Oleh Alimuddin Hassan Palawa*
Taufik Abdullah, “bertitah” lewat pertanyaan retoriknya: “… Bagaimanakah akan dipahami gerakan reformasi agama di Sumatra Barat, umpamanya, kalau penerbitan majalah Al-Imām di Singapura tidak diperhitungkan.” (Taufik Abdullah, “Pengantar”, dalam Azyumadi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000: xiv).Pernyataan “kampiun” sejarawan Indonesia (dan Asia Tenggara) ini sekedar memberi contoh dari berbagai “gejala historis” dalam rangka memahami suatu kawasan, misalnya dalam konteks ini gejala historis di kawasan Minangkabau dikaitkan dengan peran dan pengaruh majalah al-Imām yang terbit di Singapura.
Majalah Al-Imām memang terbit hanya dua tahun (1906-1908), tetapi pengaruhnya sedemikian luas, sehingga majalah Al-Imām mempunyai peranan penting untuk melihat kesinambungan geneologi pembaharuan intelektual-keagamaan di Indonesia. Sedemikian besar fungsi dan peran yang telah diukir oleh jurnal Al-Imām dalam melancarkan gerakan pembaharuan. Dan tersebab itu, jurnal ini kadang disebutkan juga “Jurnal Pembaharuan”, khususnya dalam bidang keagamaan di Alam Melayu, sampai-sampai sejarahwan senior yang sangat otoritatif mengajukan pertanyaan retorik, sebagimana dikutip di awal tulisan ini.
Pernyataan Taufik Abdullah itu memang benar karena Minangkabau termasuk kawasan yang paling banyak mendapat “mamfaat” dan “keuntungan” dari penerbitan majalah Al-Imam itu. Untuk melihat peran dan pengaruh majalah Al-Imām terhadap kawasan Minangkabau, sekurang-kurangnya, ada dua realitas historis.
Pertama, pada tataran konseptual, Azra menyebutkan dengan memberikan kesaksian dari Buya Hamka bahwa majalah al-Imām telah “memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap pemikiran pembaharuan” Kaum Muda di Minangkabau.
Kedua, pada tataran praktis, ketika tidak lagi terbit, Azra menyebutkan bahwa majalah Al-Imam telah mendorong secara langsung bagi Kaum Muda di Minangkabau, khususnya Haji Abdullah Ahmad untuk mendirikan jurnal yang “berhaluan” sama dengan Al-Imām, yaitu majalah Al-Munīr. Raja Abdullah Ahmad sendiri mempelajari dengan seksama berbagai hal berkaitan dengan penerbitan, manajeman dan editorialnya, sebelum ia menerbitkan jurnal Al-Munīr di Padang pada 1 Rabi‘ al-Akhir 1329 bersamaan dengan 1 April 191. (Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, 195-197).
Di kawasan dunia Melayu secara umum, menurut William Roff,dalam rentang waktu 65 tahun (dari 1876 sampai menjelang pecahnya Perang Dunia II) terdapat tidak kurang mencapai 147 terbitan. (W.R. Roff, Sejarah Surat-Surat Kabar Melayu, Pulau Pinang: Saudara Sinaran,1967: 8). Dari sekian banyak surat kabar dan majalah tersebut sebagian besar terbit di Singapura. Di antara terbitan paling gencar menyurakan gerakan dan pemikiran pembaharuan Islam demi kebangkitan masyarakat Islam di Alam Melayu dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangannya dari bangsa-bangsa lain adalah majalah “Pembaharu” Al-Imām.
Kehadiran majalah Al-Imām, menurut Roff, merupakan titik penting bagi jurnalisme Melayu. Bahkan kehadiran majalah al-Imam telah memberikan “angin segar” –dan bahkan mungkin sekaligus telah memberikan suntikan “darah segar”– bagi gerakan persuratan intelektual pada umumnya, dan pembaharuan pemikiran keagamaan pada khusus di kawasan Melayu-Nusantara. Kelahiran majalah Al-Imām dengan misi dan visi pembaharuannya sangat ditentukan oleh author intellectual-nya, yaitu Shaykh Taher Jalaluddin dan sejumlah pengelolanya yang pernah bersentuhan langsung dengan pembaharuan pemikiran Muhammad Abduh.
