35. MELAYU-RIAU ABAD KE-19: “Negeri Ṣaḥib al-Kitâb dan Nasib Kesudahannya”

35. MELAYU-RIAU ABAD KE-19: “Negeri Ṣaḥib al-Kitâb dan Nasib Kesudahannya”

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Persuratan intelektual Melayu-Riau berlangsung kurang-lebih satu abad, yaitu dalam rentang waktu dari awal ke-19 hingga awal dekade abad ke-20. Selama waktu satu kurang-lebih seabad itu ada empat generasi telah berkiprah dalam persuratan intelektual Melayu-Riau dengan melahirkan sejumlah karya. Untuk lebih mudahnya, generasi pertama diidentifikasi sebagai generasi angkatan ayah Raja Ali Haji; generasi kedua diidentifikasi generasi angkatan Raja Ali Haji (sendiri); dan generasi ketiga dan keempat masing-masing generasi anak dan cucu Raja Ali Haji.

Dalam kontek ini, menurut Ibn Khaldun, puncak kebesaran dan kehormatan dalam satu keturunan biasanya mencapai empat generasi. Pembatasan sampai pada empat generasi adalah perhitungan minimal dengan pertimbangkan bahwa generasi pertama sebagai pendiri dan pencetusnya. Kemudian ke generasi kedua membangun pondasinya yang kokoh, lalu generasi ketiga mengikuti jejak dan mengembangkan generasi sebelumnya, sementara generasi keempat meneruskan dan mempertahankannya. Pada masa akhir generasi keempat ini mengalami kemerosotan, dan pada generasi berikutnya mengalami kehancuran. (Ibn Khaldun, Mukaddimah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), 214-215). Fenemona keempat generasi ini tercermin pada bangunan persuratan intelektual Melayu-Riau.

Dalam penelitian beberapa sarjana telah mengindentifikasi jumlah penulis beserta karya-karya yang telah dihasilkan di kerajaan Melayu-Riau dalam keempat generasi tersebut. Dari beberapa penelitian dilakukan telah mengidentifikasi bahwa selama rentang abad ke-19 pengarang/penulis yang ada dan berdomisili di kawasan Melayu Riau, khususnya di Pulau Penyengat berjumlah 70 orang, dan 41 orang di antaranya adalah anak jadi diri Melayu-Riau. Dari 41 anak jati diri Melayu-Riau tersebut telah melahirkan karya tulis tidak kurang dari 90 buah. Maka tidak heran, kalau R.J. Wilkinson dalam mempelajari sastra Melayu, menurut UU. Hamidy, mempergunakan lebih 144 karya berbahasa Melayu dari Melayu-Riau dalam melahirkan karyanya, Paper on Malay Subjects, Malay Literature pada tahun 1907. (UU. Hamidy, Islam dan Masyarkat Melayu Riau (Pekanbaru: UIR Press), 222; UU. Hamidy, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu, 194-199).

Jumlah hasil persuratan intelektual Melayu-Riau pada abad ke-19, sedemikian “melimpah”, sehingga orang menyebutkan Pulau Penyengat benar-benar menjadi “taman penulis”, sebagaimana tercermin dari judul karya Raja Ali Haji, Bustān al-Kātibīn. Dan pada gilirannya ada peneliti menyebutkan: “Riau Negeri Ṣaḥib al-Kitāb”, meminjam istilah yang pernah digunakan oleh Amarsan Loebis dalam Selingan iQra, Tempo (16 Oktober 2005: 67-78).

Bahkan sedemikian dinamis dan produktif serta “fenomenalnya” kekayaan khazanah persuratan intelektual yang telah dibina di bumi Melayu-Riau, maka belakangan ada sejumlah pakar sastera Melayu, yaitu R.O. Winstedt dalam karyanya, “A History of Classical Malay Literature” (Monograpsh on Malay Subjects, No. 5, J‎MBRAS, Vol. 31, Part 3, No. 183, 1961, 126), dan V.I. Braginski dalam karyanya Yang Indah, Berfaedah dan Kamal (Jakarta: INIS, 1998) memunculkan dalam tulisan-tulisan mereka istilah khusus, yaitu “Riau School” (Mazhab Riau).

