Humanisme Buya Syafi’i

Humanisme Buya Syafi’i

Ahmad syafi’I ma’arif yang juga akrab dipanggil Buya oleh orang-orang terdekatnya meski ia sendiri cenderung menghindarinya. Ia lahir pada 31 Mei 1935 di Bumi Calau Sumpur Kudus “Makkah Darat”. Perjalanan pendidikan Buya Syafii mencerminkan pola asuh santri baru. Gambaran pola pendidikan santri tempo dulu adalah demikian: setelah mengenyam pendidikan agama di Nggon Ngaji dan pesantren kemudian pergi haji sekaligus belajar agama kepada ulama-ulama besar di Mekkah. Oleh karena itu, Syafii kecil tidak pergi ke pesantren tradisional, tapi bersekolah di Madrasah Mualimin Muhammadiyah Lintau (1953) dan Madrasah Mualimin Yogyakarta (1956). Sarjana Muda ditempuh di Universitas Cokroamnoto Surakarta (1964), dan sarjana lengkap dalam pendidikan sejarah di IKIP (Universitas Negeri) Yogyakarta (1968). Ia pernah menghadapi lika liku Pendidikan selama di Yogyakarta, ia belajar sambil mengajar. Setelah itu, Ahmad Syafi’I Ma’arif melanjutkan studinya di Amerika, ia belajar sejarah pada Northern Illinois University (1973) dan Ohio State University (1980) hingga memperoleh gelar MA. Selanjutnya masih dinegara yang sama, di Universitas of Chicago ia memperoleh gelar PhD dengan judul disertasi “Islam As The Basic of State; A Study of The Islamic Political Ideal As Reflected In The Constituent Assembly Debates In Indonesia” yang dibimbing oleh Fazlur Rahman. Tulisan Buya Syafii tentang pendidikan Islam seluruhnya di tulis setelah era 1980-an, setidaknya yang menjadi bahan kajian ini, paska mengalami pergolakan intelektual di Chicago. Tinjauan selintas perjalanan pendidikan dan pergeseran pemikirannya, meski jauh dari memadai, sudah dapat mengambarkan latar belakang pemikiran pendidikannya. Sumbangsih pemikiran Syafi’I Ma’arif dalam bentuk karya tidak perlu diragukan lagi. Telah banyak karya buku yang telah ditulisnya, baik yang membahas agama, negara, atau keduanya sekaligus. Diantara kara-karya nya yakni Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009), Menerobos Kemelut Refleksi Cendekiawan Muslim (2006), Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (2006), Menggugah Nurani Bangsa (2005), Mencari Autentitas Dalam Kegalauan (2004), Independensi Muhammadiyah Ditengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (2000), Islam dan Politik Membingkai Peradaban (1999), Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (1997),  Keterkaitan Antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (1997), Islam dan Politik; Teori Belah Bamboo Masa Demokrasi Terpimpin (1996), Muhammadiyah Dalam Konteks Intelektual Muslim (1995), Membumikan Islam (1995), Percik-Percik Pemikiran Iqbal (1994), Peta Bumi Intelektualitas Islam di Indonesia (1994), Islam dan Politik di Indonesia (1988), Al-Quran, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (1985), Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante (1985), Dinamika Islam (1984), Islam, Mengapa Tidak ? (1984), Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia Dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia (1983), Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (1975), Mencari Autensitas Dalam Dinamika Zaman (2019), dan lain sebagainya.

Ahmad Syafi’I Ma’arif termasuk salah satu cendekiawan muslim Indonesia yang aktif merespon berbagai permasalahan bangsa ini dengan sudut pandangnya. Konsep humanism Buya Syafi’I tanpa jubah dan sorban dalam berdialektika dan bergumul dalam konteks islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Islam yang sesungguhnya adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif berlandaskan kepada tauhid, yang memberikan kebebasan, persaudaraan, serta persamaan kepada sesama. Bagi Ahmad Syafi’I Ma’arif, manusia memiliki hak dalam menentukan pilihan hidupnya, dan setiap manusia berhak memiliki keadilan untuk menganut agama apapun yang diinginkannya, karena itu adalah hak bagi manusia tanpa adanya paksaan. Kemajemukan itu adalah sunnatullah yang mau tidak mau harus diterima sebagai sebuah fitrah. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif sangat menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan tersebut, baik dari aspek keagamaan, suku, ras, budaya, sosial, dan sebagainya. Apalagi dengan kondisi Indonesia yang plural maka disinilah kita sebagai manusia dituntut untuk saling memahami keragaman tanpa lagi harus saling menuding satu sama lain dalam sebuah perbedaan.

