21. Raja Ali Haji: Pahlawan Nasional Lewat Kalam

21. Raja Ali Haji: Pahlawan Nasional Lewat Kalam

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

“Segala pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus dengan segores kalam  jadi tersarung.” (Raja Ali Haji, “Bustan al-Kātibīn”)

———-

Perjuangan yang diupayakan oleh Pemerintah Kota Tanjung Pinang khususnya dan Masyarakat (Kepulauan)  Riau umumnya untuk mengusulkan pengangtkatan Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional telah membuahkan hasil setelah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004. Kini Raja Ali Haji telah mengikuti jejak kakeknya, Raja Haji dan dua tokoh pejuang Melayu lainnya, Tuanku Tambusai dan Sultan Syarif Qasim II yang sebelumnya  telah diangkat menjadi Pahlawan Nasional dari Negeri Lancang Kuning, Bumi Melayu-Riau.

Akan tetapi, dibandingkan dengan tiga pahlawan nasional sebelumnya, pengangkatan Raja Ali Haji memiliki makna yang berbeda, yaitu diangkat lewat “kalam” bukan karena “pedang”. Jasa Raja Ali Haji kepada bangsanya adalah lewat kalamnya, sebagaimana ia gaungkan dalam Gurindam Duabelas-nya, “Hendaklah berjasa kepada sebangsa”. Begitu pula pemerintah yang mengusulkan Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional telah “menyicil” untuk menjadi “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”. Begitu pula, pemerintah berupaya untuk mengamalkan himbauan Raja Ali Haji, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat pada budi bahasa”.

Makanya, ketika membaca tentang pengusulan Raja Ali Haji jadi pahlawan nacional oleh pemerintah kota Tanjung Pinang kepada pemerintah pusat (29 Maret 2004), saya bergumam: “gagasan cerdas sekaligus unik dan menarik”. Disebut cerdas karena gagasan ini menggeser untuk tidak mengatakan  “menyalahi”, defenisi konvesional term pahlawan. Selama ini, term pahlawan didefinisikan sebagai sosok-figur yang gagah berani dan/atau berjasa dalam membela dan mempertahankan negara dari serangan musuh/penjajah (dari luar). Artinya, defenisi semacam ini stressing point-nya lebih pada perjuangan fisik (jihad) serta beroreintasi pada “kekuatan pedang”. Sebaliknya, gagasan pengusulan Raja Ali Haji jadi pahlawan nasional  membuat definisi pahlawan bergesar dan lebih menitik-beratkan  pada perjuangan secara non-fisik (ijtihad) serta beroreintasi pada “kekuatan kalam”.

Kelanjutan dari di atas, disebut “sekaligus unik” karena, sepanjang pengetahuan penulis, selama ini penganugrahan gelar pahlawan nacional kepada seseorang melulu dengan pertimbangan jasa besarnya dalam “kekuatan pedang.” Sebaliknya, lagi-lagi, sejauh yang penulis ketahui, penganugrahan gelar pahlawan nacional kepada seseorang dengan pertimbangan jasa agungnya dalam “kekuatan kalam” tidak/belum pernah ada. Dan tambah  pula, keunikan itu jatuh pada anak jati diri figur intelektual lMelayu-Riau, Raja Ali Haji.

Disebut “menarik” karena dewasa ini defenisi konvensional term pahlawan dengan “kekuatan pedang” semakin menyempit ruangnya karena musuh yang akan dihadapi oleh negara/bangsa bukan lagi serangan musuh dari luar secara fisik. Maka kalau definisi ini dipertahankan dalam konteks kekinian dan, niscaya lambat-laun akan kehilangan relevansi dan salah-salah bisa out to date.

Sebaliknya, definisi alternatif term pahlawan dengan “kekuatan kalam” untuk kurun waktu mendatang akan semakin meluas ruangnya karena musuh yang akan dihadapi adalah penetrasi budaya dari luar yang sangat mungkin bertentangan dengan budaya luhur Melayu kita. Maka definisi term pahlawan semacam ini di masa-masa mendatang niscaya akan semakin relevan dan up to date.  Artinya, dalam menghadapi musuh yang disebut belakangan ini tidak bisa dilawan dengan “kekuatan pedang”, tetapi harus dihadapi dengan “kekuatan kalam”.  