Belakangan, sejumlah sarjana dan penelitian, misalnya Teuku Iskandar dalam karnyanya, Kesusteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad (Brunei: Jabatan Kesustraan Melayu Universiti Brunei Darussalam, 525- 527); Virginia Matheson dalam dua karyanya, yaitu “Questions Arising from a Nineteenth Century Riau Syair”, (dalam Review of Indonesia and Malaysian Affairs, Vol. 17 (Vinter/Summer 1983), 41-44) dan “Suasana Budaya Riau Dalam Abad ke-19: Latar Belakang dan Pengaruh” dalam Tradisi Johor-Riau: Kertas Kerja Hari Sastra 1983); Dong Cho Ming dalam karyanya Raja Aisyah Sulaiman Pengarang Ulung Wanita Melayu (Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1999: 84-88), menyebutkan sedemikian banyak nama-nama figur persuratan intelektual di Pulau Penyengat sebagai “kebun para penulis” (“Bustān al-Kātibīn”) dalam melahirkan karya-karyanya.

Begitu pala, Abu Hassan Sham dalam karyanya “Karya-Karya Yang Berlatar belakang Islam Dari Pengarang Melayu-Johor Sehingga Awal Abad Kedua Puluh” (dalam Tradisi Johor-Riau: Kertas Kerja Hari Sastra 1983, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987: 245-271), dan U.U. Hamidi dalam dua tulisanya, UU. Hamidy, Islam dan Masyarkat Melayu Riau (Pekanbaru: UIR Press: 222); UU. Hamidy, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu (Pekanbaru: Unri Press, 2003: 194-199), keduanya menyebutkan sejumlah penulis beserta karya-karyanya yang pernah lahir di Melayu-Riau.

Kehadiran sejumlah ulama dan tuan guru baik dari Timur Tengah maupun dari kawasan Nusantara pada abad ke-19 telah memberikan peranan yang sangat signifikan bagi peletakan dasar bangunan persuratan intelektual Melayu-Riau. Ditambah pula patronase dan dukungan dari penguasa kerajaan telah beran penting bagi tumbuhnya persuratan intelektual di kawasan Melayu-Riau. Begitu pala, konstribusi pegawai/sarjana Barat (Belanda, Inggris dan Jerman) tidak bisa dinafikkan dalam memberikan suasana kondusif bagi perkembangan persuratan intelektual Melayu-Riau.

Selain kehadiran para ulama tersebut, tidak kalah pentingnya adanya sejumlah karya-karyaulama Timur-Tengah dan ulama Nusantara telah membangun pemikiran dan pemahaman keislaman, khususnya telah pula mempengaruhi pemikiran Raja Ali Haji dan “lingkarannya” dalam melahirkan karya-karya mereka. Hal ini dengan mudah dapat dipahami, misalnya ketika melihat latar belakang pendidikannya dan keakraban Raja Ali Haji dan generasinya dalam penggunaan literatur-literatur keislaman.

Dengan kondisi demikian, kawasan Melayu-Riau sepanjang abad ke-19 hingga dua dekade awal abad ke-20 merupakan salah satu kawasan yang paling dinamis yang melahirkan sejumlah penulis/pengarang dengan masing-masing karya-karya mereka dalam mengukuhkan persuratan intelektual Melayu-Riau, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dan sekaligus kawasan ini telah menjadi marcusuar ilmu pengatahuan agama dan budaya di dunia Melayu pada abad ke-19 berpusat di Pulau Penyengat. (Lihat, Muhammad Yusuff Hashim, Pensejarahan Melayu Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara, 466).