Ahmad Syafi’I Ma’arif juga mendedikasikan seluruh kemampuannya untuk merespon dan memberikan kontribusi pemikiran kepada rakyat Indonesia baik secara langsung ataupun melalui karya-karyanya, supaya terlepas dari paham-paham yang dapat membelenggu kemajuan bangsa, melepaskan masyarakat dari kebodohan cara pandang, fanatisme yang sempit, serta paham-paham lainnya yang memperburuk situasi sosial keagamaan bangsa, agar Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara tetap utuh, tidak ternoda oleh berbagai kepentingan politik jangka pendek yang tidak sehat. Manusia, dalam pandangan Ahmad Syafi’I Ma’arif adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan ilmu dan aql (intelek atau penalaran), manusia melalui kreatifitasnya dapat menemukan ilmu pengetahuan. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif sejalan dengan rasionalitas dan pendirian bahwa dengan usaha-usaha rasional yang terus menerus Islam akan lebih dari sekedar mampu untuk menghadapi berbagai tantangan modernitas. Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif adalah humanism Islam yang berkaitan dengan berbagai ajaran Islam tentang toleransi dan keharmonisan sosial yang menyangkut budaya muslim yang mendorong umat Islam tidak seharusnya takut terhadap suasana plural yang ada ditengah masyarakat modern, sebaliknya harus merespon dengan positif.

Pemikiran humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif menurut penulis sangat penting dan mempunyai nilai kontribusi pemikiran yang besar dalam memahami islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah peradaban dan kemanusiaan. Pemikiran humanism beliau akan mampu membawa Islam untuk memberikan jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi manusia sekarang ini, terutama yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, antara lain: kebodohan, keterbelakangan, kefanatikan, dan tantangan sosial keagamaan bangsa lainnya. Karena itu beliau selalu menekankan satu poin penting bagi bangsa Indonesia khususnya Islam yaitu, kembalilah kepada al-Quran. Sehingga akan terlepas dari penafsiran-penafsiran keagamaan yang sarat dengan kepentingan tertentu. Berangkat dari permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif menginginkan adanya rekonsiliasi antara agama dan politik, karena agama kerap kali menjadi bulan-bulanan para pelaku politik dalam mencapai tujuannya. Ahmad Syafi’I Ma’arif ialah sosok yang memadukan antara kekuatan intelektual yang kritis dan kekuatan moral spiritual keagamaan yang telah teruji kokoh. Disaat keberagaman intelektual dihambat dan dibabad dalam tradisi kehidupan umat Islam, maka yang terjadi adalah dekadensi dalam seluruh sistem kehidupan umat terutama dekadensi moral intelektual. Ahmad Syafi’I Ma’arif pernah menyatakan dengan tegas, “mereka yang takut pada pemikiran yang berbeda adalah manusia fosil. Kalau kita takut berbeda pendapat, takut disembelih orang karena memiliki pendapat yang berbeda, maka jadi saja manusia fosil.” Ahmad Syafi’I Ma’arif senantiasa mengembangkan intelektualitas dalam tradisi Islam, maka yang harus dikembangkan adalah mendorong kemerdekaan berpikir seluas-luasnya. Inilah yang dalam pandangan beliau akan menghindarkan umat manusia terjerembab dari tragedy “manusia fosil” tadi. Kemerdekaan berpikir akan melahirkan jiwa yang merdeka. Baginya Islam yang damai, Islam yang konstruktif, dan Islam yang dapat mengayomi bangsa ini ialah dengan tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan lain sebagainya. Keislaman harus satu nafas dengan keindonesiaan dan kemanusiaan.

