30. TAKABBUR: Menolak Kebenaran dan Menghina Manusia

30. TAKABBUR: Menolak Kebenaran dan Menghina Manusia

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Kata “takabbur” berasal dari bahasa Arab yang padanannya dalam bahasa lndonesia secara umum adalah sombong, angkuh. Takabbur salah satu sifat yang paling dibenci oleh Allah. Pengertian takabbur, menurut Raja Ali Haji, adalah seseorang membesarkan dirinya, dan sekaligus pada saat yang bersamaan ia merendahkan dan menghinakan orang lain. Kesombongan dapat timbul disebabkan seseorang merasa memiliki kelebihan dibanding dengan orang lain. Misalanya, kelebihan dalam ilmu, kecantikan, keturunan (asal-usul keluarga), harta benda dan kekayaan serta kekuatan dan kekuasaan.(Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,52; Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 243).

Dengan kata lain, kesombongan dapat bersemayam pada diri (hati) seseorang disebabkan ia memandang dirinya berkecukupan, sehingga ia merasa tidak (lagi) membutuhkan orang lain. Kelanjutan logisnya, kelebihan dimiliki manusia baik fisik maupun non fisik acapkali membuat dirinya, bukan saja tidak membutuhkan orang lain, bahkan kerapkali berbuat sewenang-wenang dan melampaui batas terhadap orang lain. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Q.s. al-‘Alaq [96]: 6-7).

Kelebihan-kelebihan yang bersifat fisik dan materi serta asal-usul kejadian manusia yang bersifat askriptif tersebut, menurut Raja Ali Haji, tidak sepatutnya menjadikan seseorang sombong. Lantaran kelebihan-kelebihan fisik, materi dan askriftif itu hanya bersifat relatif dan sementara. Misalnya, ia menyebutkan bahwa orang yang pandai bisa saja menjadi bodoh karena hilang akalnya. Orang yang memiliki kecantikan dan ketampanan (rupawan) dapat saja menjadi jelek disebabkan umpamanya menderita penyakit.

Begitu pula, keturunan yang mulia dapat saja menjadi hina karena tidak mampu menjaga marwah dan kehormatannya. Orang kaya sangat mungkin jadi miskin lantaran jatuh bangkrut. Begitu pula, kekuatan dan kekuasaan manusia pada dasarnya akan berkurang, dan saatnya akan berakhir, bisa disebabkan sakit atau tuntutan lanjut usia atau sebab-sebab lainnya, dan yang paling pasti oleh kematian.(Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 53).

Al-Takabbur, menurut Raja Ali Haji, merupakan sifat dan sekaligus dosa yang pertama dari tiga dosa dimiliki dan dilakukan oleh mahluk Allah, yaitu iblis. Sementara dua dosa lainnya adalah serakah yang dilakukan oleh Adam, dan dosa hasad (iri hati) yang menyebabkan Qabil membunuh Habil. Dengan sifat sombongnya ini Iblis terusur dari surga penuh kehinaan. Kemudian,sifatsombong ini di lakukanoleh orang-orang durjana dalam sejarah umat manusia di muka bumi, seperti Raja Namrudz, Fir’aun, Abu Jahal. (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa,192).

Lebih lanjut, Raja Ali Haji memaparkan (dalam Kitab Pengetahuan Bahasa: 243-244) bahwa Iblis menyombongkan diri dan membangkang ketika Allah memerintahkan, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujud lahkamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah [2]: 34;lihat juga, Q.s. al-Kahfi [18]: 50).

Dengan kembali mengutip al-Qur’an, Raja Ali Haji menyebutkan bahwa Iblis menolak sujud kepada Adam karena membanggakan asal-asul kejadiaanya. Iblis merasa lebih mulia asal-usul penciptaannya ketimbang Adam, seperti ungkapnya: “khalaqtanī min al-nār wa khlaktahū min al-ṭīn” (Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah) (Q.s. Ṣād [38]: 75-76).Lihat juga, (Q.s.al-A’rāf [7]: 12); Q.s. al-Isra’ [17]: 61). Akhirnya, Allah mengusir Iblis dari taman surga sebagai makhluk terhina dan terkutuk karena tidak sepatutnya meyombongkan diri di dalamnya (Q.s.al-A’rāf [7]: 13).

