23. SURGA DAN NERAKA: Pandangan antara Materialisme dan Spiritualisme

23. SURGA DAN NERAKA: Pandangan antara Materialisme dan Spiritualisme

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Gagasan mengenai kehidupan eskatologi (hari akhirat) berupa surga dan neraka–kehidupan kedua setelah  kematian kita di dunia ini– merupakan gagasan umum pada setiap bangsa di masa lampau. Hanya saja penjelasan dan penjabaran soal kehidupan akhirat itu berbeda satu dengan lainnya. Dengan begitu, mempercayai kehidupan eskatologis merupakan bagian penting bagi eksistensi dan kepercayaan hidup manusia.

Akan tetapi, apabila  kenyataan ini diperhatikan berkaitan dengan perkembangan peradaban manusia, maka konsepsi tentang eskatologis juga merupakan perkembangan wajar dari pemikiran manusia. Ameer Ali mencontohkan, masyarakat tidak berperadaban hampir-hampir tidak mempunyai banyangan mengenai kehidupan setelah kehidupan di dunia ini.

Bangsa Mesir dikatakan sebagai bangsa pertama kali mengenal kehidupan eskatologis (kedua setelah kehidupan sekarang ini).Agama Yahudi pada mulanya tidak mengenal adanya kehidupan akhirat. Dan dengan sendirinya mereka tidak mengenal adanya ganjaran dan hukuman atas perbuatan yang telah dilakukan. Karena seluruh sistem hukum agama Yahudi hanya berkisar pada ganjaran dan hukuman yang diperoleh di dunia ini semata.

Namun, orang-orang Israil yang tinggal di Mesir memasukkan paham kehidupan eskatologi tersebut beserta pemahaman adanya ganjaran dan hukuman diperoleh nantinya ke dalam sistem ajaran mereka. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 188-189). Begitu pula dengan agama-agama sebelum Islam, seperti Zoroaster dan Kristen, pada umumnya menggambarkan adanya kehidupan eskatologi beserta balasan yang diperoleh di dalamnya. Akan tetapi, ganjaran  kebahagian dan kesengsaraan akan diperoleh dalam bentuk jasm (jasmani), bukan dalam bentuk ruh (rohani). (Harun Nasution , Pembaharuan Dalam Islam: 184).

Ketika Islam hadir pada bangsa Arab, gagasan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad tentang kehidupan akhirat pada mulanya dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang berkembang pada waktu itu. Sehingga konsepsi Islam mengenai kehidupan eskatologis bersifat elektisisme. Akan tetapi, menurut Ameer Ali, gagasan utama dan terpenting dalam Islam adalah:

“…. berdasarkan keimanan bahwa kehidupan setelah kematian, setiap manusia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya di dunia ini, baik laki-laki maupun perempuan. Dan bahwa kebahagian dan kesengsaraan seseorang sangatlah tergantung bagaimana cara mereka melaksanakan perintah-perintah Penciptanya. Meskipun demikian, rahmat dan kasih-sayang-Nya tidak terbatas dan akan dikaruniakan-Nya dengan adil kepada makhluk-Nya.”

Inilah intisari keseluruhan ajaran Islam tentang kehidupan di akhirat. Dan inilah satu-satunya ajaran yang wajib dipercayai dan diterima. Sementara unsur-unsur lainnya hanyalah tambahan yang diambil dan disesuaikan  dari tradisi yang berkembang di kalangan bangsa-bangsa pada masa itu.” (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 197-198.)

Berbagai ayat al-Qur’an awal, sebagian besar diturunkan di Mekkah,  menggambarkan tentang konsep surga dan neraka secara realistis dan materialistis. Konsep tentang surga dan neraka dirumuskan dengan bahasa yang mudah dipahami  oleh orang kebanyakan di padang pasir. Gambaran surga dan neraka seperti itu, kata Ameer Ali, diambil dari khayalan yang beredar di antara pengikut Zoroaster, Saba dan orang Yahudi yang berpegang kepada Talmud. Misalnya, gambaran tentang surga (firdaus) beserta hauri-hauri (bidadari-bidadari)  adalah gagasan yang diambil dari kepercayaan orang-orang Zoroaster dari Zendavesta. Sedangkan gambaran tentang neraka beserta hukuman yang mengerikan berasal dari kepercayaan orang-orang Yahudi dari Talmud. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 191 dan 197).

Gagasan tentang balasan kebaikan (surga) dan hukuman kejahatan (neraka) sesudah mati merupakan janji dan ancaman yang manjur untuk mempengaruhi tingkah laku manusia baik secara individual dan kolektif. Kebajikan dilaksanakan demi kebajikan itu sendiri, kata Ameer Ali, hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang berpikiran maju; sebaliknya bagi  awam (orang kebanyakan) yang tidak terpelajar akan selalu memerlukan janji-janji dan sanksi-sanksi sebagai motivasi.

Dengan demikian, berbicara tentang surga  dan neraka dalam pengertian kenikmatan ruhani dan penderitaan spritual, hampir-hampir tidak mungkin diungkapkan kepada masyarakat awam tanpa mempergunakan kata-kata  yang dapat divisualisasikan (diperumpamakan dalam bentuk materi), misalnya berwujud dalam simbolisme.

Menurut Ameer Ali, Nabi Muhammad saw, tidak hanya ditujukan dan berbicara kepada orang-orang yang perpendidikan dan berpikiran maju yang jumlahnya sangat terbatas. Akan tetapi, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.  juga ditujukan kepada orang-orang awam kebanyakan yang tenggelam dalam dunia material. Karenanya, Islam harus menyesuaiakan dengan  pengertian dan pemahaman orang-orang awam tersebut.

Bagi orang Arab yang liar dan kelaparan serta daerahnya gersang, apakah yang lebih dan paling menyenangkan gagasan tentang surga, kecuali misalnya menggabarkan surga dengan sungai-sungai yang mengalirkan air yang bersih, susu dan madu atau tumbuh-tumbuhan yang rimbun dan buah-buahan yang segar yang tidak terkira banyaknya. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 198). Begitu pula, agar orang yang, konon, memiliki libido seksual tinggi agar beriman dan melakukan amal kebajikan, maka dijanjikan surga permainan seks bersama-sama sejumlah bidadari (konon, 99 orang bidadari, dan secara pribadi saya tidak percaya dan menyukainya)

Pada awalnya, gambaran ayat-ayat al-Qur’an tentang surga neraka sangat bersifat materialistik. Ini mislanya dapat terlihat pada ayat-ayat yang turun di Mekkah. Karena al-Qur’an diturunkan pada masyarakat yang tidak sama tingkat kecerdasan dan tingkat kesadaran spritualnya, maka bagi masyarakat awam al-Qur’an tampil dengan menggambarkan surga seperti taman yang asri dan nyaman, kebun beraneka buah yang dialiri oleh air (sungai-sungai). Dan di dalam surga seorang dapat menikmati kenyamanan yang sangat bersifat bendawi (material), seperti makanan buah-buahan, minuman susu dan madu serta bidadari-bidadari (pelayan-pelayan) yang secara langsung memberikan gambaran kenyamanam kehidupan seksual.

Begitu pula, neraka digambarkan sebagai api yang berkobar-kobar yang bahan bakarnya teridiri “al-nas wa al-hijarah”, yaitu dari batu dan manusia itu sendiri (Q.s. al-Tahrim [66]: 6/al-Baqarah [2]: 24) . Gambaran seperti ini perlu untuk meningkatkan moral masyarakat awam dalam melaksanakan kebaikan  dan meninggalkan kejahatan.(Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: 185; Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 189).

Gambaran al-Qur’an tentang balasan dan siksaan di akhirat (surga dan neraka) mengalami perkembangan pada diri Nabi Muhammad saw. sesuai juga dengan tingkat perkembangan  kecerdasan umat Islam masa itu: “…. Pada awalmuya kesadaran keagamaan Nabi Muhammad saw. sendiri yang percaya kepada beberapa tradisi yang beredar di sekitarnya. Akan tetapi, dengan tumbuhnya kesadaran yang lebih mendalam, semakin mendalam pula rasa penyatuan dengan Pencipta Semesta. Maka pikiran-pikiran sebelumnya yang hanya melihat pada aspek kebendaan, kemudian melihat pada aspek spiritual.

Perkembangan pikiran Rasul Allah tidak saja karena sejalan dengan perjalanan dan perkembangan kesadaran keagamaannya, tetapi juga karena berkembangnya pemikiran-pemikiran pengikutnya dalam menangkap konsepsi-konsepsi spiritual. Karenanya, dalam surat-surat yang turun belakangan terlihat leburnya sifat-sifat kebendaan dalam sifat-sifat keruhanian; leburnya jasmani dalam jiwa. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 200-201).

Jadi dibalik gambaran-gambaran kehidupan akhirat baik di surga maupun di  neraka ada  pengertian spritual yang  abstrak lebih mendalam dan hakiki. Akan tetapi, karena pengertian surga dan neraka itu bersifat spritual-abstrak maka tidak ada seorang pun yang mengetahui hakekatnya. Firman Allah:

“Tidak seorang pun yang mengetahui (kebahagian yang mutlak itu) yang disembunyikan (dirahasikan) bagi mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”(Q.s. al-Sajadah [32]: 17).