Dalam pandangan Ahmad Syafi’I Ma’arif, ketika Islam diaplikasikan dalam konteks keindonesiaan maka akan memunculkan sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa Indonesia. Inilah kondisi carut marut yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Permasalahan-permasalahan keagamaan dan sosial politik yang yang dialami bangsa ini, butuh sosok seorang Ahmad Syafi’I Ma’arif dalam memberikan jalan tengah dan pencerahan terhadap bangsa ini.

Menurut Ahmad Syafii Maarif, secara doktrinal Islam tidak menetapkan dan menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum Muslim. H.A.R. Gibb seperti dikutip Buya Ahmad Syafii Maarif, memaparkan bahwa baik AlQur’ân maupun Sunnah tidak memberikan petunjuk yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk mempertahankan persatuannya. Argumentasi Buya Syafii Maarif ini berangkat dari asumsi bahwa Islam bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama yang lepas begitu saja. Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita- cita moralnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud Buya Ahmad Syafii Maarif tidak lain adalah negara, sehingga Syafii Maarif menolak pandangan yang menghendaki pemisahan Islam dan negara.

Humanism Ahmad Syafi’I Ma’arif mendukung sepenuhnya prinsip kebebasan beragama. Ia senantiasa menghargai setiap perbedaan-perbedaan tersebut meskipun berbeda dengan keyakinannya. Keimanan beliau tak tergoyahkan meskipun ia bergelut dengan agama-agama dan keyakinan yang berbeda dengannya. Syafi’I Ma’arif membuka luas-luas hak-hak individu dalam menentukan keyakinannya sendiri. Dengan demikian, pada satu sisi Syafi’I Ma’arif mendapatkan dasar teologis dan pada sisi lain mendapatkan penghargaannya terhadap kebebasan beragama berdasarkan konstitusi yang berlaku. Beliau mendasarkan humanismenya terhadap kebebasan manusia dalam menentukan pilihannya tentunya dengan segala resikonya masing-masing. Sebagai tokoh yang radikal ia senantiasa bergerak setelah mendapatkan lampu hijau dari alquran. Pilihan bebas untuk memilih sebuah keimanan juga berdasarkan landasan normative dari kitab suci tersebut, bukan sebagai ijtihad yang tak memiliki akar teologis, karena baginya iman yang dipaksakan dalam hati penganutnya merupakan sebuah Tindakan yang tidak pantas karena menghambat hak-hak asasi individu tersebut.

Humanism Syafi’I Ma’arif memandang bahwa perbedaan-perbedaan yang dimiliki manusia bukanlah untuk ditakuti yang akan melahirkan perpecahan diantara sesama, melainkan menjadi sebuah kekayaan yang mendinamiskan pemahaman visi dan pemahaman manusia tentang realitas. Perbedaan merupakan dictum untuk saling mengenal yang merupakan pondasi kultural dan religius untuk membangun persaudaraan kemanusiaan universal dan mengokohkan pluralism. Humanism Syafi’I Ma’arif menyatakan persaudaraan universal yang mampu menciptakan kedamaian yang solid dalam menerima realitas yang plural melalui sikap yang toleran. Baginya sikap yang toleran tak terlepas dari konsep kesetaraan manusia, karena keadilan dan persaudaraan yang solid tak tercipta begitu saja tanpa didukung dengan pengakuan kesetaraan status manusia, baik yang beragama atau bahkan ateis. Kondisi masyarakat Indonesia yang bersentuhan langsung dengan suasana yang plural sedang mengalami disorientasi nilai-nilai agama. Menurut Syafi’I Ma’arif, kondisi yang demikian terjadi akibat dari keangkuhan manusia itu sendiri yang merasa “lebih benar” daripada satu kelompok dan mencurigai kelompok lainnya sebagai “biang kerok” dalam bangsa dan agama ini. Akibatnya, terjadi interaksi negatif yang terkesan merendahkan dan meremehkan. Menurut Syafi’I Ma’arif sesungguhnya kemanusiaan itu tunggal, tidak ada orang lain di dunia ini kecuali semua merupakan hamba-hamba tuhan. Semuanya tercakup dalam sebuah ikatan persaudaraan universal dan berhak merasakan kasih sayang Tuhan.