Belakangan, pengaruh pembaharuan pemikiran Muhammad Abduh mengkristal bersama-sama dengan Rashid Ridha lewat penerbitan majalah Al-Manar. Karenanya, pengelola majalahAl-Imām kerap kali mengutip pemikiran pembaharuan keagamaan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha serta memuat beberapa tulisan yang berasal dari majalah Al-Manar. Majalah Al-Imām, menurut William Roff, memang sangat mirip dengan jurnal al-Manār yang diterbitkan oleh Rashid Ridha di Kairo pada 1989. (Lihat, William Roff, Origin of Malay Nasionalism (New Haven: Yale University Press, 1967: 59).
Tanpa bermaksud menafi’kan peran pendiri dan pengelola serta menyokong dana peneribitan majalah Al-Imam, utamanya Shaykh Taher Jalaluddin, Shaykh Muhammad bin Salim dan Haji Abbas bin Muhammad Taha, tulisan singkat ini hanya menyorot –dan itupun selayang pandang–peran signifikan dan menentukan telah diberikan oleh Raja Ali Kelana, Raja Khalid Hitam dan Syed Shaykh Ahmad al-Hadi.Ketiga figur-figur intelektual Melayu-Riau ini telah memberikan konstribusi bagi kelangsungan penerbitan majalah Al-Imām dalam berbagai bentuk. Mereka telah mangambil peran sebagai pengelola, penyumbang tulisan dan penyandang dana bagi kelangsungan penerbit majalah tersebut.
Pertama, mereka bertiga menjadi pemasok tulisan-tulisan yang cukup produktif bagi majalah “pembaharu” di alam Melayu. Khusus Syed Shaykh Ahmad al-Hadi, seperti ungkap Roff dari wawancaranya dengan Hamdan bin Shaykh Tahir, selain sangat produktif, tulisan-tulisannya sangat tajam, dan kritiknya begitu pedas guna menyadarkan dan membangkitkan masyarakat Melayu dari kebodohan, keterbelangan, dan kemiskinan. (Lihat, W. R. Roff, Sejarah Surat-Surat Kabar Melayu, 60-61).
Kedua, Raja Ali bin Raja Muhammad Yusuf Ahmadi, (calon YDM XI, sehingga ia lebih dikenal dengan nama Raja Ali Kelana) menjadi penyokongan finansial demi kelangsungan penerbitan majalah Al-Imām. Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa “…Al-Imām tidak mungkin diterbitkan tanpa sokongan keuangan yang kuat dari Raja Ali Ahmadi, seorang anggota keluarga kesultanan Riau-Lingga.” (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 19). Bantuan finansial Raja Ali Kelana sangat signifikan ini semakin mengukuhkan hubungan baik para pendiri dan pengelola jurnal Al-Imām denganya secara pribadi dan dengan keluarga istana yang terjalin sebelumnya. Dengan begitu, jurnal Al-Imām, seperti diungkapkan Snouck Hurgronje, menjadi “tempat yang cocok bagi Raja Ali dan para penasehatnya untuk mengungkapkan keinginan dan keluhan mereka.” (Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, 191).
Ketiga, khusus Syed Shaykh Ahmad al-Hadi,bersama-sama dengan Shaykh Muhammad Tahir Jalaluddin, Shaykh Muhammad bin Salim dan Haji Abbas bin Muhammad Taha, menjadi pendiri dan sekaligus pengelola utama majalah Al-Imām yang (hanya) terbit selama dua tahun (1906-1908).Untuk peran keempat pengelola Al-Imām ini telah dikaji oleh W.R. Roff, Azyumardi Azram dan Abu Bakar Hamzah. (Lihat W. R. Roff, Sejarah Surat-Surat Kabar Melayu, 56-67; lihat juga, Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung: Mizan, 2002:, 186-197; Abu Bakar Hamzah, Al-Imam: Its Role in Malay Society 1906-1908, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1991: 115-138).
Selain ketiga tokoh intelektual Melayu-Riau tersebut di atas, Tengku Usman, putra Sultan Abdul Rahman yang pernah menempuh pendidikan di Mesir, tulisannya –semula merupakan teks pidatonya yang dibuat dengan maksud untuk mengkritik kebijakan sultan dalam mengelola kerajaan yang disampaikan dalam pertemuan di Rusydiah Klab– dimuat secara “verbatim” dalam jurnal Al-Imām terbitan November 1906. (Lihat, Andaya, “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Alliesby the Rulers of Riau, 1899-1914”, 140; Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 224).
