26. PRESTISE, NO; PRESTASI, YES: Labora Ergo Sum (Saya Beramal, Maka Saya Ada)

26. PRESTISE, NO; PRESTASI, YES: Labora Ergo Sum (Saya Beramal, Maka Saya Ada)

Alimuddin Hassan Palawa*

 

Perumpamaan yang tepat untuk menjelasakan slogan “Prestise, No; Prestasi, Yes”dari judul di atas adalah: “al-i’tibâr fi al-Jâhiliyah bi al-ansâb, wa al-i’tibâr fî al-Islâm bi al-a’mâl” (Penghargaan di masa jahiliyah berdasarkan keturunan [prestise], dan penghargaan di masa Islam berdasarkan hasil kerja [prestasi]. (CN, “IDP”: 560). Lalu, bagaimana dengan praktek penghargaan kita sekarang, apakah “Jahiliyah” atau “Islam”? Apakah Islam tetap inspirasi kita atau Jahiliyah yang menjadi aspirasi kita?

Prinsip penghargaan atas prestasi dalam Islam tercermin dari penetapan penghitungan kalender dalam Islam guna menggatikan perhitungan kalender sebulumnya, Masehi.Momentum peristiwa Hijrah Rasul Allah dari Mekkah dan Madinah ditetapan sebagai titik awal sistem penghitungan kalender Islam. Keputusanini ditetapkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, yaitu17 tahun setelah peristiwa hijrah itu sendiri. Momentum hijrah ditetapkan sebagai titik awal kelender Islam adalah atas saran/usul dari Ali bin AbiThalib. Usul/saran yang tidak saja cerdas ini, tetapi tepat dan memiliki makna enssensi-simbolik dibandingkan dengan usulan-usulan lainnya.

Sebelum pilihan dan keputusan jatuh pada peristiwa hijrah –momen perpindahan Rasul Allah dari Mekkah ke Madinah– di kalangan sahabat utama mengesulkan bahwa awal penanggalan (kelender) dalam Islam sebaiknya berdasarkan dari peristiwa-peristiwa penting pada diri Nabi Muhammad saw. Misalanya, ada sahabat yang mengusulkan penanggalan Islam sebaiknya di mulai dengan merujuk pada hari kelahiran Nabi Muhammad (maulid); sahabat lain mengemukakan seharusnya pada hari diangkatnya Nabi Mahammad jadi Rasul Allah (al-ba’tsah); dan ada pula sahabat yang menyarankan dengan mendasarkan pada peristiwa penting, yaitu hari pembebasan kota Mekkah (Fath Makkah).

Namun, pada akhirnya pilihan dan keputusan Khalifah Umar bin Khattab jatuh pada peristiwa hijrah dengan argumentasi yang logis.
Khalifah Umar bin Khattab tidak memilih hari kelahiran karena Muhammad yang masih bayi, tentu saja tidak/belum bisa berbuat apa-apa, sehingga atas dasar pertimbangan prestasi,karenanya, terolak dengan sendirinya. Sementara peristiwa diangkatnya jadi Rasul (al-ba’tsah), Nabi Muhammad saw. baru saja memulai risalah al-nubuwwah, sehingga tidak/belum menampakan usaha dan hasil yang menggembiran. Begitu pula, peristiwa pembebasan kota Mekkah (Fath Makkah) merupakan satu titik penting dalam sejarah Islam, tetapi dapat dipastikan tidak akan pernah terjadi, tanpa didahulu adanya memontum sejarah penting, yaitu hijrah yang telah dilakukan oleh Rasul Allah.

Dari gambaran singkat sejarah penentuan dan keputusan titik awal kalender Islam, jelas menunjukkan dominasi persetasi mengatasi prestise. Artinya, keputusan menjadikan pristiwa hijrah sebagai awal kelender dalam lslam lebih didasarkan pada inspirasi Islam (prestasi-amal) ketimbang aspirasi jahiliyah (berdasarkan prestise-keturunan).Sikap dan padangan sahabat Rasul Allah, khususnya Ali bin Ab Thalib dan Khalifah Umar bin Khattab itu telah memberi contoh dan pelajaran dengan menjadi bahwa amal dan prastasi sebagai ukuran eksistensial manusia.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid, oleh karenanya, Islam tidak terlalu menekankan prinsip “cogito ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada), sebagimana dianut oleh filosuf rasionalis, Rene Descartes [bapak filosuf modern Barat]. (Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, 418). Begitu pula, konsep Islam tentang eksistensi manusia tidak sama dengan, menurut Ali Syariati, misalnya pernyataan Andre Gide [intelektual Prancis, 1869-1951], “Saya merasa, maka saya ada”; dan ungkapan Albert Camus [intelektual Prancis, 1913-1960], “Saya memberontak, maka saya ada.”(Charles Kurzman [ed.]Wacana Islam Liberal: 303).

Namun, konsep Islam tentang esensi eksistensi manusia adalah menganut prinsip “labora ergo sum” (Saya beramal, maka saya ada). Dengan kata lain, dalam Islam esensi ukuran dan bentuk keberadaan (mode of existence) seseorang lebih ditentukan oleh amal-perbuatannya. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, 418). Jadi keberadaan manusia bukan diukur dari yang lainnya, semisal ilmu (meskipun amal yang akan dilakukan meniscayakan adanya ilmu sebelumnya), dan bukan pula iman (meskipun amal dan ilmu meniscayakan landasan keimanan sebelumnya).

Artinya, kendatipun dalam Islam antara amal, ilmu dan iman tidak dapat dipisahkan, tetapi amal tetap menjadi “ukuran real” keberadaan manusia di dunia ini. Kalau iman dan ilmu saja tidak menjadi “ukuran real” keberadaan manusia, apalagi yang lainya, misalnya wajah dan harta serta kekuasaan. Rasul Allah saw. bersabda: “Inna Allah lā yanẓuru ilā ṣuwarikum wa amwālikum wa lakin yanẓuru ilā qulūbikum wa a‘mālikum” (Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk luarmu dan bukan pula hartamu, tetapi Allah melihat hatimu dan amal perbuatanmu). (H.R. Muslim dari Abu Hurairah).

Begitu pula, Allah mengegaskan bahwa kemulian seseorang itu adalah berdasarkan ketakwaannya, yakni “Inna akramakum ‘inda Allah atqakum” (Q.s. al-Hujurat [49]: 13). Dan defenisi takwa itu, sebagaimana secara lumrah disampaikan khatib di mimbar-mimbar khutbah Jum’at, adalah menjalankan apa yang diperintahkan Allah, dan meninggalkan apa yang dilarang Allah. Artinya, “menjalankan” dan “meninggalkan” adalah kata kerja yang harus diaplikasi dalam amal-perbuatan. Jadi, semakin tertegaskan bahwa amal lah yang menjadi ukuran essensi eksistensi manusia di dunia ini.

Kemudian, esensi eksistensi semacam itu ditegaskan dalam ajaran Islam bahwa manusia hanya mendapatkan sesuatu yang diusahakan. Allah berirman: “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah danRasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahhui yang gaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah [9]: 105).

Pada lain tempat, Allah menyatakan dalam al-Qur’an bahwa manusia hanya akan memperoleh balasan apa yang telah diusahakannya. Dengan ungkapan berbeda bahwa manusia tidak akan mendapat pahala selain pahala amal yang telah dikerjakannya. Dan apapun amal ibadah yang telah diperbuat oleh manusia Allah akan memperlihatkannya, dan akan dibalas amal ibadah tersebut dengan balasan yang setimpal. (Q.s. al-Najm [53]: 39-42).

Padabagianlain, Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu hanya diberi belasan menurut apa yang kamu kerjakan.”(Q.s. al-Taḥrīm [66]: 7). Begitu pula, balasan kedurhakaan; dan/atau azab yang ditimpakan kepada manusia hanya didasrkan atas perbuatannya. (Q.s. al-An’am [6]: 146; dan Q.s. Saba’ [34]: 17). Artinya, kebahagian (surga) dan kesengsaraan (neraka) manusia kelak di akhirat sangat tergantung dengan amal ibadah yang telah dilakukan di dunia saat ini.