Humanism Syafi’I Ma’arif berpedoman kepada al-Quran. Menurutnya al-Quran mengajarkan kepada kita bahwa sikap moderat merupakan pilihan tepat dalam menjaga dan menjalin hubungan antar umat beragama. Semangat al-Quran telah memberikan lampu hijau tentang pluralism dimana setiap kelompok masyarakat diakui eksistensinya. Kepedulian Ahmad Syafi’I Ma’arif akan masalah-masalah yang membelit bangsa ini begitu besar. Bagi Ahmad Syafi’I Ma’arif inilah pekerjaan utama bagi setiap agama yang perlu dihadapi dan dicarikan solusinya. Kondisi yang demikian, maka agama harus diletakkan sebagai fungsional supaya berbagai ancaman terhadap eksistensi keberagaman dan kemanusiaan dapat diatasi.

Fachry Ali dan Bachtiar Effendi menyebut pemikiran keislaman Buya Syafi’I bercorak modernism Islam, sebuah corak pemikiran yang berakar kuat pada kaum modernis awal (baca: Muhammadiyah dan Masyumi), tetapi dalam beberapa hal justru melampauinya. Perhatian utama Buya Syafi’I tercurah pada proses pelembagaan Islam dari sudut sejarah dan pemikiran berpapasan dengan modernisasi dan perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik yang begitu cepat.

Meski sejak kecil sudah mengenal Muhammadiyah, Syafi‟i baru benar-benar menjadi pengurus organisasi Islam itu sepulang dari Chicago. Pada tahun 1985, ia bergabung di Majelis Tabligh Muhammadiyah hingga akhirnya ia bisa menjadi Ketua PP Muhammadiyah tahun 1998. Guru besar UNY Yogyakarta ini juga pernah menjadi dosen pasca sarjana IAIN Yogyakarta.

By: Mukhlisa

Tiga Piranti Peradaban: Jalin Berkelindan antara Politik, Ekonomi dan Ilmu

Tiga Piranti Peradaban: Jalin Berkelindan antara Politik, Ekonomi dan Ilmu

“Yang Dipertuan Besar, menempati posisi sebagai “seorang istri”, ia baru dapat makan kalau diberi makanan kepadanya. Akan tetapi, Yang Dipertuan Muda, menempati posisi sebagai “seorang suami”, setiap keinginannya harus menjadi kenyataan.” [R.J. Wilkinson]
——-
“Syahdan kata sahibul hikayat adalah pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Haji ini makin ramai, serta dengan makmurnya serta banyaklah orang-orang negeri Riau kaya-kaya. Syahdan Yang Dipertuan  Besar dan Yang Dipertuan Muda banyaklah mendapatkan hasil-hasil dari cukai-cukai. Syahdan segala penjajab perangpun beraturlah di pelabuhan serta cukup ubat peluruhnya serta panglima-panglimanya….” [Raja Ali Haji]
——-
“Dan yang menarik hati ialah sebuah khutub khanah (bibliotheek). Ah, sayang sekali. Kitab-kitabnya termasuk kitab-kitab yang  mahal dan sangat berharga, seperti kitab fiqh, tafsir, tasawuf dan filsafat. Di antara termasuk al-Qanun karangan Ibn Sina.” [Buya Hamka]
——-

Kutipan dari tiga tokoh-tokoh ternama di atas mencuatkan tiga unsur masing-masing tentang “sejarah sosial politik-pemerintahan” dari Wilkinson; “sejarah sosial ekonomi-perdagangan” dari Raja Ali Haji; dan “sejarah sosial budaya-keagamaan dari Hamka. Ketiga unsur inilah yang, pada galibnya jalin-berkelindan secara hirarkis dan kronologis, menjadi penentu bagi bangunan sejarah peradaban anak manusia di muka bumi.