Lewat dengan “kekuatan kalam”  itulah Raja Ali Haji memainkan peran yang sangat signifikan semasa hidupnya. Keterlibatannya dalam masyarakat di kerajaan Melayu-Riau memang terlihat sangat intens, misalnya terlihat dari pesannya yang arif untuk senantiasa mencermati dan menyesiasati gejala-gejala keruntuhan yang sedang mengancam masyarakat di kerajaan Melayu Riau pada abad ke-19. Makanya, Raja Ali Haji selalu memposisikan dirinya berperan sebagai “moral guardian” dan “the spiritual patronge of Malay World”, yaitu sebagai penjaga dan melindung moralitas-spritual komunitas bangsanya.

Kemudian, menurut Raja Ali Haji, ancaman tersebut berasal dari dua penjuru: pertama, dari dalam, berasal dari perselisihan di kalangan orang-orang Melayu yang dapat menimbulkan perang suadara antara mereka. Kedua, ancaman dari luar, berasal dari agresi Belanda dan budaya Barat yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan adat-budaya Melayu. (Tradisi Johor-Riau, 1987:  xvi-xvii). Dari point kedua ini Raja Ali Haji kembali menekankan ancaman dari luar berupa panetrasi budaya Barat untuk konteks dewasanya ini yang perlu mendapat perhatian.

Untuk point pesan internalnya, Raja Ali Haji semasa hidupnya acap kali  memperingatkan agar masyarakat Melayu dapat mengekang hawa nafsu, dan seyogyanya merenungkan akibat yang ditimbulkan dari perselisihan diantara mereka itu. Karenanya, ia tidak bosan-bosannya untuk menganjurkan agar masyarakat selalu memperhatian rasa malu (rendah hati), memuliakan ilmu (pengetahuan), dan mengutamakan akal (nalar).  Karena tanpa memiliki sifat dan sikap seperti itu, menurutnya, adalah pangkal awal dari keruntuhan negeri (Kitab Pengetahuan Bahasa).

Begitu pula, untuk point pesan eksternalnya,  Raja Ali Haji semasa hidupnya sudah merasakan bahwa masuknya kebudayaan Barat dan nilai-nilai yang tidak Islami, jelas menimbulkan tantangan bagi masyarakat Melayu. Peran untuk mengelaminir dan melakukan filterisasi inilah yang selalu diwanti-wantikannya. Ia meyakini bahwa perubahan terhadap adat-budaya tradisional akan berakibat kerusakan pada masyarakat serta mempercepat pengikisan nilai-nilai lama yang luhur.  Pengikisan nilai-nilai luhur itu telah mulai tampak, misalnya masuknya budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Melayu Riau melalui Singapura turut mempercepat proses pengikisan nilai luhur tersebut, termasuk di bidang bahasa. 

Raja Ali Haji menyakani bahwa perhatian sungguh-sungguh terhadap tata bahasa adalah penting guna memperoleh ucapan yang tepat dan ungkapan yang halus. Karenanya,  Raja Ali Haji, sebagai seorang ahli bahasa dan budaya, mengambil peran sebagai pembina bahasa dan pemelihara budaya. Dalam memelihara budaya, terlebih dahulu yang dibenahi adalah infrastruktur kebudayaan itu sendiri. Maka, ia mendahulukan perbaikan bahasa Melayu dengan menulis buku tata bahasa, Bustanul al-Katibin (ditulistahun 1857) dan digunakan dengan sukses pada sekolah-sekolah di Johor dan Singapura.

Raja Ali Haji memperlihatkan gagasannya mengenai makna penting bahasa dalam tradisi Islam. Dan pada waktu yang bersamaan ia mengungkapkan pemikirannya tentang hubungan yang jalin-berkelindan antara bahasa dan moralitas(Putten, “On Sex, Drug, and Good Manner”, 418).bahasa dan pesan ilmu agama, seperti ia maktupkan dalam “Muqaddimah” Bustān al-Kātibīn: “Adab dan sopan itu daripada tutur kata juga asalnya, kemudian barulah kepada kelakuan. apabila berkehendak kepada menuntut ilmu dan berkata-kata yang beradab dan sopan, tidak dapat tidak  mengetahuilah dahulu ilmu yang dua iaitu ilmu wa l-kalam…”. Kalimat Raja Ali Haji ini berlanjut dengan kalimat yang dikutip di awal tulisan ini.

