22. KONTEKSTUALITAS HADIS: Kepemimpinan Wanita Dalam Islam

22. KONTEKSTUALITAS HADIS: Kepemimpinan Wanita Dalam Islam

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

“Lan yufliha qawmun wallau amrahumu imra`ata”

(“Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memipin) urusan mereka kepada wanita.”(Hadis dari Abu Bakra, riwayat al-Bukhari, al-Tirmidzi, al-Nasa`i).

———————————–

Dalam memahami sebuah nash, apakah itu al-Qur’an ataupun Hadis, kerap kali seseorang hanya mengedepankan pemahaman tekstual (harfiah)nya. Termasuk dalam memahami Hadis Rasul Allah tentang kepemimpinan wanita, sebagaimana dikutip di atas. Sehingga, dengan cara pemahaman seperti itu, berdasarkan hadis tersebut, sebagaian besar (jumhur) ulama berpendapat bahwa pengangkatan seorang wanita menjadi kepala negara (presiden), hakim pengaadilan, dan beberapa jabatan yang setara dengan itu tidak dapat dibenarkan, terlarang dalam Islam.

Padahal, untuk menemukan pemahaman yang lebih mendekati kebenaran sejatinya atau lebih sempurna, perlu pula dipertimbangkan pemahaman secara kontekstual. Artinya, perlu dikaji terlebih dahulu keadaan historis yang sedang berkembang pada saat itu. Dengan kata lain pempertimbangkan sebab khususnya ketika nash al-Qur’an itu diturunkan (asbab al-nuzul) ataupun ketika Hadis diturunkan disabdakan (asbab al-urud).

Oleh karena itu, dewasa ini, menurut Jaluluddin Rahmat, untuk menguji keabsahan dan validitas suatu hadis harus dilalakukan kritik sanad, siapa yang mengucapkan hadis pertama kali. Begitu pula, harus dilakukan kritik matan, bagaimana teks hadis itu, apakah tidak bertentangan dengan al-Qur’an; apakah tidak bertentangan dengan akal sehat; dan apakah tidak bertentangan dengan kemaslahatan ummat; serta apakah tidak bertentangan dengan fakta historis. Disamping itu, perlu pula dilakukan kritik historis, kapan, dimana dan mengapa hadis tersebut disabdakan Nabi. Maka kritik-kritik demikian itu harus pula diterapkan pada hadis tentang kepemimpinan wanita.

Hadis tentang kepemimpin wanita tersebut terdapat dalam kitab Shahih Bukhari, yaitu kumpulan hadis yang diklasifikasikan oleh al-Bukhari sebagai otentik setelah melalui proses seleksi yang sangat ketat. Karya al-Bukhari menjadi rujukan yang paling otoritatif dan dihormati, tentunya setelah al-Qur’an itu sendiri, oleh dunia Islam sepanjang 12 abad. Karena terdapat dalam Shahih Bukhari, maka hadis yang dikutip di atas menjadi dalil andalan bagi mereka yang ingin mengucilkan peranan wanita dalam lapangan politik dan pemerintahan (kepemimpinan). Hadis ini sedemikian pentingnya, sehingga hampir-hampir tidak mungkin untuk mendiskusikan persoalan hak-hak politik kaum wanita tanpa mengacu kepadanya.

 Latar Belakang Sejarah Hadis

Menurut al-Bukhari, kemungkinan Abu Bakra [wafat sekitar 671 M] yang pernah mendengar hadis itu Rasul Allah. Menurutnya, Rasul Allah saw. mengatakan hadis itu setelah mengatahui dari sahabatnya bahwa telah terjadi suksesi di kerajaan Persia. “Ketika Kisrah Persia wafat, Rasul Allah saw., terdorong oleh rasa ingin tahu tentang kabar itu, bertanya: “Dan siapa yang telah menggatikannya sebagai pemimpin?” Jawabannya adalah: “Mereka telah menyerahkan kekuasaan kepada putrinya.” Saat itulah, menurut Bakra, Rasul Allah mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpin wanita itu, lalu bersabda: “Lan yufliha qaumun wallau amrahumu imra`atan” (Tidak akan sukses suatu kaum [masyarakat] yang menyerahkan [untuk memipin] urusan mereka kepada wanita.”

