19. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (3): Dinasti Umayyah dan Arab Bahasa Resmi Negara

19. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (3): Dinasti Umayyah dan Arab Bahasa Resmi Negara

Oleh Alimuddin Hassan

 

Pada mulanya arus utama pemikiran Yunani-Hellenisme masuk  ke dunia Islam bukannya melalui manuskrip dan sumber-sumber asli dari Yunani-Hellenisme itu sendiri. Akan tetapi, masuknya pemikiran tersebut melalui hasil terjemahan dilakukan oleh ilmuan dan serjana Kristen, Yahudi, Persia kedalam bahasa Syiria. (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam,63). Meskipun belakangan,tentu saja ada banyak juga manuskrip-manuskrip berbahasa Yunani langsung  diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Untuk keperluan penerjemahan warisan Yunani_Hellenismekedunia Islam pada periode-periode berikutnya tidak terlalu berarti kalau pemerintahan Islam pada masa Dinasti Umayyah tidak menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Upaya mengganti bahasa dari bahasa Persia, Yunani dan Syiria kepada bahasa Arab ini terjadi menjelang akhir abad ketujuh (MajidFakhri, A History of Islamic Philosophy: 17). Dengan kebijakan ini, penerjemaham dan pengembangan ilmu dan filsafat di dunia Islam menjadi lebih semarak, dan kelak mencapai puncak keemasannya pada masa Dinasti Abbasyiah.

Begitu pula urutannyabila kita surut ke belakang, upaya Dinasti Umayyah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, dan pada gilirannya menjadi bahasa ilmu pengetahuan dalam penerjemahan, sepertinya sulit tercapai sekiranya ‘Ali bin Abi Thalib –kira-kira 20 tahun sepeninggalan Rasul Allah– tidak menganjurkan agar umat Islam mempelajari sastra arab pada umumnya. Dan lebih spesifik Ali bin Abi Thalib memerintahkan para ahli bahasa untuk meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab. Ali bin Abi Thalib berpandangan bahwa masyarakat memerlukan ilmu tersebut karena bermamfaat dalam mengelaborasi pengetahuan dan pemahaman agama umat Islama.

Walaupun pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib disebukkan dengan sejumlah peperangan, tetapi ia dan generasinya tidak menjadikan aral untuk tidak membentuk kaidah-kaidah dalam  membina bahasa Arab. Artinya, tanpa upaya “mengapak”, dan bahkan sekaligus “mengetam” yang dilakukan oleh ahli-ahli bahasa Arab  atas anjuran Ali bin Abi Thalib, maka upaya untuk menjadi bahasa Arab sebagai bahasa resmi, pada gilirannya menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu dan agama, khususnya dalam kepentingan penerjemahan, kemungkinan besar  akan mengalami kendala dan keterlambatan.

Selain itu, pada masa pemeritahan Dinasti Umayyah sejumlah khalifahnya memuliakan kedudukan ilmu-ilmu sastra, meninggikan kedudukan para penyair dan ahli-ahli agama. Dengan demikian, pada akhir kekuasaan Dinasti Umayyah bermuculanlah sejumlah ulama dari berbagai bidang keilmuan. Dalam bidang fiqh yang melahirkan berbagai macam mazhab, misalnya empat empat mazhab yang paling masyhur, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Begitu pula, pada masa Dinasti Umayyah muncul perdebatan-perdebatan teologis, sehingga melahirkan ilmu kalam dengan derivasi alirannya masing-masing. Dalam perdebatan teologis ini berkembanglah paham Qadariyah,  Jabariah dan Murji’ah. Dan dalam  ilmu kalam  itu tersebutlah aliran-aliran pemikiran, seperti Asy’ariyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah.

Dalam perdebatan-perdebatan teologis tersebut, terutama  aliran kalam Mu’tazilah mengambil metode filsafat Yunani-Hellenisme yang rasional. Dengan begitu mendorong orang-orang Mu’tazilah untuk mempelajari filsafat warisan dari Yunani-Hellenisme. Pada gilirannya kencenderungan pada ilmu dan metode rasional tersebut turut pula  mendorong dimulainya upaya penerjemahan pada akhir abad pertama Hijriyah. (Lihat, Syaikh Muhammad Abduh, Islam Ilmu Pengetahauan,  dan Masyarakat Madani, 2005: 143-144.

Meskipun pergantian bahasa itu awalnya lebih dimaksudkan untuk kepentingan politik dan administratif. Namun, tidak ayal lagi, belakangan sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan dan kesemarakan upaya-upaya penerjemahan warisan Yunani-Hellenisme baik langsung (dari bahasa Yunani) ataupun tidak langsung (lewat bahasa Syiria) ke dalam bahasa Arab. Pergantian berbagai bahasa tersebut dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara menandai usaha pertama pemerintahan Islam untuk menunjukkan keunggulan literer mereka, sebagaimana halnya keunggulan militer dan politik mereka  atas bangsa-bangsa yang ditaklukannya selama ini.