Dalam mengulas kesombongan Iblis, Raja Ali Haji terlihat jelas menjadikan al-Qur’an sebagai “alas”nya. Meskipun demikian, dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, ia membatasi dirinya untuk mengulas panjang lebar tentang pembahasan kesombongan Iblis. Makanya, ia meminta pembacanya untuk membaca secara detail dalam al-Qur’an, al-Hadis serta kitab-kitab ulama, khususnya tentang tasawuf, terutama karya al-Ghazali, Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn. Raja Ali Haji memaparkan prihal ini, selengkapnya:

“…. dan berpanjanganlah bicara takabur ini dalam Qur’an Nul’azim dan hadis Saidalmursalin dan di dalam kitab-kitab karangan ‘ulamak-ulamak Al ‘amilin yang membicarakan kejahatan takabur itu maka tiadalah aku suratkan pada kitab ini karena bukan maksudku memanjangkan, hanyalah bahasa jua. Akan tetapi hendak juga diterangkan juga maknaya sedikit-sedikit karena jika sekira-kira jatuh jadi pelajaran kepada orang-orang Islam maka yaitu jadi satu pengatahuan yang mamfaat pula dan barang siapa yang berhendak lebih daripada itu, serta hendak mehalus-halus pada ilmu …. maka rujuk’lah ia pada segala kitab-kitab tasawuf yang beberapa banyak karena karangan ulamak-ulamak yang besar ‘khusus di dalam kitab Ikhya umuluddin (sic. Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn – AHP) pada rubuk’ mahlukat maka yaitu tersangat banyaknya tafsirnya hukuman yang halus-halus serta obatnya adanya.” (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 244).

Pada dasarnya sikap sombong bertentangan secara diameteral dengan penghambaan diri kepada Allah. Artinya, sifat sombong tidak mungkin ada pada diri seseorang yang tulus dan sadar bahwa ia seorang ‘ābid yang hina, kotor dan kerdilserta lemah dihadapan Sang Ma‘būd yang Maha Suci, Maha Mulia dan Maha Agung serta Maha Kuasa. Karenanya manusia diajarkan untuk menuturkan tasbih: subḥān Allāh, al-ḥamd Allāh dan Allāh Akbār serta lāhawla walā quwwata illā bi Allāh.

Oleh karenanya, bagi siapapun yang memiliki kesombongan dalam hatinya walau sekecil apapun tidak ada tempatnya tinggal di surga, sabda Rasul Allah saw.: “Tidak masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari sifat kesombongan.” (HR. Mslim). Dan orang yang memiliki rasa sombong “Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman: “Kemuliaan itu adalah gaun-Ku dan keagungan itu adalah jubah-Ku. Sesiapa yang memakai gaun dan jubah-Ku itu akan Kulempar ia ke dalam api neraka!” Demikian tersebut dalam sebuah hadis Qudsi.

Al-Takabbur merupakan sifat kejahatan yang bersemayam dalam hati manusia. Sifat ini diharamkan dan terlarang, sebagaimana banyak diungkapkan dalam al-Qur’an, misalnya agar manusia tidak berjalan di muka bumi dengan kesombongan (Q.s.al-Isra’ [17]: 37). Sifat sombong, kata Raja Ali Haji lebih lanjut, dapat menimbulkan “bantahan”, membawa seseorang kepada kesesatan dan bahkan kepada kekufuran. Pada gilirannya, ungkap pemikir Alam Melayu ini, ia mendustakan kebenaran-kebenaran yang disampikan nabi-nabi dan rasul-rasul.(Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 202). Kesombongan karena kekuasaan, menurut Abdullah Yusuf Ali, adalah langkah pertama menuju berbagai kejahatan. Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Texs Translation and Commentary, terj. Ali  Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).

Dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, Raja Ali Haji memberikan penjelasan tentang prilaku-prilaku orang takabur: “Orang yang tiada mengikuti sekali-kali perkataan dan pengajaran orang yang lainnya seperti dijawabnya dengan barang-barang jawaban membenarkan dirinya, meskipun nyata salahnya, tiada juga ia mau mengaku daripada salahnya itu. Maka sifatnya inilah yang akhir-akhirnya membawa kepada kafir nauzubillahi minha…. Adalah keluarnya sifat bantahan ini daripada takabur membesarkan dirinya. Asalnya memandang dirinya lebih pandai daripada orang atau lebih alimkah atau lebih bangsanya daripada orang.” (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 202).

Sikap dan prilaku “takabur” yang membawa kepada kekafiran, berdasarkan kutipan di atas, tercermin pada sikap seseorang bahwa ia mengetahui dirinya salah, tetapi ia tidak mau mengakui kesalahnnya. Sebaliknya, orang semacam ini mengetahui kebenaran orang lain, tetapi ia tidak mau mengakui (menutup mata) kebenaran orang tersebut (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 181-182). Kesombongan seperti ini akan diiringi dengan memperlakukan orang lain secara sewenang-wenang dan melampaui batas. Dengan demikian, Allah akan menutup atau mengunci hati orang semacam itu.Firman Allah: “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Q.s. al-Ghafir/al-Mu’min [40]:35).

Sehingga, orang itu akan “lupa diri”, dan pada gilirannya kesalahan/keburukan yang dilakukannya dipandang sebagai kebenaran/kebaikan. Inilah orang yang teramat durjana dan paling celaka. Raja Ali Haji mencontohkan orang-orang durjana semacam itu diantaranya adalah Namrud, Fir’aun dan Abu Jahal (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 192). Orang-orang laknat ini, kata Raja Ali Haji dengan tegas dan keras, bukanlah manusia, tetapi shaiṭan, seperti dinukil dari Gurindam Dua belas:

Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan
Bukannya manusia ia itulah syaithan.

Pada akhirnya, Raja Ali Haji menegaskan bahwa “orang yang takaburitu pada qalibnya akan mendapatkan kehinaan di dunia ini lambat laun… di dalam akhirat.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 243).Jadi, sifat sombong hendaknya di hindari karena akibat yang ditimbulkan tidak saja di akhirat kelak, tetapi juga akan berlaku dalam kehidupan di dunia fanaini. Kemudian, pernyataan Raja Ali Haji ini dipertegasnya secara puitis dalam Gurindam Dua belasa:

Pekerjaan takabur jangan direpih
Sebelum mati juga sepih

Orang sombong, menurut Raja Ali Haji, pada umumnya tidak mau mendengar nasehat, dan malah ia akan marah kalau diperingatkan orang lain, meskipun pada dasarnya ia dalam posisi yang salah. Rasulullah bersabda: “Takabbur itu adalah menolak kebenaran dan menghina orang lain.” (HR. Muslim). Begitu pula, orang yang takabur biasanya merasa tersanjung kalau dipuji-puji dan ditempatkan pada kedudukan yang terhormat. Padahal, dalam pandangan Raja Ali Haji, orang yang suka dipuji dan memuji oleh orang lain adalah pertanda orang tersebut kurang akalnya. (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63).

Sebaliknya, jika ia tidak dipuja-puji dan ditempatkan pada tempat yang tidak selayaknya, ia akan menjadi marah dan mengumpat, yaitu keluarlah “tutur katanya dengan kasar”, sebab dalam pandangannya orang lain rendah dan hina. (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,52-53; Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 243). Padahal, boleh jadi orang yang dipandang rendah dan hina tersebut, justru lebih mulia dalam pandangan manusia lainnya, dan terutama dalam pandangan Allah swt. (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63).