Dua tahun menjelang, figur pemikir Melayu ini, melengkapinya dengan menulis kamus bahasa Melayu, Kitab Pengetahuan Bahasa dimaksudkan guna membimbing mereka yang berkeinginan menambah pengetahuan bahasa, agama dan prilaku yang benar.  (U.U. Hamidi, 1988: 63).  Dengan kata lain, Raja Ali Haji memberikan uraian materi panjang terhadap sejumlah kata tertentu karena ia mengharapakan agar kata itu dapat dipahami secara tepat dan benar, sekaligus memberikan pengajaran terhadap adat-istiadat, nilai-nalai moral dan agama bagi masyarakat pembacanya. (Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 109; Andaya dan  Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 113).

Upaya Raja Ali Haji untuk memberikan makna dan penjelasan secara mufassar dalam Kitab Pengetahuan Bahasa menjadi relevan dengan tuntutan zamannya. Dalam pandangannya, kalau penggunaan bahasa Melayu tidak dijelaskan dengan baik dan jelas, cepat atau lambat, masyarakat Melayu akan salah dalam penggunaan bahasanya. Pada waktu hidupnya saja, ia sudah melihat ada kecenderungan keliru dalam penggunaan bahasa Melayu, dan ini tentu saja disesalkan Raja Ali Haji, misalnya meniru bahasa Inggris dan Belanda. Pengabaian bahasa Melayu berarti pengabaian tradisi dan adat istiadat yang telah tertanam dalam masyarakat, sehingga tak terelakkan akan menghancurkan susunan dunia dan kerajaan. (Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 122).

Dengan kedua karyanya dalam bidang bahasa dan budaya ini,  Bustān al-Kātibīn dan Kitab Pengetahuan Bahasa pada “Festival Istiqlal” di depan Simposium, “Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini dan Esok”, Abdul Hadi W.M. menyebut Raja Ali Haji adalah bapakTata Bahasa Melayu modern. Malah tidak salah/tidak berlebihan kalau melihat perjuangan dalam membina bahasa ia digelari “Raja Ali Haji Sebagai Bapak Bahasa Indonesia”, sebagaimana tertera dalam judul buku yang mengiringi penganugerahan Pahlawan Nasional kepadanya.

Lewat kedua karya ini, memberikan petunjuk bagaimana sikap  Raja Ali Haji dalam menghargai bahasa dan budaya.Karena menurutnya, “jika hendak mengenal orang berbangsa; lihat kepada budi dan bahasa. ”Sekaligus ini merupakan bukti keinginannya untuk membantu masyarakat yang ingin hidup saleh dan bersikap sesuai dengan tradisi-budaya Melayu. Karenannya, Hasan Junus menjadi benar ketika menjuluki Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX, sebagimana tertera dalam buku monumentalnya.

Upaya Raja Ali Haji dan “lingkaranya”, meminjam istilah Al Azhar, serta generasi-generasi berikutnya dalam memelihara dan membina bahasa Melayu Riau telah melapangkan jalan terbentuknya bahasa nasional, bahasa Indonesia. Menurut U.U. Hamidi, upaya Raja Ali Haji dalam membina dan memelihara bahasa Melayu Riau ini,  “bagaikan mengapak dan menarah, sehingga akhirnya mempunyai bentuk dan dasar yang baik. Konteks ini penaring dan penting untuk mengutip pernyataan Muhammad Hatta:

“Pada permulaan abad 20 ini bahasa Indonesia belum dikenal. Yang dikenal sebagai lingua franca ialah bahasa Melayu Riau. Orang Belanda menyebutnya Riouw Meleisch. Ada yang menyebutkan berasal dari logat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Penyengat dalam lingkungan pulau Riau.”(Kutipan ini semula terambil dari Mohammad Hatta, “Dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia, dalam Pelangi (Kenangan 70 Tahun Sutan Takdir Alisjahbana (Jakarta: Akademi Jakarta TIM, 1979; Lihat, Hasan Junus dan Tim Penulis, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji Sebagai Bapak Bahasa Indonesia (Pekanbaru: UNRI Press, 2004: 71).

Upaya pengembangan bahasa Melayu menjadi bahasa tulis, menurut Nurcholish Madjid, “terjadi dengan menggunakan fasilitas huruf Arab yang dengan sendirinya sudah merupakan bagian dari kekayaan atau rujukan kultural sebuah kekuasaan Islam. Bahasa Melayu dengan huruf Jawi itu kemudian menyebar ke seluruh Nusantara, dan dengan terlebih dahulu menjadi pola utama kebudayaan di daerah-daerah pesisir Selat Malaka, baik sisi Sumatera maupun sisi Semenanjung.”