Pada tahun 628 M. sewaktu berkobar peperangan berkepanjangan antara bangsa Romawi dan bangsa Persia, Kaisar Romawi, Heraklius, menginvansi wilayah Persia, menduduki Ctesphon, yang terletak sangat dekat dengan ibukota Sassanid, dan Khusru Pavis, raja Persia, terbunuh. Barangkali kejadian inilah yang disinggung oleh Abu Bakra. Sebenarnya, setelah kematian Khusru Pavis, ia digantikan oleh putranya, Syairawi menjadi raja. Baru setelah raja Syairawi meninggal terdapat periode kekacauan yang berlangsung antara tahun 629-632 M, karena putra-putra raja Syairawi berebut kekuasaan. Dalam perebutan kekuasaan itu kedua putra raja tewas, sebagai gantinya naiklah putrinya, Buwaran binti Syairawih menjadi ratu kerajaan Persia.

Mungkinkah insiden ini yang memyebabkan Rasul Allah saw. mengucapkan hadis yang menentang kepemimpinan seorang wanita tersebut? Al-Bukhari tidak melacak sejauh itu, ia hanya melaporkan kata-kata Abu Bakra, yakni matan hadis itu sendiri, dan rujukan mengenai seorang wanita yang menjadi penguasa bangsa Persia.

Lalu, apa pertimbangan dan latar belakanga historisnya, sehingga Rasul Allah, lewat hadis ini, meragukan kepemimpinan seorang wanita? Jawabannya, karena pada waktu itu derajat wanita dalam masyarakat pada umumnya berada di bawah superioritas kaum lelaki. Wanita sama sekali tidak pernah diberikan kepercayaan untuk ikut serta, termasuk di Persia sebelumnya, untuk mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah pemerintahan.

Pada masa itu, hanya kaum lelakilah yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin. Menurut tradisi yang berlangsung di Kerajaan Persia yang diangkat sebagai pemimpin hanyalah laki-laki.Sedangkan wanitanya tidak mempunyai tempat dan kesempatan untuk menjadi pemimpin. Sehingga dengan pengangkatan wanita menjadi Ratu di kerajaan Persia menyalahi tradisi tersebut. Apalagi kondisi situasi politik pada masa itu di Persia dalam kekacauan.

Dalam pada itu, ketika pasukan-pasukan Persia telah dipaksa mundur dan luas wilayahnya semakin menyempit, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpin negara kepada seorang Jendral yang piawai yang memungkinkan dapat mengendalikan sistuasi. Tetapi sistem politik yang tidak mengenal musyawarah telah menjadikan rakyat dan negara sebagai harta warisan yang diterimakan kepada seseorang wanita muda yang tidak tahu apa-apa. Hal itulah yang menandakan dan terbaca oleh Rsul Allah sw bahwa negeri Persaa sedang menuju kehancurannnya.

Dalam kondisi seperti itu, termasuk di Persia, maka Rsul Allah yang memiliki kearifan tinggi menyatakan hadis tersebut. Sebab bagaimana mungkin pemimpin wanita akan sukses dalam pemerintahannya kalau ia sama sekali tidak mempunyai kecakapan dan wibawa dalam memerintah. Bukankah salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin harus memiliki kecakapan dan wibawa, sementara wanita pada waktu itu tidak memiliki persyaratan tersebut.

Seandainya sistem pemerintahan di Persia berdasarkan musawarah, dan seandainya wanita yang menduduki singgasana kepemimpinan mereka seperti Ratu Bilqis yang memerintah negeri Saba`; dan seandainya orang-orang Persia itu membiarkan kendali urusan militer di tangan para jendralnya yang berpengalaman, siscaya komentar Rasul Allah saw. berbeda dengan yang ada sekarang.

Dalam sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum wanita semakin meningkat dalam banyak hal. Kaum wanita diberikan kedudukan yang sama dengan kaum lelaki. Al-Qur’an sendiri memberikan peluang yang sama kepada kaum wanita dan kaum lelaki dalam berbagai hal. Untuk itu, pada dewasa ini, ketika wanita sudah memiliki kecakapan dan kewibawaan untuk memimpin, maka tidak salah (atau dapat dibenarkan) kalau wanita dipilih dan diangkat sebagai pemimpin. Dengan demikian, terhadap hadis di atas harus dipahami secara kontekstual, sebab kandungan petunjuknya bersifat temporal.

Disini perlu dipertanyakan, kenapa Abu Bakra terdorong menggali ingatan dan berusaha keras mengingat kembali perkataan Rasul Allah yang pernah beliau ucapkan sekitar 25 tahun silam? Rincian pertama yang harus dicatat, dan ini tidak mungkin diabaikan, bahwa Abu Bakra meriwayatkan hadis ini pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib [memerintah 656-661] ketika merebut kembali kota Basrah, setelah mengalahkan A’isyah [istri Nabi, hidup sekitar 614-678 M] dalam Perang Unta (Jamal). Pada saat itu, keadaan A’isyah yang terlibat dalam perang keadaannya sangat kritis, dan secara politik ia telah kalah: 13.000 pendukungnya gugur di medan pertempuran.