Dalam pada itu, kalau seseorang berbuat baik berarti ia berbuat baik bagi dirinya sendiri, dan kalau berbuat jahat berarti ia telah berbuat jahat bagi dirinya sendiri.(Q.s. al-Isra’[17]: 7; dan al-Jāthiyah [45]: 15). Seseorang yang mengerjakan amal baik akan mendapat sebutan/nama terpuji (pahala) dan pada gilirannya memperoleh imbalan yang baik pula. Sebaliknya, seorang beramal jahat akan mendapat sebutan/nama terhina (dosa), dan pada gilirannya mendapat balasan yang jelek pula. (Q.s. Fuṣṣilat [41]: 46).

Perbuatan baik dan buruk itu akan dituai manusia tidak saja di dunia ini, tetapi terlebih-lebih di akhirat, kelak. Karenanya, Rasul Allah menegaskan bahwa “Aktsar al-nâs yadkhulûna ila al-jannah hiya taqwa wa husnul kuluq” (yang paling banyak memasukkan manusia di surga adalah takwa dan budi pekerti luhur). Lagi-lagi, takwa itu baru akan “tampak” (secara kasat mata) kalau diimplementasi dalam wujud amal perbuatan. Begitu pula, budi pekerti luhur meniscayakan pengejawantahan dalam kehidupan sehari-hari. Makanya budi pekerti luhur Rasul Allah yang agung dapat diteladani disebabkan telah manjadi inhairen dalam kehidupannya.

Hebatnya lagi, “Kâna khulquhû al-Qur’ân” (akhlak Rasul Allah adalah al-Qur’an) (HR. Muslim) sebagai jawaban dari Aisyah ketika ditanya oleh Sa’d bin Hisyam bin Amir, “apakah akhlak Rasul Allah”. Artinya, kehidupan Rasu Allah merupakan pengejawantahan nyata dari pesan-pesan al-Qur’an sebagai hudan li al-nâs (petunjuk bagi manusia).Karenanya, dalam konteks ini tidak berlebihan kalau ada yang mengakatan lebih tegas lagi bahwa Rasul Allah adalah al-Qur’an yang “berjalan”.

Dalam doktirn Islam bahwa penyempurnaan akhlak menjadi alasan utama misi keberadaan nabi-nabi, khususnya Nabi Muhammad saw. kepada umat manusia. Hadith Rasul Allah saw.: “Innamâ bu‘ithtu li utammima makârimah al-akhlâq” (Sesungguhnya saya diutus hanyalah untuk menyempurnaan budi-pekerti yang mulia).Sebelumnya Allah sendiri telah memproklamirkan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. patut dijadikan uswah al-hasanah sebab pada dirinya terdapat akhlak yang mulia dan agung, yaitu “Inna la’ala khuluqin ashim.” (Q.s. Qalam [68]: 4). Artinya, baik hadis maupun ayat ini secara langsung menekankan arti penting akhlak yang diwujudkan dalam amal shaleh.

Dalam konteks melakukan amal-perbuatan, manusia adalah makhuk merdeka yang dapat menentukan sendiri pilihannya, apakah: terpuji atau terhina. Dengan ungkapan lain, manusia memiliki kebebasan untuk memilih dua jalan yang telah ditentukan Allah: “Wa hadaynâhu al-najdayn” (Dan Kami telah tetapkan kepadanya dua jalan). (Q.s. al-Balad [90]: 10).Artinya, manusia sendirilah yang menentukan: apakah memilih “fujûrahâ” (kalau berbuat jahat ia akan dihina); atau “taqwâhâ” (kalau berbuat baik ia akan dipuja).Dengan kata lain, jalan menuju dosa atau jalan menuju pahala adalah pilihan yang ditandai dengan amal, yaitu amal baik dan buruk.

Terkait langsung dengan hal tersebut, dalam“Syair Nasehat” yang menjadi “epilog” dalam Thamarāt al-Muhimmah, Raja Ali Haji menyebutkan dengan bahasa puitis:

Jalan kehidupan ditunjukkan
Berkebun berladang disukakan
Berbuat baik dipujakan
Berbuat jahat dihinakan.