Belakangan, selama rentang abad ke-19 bahasa Melayu sebagai bahasa sastra dan bahasa tulis dengan fasilitas huruf Arab-Jawi semakin berkembang yang  menurut Nurcholis Madjid, puncaknya terwujud  di Riau, dan Pulau Penyengat sebagai Pusat denyut nadinya di bawah binaan intelektual Muslim Melayu-Riau, Raja Ali Haji dan generasinya.

Kemudian, setelah bahasa Melayu itu menjadi bahasa kebangsaaan (bahasa Indonesia) maka upaya pembinaan bahasa  itu hanyalah bagaikan mengetam.” Dengan begitu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tanpa upaya “pengetaman”  Raja Ali Haji dan “lingkarannya”  itu, maka “Sumpah Pemuda” boleh jadi tidak/belum  diikrarkan tahun 1928. Atau setidak-tidaknya, bahasa Indonesia belum menjadi bahasa kebangsaan, lantaran generasi bangsa saat ini baru pada tahap “mengapak”, dan belum sampai pada tahap “mengetam”. 

Maka kalau melihat perjuangan Raja Ali Haji dalam membina bahasa dan/atau membela budaya Melayu pada khususnya, dan membela kebenaran pada umumnya lawat “kekuatan kalam”, sangatlah tepat kalau anugerah gelar Pahlawan Nasional disandangnya. Dan sekurang-kurangnya, dengan penganugrahan gelar Pahlawan Nasional ini, bangsa ini membayar kesalahannya, tidak lagi –meminjam ungkapan U.U. Hamidi– “hilang jasa kapak oleh jasa ketam”.

Dengan melihat peran Raja Ali Haji dalam bidang bahasa dan budaya, penulis ingin mengutip ungkapan Hasan Junus yang, meskipun secara langsung tidak ditujukan kepada figur penyair-intelektual Alam Melayu ini, tetapi sangat tepat dan jitu untuk menggambarkan sosok dan peran Raja Ali Haji dalam masyarakatnya:

“Seorang cendikiawan senantiasa bergelut dengan idea-idea, lalu menuntun masyarakat ketempat yang sesuai dengan konsep “bahasa” dan kebudayaan Melayu yang mencakup arti akal dan budi pekerti. Tanpa lidah yang fasih ia akan mendapatkan kesulitan menjelaskan gagasan yang hendak ditawarkannya secara jernih dan berkesan. Tanpa hati yang bersih, jangan-jangan masyarakat yang dituntunya itu dapat terbawa kearah kerusakan dan keruntuhan.”(Hasan Junus,  Raja Ali Haji Budayawan, 106-107).

Dengan lidah fasih-resonansif, diiringi dengan kalan tajam-produktif; akal cerdas mengajari dalam balutan hati suci-jernih mengilhami, Raja Ali Haji menuntun, dan sekaligus menjadi teladan masyarakatnya menuju jalan yang “lurus” selaras dengan ajaran agama dan adat/budaya Melayu yang luhur dan agung. Jalan benar dan lurus telah ditapaki dan ditunjuki langsung oleh Raja Ali Haji ini tidak saja berlaku bagi generasi pada masa dan setelahnya, tetapi tetap relevan hingga kini. Bahkan apa yang telah diupayakan Raja Ali Haji semasa hidupnya tetap memiliki resonansi mundial sampai di masa sekarang. Tegasnya, ungkapan jitu dari  Abdul Hadi W. M., bahwa Raja Ali Haji, “… bukan sekedar produk dari zamannya, tetapi adalah hati nurani dan suri tauladan utama bagi bangsanya.” (Abdul Hadi W. M., “Raja Ali Haji: Ulil Albab…”, 283).

Akhirnya, dalam melihat aktifitas intelaktualnya, agaknya, Raja Ali Haji setuju dengan pendapat imam al-Ghazali bahwa “kalam lebih berkuasa dari pada seribu pedang”. Dengan redaksi yang kreatif dan elaboratif, di dalam Muqaddimah Bustan al-Katibun, Raja Ali Haji bertutur dengan indahnya, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. Maka tepatlah kalau Raja Ali Haji kita juluki “Pahlawan Nasional Sebagai Bapak Bahasa Indonesia LewatKalam”.

 Mā Tawfiq illā bi Allāh,

Wa Allāh  a‘lam bi al-Ṣawāb

 

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]
UIN Suska Riau).