Menurut Za’ba, Syed Al-Hadi selain menjadi penulis, iajuga bertindak sebagai penyunting artikel-artikel yang akan diterbitkan dalam majalah itu. Ia kadang-kadang pula turun tangan dalam membantu manajemen majalah Al-Imām. (Lihat, Za’ba “Modern Development in Malay Literature”, dalam JMBRAS, Vol. XVIII, Part. 3, 1940: 155). Bahkan nomenklatur “Al-Imām” untuk nama majalah itu, menurut Talib Samad, diberikan/diusulkan Syed Shaykh Ahmad al-Hadi.
Konon, Syed Al-Hadi memberi nama “Al-Imām” yang berarti “Pemimpin” bagi majalah itu sebenarnya terilhami dari gelar yang telah disandang oleh “Bapak Pembaharuan Islam”, al-Ustādh al-Imām al-Shaykh Muḥammad Abduh yang dinisbatkan oleh murid-murid dan pengikut-pengikut setianya. (Talib Samat, Syed Shaykh Al-Hadi: Sastrawan Progresif Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992: 13). Sanjungan dengan penyebutan “al-Ustâdh al-Imâm” bagi Muahmmad Abduh diberikan murid-muridnya, khususnya oleh Sayyid Rashid Riḍa. (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1997: 60). Meskipun begitu, dalam editorial terbitan pertamanya tiada menyebutkan kalau nama jurnal Al-Imam diasosiasikan kepada Shaykh Muhammad Abduh.
Editorial penerbitan Al-Imam kali pertama menjelaskan bahwa term “al-Imam” mempunyai beberapa arti dalam bahasa Arab, salah satu antaranya adalah “untuk memimpin kebaikan.” Kata “Al-Imām” (Pemimpin) terdiri dari akar kata: “AMN”. Menurut Fathul al-Rahman, sebuah indeks Kitab Suci al-Quran yang masyhur, kata “al-Imām” tidak kurang dari 118 kali disebut al-Qur’an dalam kesempatan yang berbeda, masing-masing mempuyai hubungan dengan “Pemimpin”, “Teladan” dan “Buku Induk”.
Dalam editorial itu dijelaskan bahwa alasan untuk memilih nama “Al-Imām” ini adalah berkaitan dengan antisipasi mereka untuk suatu yang baik agar tidak keluar dari sabda Nabi, “Imām (Pemimpin) diciptakan hanya untuk dipatuhi”. Majalah Al-Imām dengan jelas menggunakan ketiga maksud tersebut; halaman depannya memuat dua ayat al-Quran yang artinya berturut-turut, yaitu: (i) “… dan jadikanlah kami –Ya, Tuhan– teladan bagi orang-orang yang menghindari kejahatan”; (ii) “… dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Buku Induk yang nyata.” (Lihat, Abu BakarHamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 20).
Dari penjelasan singkat di atas, nyata benar bahwa ketiga tokoh intelektual Melayu-Riau itu telah memberikan sumbangsih penting dan beragam yang, karenanya, sangat berarti bagi kelangsungan penerbitan majalah Al-Imām. Dan pada akhirnya, lewat jurnal Al-Imām Raja Ali Ahmadi, Syed Sayyid al-Hadi dan Raja Ali Khalid Hitam dan beberapa ilmuan Melayu-Riau lainnya secara langsung telah memainkan peranan dalam menimbulkan kesadaran dan kebangkitan bagi masyarakat di Alam Melayu.
Pembaca majalah bulanan Al-Imām tersebar dan mempengaruhi pembacanya di kawasan Alam Melayu baik Alam Melayu-Inggris, seperti Johor, Perak dan Pahang maupun Alam Melayu-Hindia Belanda, seperti kawasan Sumatra, khususnya Riau dan Minangkabau; kawasan Jawa dengan agen-agennya di Jakarta, Cianjur, Semarang dan Surabaya); kawasan Kalimantan dengan agen-agennya di Pontianak, Sambas; dan kawasan Sulawesi, khususnya Makassar/Ujung Pandang. (Lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942: 42).
Dalam menghadapi latar belakang masyarakat Melayu yang masih tradisional dan berorientasi konservatif, majalah ini menyuarakan spirit pembaharuan pemikiran Islam. Syed Sayyid al-Hadi, sekedar contoh, termasuk kontibutur paling produktif menulis dalam Al-Imām, menekankan urgensi pendidikan dan pembaharuan serta menyerukan kepada masyarakat Melayu untuk membuang praktek-praktek tidak Islami (bid’ah dan khurafat) dalam kehidupan sehari-hari. (Lihat, Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas: Perspektif Politik Melayu, 31).