Untuk itu, dalam menjaga/memelihara nama baik, menurut Raja Ali Haji, sama pentingnya memelihara dan perpegang teguh pada agama. Sekali lagi, memelihara “nama baik” dan “agama” yang jalin berkelinda di sini –jika dan hanya jika– mutlak diwujudkan dalam amal-perbuatan. Dengan kata lain, orang yang memegang teguh agama berarti orang bersangkutan telah mengukir nama baiknya (kemuliaan). Sebaliknya, orang yang tidak berpegang pada agama, maka telah mengukuhkan nama buruknya (kehinaan). Dalam Gurindam Duabelas Raja Ali Haji menuturkan dengan indahnya:

Barangsiapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilang nama.

Dalam pandangan Raja Ali Haji memelihara agama dan nama (baik) sangat penting dan utama. Walau kita dalam kemiskinan dan menjadi rakyat biasa, menurut pengakuan Raja Ali Haji, tidak masalah, asalkan kita mampu memelihara agama dan nama (baik). Sebaliknya, kalau kita tidak bisa memelihara kedua itu maka tidak ada gunanya kita berumur panjang. Karenanya, ia tandaskan, kita sama saja dengan binatang. Hal ini ditulis Raja Ali Haji dalam suratnya kepada sahabat berkekalannya, Von de Wall, bunyinya:

“Syahdan yang kita pegang selama2 ini, biaralah kita jadi orang miskin atau jadi orang kecil asal jangan kita cacat kepada agama dan nama. Karena apabila orang2 tiada memelihara yang dua perkara itu, tiada guna panjang umur di dunia karena sama juga dengan binatang.” (Puttendan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 43).

Umur panjang tiada artinya, demikian ungkap Raja Ali Haji, kalau tanpa menorehkan nama baik lewat prestasi dan amal saleh. Dengan melakukan amal saleh yang bermamfaat bagi sesama manusia, maka sepeninggalannya (setelah wafat) ia akan dikenang oleh orang lain karena (jasa) nama baiknya, seperti kata pribahasa “manusia mati meninggalkan nama”.

Sebaliknya, manusia yang tidak melakukan amal saleh dan tidak memelihara nama baiknya, menurut Raja Ali Haji, berdasarkan kutipan di atas, kedudukannya sama dengan binatang. Bahkan dalam kondisi tertentu, ketika manusia tidak mempergunakan potensi yang dimiliki, seperti panca indera, akal dan hati, al-Qur’an memandangnya “balhum aḍal ” (bahkan lebih sesat). Manusia semacam ini jauh lebih rendah dan hina daripada binatang. Untuk itu, manusia yang lalai semacam ini menjadi menghuni utama neraka jahannam. (Q.s. al-A‘rāf [7]: 179).

Sementara itu, bukankah binatang “dikenang” (dibutuhkan orang) karena sesuatu yang bermanfaat dan berguna pada binatang untuk keperluan manusia. Firman Allah “Dan (ada lagi) manfaat-manfaat yang lain pada binatang ternak itu untuk kamu [air susunya, kulitnya, bulunya dan sebagainya] dan supaya kamu mencapai suatu keperluan yang tersimpan dalam hati dengan mengendarainya. dan kamu dapat diangkut dengan mengendarai binatang-binatang itu dan dengan mengendarai bahtera.” (Q.s. al-Mu’min [40]: 80).

Kegunaan binatang itu, misalnya, kulit untuk harimau dan gading untuk gajah, sebagaimana ungkapan pribahasa: “harimau mati meninggalkan belang” atau “gajah mati meninggalkan gading”. Harimau diperlukan orang karena kulit belangnya yang bermanfaat; dan gajah dibutuhkan orang sebab gadingnya yang berguna.Lalu, kalau manusia sudah meninggal, seyogyanya dikenang oleh sesamanya lantaran jasa baikatau amal shalehnya. Karenanya, manusia yang paling baik adalah yang (paling) bermamfaat bagi manusia (khayr al-nās yanfa‘u li al-nās), demikian sabda Rasul Allah saw.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau).

Leave a Reply