Ketiganya disebut hirarkis (berjenjang) dan kronologis (berturut-turut) sebab yang disebut terakhir tidak bisa mendahului dua sebelumnya atau yang kedua mendahulu yang pertama. Meskipun ketiganya selalu menyatu, seiringan dan/ atau simultan pada  satu masa tertentu, tetapi terkadang juga terpisah dalam  mencapai puncak kejayaaan masing-masing pada peradaban suatu bangsa, terutama yang disebut belakangan dalam hirarkisitas tersebut. Artinya, terkadang puncak kedikjayaan (politik-pemerintahan) dan kemakmuran (ekonomi-perdangan) sudah mulai surut, sementara pengembangan tradisi intelektul (budaya-keagamaan) justru baru di mulai. Kalau kondisi terakhir ini yang terjadi, akibatnya terkadang pengembangan intelektualisme dan ilmu pengetahuan sulit mencapai puncak-gemilangnya. (Hemat penulis, gambaran inilah yang pernah terjadi di kerajaan Melayu-Riau).

Ketiga “piranti” itu berlaku umum dalam sejarah kelahiran, pertumbuhan/perkembangan dan kejayaan suatu bangsa. Namun, dalam prosesnya, lambat-laun kemudian berlakulah, meminjam istilah yang digunakan Nurcholish Madjid, “sunnatullah” (sunnah Allāh) yang tidak pernah mengalami perubahan. (Q.s. al-Fatḥ [48]: 23).  Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa ada dua istilah yang dipergunakan al-Qur’an: untuk hukum-hukum yang  berlaku pada alam kebendaan dipergunakan istilah taqdīr; dan untuk hukum-hukum yang berlaku pada alam sosial-kemanusiaan digunakan istilah sunnah Allāh. (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 28).

Setelah suatu bangsa sampai pada titik puncak peradaban, maka terjadilah anti klimaks dan terus merosot hingga pada titik nadir bagi perjalanan peradaban bangsa tersebut. Dengan kata lain, sebagaimana teori filsafat sejarah dan sosial Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, dengan mengutip Azra:

“… begitu negara berbudaya tercipta, maka niscaya ia mengikuti hukum alam tentang pertumbuhan, kedewasaan, dan kemerosotan. Hukum alam juga berlaku bagi perkembangan negara ini sering diibaratkan Ibn Khaldun dengan siklus kehidupan manusia: bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, renta dan mati.” (Lihat, Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, 2002), 414).

Salah satu unsur dalam hukum sejarah (sunnah Allāh) itu adanya prinsip perputaran (mudāwalah), yaitu bahwa nasib umat manusia berputar dan bergilir di antara mereka. Firman Allah, “Dan demikianlah masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan di antara manusia, dan agar Allah membedakan orang-orang beriman (dengan orang-orang kafir), dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) sakks-saksi. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Q.s. al-Āli ‘Imrān  [3]: 140).

Artinya, suatu umat atau bangsa ada kalanya berada di atas (menang, unggul dan maju), dan ada juga kalanya berada di bawah (kalah, merosot dan terbelakang). (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 28-29). Dengan kata lain, dalam persepsi sosial ada keniscayaan bahwa sejarah memiliki rotasi kesinambungan dan perubahan (continuity and change). Sesekali sejarah merekam peristiwa-peristiwa besar dan capaian-capaian agung suatu bangsa; pada kali lain sejarah mengukir keterprosokan suatu bangsa, dan pada gilirannya meluncur ke dasar kehinaan yang memilukan  dalam “tidur-pulasnya” yang berkepanjangan. (Lihat, Malik Bennabi, Shurūṭ Nahḍah, 1961: 63).