Namun, kawasan Melayu-Riau, dibandingkan dengan kawasan lainnya, tidak pernah kedengaran melahirkan ulamadan pemikir keagamaan yang memiliki resonansi mondial dan masyhur namanya di seantero Nusantara, seperti pernah dilahirkan, di kawasan Aceh, seperti Hamzah Fansuri, Syekh Nurudin al-Raniri, Shamsuddin al-Sumatrani dan Abdul Rauf Singkel; di Palembang, seperti Abdul Shamad al-Palembani dan Muahmmad Ibn Ahmad Kemas; di Banjarmasin, seperti Muahmmad Arsyad bin Abdullah al-Banjari; di Banten, seperti Syekh Nawawi al-Banteni; di Makassar, seperti Syekh Yusuf al-Makassari; serta sejumlah ulamadi kawasan lainnya.Misalnya dari kawasan lain misalnya, seperti Daud Ibn Abdullah Ibn Idris al-Fattani dari Fatani; Haji Abdul Shamad bin Muhammad Salih al-Kalantani dari Kelantan. (Lihat misalnya, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 1995: 166-266).

Dibanding dengan kawasan-kawasan lainnya, kajian kawasan Melayu-Riau nyaris terabaikan. Padahal kawasan ini, seperti dinyatakan sebelumnya, juga sangat kaya dengan khazanah-khazanah intelektual Islam. Dan sesungguhnya kawasan Melayu Riau pun telah melahirkan “bertaburan” penulis dan intelektual. Di antara penulis dan cendikiawan paling produktif, refresentatif dan otoritatif di kawasan Melayu-Riau serta sekaligus merupakan “lokomotif” para penulis dan sebagai “imam” cendikiawan Muslim “persuratan intelektual” Melayu Riau. Cendikiawan terbesar Melayu-Riau tersebut adalah Raja Ali Haji [1809-1873].

Sebelum Raja Ali Haji, “embrio” persuratan intelektual Melayu-Riau dapat dirujuk kepada Raja Ahmad, ayah Raja Ali Haji sendiri, beserta generasi berikutnya. Bahkan karya sejarah, Tuḥfat al-Nafīs, menurut sebagian peneliti dinyatakan sebagai karya-bareng diawali darinya, belakangan disempurnakan oleh anaknya, Raja Ali Haji. Dalam era generasi Raja Ali Haji, juga lahir beberapa pengarang di Melayu-Riau.

Meskipun begitu, menurut U.U. Hamidi, hampir tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa Raja Ali Haji kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan tidak akan sampai sebegitu semarak di Melayu Riau. (Lihat, U.U. Hamidi, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan, 80). Raja Ali Haji telah melakukan upaya-upaya dalam mencerdaskan komunitasnya, terutama diperuntukkan bagi anak-cucunya dengan melakukan pendidikan dan pengajaran serta menulis dengan melahirkan sejumlah tulisan/karya dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan.

Ternyata upaya-upaya “penaburan benih” yang dilakukan para penguasa dan pemerintah di kerajaan Melayu Riau sebelumnya dengan mendatangkan sejumlah ulama dan tuan guru dalam menyemarakkan proses belajar-mengajar telah dituai hasilnya pada diri Raja Ali Haji generasi seangkatan dengannya. Begitu jugapada gilirannya upaya-upaya penyemaian benih yang dilakukan oleh Raja Ali Haji telah pula membuahkan hasil yang sangat mendukung perkembangan dan penentuan kelanjutan proses persuratan intelektual Melayu-Riau. Dari kader yang dibina Raja Ali Haji (baik secara langsung maupaun tidak langsung) lahirlah sejumlah penulis: ahli di bidang bahasa,syair, budaya agama dan berbagai aspek intelektual lainnya, termasuk bidang politik dan diplomasi.(Lihat, Hasan Junus & U.U. Hamidi, “Sumbangan dan Peranan Cendikiawan”, 140).

Namun, sungguh disayangkan persuratan yang telah dibangun oleh Raja Ali Haji dan “lingkarannya” di Melayu-Riau terpaksa terhati ketika memasuki dekade kedua abad ke-20. Setelah Pemerintah Hindia Belanda memakzulkan Sultan Abdul Rahman II “in absentia” pada3 Februari1911 kekuasaan sultan seluruhnya diambil-alih seluruh daerah kekuasaannya berada langsung di bawah kendali Residen Belanda. Atas keputusan pemerintah Hindia Belanda ini seluruh rakyat Melayu Riau terpaksa/persisnya dipaksa untuk menaatinya. (Lihat, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 326).

