maka kaffarah (dendanya), disamping membayar “diat”, adalah diwajibkan membebaskan budak. Firman Allah: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Qur’an, al-Nisa [4]: 92).
Kedua, bagi seseorang yang bersumpah dan kemudian melanggar sumpahnya maka hukumannya, kalau tidak memberikan makanan dan pakaian kepada keluaraga (ummat Islam), maka ia diwajibkan memerdekakan budak. Firman Allah: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (al-Qur’an, al-Maidah [5]: 89).
Ketiga, bagi orang-orang yang menzihar istrinya (misalnya ia berkata “punggungmu seperti punggung ibuku), maka sebelum ia melakukan hubungan kembali dengan istrinya, maka hendakalah ia memerdekakan budak. Firman Allah: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( al-Qur’an, al-Mujadalah [58]: 3).
Sementara itu, kalau pada periode Mekkah, al-Qur’an masih mentolerir si tuan “menggauli mamalakatnya” di luar nikah, maka pada periode Madinah al-Qur’an tampak sekali berupaya untuk mengangkat derajat kaum wanita, sehinga kalau si tuan berhasrat ingin “menggauli” budak-budak wanitanya dianjurkan terlebih dahulu menikahinya secara sah. Untuk itu, al-Qur’an tidak memperkenankan lagi si tuan memaksakan hasrat lebido seksnya kepada budak-budak wanita yang mereka miliki. Firman Allah:“… dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” (Al-Qur’an, al-Nur [24]: 33).
Apapun alasanya, termasuk demi menjaga kemaluan dan kehormatan, sebelum nikahi dengan baik-baik. Bahkan Islam mengajarakan bahwa mengawini wanita budak lebih baik dari wanita-wanita merdeka tetapi musyrik. Al-Qur’an menyebutkan bahwa budak-budak wanita berimana termasuk wanita-wanita yang tidak haram dinikahi. Dan ketika menikahinya, di samping harus minta izin kepada tuannya, al-Qur’an menganugrahkan perhargaan kepada budak-budak wanita dengan cara mendapatkan mas kawin. Firman Allah: “Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Lebih dari itu, al-Qur’an mengangkat derajat wanita-wanita budak yang beriman melebihi wanita-wanita yang merdeka tetapi musyrik. Perbandingan ini tampak nyata dalam al-Qur’an ketika seseorang berkeinginan untuk mengawini wanita musyrik yang menarik hatinya, tetapi diingatkan oleh Allah bahwa budak-budak wanita yang beriman adalah lebih baik. Firman Allah: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (al-Qur’an, al-Baqarah [2]: 221).
Anjuran untuk menikahi budak-budak wanita merupakan salah satu cara Islam yang secara tidak langsung –dan tentu saja lewat lembaga pekawinan lebih efektif– untuk membebaskan wanita perbudakan. Kalaupun budak-budak wanita yang diperistri itu tidak sempat merdeka, tetapi karena diikat suatu pertalian suci, tentu saja perlakuan suami akan lebih beradab dan santun (berprikemanusiaan). Dan untuk pertimbangan masa depan, tentunya anak yang dilahirkannya adalah anak merdeka. Karenanya, al-Qur’an begitu gencar mempromosikan agar seseorang mengawini budak-budak wanita mu’min, misalnya al-Qur’an menyarankan, “barang siapa yang kurang biaya” atau “agar terhindar dari perzinahan” maka nikahilah wanita-wanita budak yang mu’min. Firman Allah: “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu…” (Q.s. al-Nisa [4]: 24].
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).