Sekretaris Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau
PADA suatu hari, di hadapan Nabi Muhammad saw, para sahabat sedang memperbincangkan sahabat lainnya yang memiliki tingkat kesalehan lebih tinggi dari pada mereka. Nabi pada saat itu tidak memberikan komentar sedikitpun tentang sahabat yang saleh tersebut. Padahal, Nabi adalah sosok yang paling suka memuji kebaikan orang, meski sekecil apapun. Tiba-tiba datanglah seseorang, “inilah orang yang kami bicarakan, wahai Rasul Allah”, kata para sahabat. Nabi yang mulia berkata, “tetapi aku melihat bekas usapan setan di wajahnya”.
Orang itu setelah mengucapkan salam, kemudian duduk di majelis Nabi. Lalu Nabi mendekatinya dan bertanya; “Apakah setiap kamu masuk ke dalam kumpulan orang, kamu merasa bahwa kamulah yang paling baik dia ntara mereka?” Ia menjawab, “benar”.
Tidak lama kemudian orang “saleh” itu bangkit dan pergi salat ke masjid. Tanpa diduga Nabi bersabda: “Siapa yang akan membunuh orang itu?” Abu Bakar orang pertama yang menyatakan kesediaan untuk membunuhnya. Tetapi, sesaat kemudian Abu Bakar kembali sambil berkata: “Bagaimana mungkin saya membunuhnya, sementara ia sedang rukuk dengan sangat khusyuk”.
Ketika Nabi mengulangi pertanyaannya, Umar berdiri menuju orang tersebut. Ia juga kembali dengan mengajukan keberatan: “Tidak mungkin saya membunuhnya. Ia sedang meratakan dahinya di atas tanah, bersujud dengan sangat khidmat”. Hingga sampai pada giliran Ali untuk berdiri dan menuju ke masjid orang tersebut. Tetapi ia pun kembali dengan pedang yang bersih. Ali melaporkan bahwa orang tadi sudah tidak berada lagi di dalam masjid. Kemudian Nabi bersabda: “Jika kalian membunuh dia, umatku tidak akan terpecah setelah ini”.
Kisah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, lebih merupakan parable daripada makna harfiahnya. Nabi tidak mengajarkan kepada umatnya untuk membunuh orang yang sedang salat. Akan tetapi, Nabi mengajarkan kepada umatnya, untuk tidak terbuai oleh tingkat kesalehannya sendiri. Kesalehan dalam beragama bukanlah sebuah show business. Dengan kesalehannya, seseorang tidak lantas membusungkan dada di hadapan orang banyak. Tidak untuk menyebut-nyebut kesalehannya di hadapan orang lain.
Jauh sebelum peristiwa tersebut. Alkisah, suatu saat Nabi Musa AS diminta oleh Allah untuk mencari seseorang yang menurut Nabi Musa lebih baik dari pada dirinya. Setelah Nabi Musa mencari dengan bersusah payah, akhirnya Nabi Musa tidak menemukan orang itu. Karena selalu ada hal lain yang menjadikan orang itu lebih baik dari pada Musa. Karena gagal, Musa kemudian masuk ke tengah-tengah binatang. Dalam diri binatang pun Nabi selalu menemukan hal-hal yang lebih baik dari pada Nabi Musa. Sampai ahirnya Nabi Musa menemukan anjing yang buruk rupa, di sekujur tubuhnya penuh dengan kudis, sehingga bulu-bulunya berjatuhan. Akan tetapi, di tengah jalan Nabi Musa melepaskan anjing tersebut. Karena masih ada juga kelebihan dari padanya. Lalu kemudian Nabi Musa kembali menghadap Tuhan, sambil berkata: “Tuhan, aku tidak menemukan seorangpun yang aku lebih baik darinya”. Tuhan lalu berfirman: “Demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang membawa seseorang yang kamu pikir, kamu lebih baik dari pada dia, maka Aku akan hapus namamu dari daftar kenabian”.
Sebuah sindiran yang luar biasa menusuk bagi siapa saja yang masih memiliki kedalaman iman. Kehebatan apa lagi yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa? Toh, ia ahirnya tunduk kepada kelebihan yang dimiliki oleh sesuatu di luar dirinya. Bahkan hewan sekalipun. Barangkali itu semua merupakan mitos atau legenda yang tidak perlu dijadikan dasar bagi kita, untuk melakukannya. Tapi drama eksakatologis antara iblis dengan Allah, ketika Adam akan diangkat menjadi khalifah di bumi, menjadi sangat penting untuk kita imani bersama.
Ana Khairun Minhu
Kata ana khairun minhu, atau “aku lebih baik dari pada dia” pertama kali diucapkan oleh iblis untuk menunjukkan kesombongannya, superiority complex, di hadapan Allah. Yaitu ketika iblis diminta oleh Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam AS, akan tetapi iblis menolak sembari berkata “Aku lebih baik dari pada dia. Kau ciptakan aku dari api, sementara Adam kau ciptakan dari tanah”.
Kesombongan ini, merupakan keangkuhan geneologis atau keturunan. Iblis merasa secara geneologis lebih baik dari pada Adam. Sehingga sering disebut sebagai rasialisme. Pada aras ini, ketika seseorang menyebut dirinya atau kelompoknya “lebih baik dari pada yang lain” adalah sama dengan apa yang dilakukan iblis yang mengakibatkan dia ”dilemparkan” dari surga.
Manifestasi dari sikap iblis ini, sangat banyak terlihat di lapangan. Misalnya dengan memberikan peluang sebesar-besarnya bagi kelompok atau golongan tertentu untuk menduduki posisi-posisi strategis di wilayah publik, sekaligus memberikan proteksi yang seluas-luasnya pula bagi kelompok atau golongan lainnya yang tidak bukan bagian dari “keturunannya”.
Oleh sebab itu, Imam Al-Ghazali mewanti-wanti kepada kita semua, agar tidak terjebak pada dua jenis takabur, yaitu takabur dalam urusan agama dan takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan agama dibagi lagi menjadi dua; takabur karena ilmu dan takabur karena amal. Menurut Al-Ghazali, banyak ilmuan dan ulama yang terjebak pada sikap takabur. Apa indikasinya? Di antaranya ia merasa paling hebat, sehingga tidak mau mendengarkan orang yang lain. Pertama, ia merasa dirinya paling pintar dan merasa tidak memerlukan bantuan orang lain.
Kedua, takabur karena amal. Contoh paling sederhana adalah sebagaimana cerita pada masa sahabat di atas, yang menegaskan bahwa dirinya merasa lebih saleh daripada yang lain, merasa sudah paling sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, sehingga di luar itu adalah anti-Islam.
Takabur pada urusan dunia, kata Imam Al-Ghazali di antaranya disebabkan oleh kecantikan, kekayaan, keturunan sebagaimana yang diproklamirkan oleh iblis di atas, jabatan, dan banyaknya pengikut atau anak buah. Wallahu a’lam bi al-Showab.
Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)
Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 30 Oktober 2015