Pernyataan Raja Ali Haji di atas, meskipun ia tidak menyebutnya secara langsung ayatnya al-Qur’an, sebagai seorang intelektual yang “qur’anic oriented”, jelas bahwa pernyataannya itu berasal dari spirit al-Qur’an ((Q.S. al-Hujarāt [49]: 11). Karenanya, sebelum seseorang menyampaikan pujiannya dan mengutarakan umpatannya, hendeklah memikirkan terlebih dahulu akibat-akibat yang akan ditimbulkannya. Raja Ali Haji menandaskan prihal ini secara puitis dalam Gurindam Dua belas:

Mengumpat dan memuji hendaklah pikir
Di situlah banyak orang yang tergelincir.

Sifat dan prilaku sombong harus dihindarkan pada diri setiap manusia, terlebih-lebih bagi seorang yang memegang kekuasaan. Penguasa yang takabur, kata Raja Ali Haji, tidak akan pernah mau mendengarkan nasehat orang lain, dan karenanya, ia akan menjalankan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Di samping itu, penguasa yang sombong tidak akan mau menyantuni dan memenuhi “jemputan dan jamuan” rakyat kecil dan miskin.

Penguasa semacaman itu hanya mau menghadiri jemputan dan jamuan orang-orang besar dan kaya. Raja Ali Haji mengingatkan kepada penguasa untuk tidak mengukur status seseorang dari segi kaya dan miskin serta unsur yang bersifat fisik, materi dan status sosial bersifat askriptif lainnya. Lebih jelasnya, Raja Ali Haji mengatakan, “jangan kita memandang orang-orang yang miskin atau fakir atau orang-orang yang kurang daripada kita pada sifatnya atau pada hartanya dengan pandangan menghina-hinakan akan dia itu.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63).

Sebaliknya, ia juga mengatakan, “jangan sekali-kali besar pada hati kita dan pada tilik pandang kepada orang besar-besar dan orang kaya-kaya itu karena kebesaran dan kekayaannya itu, istimewa pula pada ahli ldunia.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63 dan 243). Kalimat Raja Ali Haji ini relatif sama dengan ungkapan Ali bin Thalib yang dibaca al-Ghazali dari Nahj al-Balagha. Artinya, kemungkinan besar inspriasi perkataan Raja Ali Haji dalam bukunya, Kitab Pengetahuan Bahasa tersebut berasal dari hasil bacaannya pada karya al-Ghazali.

Abdul Qayyum, menulis: “Suatu hari, ketika ia [al-Ghazali –AM] sedang membaca Nahjul Balagha, yaitu koleksi khutbah-khutbah Sayyidina Ali, ia dapati baris-baris sebagai berikut: “Saya peringatkan kamu sekalian bahwa segala sesuatu seperti kekayaan, kekuasaan dan kesenangan-kesenangan… tidak akan menggoda dan memikat kamu. Karena kehidupan itu bagaikan bayangan di atas bumi yang akan memanjang untuk beberapa waktu, tetapi pada akhirnya lenyap.” (Lihat, Abdul Qayyum (ed.), Surat-Surat Al-Ghazalikepada Para Penguasa, Pejabat Negara dan Ulama Sezamannya, Bandung: Mizan, 1988: 8).

Selanjutnya, Raja Ali Haji mengingatkan bahwa penguasa dan pembesar kerajaan yang sombong (senanatiasa membesarkan diri) dan sekaligus menghina dan merendahkan orang lain, sesungguhnya mereka itulah yang hina dan rendah derajatnya dalam pandangan Allah. Dengan kalimatnya sendiri Raja Ali Haji mengatakan: “Dan manakala besar hati kita segala orang yang tersebut itu, niscaya gugur tilik Allah Ta‘ala kepada kita, karena Allah Ta‘ala itu benci akan orang yang tamak akan kebesaran dan kekayaan ….” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 63).