Pada galibnya, bangsa yang mengalami nasib semacam di atas berawal dari hegemoni –tepatnya penaklukan dan penjajahan– oleh bangsa lain. Gambaran paling mewakili untuk kurun waktu pertengahan abad ke-20 ini, sekadar memberi contoh adalah negeri-negeri Muslim Asia Tengah yang, menurut Fazlur Rahman, terus masih tercengkram oleh Komunis Rusia dalam “triple domination”: politik, ekonomi dan  –yang akan disebut belakangan ini justru jauh lebih  jahat (merusak) dibandingakan dengan kolonialisme manapun yang dikenal dalam sejarah– intelektual-moral. (Lihat, Fazlur Rahman, Islam dan Modernity: Transformation on an Intellectual Tradition, 1982: 84). Dengan kata lain, kondisi bangsa seperti ini sudah dapat dipastikan, meminjam ungkapan Dawam Rahardjo, “secara politik tidak stabil, secara ekonomi tidak sejahtera, secara sosial-kultural –khususnya pendidikan– terbelakang.” (Lihat, Dawan Rahardjo, “Melawan Hegemoni dan Dominasi”, dalam Kishore Mahbubani, Bisakah Orang Asia Berpikir?, 2005: ix).

Dalam merobah nasib dan kondisi negara-negara Muslim di atas, dan selanjutnya membangun kembali peradabannya, menurut Malik Bennabi –boleh dikatakan sebagai seorang “satu-satunya” pelanjut tradisi keilmuan [baca: filsafat sejarah dan sosial] yang dikembangkan Ibn Khaldun– menyeru secara spesifik kepada umat Islam dewasa ini untuk melaksanakan tiga “piranti” itu dengan bahasa metaforiknya: (i) mengambil “kayu” untuk membangkitkan kesadaran politik dalam menentang dan melawan penjajahan; (ii) memiliki “modal” untuk membangun sarana ekonomi dalam memberantas kemiskinan; (iii) menanam “benih” pengetahuan untuk membasmi kebodohan dan sekaligus membangun peradaban.(Lihat, Malik Bennabi, Shurūḍ Nahḍah, 54). Ketiga piranti ini, sekali lagi, harus dimaknai berlaku secara hirarkis dan kronologis. Bahkan, menurut Azra, dua piranti pertama adalah menjadi  “prasyarat” dalam mewujudkan piranti terakhir. Azra menyatakan dengan baik sebagai berikut:

“Jika kita mau belajar dari sejarah, stabilatas politik dan kemakmuran ekonomi termasuk di antara beberapa prasyarat terpenting untuk mencapai kemajuan kebudyaaan dan peradaban Islam. Kejayaan Islam pada masa klasik, seperti pada masa Dinasti Abbasyiah, berdasarkan kajian saya, berkait erat dengan stabiltas politik dan kemakmuran ekonomi yang berhasil dicapai dinasti kosmopoliti ini. Tanpa kedua prasyarat ini, agaknya kemajuan-kemajuan dalam lapangan kehidupan lainnya, termasuk pemikiran (intelektualisme) Islam, ilmu pengethuan dan teknologi, pendidikan, kesusastraan, kesenian dan lain-lainnya tidak akan tercapai.” (Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana & Kekuasaan, 2000: xix).

Dalam pentas sejarah peradaban hubungan erat antara ketiga “piranti” tersebut pernah terjadi pada sejarah Islam masa silam. Berikut ini akan uraikan sekilas dan sekedar beberapa contoh sunnatullah yang beraku dalam sejarah peradaban anak manusia di muka bumi.

Pertama, dalam sejarah Islam prestasi peradaban gemilang pernah terukir pada masa Dinasti Abbasyiah. Pada era khalifah Harun al-Rashid (786-809) disebut-sebut merupakan zaman keemasan, sehingga ada penilaian bahwa kota Baghdad menjadi “kota yang tiada taranya di seluruh dunia” (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, London: Macmillan, 1970: 301-302). Dan berlanjut di era pemerintahan al-Ma’mun (813-833) merupakan puncak kebangkitan intelektual dengan didirikannya lembaga Bayt al-Ḥikmah pada 830 dengan tiga fungsi kombinasi:  perpustakaan, akademi dan biro penerjemahan. Bayt al-Ḥikmah merupakan lembaga pendidikan terpenting sejak didirikannya Musium Iskandariah pada paroh pertama abad ke-3 SM. (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, 310). Setelah mencapai puncak kejayaan Dinasti Abbashiyah lambat-laun memenuhi “sunnatullah”nya dengan gong kematiannya yang ditabuh oleh tentara bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulugu Khan pada 1258. Kota Baghdad pun porak-poranda dan Bayt al-Ḥikmah beserta khazanah intelektual Muslim hancur berantakan, dan pada giliranya reduplah, untuk tidak mengatakan berakhirlah, kisah negeri “seribu satu malam” yang pernah jadi marcusuar ilmu pengetahuan dan peradaban selama kurang lebih empat setengah abad.