Ditinjau dari segi momen historis pengungkapan hadis ini, secara tidak langsung Abu Bakra memberikan pembenaran terhadap hadis  ini atas keterlibatan wanita, dalam hal ini Aisyah, dalam persolan-persoalan politik dan pemerintahan. Artinya, dari kenyataan historis ini semakin memberikan legitimasi bahwa wanita memang tidak layak berperan dalam bidang politik dan pemerintahan.

 Kritik Sanat Hadis

Apabila konteks historis sebuah hadis telah jelas, evaluasi secara kritis terhadap hadis tersebet bisa dilakukan dengan kaidah-kaidah metodologis yang telah didifinisikan oleh para ulama sebagai dasar-dasar verifikasi. Menurut Imam Malik, tidak memadai bahwa sesorang yang pernah hidup bersama Rasul Allah serta-merta dapat dijadikan sumber hadis. Akan tetapi, diperlukan juga pertimbangan-pertimbangan lain, sehingga memungkin untuk dikatakan: “orang-orang pelupa harus diabaikan.” Bagaimana mungkin mereka bisa dianggap sebagai sumber pengetahuan (hadis), jika mereka tidak memiliki kapasistas intelektual yang diperlukan?

Namun, kelemehan ingatan dan kapasitas intelektual bukan hanya satu-satunya kriteria untuk mengevalusasi perawi hadis. Kriteria yang penting justru adalah moral. Imam Malik menyatakan: “Ada beberapa orang yang saya tolak sebagai perawi hadis, bukan karena mereka berbohong dalam perannya sebagai seorang berilmu dengan menyampaikan hadis-hadis palsu yang tidak pernah dikatan oleh Rasul Allah saw. Akan tetapi, semata-mata karena saya melihat mereka berbohong dalam hubungan dengan sesamanya, dalam hubungannya sehari-hari yang tidak berkaitan dengan ilmu keagamaan.”

Jika kaidah ini diterapkan kepada Abu Bakra, dengan segera ia bisa disingkirkan, karena salah satu biografinya menyebutkan bahwa ia pernah dihukum cambuk oleh Khlaifah Umar Ibn Kahttab [memerintah 634-644] karena memberikan kesaksian palsu. Ini berkaitan dengan kasus yang sangat serus yang dilaksanakan Umar, menyangkut tuduhan zina. Hukuman mati bagi pezina hanya bisa diterapkan jika terdapat empat orang saksi mata yang melihat perbuatan zina itu dengan mata kepala sendiri dan pada saat yang bersamaan. Jika hanya terdapat tiga orang yang melihat tertuduh in flagrante delicto (tertangkap basah), kesaksiaan mereka tidak absah. Sementara itu, saksi yang memfitnah seseorang dengan menuduhnya melakukan tindakan kriminal zinah akan dikenakkah hukuman dera (cambuk) karena memberikan kesaksian palsu.

Kemudian, apa yang terjadi dalam kasus Abu Bakra? Ia menjadi salah seorang dari empat saksi mata yang datang menghadap Umar untuk secara resmi membuat tuduhan zinah terhadap seseorang Sahabat dan politikus terkemuka, Mughirah bin Syu’bah [w. 670]. Keempat saksi mata menyatakan kesaksian mereka di hadapan Umar, bahwa mereka melihat al-Mughirah bin Syu’bah melakukan perzinahan. Umar mulai memeriksanya, dan ternyata satu dari empat orang saksi mata itu mengaku bahwa ia tidak terlalu yakin dengan segala sesuatu yang dilihatnya. Keragu-raguan salah satu sakasi ini, menyebabkan yang lainnya didera karena memfitnah, termasuk Abu Bakra.

Kalau seseorang mengikuti prinsip-prinsip mazhab Maliki, kedudukan Abu Bakra sebagai sumber hadis harus ditolak oleh setiap Muslim pengikut Maliki yang baik dan berpengetahuan. Oleh karena itu, sikap ulama fiqh pada abad-abad pertama, terhadap hadis misoginistik (kebencian pada wanita), yang sekarang disampaikan secara suci serta tak terbantahkan. Meskipun hadis ini dinilai sahih oleh al-Bukhari dan lainnya, ternyata ia banyak diperdebatakan. Kaum fuqaha tidak sepakat terhadap pemakaian hadis tersebut bertalian dengan masalah wanita dan politik.