Untuk memperkuat argumentasinya ini, dalam karyanya yang lain Raja Ali Haji mengutip hadith Rasul Allah saw.: “Man takabbar waḍu‘a Allāh wa man tawaḍḍa‘a farafa‘a Allah.” (Barangsiapa yang membesarkan diri, Allah akan merendahkannya, dan barangsiapa yang merendahkan diri, Allah akan mengangkatnya) (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 48). Sabda Rasul Allah saw. yang dikutip Raja Ali Haji di atas, sebelumnya dihayati betul oleh Ali bin Abi Thalib [karramah Allāh wajah], sehingga dalam Nahj al-Balāgha, ia berkata sama: “Ingatlah bahwa orang yang merendahkan dirinya akan ditinggikan, dan orang yang meninggikan dirinya akan dicampakkan.”

Belakangan, ungkapan Ali bin Abi Thalib ini dibaca oleh al-Ghazali yang diformulasi dalam surat-surat yang ditujukan kepada para penguasa dan pejabat negara. (Lihat, Abdul Qayyum (ed.), Surat-Surat Al-Ghazali…, 8-9). Jauh setelah itu, giliran Raja Ali Haji pula yang, setelah membaca surat-surat [atau karya lain] al-Ghazali, memberikan nasehat kepada penguasa-penguasa dan pembesar kerajaan pada zamannya di Alam Melayu. Jadi “geneologi intelektual” kalimat itu berasal dari Nabi Muhammad saw., didengar oleh Ali bin Abi Thalib, lalu diteruskan oleh al-Ghazali, dan pada gilirannya berakhir pada Raja Ali Haji, sebagaimana yang penulis kutip.

Dalam mengobati dan menghilangkan sifat sombong, menurut Raja Ali Haji, hendaknya ditilik dari mana datang sifat sombong tersebut. Apakah sifat sombong itu timbul pada diri seseorang karena merasa memiliki kelebihan, misalnya pada ilmu, kecantikan/rupawan, kegagahan (kuat fisik), harta benda atau kebesaran dalam kedudukan dan jabatan.

Lebih lanjut, Raja Ali Haji menyarankan cara mengobati sifat sombong itu adalah dengan memikirkan secara mendalam (merenungkan) bahwa kelebihan-kelebihan tersebut bisa saja sirna dan bahkan hilang seketika. Misalnya, kepintaran akan hilang karena hilangnya akal; kecantikan bisa hilang karena penyakit; kekayaan akan hilang karena bangkrut; keperkasaan akan hilang dikarenakan sakit atau penyebab-penyebab lainnya. (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,51; Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 192).

Raja Ali Haji mengatakan, “betapakah kita hendak takaburkan segala sifat yang tersebut itu.” Mengingat banyak latar belakang dan penyebab sifat takabur itu, maka cara mengobatinya juga dengan banyak cara. Akan tetapi, secara keseluruhan sifat sombong mesti dilawan dengan sifat tawaḍḍu‘ (rendah hati). Rasul Allah saw. bersabda: “Tawaḍḍu‘ tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba kecuali ketinggian (derajatnya). Oleh sebab itu tawadhulah kamu, niscaya Allah akan meninggikan [derajat]mu.” (HR. Dailami).

Kemudian, untuk mendapatkan pemahaman lebih baik tentang sifat takabur dan cara mengobatinya, ia menyarankan untuk membaca panjang lebar karya-karya ulama, khususnya “kitab-kitab ahlul sufi apalagi di dalam al-Qur’an dan Hadith.”(Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah,51). Lebih lanjut, Raja Ali Haji mempersilahkan kepada pembacanya untuk menelaah kitab-kitab ulama terdahulu, seperti Tarjuman al-Mustafīd karya Abd Rauf al-Singklili; Ṭarīqah Muḥammadiyyah karya Ali Farkawi; Sir al-Sulūkilā al-Khidmah al-Mālik al Mulk karya Qasim Halabi.

Pada bagian lain Raja Ali Haji menulis, “… maka rujuklah ia pada segala kitab-kitab tasawuf yang beberapa karena karangan ulamak-ulamak yang besar khusus di dalam kitab ikhya umuluddin (sic. Iḥyā‘Ulūm al-Dīn – AHP) pada rubuk’ mahlukat maka yaitu tersangatlah banyaknya tafsilnya hukuman yang halus-halus serta obatnya adanya.” Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 192 dan 243.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau.