39. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (3): Sepenggal  Sejarah  Islam Klasik Era Khulafa’  al-Rasyidin

39. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (3): Sepenggal Sejarah Islam Klasik Era Khulafa’ al-Rasyidin

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

Segera setelah Rasul Allah saw. wafat, menurut Harun Nasution, persoalan yang mula-mula mencuat kepermukaan dalam sejarah awal Islam klasik bukannya persoalan teologis, tetapi justru persoalan politik. Persoalannya adalah perbedaan pendangan politik tentang siapa yang akan menjadi khalifah (pengganti) Rasul Allah dalam memimpin orang-orang Mukmin. Karena Nabi Muhammad tidak menunjuk penggantinya, belakangan di kalangan para pemerhati dan mengkaji sejarah Islam klasik, khususnya pengkaji pemikiran politik Islam membangun argumentasi dan rasionalisasi, kenapa Rasul Allah tidak menunjuk penggantinya. (Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1978: 92; Philip K. Hitti, History of the Arabs, 1970: 139).

Jaluluddin Suyuti, kata Hudzaifah, menyatakan bahwa beberapa sahabat meminta Rasul Allah untuk menunjuk dan mengangkat penggatinya. Namun, Rasul Allah menolak untuk berbuat demikian, seraya bersabda bahwa apabila meraka (umat Islam) memberontak terhadap pengganti yang diangkat oleh Rasul Allah, maka konsekwensi mereka akan dihukum. Seandainya Rasul Allah mengangkat seorang pengganti dan merinci suatu cara tertentu dalam pemilihan, maka cara itulah yang menjadi satu-satunya cara pengangkatan seorang kepala negara.

Ketentuan yang bersifat membatasi itu akan menyebabkan kesulitan besar dalam perkembangan pemerintahan dalam Islam. Jadi dengan tidak menunjuk pengganti dan menentapkan suatu cara tertentu, maka Rasul Allah telah bertindak sesuai dengan jiwa al-Qur’an menganai masalah tersebut. Dengan begitu, baik Rasul Allah maupun al-Qur’an memberikan kebebasan pada umat Muslim untuk mengatur cara bentuk pemerintahan dalam Islam. (Ahmad, Mumtaz (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, 1996: 63).

Al-Qur’an itu sendiri, menurut Ayubi dalam karyanya “Political Islam: Religion and Politics in The Arab World”, sedikit sekali mengungkap persoalan (pemerintahan) politik. Mengapa al-Qur’an tidak menjelaskan dasar-dasar kekhalifahan serta syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang akan menjadi khalifah? Jawabannya, bahwa al-Qur’an telah menetapkan minimal tiga dasar pemerintahan dalam Islam, yaitu: keadilan, musyawarah dan kepatuhan ulil amri.

Dalam soal kepatuhan terhadap ulil amri ada penegasan bahwa suka atau tidak suka; setuju atau tidak setuju, umat Islam harus menaatinya. Namun, pengecuali ketataatan kepada ulil amri itu tidak berlaku pada penguasa yang melakukan pendurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya, terhadap penguasa semacam ini tidak boleh dipatuhi dan ketaan tidak berlaku padanya. Bahkan ada disebutkan bahwa penguasa semacam ini hari diganti. (Lihat, Nasih N. Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in The Arab World, 1991: 1-2).

Lebih jauh, bahkan menurut Abu Zahrah, tidak ada satupun nash yang qath’i atau isyarat yang jelas dari Rasul Allah tentang siapa yang akan menggantikannya. Yang ada hanyalah perintah Rasul Allah kepada Abu Bakar untuk menggantikannya menjadi imam shalat sewaktu Rasul Allah menderita sakit menjelang wafatnya. Para pengkaji pemikiran politik Islam melihat bahwa tidak ada relevansi (sebab akibat), dan analogi yang kurang tepat bila mempersamakan antara menggatikan Rasul Allah menjadi imam shalat dan menjadi khalifah.

Tambah lagi, dalam perdebatan yang terjadi di antara kelompok Muhajirin dan Anshar di Balairuang Saqifah Bani Sa’adah mengenai khalifah (pengganti Rasulullah) tidak satupun dari kedua kelompok itu yang menjadikan perintah Rasul Allah kepada Abu Bakar untuk menggantikan Rasul Allah menjadi imam shalat sebagai dasar argumen pemikiran mereka, khususnya dari kelompok Muhajirin. (Lihat, Muhammad Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, 1996: 23)

Perintah atau permintaan Rasul Allah untuk menggatikan jadi imam shalat itu tidak mengisyaratkan sebagai hak Abu Bakar al-Siddiq secara “ekslusif” atas kekhalifahan kaum Muslim. Sebaliknya, penafsiran jadi imam shalat sebagai hak “ekslusif” adalah kurang proporsional, dan tidak pada tempatnya. Memimpin kehidupan ibadah muamalah umat manusia yang “kompleks” berbeda dengan memimpin ibadah mahdah shalat berjamahan umat Muslim yang “sederhana”. Karenanya, isyarat menjadi imam shalat yang dikaitkan dengan pengangkatan jadi khalifah tersebut menjadi kabur.

Begitupun, ada hadis Rasul Allah (baca: Hadist Khadir Khum) yang menyatakan pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Rasul Allah, kelak. Di kalangan Syi‘ah meyakin ini bahwa lewat hadis ini, Rasul Allah telah menunjuk sepupunya sekaligus menantunya, Ali bin Abu Thalib sebagai pengatinya. Argumen yang meskipun, konon berdasarkan hadis, itu pun tetap dipertanyakan keabsahanya.

Menurut M.A. Shaban, salah satu keberatan dan penolakan terhadap hadis pengangkatan Ali sebagai pengganti Rasulullah adalah menyalahit tradisi Arab. Di kalangan orang Arab tidak ada tradisi mengangkat pemimpin yang masih berusia muda, sekitar berusia 30-an tahun. Dalam hal ini, Rasul Allah sangat memahami, sebagai anak zamannya, tradisi orang Arab yang ada pada waktu itu. (Lihat, M.A. Shaban, Sejarah Islam: Penafsiran Baru 600 – 750, 1993: 21)

Sebelum jasad Rasul Allah dikebumikan, sejumlah tokoh masyarakat sebagai refresentasi dari kaum Muhajirin dan Anshor melakukan musyawarah di Saqifah Bani Sa‘adah. Tradisi musyawarah di kalangan orang-orang Arab, sebelum datangnya Islam, telah sering dilakukan lewat lembaga yang disebut “Dewan” (Nadi). Di lembaga ini para tokoh (orang-orang tua) dari suatu suku atau wilayah tertentu bermusyawarah untuk memilih pemimpin di kalangan mereka, disamping bermusyawarah mengenai urasan-urasan pentinh mereka lainnya.

Lembaga itulah yang, menurut Fazlur Rahman, kemudian didoktrinisasikan oleh al-Qur’an dengan menggunakan istilah “syura”. (Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donahue & L. Esposito (ed.), Islamic in Transition Muslim Perspective, 1982: 263). Dalam musyawarah yang alot Sa’aqifah Bani Saadah tersebut, tanpa dihadiri oleh kaum Bani Hasyim karena dalam kedukaan mengurus jenazah Rasul Allah, akhirnya terpilih Abu Bakar atas usulan Umar Ibn Khattab yang mendapat persetujuan dari peserta musyawarah.

Segera setelah Abu Bakar al-Shiddiq terpilih sebagai khalifah, Umar Ibn Khattab memintanya untuk mengulurkan tangannya sebagai wujud menerima jabatan khalifah tersebut. Kemudian Umar Ibn Khattab memberikan bay’ah (sumpah setia) kepada Abu Bakar al-Shiddik, dan diikuti oleh kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Bay’ah ini dipahami sebagai kepastian hak dan kewajiban timbal balik antara rakyat dan pengusa (dewasa ini sering disebut sebagai “kontrak sosial”).