Tidak diragukan lagi, banyak yang menggunakan hadis ini sebagai argumen untuk menggusur kaum wanita dari proses pengambilan keputusan. Namun banyak pula yang lainnya, yang menyimpulkan bahwa argumen tersebut sama seklai meragukan dan tidak berdasar. Al-Tabari adalah salah satu dari para otoritas religius yang menentang argumen itu, karena tidak cukup mendapat alasan untuk merampas kemampuan pengambilan keputusan dari kaum wanita, dan tak ada alasan untuk melakukan pembenaran atas mengucilan mereka dari kegiatan politik. Begitu pula, tidak ada alasan yang kuat untuk tidak membolehkan seorang wanita menjadi pemimpin.

Kritik Matan Hadis

Ditinjau dari segi matannya, hadis ini tidak sejalan dengan al-Qur’an. Maka ketika sebuah hadis bertentangan dengan al-Qur’an, tentu saja al-Qur’an yang harus diterima. Karena dalam sistem sumber hukum Islam, al-Qur’an adalah sumber Islam yang pertama, sedangkan al-Hadis adalah sumber hukum Islam kedua. Memang di dalam al-Qur’an ada ayat: “ Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, dan juga kerena kaum lekai-laki menafkahkan sebagian harta mereka.”

Ayat tersebut sekilas memberikan pengertian bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin atas lekai-laki dalam bidang apapun. Pemahaman semacam ini tentu saja tidak dapat diterima, karena siapapun yang membaca kelanjutan ayat tersebut akan mengerti bahwa kepemimpinan yang dimaksud dalam ayat itu adalah kepemimpinan seorang laki-laki di dalam rumahnya dan diantara kelaurganya.

Sebelum mengungkapakan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakra tersebut, dapat dipastikan bahwa Rasul Allah saw. telah membacakan surah al-Naml di depan umum ketika beliau masih berada di Mekkah. Rsul Allh saw. tentu saya tidak lupa kalau beliau telah menceritakan kepada mereka (sahabatnya) tentang Bilqis, ratu negeri Saba` yang telah mimpin rakyatanya menuju kesusksesan dengan kecerdasan, kearifan dan kewibawaannya. Sungguh mustahil bahwa Rasul Allah  saw. akan membuat suatu keputusan dalam sebuah hadis beliau, yang jelas-jelas bertentangan dengan isi wahyu yang telah diturunkan kepadaanya.

Kerajaan ratu Bilqis meliputi daerah yang amat luas, sebagimana dilukiskan oleh burung Hud-hud: “Aku telah menjumpai seeorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugrahi segala sesuatu serta memilki singgasana yang besar…” [al-Naml: 23]. Ketika Nabi Sulaiman mengiriminya surat agar memeluk agama Islam, serta melarangnya bersipat angkuh dan keras kepala, Ratu Bilqis tidak segara menjawabnya. Ia bermusyawarah dengan para pembesar kerajaan. Mereka segera mendukungnya dalam keputusan apapun yang akan diambilnya. Kata mereka: “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan juga keberanian yang besar. Namun keputusan berada di tangan anda, maka pertimbangkanlah apa yang akan anda perintahkan.” [al-Naml:33]

Wanita yang bijak itu tidaklah terkelabui oleh kekuatan ataupun kepatuhan bangsanya kepadanya. Ia berkata: ”Sebaiknya kita uji Sulaiman ini terlebih dahulu agar kita mengetahi, apakah ia seorang diktator yang selalu mengejar kekuasaan dan kekayaan ataukah ia seorang nabi yang menyeru kepada keimanan dan misi yang dibawanya?” Pada saat ia berjumpa dangan Nabi Sulaiman, Ratu Bilqis tetap menunjukkan kecerdasan dan kearifannya dalam menyelidiki segala segi kehidupan Sulaiman, apa yang dikehendakinya dan apa yang akan dilakukannya. Sehinggga jelas baginya bahwa Sulaiman memang benar-benar seorang nabi yang saleh.

Ratu Bilqis pun teringat akan surat Nabi Sulaiman yang dikirimkan kepadanya: “Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan sesungguhnya ia (ditulis) dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Jangalah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” [al-Naml:30-31].

Kemudian Bilqis memutuskan untuk menanggalkan kemusyrikannya dan memeluk agama Allah seraya beraka: “… Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan kini aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” [al-Naml”44].Apakah gagal kaum yang menyerahkan urusan negara mereka kepada seorang wanita, seperti Ratu Bilqis?Makanya, hadis seperti itu tidak selayaknya dipahami secara harfiah, tetapi harus ditafsirkan demi menghilangkan kontardiksi antara ayat al-Qur’an dan Hadis tersebut. Juga demi menghilangkan kontradiksi antara Hadis dan fakta histories.

Mā Tawfiq wa al-Hidayah illā bi Allāh, Wa Allāh  a‘lam bi al-Ṣawāb

 *Alimuddin Hassan Palawa
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UINSuska Riau).