Sulit untuk dipastikan apa motivasi dan latar belakang pergantian bahasa tersebut. Akan tetapi, ada keterangan (dan inipun hanya disinyalir) bahwa pergantian bahasa asing ke dalam bahasa Arab, apakah disebabkan oleh rasa iri atau bukan umat Islam terhadap monopoli yang dipertahankan orang-orang non-Islam (terutama umat Kristen dan Yahudi) sebagai pegawai-pegawai khalifah. Namun, yang pasti dari segi pertimbangan praktis pun pergantian itu merupakan suatu keniscayaan. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, 17).

Tanpa kebijaksanaan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi, sepertinya sulit untuk mengharapkan penerjemahan dalam bahasa Arab yang “melimpah” sebagaimana terjadi pada masa Dinasti Abbasyiah, dan persisinya pada era pemerintahan khalifah al-Ma’mun. Begitupun, sekiranya bahasa Arab tidak dijadikan sebagai bahasa “tunggal”, dan penerjemahan itu tidak “terkonsentrasi” kedalam bahasa Arab, maka besar kemungkinan sarjana-sarjana dan ahli penerjemah dengan latar belakang beragam (bahasa dan agama) besar kemungkinan akan menerjemahkan warisan Yunani-Hellenisme tersebut tidak dalam bahasa Arab, tetapi dalam bahasa lain sesuai dengan kecenderungan mereka masing-masing.

Belakangan, dengan kebijakan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, menurut George Sarton, bahasa Arab benar-banar memainkan peran yang sangat penting dan utama. Dengan begitu, bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan internasional, dan sulit untuk mencari tandingannya. Kenyataan ini diungkapkan oleh Mehdi Nekosteen:

 “Bahasa Arab merupakan bahasa sains internasional, sedemikian hebatnya sehingga tidak akan dapati ditandingi oleh bahasa lain kecuali bahasa Yunani, dan itu pun tidak akan pernah dapat terulang sampai kapan pun. Bahasa Arab bukan merupakan bahasa satu kaum, satu bangsa, tetapi merupakan bahasa dari beberapa kaum, bangsa dan agama.”(Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, viii).

Pada periode awal, masa dinasti Umayyah, kegiatan penerjemahan dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan praktis dan kecenderungan-kecenderungan pragmatis. Misalnya, pada masa ini penerjemahan hanya dilakukan pada bidang tertentu, yaitu bidang kedokteran dan astrologi (astronomi). Kedua bidang ini memang mempunyai nilai praktis (untuk keperluan sehari-hari) dan nilai prgamatis (untuk tujuan-tujuan tertentu) dalam hidup ini, khususnya bagi khalifah dalam mempertahankan kekuasannya.

Sementara warisan pemikiran Yunani bersifat abstrak dan filosofis baru dilakukan pada berkembangan dekade berikutnya. Kecenderungan praktis dan pragmatis itu pada tahap dini  dapat dilihat pada pribadi Khalid bin Yasid  –putra (kedua) mahkota Umayyah urung menjadi khalifah. Menurut Ibn al-Nadim, sebagaimana dikutip Majid Fakhry, atas kegagalan Khalid bin Yasin jadi khalifah, ia beralih mempelajari kimia, astrologi dan kedokteran.

Pada masa khalifah Marwan (683-685) penerjemahan karya ahli kedokteran Monofosit Iskandariah dan ahli kedokteran Yahudi diterjemahkan. Karya-karya bidang kedokteran ini memperoleh reputasi yang sangat tinggi di kalangan orang-orang Syiriah. Dan tidak pelaak lagi, kedua karya ini merupakan terjemahan dalam bidang kedokteran yang paling dini ke dalam bahasa Arab. (MajidFakhri, A History of IslamicPhilosophy, 17).

Kendatipun bersentuhan dengan tradisi filsafat dan teologi Hellenisme, Bani Umayyah tetap tidak begitu berminat untuk mamajukan kajian filsafat dan teologi. Demi mempertahan kekuasaan, Bani Umayyah menyebarkan suatu doktrin simplistis yang memberi jastifikasi  dan  legalisasi bagi stabilatas dan kelanggengan kekuasaannya. Bani  Umayyah membuat tafsir teologis tunggal bahwa hak atas pemerintahan dan kekuasaan adalah berasal dari Tuhan.

Bani Umayyah sepertinya enggan untuk memperkenalkan sistem hukum agama yang akan mengurangi dan merongrong kekuasaan mereka. Bani Umayyah juga tidak begitu tertarik untuk menafsirkan al-Qur’an dan al-Sunnah yang merumitkan bagi dirinya. Khalifah Dinasti Muawiyyah memandang kalau hal itu dilakukan kemungkinan menjadi ancaman bagi kekuasannya. (Chales M. Stanton, Higher Learning in Islam, 64).