Dalam sambutan terpilihnya, Abu Bakar menyatakan, “bahwa saya telah mendapat kekuasaan dari orang-orang mukmin yang meminta untuk menjalankan ajaran agama dan Sunnah, sehingga sekirannya saya tetap teguh berpegang kepad keduanya maka dukunglah saya. Akan tetapi, jika saya kedapatan berbuat salah menjalan kedua aturan pokok itu, maka pecatlah saya”. (Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”: 263).

Proses pemilihan Khulafah al-Rasyidin berikutnya, masing-masing Umar Ibn Khattab (634-644), Utsaman bin Affan (644-656) dan Ali bin Abi Thalib (656-661) tetap lewat proses musyawarah. Meskipun dengan pola yang berbeda-beda yang juga dilanjutkan dengan bay’ah. Para Khulafa al-Raysidin, karena bukan seorang Rasul Allah yang menerima wahyu, dalam menjalankan pemerintahan mereka tunduk pada pada prinsip-prinsip dasar yang digariskan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Di samping itu, mereka juga melakukan musyawarah dengan para sahabat Rasul Allah. Pada umumnya para pemikir politik dalam Islam berpendapat bahwa masa pemerintahan khulafah al-rasyidun inilah yang paling ideal dalam Islam.

Pemerintahan ideal ini pada masa khulafa al-rasyidun disebut, menurut Madjid Khaduri, berbentuk nomokrasi karena peranan penting dalam pemerintahan adalah syariah. Berbeda dengan ini, al-Maududi menyebutnya dengan teo-demokrasi karena di samping syariah yang diwahyukan Tuhan sebagai pemegang kedaulatan tunggal dalam Islam, musyawarah antar-ummat juga mempunyai kedudukan penting. (Lihat, Mulya, Musda, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, 2001: 5).

Setelah wafatnya Rasulullah, kaum Muslim di Madinah terbentuk kelompok-kelompok politik yang berbeda-beda, seperti kelompok kaum Anshar, Muhajirin dan kelompok Bani Hasyim. Masing-masing kelompok mempunyai pimpinan tersendiri. Kelompok kaum Anshar dipimpin oleh Sa’ad bin Ubaidah, kelompok Muhajirin mendudukung Abu Bakar al-Sidik dan Umur ibn Khattab, sedangkan kelompok Bani Hasyim mendukung sepupu dan menantu Rasul Allah, Ali bin Abi Tahlib.

Adanya fraksi-fraksi politik tersebut dengan sendiri menimbulkan pemikiran di bidang politik. Misalnya, kelompok kaum Anshor mengklaim kekuasaan adalah milik mereka. Dengan pertimbangan bahwa mereka merupakan bagian terbesar dari angkatan bersenjata ummat Islam. Bahkan ketika perdebatan di antara kelompok-kelompok tersebut memuncak dan sulit untuk menemukan kata sepakat, maka kelompok kuam Anshar mengusulkan, sebagai pemikiran alternatif, agar kekuasaan dan kedaulatan ummat Islam dibagi dua.

Sebaliknya, kelompok dari kaum Muhajirin berpendapat bahwa kesatuan dan keutuhan kekuasan dan kedaulatan umat Islam harus dipertahankan. Dan dalam kekuasaan dan kedaulatan ummat Islam yang utuh tersebut, menurut mereka, kelompok kaum Muhajirin adalah pemilik kekuasaan yang abash. Dengan alasan bahwa bagi semua orang Arab hanya mau menerima kepemimpinan dari suku Quraisy saja. Barang kali legitimasi alasan ini berdasarkan pada hadis Rasul Allah, yaitu “al-a’immah min Quraisy” (kepemimpinan dari Bani Quraisy). Sementara itu, belakangan Bani Hasim mengklaim bahwa kekuasaan dan kepemipinan atas ummat Islam adalah milik mereka. Dengan pertimbangan atas pertalaian keluarga dengan Rasulullah.