Kedua, dalam sejarah yang tidak kalah hebatnya pernah diukir ketika Dinasti Umayyah di Andalusia (Spanyol Islam) membanguan kejayaannya pada ketiga unsur tersebut. Pada masa pemerintahan khalifah Abd Rahman III (929-961) umat Islam di Barat mencapai puncaknya kejayaannya dalam bidang politik dan ekonomi. Kejayaan ini dilanjutkan dan terjadi pada masa pemerintahan al-Hakam al-Mustanshir (961-976) yang, oleh al-Mas‘ūdi disebut sebagai khalifah yang paling bijaksana (aḥkam [dalam pengertian paling cinta buku/ ilmu]), mencapai keagungan dalam bidang keilmuan.  Cordova sebagai ibukota pemerintahan dipandang sebagai kota yang paling berbudaya di Eropa atau lebih dari itu sebagai “kota yang berperadaban paling tinggi di muka bumi.” (Lihat, Maria Rosa Menocal, Surga di Andalusia, 2015: 96). Sejumlah universitas di berbagai kota menarik minat para pencari ilmu baik Muslim maupun Kristen tidak saja dari Spanyol, tetapi juga dari wilayah-wilayah lain di Eropa, Afrika dan Asia (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, 526-536). Kekuasaan Islam di Andalusia (Spanyol Islam) memang tidak serta-merta berakhir dengan runtuhnya Dinasti ‘Umayyah pada abad ke-11, dan meskipun pada periode ini pula dimulai penaklukan kembali Spanyol (reconquista). Akan tetapi, kekuasaan terus belanjut di bawah pimpinan raja-raja kecil (mulūk al-Ṭawā‘if) dengan tetap mengembangkan tradisi keilmuan dengan melahirkan sejumlah ilmuan dan filosuf. Belakangan, kekuasaan Islam di Andalusia memenuhi “takdir sosiologisnya” ketika bersatuannya kerajaan Aragon dan Castile ditandai dengan perkawinan Raja Ferdinand II (1452-1516) dengan Ratu Isabella I (1451-1504) pada 1469. Penyatuan kekuasaan ini, menurut Philip K. Hitti, menjadi lonceng kematian kekuasaan Islam di Andalusia (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, 537).

Ketiga, pada awal kebangkitan bangsa Barat, hal serupa terjadi, ketiga piranti utama itu tercermain, misalnya dari semboyan: Glory  (Kegemilangan), Gold  (Emas) dan Gospel  (Ajaran Agama). Pertama, “kegemilangan” mereka berawal ketika bangsa Barat (Kristen) berhasil menggeser posisi kekuasaan (politik-pemerintahan) dan menghalau umat Islam di Andalusia. Hegemoni politik mengantarkan mereka pada “penjajahan” dunia belahan Timur. Kedua, penjajahan membawa mereka pada penguasaan dan monopoli “emas” (kekayaaan) dunia Timur (Islam). Kekayaan yang melimpah ruah itu mereka angkut ke negeri masing-masing, dan membuat mereka makmur secara materi. Ketiga, dengan kekayaan itu mereka dapat membangun “budaya” keagamaan berupa bangunan gereja dan katedral yang mewah dan indah (baca: bagi Spanyol dan Portugis); membanguan “budaya” keilmuan dan intelektualisme dengan mendirikan/mengembangan universitas-universitas bermutu dan ternama (baca: bagi Inggris dan Prancis), seperti Universitas Oxford (1163) dan Universitas Cambridge (1209) di Inggris, Unversitas Sorbonne (1253) di Prancis serta sejumlah universitas yang terpandang di daratan Eropa lainnya.