Setelah penaklukan Demaskus dan pembangunannya sebagai ibukota propinsi Syiria (dan kemudian menjadi ibukota pemeritahan Bani Umayyah) telah terjadi interaksi antara budaya Arab denganYunani-Hellenisme yang ada di kota ini. Karenanya, selama abad ketujuh, pemerintahan Bani Umayyah mengandalkan komunitas ilmuan dan sarjana dari kota-kota tetangga, Nisbis, khususnya untuk mendapatkan dokter.

Dokter-dokter beragama Kristen secara bergantian menjadi langganan istana selama pemerintahan Bani Umayyah. Di samping sebagai dokter biasanya mereka juga berperan sebagai penasehat bagi penguasa. Sadarakanpentingilmuitu secara praktis dan pragmatisbeberapa di antara   kepada sarjana Kristen tersebut untuk menerjemahkan karya-karya kedokteran dari bahasa Syiria kedalam bahasa Arab. Kegiatan ini terjadi sejak tahun 638; dan sekaligus menandai awal penerjemahan warisan Yunani tentang karya-karya kedokteran di masa Dinasti Umayyah.

Seperti disebutkan di atas kecenderungan awal begitu kuat untuk menerjemahan karya-karya kedokteran demi pertimbangan praktis dan pragmatis. Ini dapat dipahami bahwa kedokteran berkaitan dengan sehat-kehidupan dan sakit-kematian seseorang. Seorang penguasa, apalagi untuk terus dapat bertahan di kursi/tampuk kekuasaannya, maka yang paling ditakuti adalah “sakit”. Untuk tetap sehat diperlukan dokter yang terus dapat mengontrol bagaimana kesehatan sang penguasa (tanpa bermaksud menafikan kekuasaan/kehendak Tuhan tentang ajal seseorang).

Begitu juga dalam bidang astrologi (astronomi) penerjemahan dilakukan lantaran adanya doktrin dari agama-agama Timur yang menganggap bintang-bintang ebagai alat untuk mengurai alam suprnatural. Gerakan bintang-bintang tersebut dapat digunakan untuk menafsirkan bagaimana kehendak Tuhan. Karenanya, timbul hasrat kuat untuk mengetahui astrologi (“posisi dan gerak bintang”). Sikap pandang ini sekaligus mendorong usaha penerjemahan bidang ilmu tersebut pada pemerintahan Bani Umayyah. (Charles M. Santon,  HigherLearning in Islam: 64).

Ada yang menyebutkan –sebagai sebuah cacatan—bahwa terdapat perbedaan signifikan antara astrologi dan astronomi sebagai sebuah disiplin keilmuan. Kalau yang disebut pertama cenderung mengandung unsur-unsur ramalan, sepintas tidak mencerminkan unsur ilmiah padanya, dan sulit dipertanggungjawabkan sebagai sebuah disiplin keilmu-pengetaahuan. Sehingga astrologi lebih banyak dipergunakan pada awal-awal perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Sebaliknya, term keilmuan astronomi yang dipergunakan belakangan, merupakan disiplin ilmu yang relatif  “bersih”  dari unsur ramalan dan mitos-mitos. Begitu pula, ilmu astronomi dengan sendirinya lebih dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmiahnnya. Sehingga dewasa ini kita lebih sering menggunakan term astronomi ketimbang kata astrologi.

Transmisi warisan ilmu dan filsafat dari Yunani-Hellenismelewat aktifitas penerjemahan ke dunia Islam pada masa Dinasti Umayyah memang masih pada tarap awal. Dan dapat dikatakan bahw aktifitas penerjemahan pada masa ini masih bersifat perorangan, dan belum bersifat massif; atau belum menjadi proyek besar. Akan tetapi, Dinasti Umayyah telah memberikan dua konstribusi yang sangat berarti bagi pengembangan aktitifitas penerjemahan pada masa Dinasti Abbasyah, kelak.

Pertama, bahwa Dinasti Umayyah telah menunjukkan minat kuat pada warisan intelektual Hellenisme, khususnya ilmu astrologi dan kedokteran. Kedua, bahwa Dinasti Umayyah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, sekaligus menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa dalam pengembagan ilmu dan agama, termasuk dalam aktifitas dalam penerjemahan.

Kedua, sumbangsih Dinasti Umayyah tersebut sangat berarti dalam “melicinkan” jalan penerjemahan yang akan ditempuh oleh Dinasti Abbasyiah. Tanpa peran Dinasti Umayyah itu, khususnya telah menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa yang dipergunakan oleh negara, maka niscaya penerjemahan pada masa Abbasyiah akan mengalami keterlabatan. Bahkan boleh jadi kita sama sekali tidak pernah menyaksikan maraknya penerjemahan, dan sekaligus urung menjadikan kota Baghdad sebagai pusat marcusuar ilmu dan peradaban manusia.

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh

 

Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)