Begitu pula mengenai gambaran-gambaran surga dalam al-Qur’an, misalnya dalam surga itu ada air yang mengalir, sungai madu, sungai susu, sungai arak serta bidadari dan sebagainya hanyalah sebagai tamsil-‘ibārah. Tegasnya, gambaran surga semacam ini adalah sebuah ilustrasi berwujud simbolisme.

Firman Allah:

“Perumpamaan surga yang disediakan bagi orang-orang bertaqwa adalah bahwa di dalamnya terdapat banyak sungai: ada sungai yang air dan rasanya tidak berubah, sungai susu yang rasanya tidak berubah, sungai khamar yang nikmat lezat bagi peminumnya dan sungai madu murni dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya. (Q.s. Muhammad [47]: 15).

Dalam memahami simbolisme dan perumpamaan (tamsil) tersebut harus menyeberangi (‘ibārah) makna yang ada dibaliknya. Oleh sebab itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa surga sebagai balasan yang baik dan lebih besar bagi orang-orang beriman dan beramal saleh tidak lain daripada keredaan Allah, yaituwa riwān min Allāh akbar. Firman Allah:

“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah (jauh) lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (Q.s. al-Tawbah[9]: 72).

Bagi penghuni surga dalam pandangan materialisme akan mendapatkan kenikmatan-kenikmatan  “biologis” berupa makanan dan minuman yang lezat-lezat serta seks pemuasan hawa nafsu. Raja Ali Haji menulis dalam Kitab Pengetahuan Bahasa: “Demikianlah halnya mereka yang di dalam surga itu. Maka apabila sampai ia ke pintu surga, maka disambutlah oleh segala malaikat, dibawanya kepada istrinya “bidadari” di dalam mahligai itu. Maka apabila sampai ia ke dalam mahligainya bersuka-sukaanlah ia dengan segala istrinya “khawaral ‘ain” itu dan “khadam-khadamnya”, “wadan-wadan” namanya. Maka makan minumlah yang lezat-lezat serta berpeluk dan bercium dan berbelai dan berjimak dengan sepuas-puasanya hawa nafsu. Pada hal kekal senantiasa dengan demikian itu ada.”Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 33),

Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa Raja Ali Haji memberikan gambaran kehidupan surga bagi lelaki yang “full sex” (“berjimak dengan sepuas-puas hawa nafsu”) bersama istri-istrinya dan para bidadari yang konon jumlahnya sampai sembilan puluh sembilan. Selain itu,  kehidupan di surga digambarkan bergelimang dengan kelezatan materi. Karenanya, untuk tetap memberikan vitalitas bagi lelaki abrār (pelaku kebajikan di dunia), Allah mengiming-imingi makanan-makanan enak dan lezat dan beraneka buah-buahan dan minuman yang sangat menyegarkan dari berbagai aliran sungai yang berbeda-beda warna dan cita rasanya, misalnya ada air sungai bercita rasa madu, susu, arak dan lainnya.

Bagi pemburu surga yang penuh dengan kehidupan seksual, dan untuk memberinya daya tahan dan badan yang prima maka dijanjikan minuman, terutama minuman kāfūrā. Minuman kāfūrā yang diperuntukkan kepada orang-orang yang senantiasa berbuat kebaikan dan kebajikan, kaum al-abrār. Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (Q.s. al-Insān [76]: 5.

Abdullah Yusuf Ali memberikan penjelasan “kāfūrā” berikut ini: “Kāfūr is literally Camphor. It is fountain in the Realms of Bliss. It is a seasoning added to the Cup of pure, beatific Wine, which cause no intoxication (lvi.18-19) but stands for all that wholesome, agreeable, and refreshing. Comphor is cool and refreshing, and is given as a sooting tonic in Eastern medicine. In minute doses its odour and flavour are also agreeable.” (Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Maryland: Amana Publications, 2004, 1571-1572, catatan kaki no. 5835.)Kata “kāfūrā” termasuk salah satu bahasa ‘ajam yang “dipinjam” oleh Allah terdapat dalam al-Qur’an berasal dari bahasa Melayu, yaitu “kapur”. (Lihat juga, Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXIX,Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, 268-269).

Penjelasan tentang surga yang digambarkan “dengan beberapa makan-makanan yang lezat-lezat dan minum-minuman dan beberapa istri daripada hurul ‘ain dengan beberapa kesukaan dan permainan yang tiada pernah dilihat oleh mata dan tiada didengar oleh telinga.” Bahkan hati sekalipun tidak akan pernah mampu membayangkan tentang gambaran surga yang sedemikian baik dan indahnya.

Pandangan tentang surga dilandasi pada hadis Nabi saw.: “Dari  Abi Hurayrah ra. berkata: Rasul Allah saw. bersabda: “Aku janjikan kepada hamba-Ku sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, bahkan tidak pernah terbetik dalam hati. Apabila kamu menginginkan maka bacalah: ‘Tiada seorang pun tahu cendera mata apa yang masih tersembunyi bagi mereka.’” (HR. al-Bukhāry, Muslīm, al-Tirmidhy, al-Nasā’i dan Ibn Mājah).