Ihwal majalah Al-Imām Roff menyatakan bahwa “Arti penting Al-Imām di Malaya, sebagai sebuah jurnal berpengaruh, saya pikir, dapat dinilai sangat tinggi.” Selanjutnya, Roff menyebutkan: “Prihal banyak sedikitnya oplahnya memang masih problematik, tetapi relatif kecil…. Walaupun mempunyai audiens terbatas, ia menjadi pegangan bagi guru agama di Madrasah madrasah dan pondok, di mana pendapatnya tentang masalah-masalah seperti memakai pakaian gaya Eropa, bayaran uang untuk doa penguburan, mengambil bunga uang simpanan di Bank dan latihan-latihan tertentu yang dinisbatkan dengan sufisme Naqsyabandiah menimbulkan cukup banyak kontroversi.” (Lihat, Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 11).
Demi menjadi “corong” pembaharuan pemikiran di Alam Melayu pengelola Al-Imām telah membagi-bagikan jurnalnya tanpa harus memungut biaya kepada semua Madrasah Agama di Malaya yang tidak mendapat bantuan dari Pemerintahnya. Bahkan pengelola Al-Imām mengundang orang-orang yang tertarik membaca jurnalnya, tetapi tidak mampu untuk membayar, menulis dengan bebas menyalin jurnal itu. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 18-19).
Sementara untuk biaya penerbitanya, pengelola menjual majalah itu secara komersial kepada pembacanya. Bahkan jurnal Al-Imām ada kalanya kesulitan keuangan, sehingga harus mendapat sokongan dana, misalnya dari Raja Ali Kelana, seperti telah disebutkan sebelumnya. Pada lain waktu, untuk kelangsungan penerbitannya Al-Imāmacapkali mendapatkan bantuan keuangan dari Shaykh Salim al-Khalali seorang saudagar yang seringkali bolak-balik dari Singapura ke Cirebon. Bahkan setelah dilakukan reorganisasi, situasi keuangan Al-Imām masih belum begitu jelas. Pada 1908 organisasi kembali memerlukan pertolongan Shaykh Salim al-Khalali, khususnya bantuan dari Muhammad Syekh ‘Aqildan Haji Abbas bin Mohd. TahasebagaiDirekturUtamadan Pemimpin Editor secaraberturut-turut. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 19).
Sayang sekali majalah “pembaharuan”, Al-Imāmini hanya mampu bertahan selama dua tahun, disinyalir karena kekurangan dan kesulitan pendanaan. Dalam sebuah tesis yang ditulis pada 1961 berjudul “The Life and Time Syekh Syed Al-Hadi” S.H. Tan menyimpulkan mengenai penghentian penerbitan Al-Imām,“sangat mungkin berutang untuk membayar kekurangan dana….” Pendapat yang sama dikemukan Abdul Aziz bin Mat Tom dalam Tesis-nya, “Gerakan Ansarul Sunnah Dalam Kegiatan Kaum Muda Malaka”, sependapat dengan penelitian sebelumnya, menyatakan bahwa sampai sejauh ini tidak ada alasan untuk penghentian penerbitan jurnal Al-Imam selain dari masalah keuangan. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society, 7).
Meskipun hanya mampu bertahan dua tahun, tetapi majalah al-Imam telah memainkan peran penting dengan berusaha mewujudkan maksud dan tujuan keberadaan (penerbitan)nya, sebagai berikut: 1. Mengingatkan mereka yang lupa; 2. Membangkitkan mereka yang terlelap tidur; 3. Membimbing mereka yang sesat; 4. Memberikan dukungan kepada mereka agar berbicara bijak; 5. Mengajak kaum Muslim untuk berusaha sungguh-sungguh agar hidup sesuai dengan perintah Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa; 6. Agar mereka meraih kebahagian yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini dan memperoleh ridha Allah di akhirat kelak. (Lihat, Abu Bakar Hamzah, Al-Imam Its Role in Malay Society: 28-29). Dan Yang pasti majalah Al-Imam telah perperan menyurakan secara gencar gerakan dan pembaharuan pemikiran Islam dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangandemi kebangkitan masyarakat Islam di Alam Melayu.
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.