Dengan kondisi seperti disebut di atas Sultan ‘Abd Rahman meninggalkan kerajaannya pergi ke Singapura,dan wafat dalam “pengasingannya” di sana pada 1930. Sebagian besar masyarakat mengikuti sultan meninggalkan Pulau Penyengat menuju Singapura. (Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190; Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 163). Bahkan dapat dikatakan masyarakat “eksodus” meninggalkan tanah kelahiran mereka menuju Singapura, Johor dan daerah-daerah sekitar lainnya.

Dari hasil penelitian Muhammad Afan, sebagaimana di kutip Hasan Junus, menyebutkan “… dari sekian ribu penduduk pulau kecil yang menjadi pusat pemerintahan di kerajaan itu hanya lebih kurang lima ratus jiwa saja yang tetap tinggal, karena sebagian besar penduduk pindah ke Johor dan Singapura.” (Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190).

Untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang “eksodus” meninggalkan Pulau Penyengat dapat dilihat dari data “perbandingan” berikut ini: (i) bahwa masyarakat yang tidak meninggalkan Pulau Penyengat haya tinggal 500 orang; (ii) bahwa jumlah penduduk di pulau kecil ini pada akhir abad ke-19 diperkirakan mencapai sekitar 9.000 jiwa. Kedua data nyata menunjukkan bahwa Pulau Penyengat benar-banar ditinggal-pergi oleh penduduknya. (Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162).

Raja Ali Kelana (Calon YDM yang tidak pernah terwujud) juga meninggalkan negeri kelahirnya dan menetap hingga wafatnya di Johor pada 1927. Raja Ali Kelana meninggalkan negerinya lantaran, menurutnya, telah “berubah kelakuannya” (diperintah Belanda). Raja Ali Kelana menyatakan perinsip ini, seperti katanya dalam Bughyāt al-‘Any fiīḤurūf al-Ma‘āni: “Apabila negeri itu berubah kelakuannya maka tinggalkanlah dia!” (Lihat, Hasan Junus & UU. Hamidi, “Sumbangan dan Peranan Cendikiawan Riau”, 136).

Akhirnya, pemerintahan Belanda mengeluarkan keputusan penghapusan kerajaan Melayu Riau-Lingga dari “peta bumi” pada 11 Maret 1913.Dengan penghapusan kerajaan Melayu-Riau dari “peta bumi” pada sisi kekuasaan dan pemerintahan dapat dikatakan kerajaan Melayu-Riau ini tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran dan kejayaannya di masa silam.Apa penyebabnya Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan YDM Riau hampir tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran pada masa lalu. Menurut penelitian Matheson ini disebabkan orang-orang di Pulau Penyengat pada umumnya, dan raja-raja dan keluarga istana pada khususnya lebih memilih memusnahkan harta benda dan barang-barang yang ada dalam rumah mereka (melakukan semacam “bumi hangus” daripada mereka khawatir kalau) Belanda akan menyita seluruh harta kekayaannya. Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162.

Akan tetapi, dari sisi persuratan intelektual-keagamaan dan kebudayaan, kerajaan Melayu-Riau telah meninggalkan “jejak-jejak” kebesaran dan kejayaan masa lalunya, kendatipun harus diaui belum/tidak mencampai pada puncak kejayaan tertingginya lewat generasi-generasi terpelajar yang menghasilkan “bertaburan” karya di Pulau Penyengat sepanjang menjelang paroh kedua abad ke-19 hingga awal abad ke-20. (Ong Hok Ham, “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, dalam Masyarakat Malayu Riau dan Kebudayaannya, 185).

Dengan situasi politik yang tidak menentu tersebut, maka ketika Indonesia memasuki era sastra modern yang ditandai dengan lahirnya Balai Pustaka pada dasawarsa kedua abad ke-20, Sapardi Djoko Damono menyebutkan, “tampaknya peran para sastrawan dari Riau tidak begitu menonjol”, untuk tidak mengatakan tenggelam sama sekali. (Lihat, Sapardi Djoko Damono, “Sastrawan Riau dan Sastra Indonesia Mutahir”, dalam Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan, ed. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengambangan Budaya Melayu, 2007: 289-290).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)
UIN Suska Riau.