Setelah periode Khulafau al-Rasyidin berakhir, pemerintahan dalam Islam beralih kepada dinasti Umayyah. Mu’awiyah (661-680) adalah khalaifah yang pertama merubah sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem domokrasi menjadi monarki, yaitu dengan mengangkat putranya, Yazid sebagai pengatinya. Ketika dinasti Ummayah digulingkan oleh dinasti Abbasyiah, bukannya pemerintahan bentuk monarki dirubah, tetapi tetap dipertahankan, bahkan pemerintahnya lebih absolut dari dinasti sebelumnya. Sabda Rasul Allah, “Sepeninggalanku kekhalifahan berumur tiga puluh tahun. Sesudah itu, ia akan berubah menjadi kerajaan yang digigit (dipertahankan secara turun-temurun).” (Lihat, Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam: 13).

Kendatipun hadis ini diragukan oleh peneliti hadis, lantaran “a historis”, karena “kekhalifahan” pada masa hidup Rasul Allah belum tercipta, tetapi baru setelah Rasul Allah wafat. Namun, keberatan tersebut mengandaikan keraguan mereka terhadap kekuatan estimasi dari Rasul Allah. Dan kalau ditinjau bahwa Muahmmad merupakan Rasul Allah, maka keberatan tersebut menjadi tidak terlalu berarti. Banyak orang menyangkan perubahan sistem pemerintahan tersebut. Bahkan pemikir-pemikir pembaharu dalam Islam abad ke-19 dan 20 menyatakan bahwa salah satu penyebab kemunduran ummat Islam adalah lenyapnya pemeritahan khulafa al-rasyidun yang bercorak demokratis dan republik itu menjadi monarki. (Musda Mulya, Negara Islam: 5).

Dalam penilaiannya terhadap sistem politik yang dibangun oleh Rasul Allah, kemudian diteruskan oleh para khulafa al-rasyidin, menurut Robert N. Bellah, sangat modern untuk ukuran zaman dan tempatnya. Bahkan era khulafa al-rasyidin sebagai kelanjutan era Rasul Allah di Madinah terlalu “modern” untuk berhasil, seperti dikutip Nurcholish Madjid:

“Tidak dapat lagi dipersoalkan bahwa di bawah Rasul Allah Muhammad masyarakat Arab telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik. Tatkala struktur yang telah terbentuk di bawah Rasul Allah dikembangkan oleh para khlifah pertama untuk menyediakan perinsip penyusunan suatu emperium dunia, hasilnya suatu yang untuk masa dan tempat sangat modern.”

Sistem politik awal Islam klasik sedemikian modernannya, sehingga hanya mampu bertahan dengan berakhirnya kepemimpinan khulafa’ al-rasyidun. Pemerintahan pasca khalifah al-rasyidun ini gagal menerapkan sistem politik modern. Dengan begitu, mereka kembali pada prinsip organisasi sosial pra-Islam, merupakan bukti tambahan untuk kemodernan eksperimen dini tersebut. Eksperimen itu terlalu modern untuk bisa berhasil karena belum ada prasarana sosial yang diperlukan untuk mendukungnnya.” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusia: 15-16; Robert N. Bellah, Beyon Belief Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, 2000: 213).

Sistem politik awal Islam klasik disebut modern dalam hal tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partispasi yang diharapkan dari kalangan rakyat sebagai anggota masyarakat. Pratek sistem politik semacam ini terjawantahkan dengan sempurna sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Begitu pula, sistem politik Islam dikatakan modern dalam hal pemilihan pemimpin (khalifah) secara demokratis lewat musyawarah. Lebih dari itu, disebut modern karena keterbukaan kedudukan kepemimpinannya untuk dinilai kemampuan mereka menurut landasan-landasan universalistas. Kepemimpin modern itu tidak dilambangkan menjadi lembaga yang anti kritik dalam kepemimpinan monarki (diangkat turun-menurun).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)