Keempat, kejadian sama juga pernah terjadi pada masa kesultanan Islam di Nusantara, misalnya pada kesultanan Islam Aceh Dār al-Salām pada pertengahan abad ke-17, persisnya pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (Penjelasan luas tentang Acah pada era Sultan Isknadar Muda, misalnya, lihat  Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2007). Pada masa ini, Taufik Abdullah menyebutkan bahwa puncak kegemilangan kesultanan Aceh terjadi ketika ketiga unsur utama, yaitu politik, dagang dan agama dengan sangat jelas memperlihatkan hubungan yang sangat erat (Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, 1987: 124-125). Dengan hegemoni politik dan kemapanan ekonomi pada gilirannya menjadikan Aceh menjadi pusat persuratan intelektual Alam Melayu pada abad ke-17. Capaian-capaian yang diraih kerajaan Aceh ini dalam tiga piranti: bidang politik- kekuasaan; bidang ekonomi-perdagangan; bidang budaya-ilmu pengetahuan dan agama-intelektualisme sulit untuk mencari taranya baik sebelum maupun sesudahnya, khususnya di Malayu-Nusantara dicerminkan dengan sebutan “Serambih Mekkah”. (Tulisan yang otoritas prihal proses persuratan intelektual di Aceh, lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, (ed.) Sardono W. Kusumo (Jakarta: IKJ Press, 2005), 173-276). Namun belakangan, setelah mencapai puncak kejayaannya pada era Sultan Iskandar Muda, meskipun sunnah Allāh tidak berlansung secara tragis, Kesultanan Aceh Dār al-Salām lambat-laun melemah. Untuk perang Acah yang pada akhirnya mengalami kekalahan melawan Belanda, lihat Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987).

Kelima, di kerajaan Melayu-Riau sendiri, pernah meraih kedikjayaan (politik-pemerintahn), kemakmuran (ekonomi-perdagangan) dan kemapanan (budaya-keagamaan). Dari ketiga unsur itu, dua disebut pertama terjadi pada lima dekade pertengahan abad ke-18 [persisnya mulai pada masa pemerintahan YDM II Riau Daeng Cella’ (1728-1745) sampai pada masa pemerintahan YDM IV Riau Raja Haji (1777-1784). Sementara unsur yang disebut terakhir, yaitu prestasi persuratan intelektual terjadi dalam “asuhan” Raja Ali Haji dan “lingkarannya” pada paroh kedua abad ke-19 hingga dekade awal abad ke-20 di kerajaan Melayu-Riau. Sesunggunya pasca Perang Riau (1782-1784) yang dahsyat antara kerajaan Johor Riau-Lingga di bawah pimpinan Raja Haji melawan kolonial Belanda, kerjaan Melayu-Riau sudah tidak lagi berdaulat penuh. Apalagi memasuki abad ke-20 kerajaan Melayu-Riau benar-benar sudah tidak lagi berdaya, dan memenuhi “sunnatullah”-nya ketika kekuasaanya “digenggam” oleh penjajahan Belanda dengan memakzulkan Sultan Abdur Rahman Mu‘azzam Syah (1884-1991) pada 1911, dan sebelum pada akhirnya Kerajaan Riau-Lingga dihapus dari “peta bumi” pada 1913. Pada waktu inilah kegiatan persuratan intelektual di bumi Melayu-Riau mulai surut, mandek dan akhirnya menjadi tinggal kenangan khazanah masa silam. (Untuk perang Riau yang pada akhirnya mengalami kekalahan melawan Belanda, lihat Abrur, Rustam S., (peny.) Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah Dalam Perang Melawan Belanda, Pekabaru: Pemda Riau, 1988).

Demikianlah sejumlah contoh tonggak-tonggak sejarah dunia yang menunjukkan betapa politik-pemerintahan, ekonomi-perdagangan, dan budaya-keilmuan telah berjalin-kelindan dalam membangun peradaban manusia. Ketiga printi ini secara hirarkis akan tetap senantiasa “berputar” dan “mewarnai” peradaban anak manusia silih berganti di masa menjelang.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.