Pada akhir hadis qudsi ini, Rasul Allah menambahkan, fa insyi’tum faqrahu” (apabila engkau menghendaki, maka bacalah): “Tidak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, indah dipandang sebagai balasan bagi mereka atas apa yang mereka kerjakan. (Q.s. al-Sajadah [32]: 17).

Dengan berkembangnya pemahaman Nabi Muhammad dan diiringi dengan perkembangan pemahaman sebagian dari umat Islam dengan tingkat kecerdasan dan kesadaran spiritual yang tinggi. Maka gambaran al-Qur’an yang semula bersifat material itu tidak terlalu berarti dan tidak diperlukan lagi. Pada gilirannya pemahaman seperti itu diganti dengan pemaknaan secara simbolik. Lebih dari itu, kebahagiaan yang  paling hakiki kelak nanti di akhirat adalah ketika tersingkapnya tudung ilahi yang memisahkan Tuhan dengan hambanya yang saleh; dan ini surga sesungguhnya.

Kebanyakan penghuni surga “cukup puas dengan kebun (jannah), tinimbang dengan pemilik kebun.” Dengan kata lain, “berhenti pada cipataan dan melupakan Sang Pencipta.” Disini dipilih kata “pemilik kebun” dan bukan kata “tukang kebun”. Karena kalau tukang kebun, sebagaimana ketidak setujuan Frithjof Schuon, ia berada dalam kebun dan memelihara kebun dan bukan sebaliknya. Seorang tukang kebun tidak mempunyai peranan selain dari tugas profesionalnya, sedangkan Tuhan sebaliknya adalah raison d’etre dari surga, sehingga lebih tepat kalau dikatakan Tuhan sebagai pemilik kebun. Apalah makna kebun kalau pemiliknya sudah kita miliki. (Lihat, Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial: 181).

Rasul Allah saw. bersabda: “Yang paling diredhai oleh Allah ialah orang yang melihat (kemulian) Tuhannya diwaktu petang dan pagi. Inilah kesenangan yang melebihi segala kenikmatan badani .…”Pada kesempatan lain, Rasullah bersabada dalam sebuah hadis qudsi, seperti dikutip Ameer Ali:“Allah menyediakan bagi hamba-hamba-Nya apa yang tidak pernah didengar oleh telinga; tidak pernah dilihat oleh mata; dan tidak pernah terbetik dalam hati sekalipun. Lalu diucapkan ayat al-Qur’an berikut: “tidak ada seorangpun yang mengetahui kegembiraan yang disembunyikan bagi mereka sebagai balasan  terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Ameer Ali, The Spirit of Islam: 199).

Dalam mencermati ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat metaforis, sebagian mazhab pemikir hukum Islam memasukkan sebagai ayat-ayat mutasyabihat, dimana pengertian yang sesungguhnya hanya Allah yang mengetahuinya. Sementara pemikir Islam dari kalangan filsafat dan tasawuf lebih jauh memaknai ayat-ayat al-Qur’an tentang surga dan neraka sebagai kebahagian dan kesengsaraan yang bersifat subyektif dan ruhani semata.

Dalam padangan para filsuf dan sufi bahwa kesengsaraan atau kebahagian rohani lebih menyakitkan atau lebih menyenangakan dibandingkan kalau bersifat ragawi. Artinya, kehadiran raga akan mereduksi kebahagian dan kesengsaraan yang sesungguhnya. Padahal surga dan neraka adalah tempat pembalasan  yang paling sempurna. Karenanya,  pandangan para filsuf dan sufi hanya jiwa yang dibangkitkan dan kembali kepada Allah. (Ameer Ali, The Spirit of Islam: 200).

Akhirnya, Ameer Ali menyimpulkan, cukuplah sudah bukti-bukti kesalahan atas pandangan yang menyatakan bahwa gagasan-gagasan Nabi saw. tentang kehidupan eskatologi keseluruhannya bersifat  meterial dan badaniah. Untuk itu, ia menutup pembahasannya mengenai kehidupan surga dan neraka (kehidupan eskatologi) ini dengan mengutip ayat al-Qur’an yang menunjukkan betapa dalam aspek-aspek sepritual dalam Islam, sebagai berikut: “wahai jiwa yang tenang dan damai! Kembalilah kepada Tuhan-Mu dengan ridha dan meridahai. Masuklah di antara hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Ameer Ali, The Spirit of Islam: 202-203).

 Mā Tawfiq wa al-Hidayah illā bi Allāh, Wa Allāh  a‘lam bi al-Ṣawāb

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UINSuska Riau).