Oleh Alimuddin Hassan Palawa*
Pada hari ini, Rabu, tanggal 28 Oktober 2020 kita kembali memperingati hari Sumpah Pemuda yang telah berulang selama 92 tahun terhitung sejak 1928. Dalam “Sumpah Pemuda” itu satu di antara tiga janji putri-putri Indonesia adalah “Kami putra dan putri ini Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Apakah berlebihan kalau dipertanyakan, apakah Sumpah Pemuda dapat diikrarkan pada 1928, sekiranya Raja Ali Haji dan lingkarannya di Pulau Penyengat pada paruh kedua abad ke-19 hingga satu/dua dekade abad ke-20 tidak melakukan upaya “pengapakan”, meminjam istilah U.U. Hamidi, lantaran generasi setelahnya belum dapat melakukan upaya “pengetaman”?
Pembinaan bahasa dan Pemeliharan budaya Melayu yang telah diupayakan Raja Ali Haji, setidak-tidaknya, dilandasi dua prinsip dan pandangan berorientasi masa depan. Pertama, bahwa “Jika hendak mengenal orang yang berbangsa/lihat kepada budi bahasa”, demikian ia gubah secara puitis dalam Gurindam Duabelas. Sikap dan pandangan Raja Ali Haji: “bahasa menunjukan bangsa”, menurut U.U. Hamidi, mengilhami dan membangkitkan jiwa dan semangat anak-cucu Raja Ali Haji sepeninggalannya untuk membangun kesadaran akan arti penting pemiliharaan bahasa dan budaya Melayu. (U.U. Hamidi, “Hilang Jasa Kapak Oleh Jasa Ketam”, 18).
Kedua, bahwa dalam memelihara dan melestarikan ilmu pengetahuan lebih baik dilakukan dalam bentuk tradisi tulis, dan bukan dalam bentuk tradisi lisan. Prinsip dan pandangan Raja Ali Haji ini, menjadi daya dorong bagi dirinya untuk melahirkan karya Bustān al-Kātabīn dan Kitab Pengetahuan Bahasa. Begitu pula, produktifitasnya dalam melahirkan karya tulis dari berbagai aspeknya, seperti aspek syair/sastera, sejarah, politik dan agama, khususnya aspek budaya dan bahasa menunjukan prinsip dan pandangannya ini.
Matheson menyatakan bahwa upaya Raja Ali Haji dalam memelihara budaya dan bahasa telah menjadi alas dasar yang kokoh bagi pembentukan tradisi intelektual Melayu modern. Sikapnya menghargai budaya Melayu tradisional dan pemanfaatan kaedah yang benar dan tepat menunjukkan ia sebagai “orang tengah” antara dunia tradisional dan dunia modern. (Matheson, “Pengenalan” 1998, xiii). Uraian tentang Raja Ali Haji yang berada pada masa ”transisi” antara tradisional dan modern, lihat Mohd. Taib Osman, “Raja Ali Haji of Riau: A Figur of Transition or the Last of the Classical Pujanggas?”, 41-66).
Pada era sebelumnya tradisi tulis-menulis yang dikembangkan mulai dari Hamzah Fanzuri di Aceh sampai Tun Sri Lanang di Johor bahasa dipandang sebagai alat komunikasi dan sekaligus pendukung kebudayaan. Pada era Raja Ali Haji di Riau, menurut U.U. Hamidi, bahasa tidak saja sebatas alat dan pendukung budaya, tetapi juga sebagai jati diri bangsa. Karenannya, dalam Alam Melayu bahasa dan budaya adalah dua entitas yang saling jalin-berkelindan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya –ibaratnya dua sisi mata uang– dalam membentuk jati diri orang Melayu. (Khaidir Anwar, “Sumbangan Bahasa Melayu Riau terhadap Bahasa Indonesia”, dalam Masyarakat Melayu dan Kebudayaannya, 1986): 36).
Kenyataan unifikasi dan hubungan erat bahasa dengan budaya Melayu, menurut Kahidir Anwar, lambat-laun berubah menjadi bahasa yang relatif netral dengan budaya. Akhirnya, hubungan bahasa dan budaya menjadi renggang/melonggar ketika bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia dipergunakan seluruh anak bangsa yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Dengan begitu, menurut Khaidir Anwar, sumbangan bahasa Melayu Riau terhadap perkembangan bahasa Indonesia sekaligus juga merupakan sumbangan budaya. Lagi-lagi menurut Khaidir Anwar, kalau kita menerima Bahasa Melayu (dikembangkan) Balai Pustaka itu yang kemudian berubah menjadi bahasa Indonesia, maka kita juga harus mengakui sumbangan bahasa Melayu Riau terhadap perkembangan bahasa Indonesia yang luar biasa sekali besarnya.
Khaidir Anwar menambahkan, mungkin tidak tepat kalau kita sebut hanya dengan istilah sumbangan, sebab bahasa Melayu lebih daripada sumbangan, bahasa Melayu merupakan pelimpahan, pemberian secara menyeluruh bagi bahasa Indonesia. Khaidir Anwar melanjutkan pengandaian, “sekiranya bahasa dan budaya Melayu tidak mau menyumbang lagi, maka bahasa dan budaya Indonesia akan kurang kaya.” (Lihat, Khaidir Anwar, “Sumbangan Bahasa Melayu Riau terhadap Bahasa Indonesia”, dalam Masyarakat Melayu dan Kebudayaannya, ed. S. Budisantoso, Pekanbaru: Pemda Riau, 1986,: 28-29 dan 36).
Dewasa ini, perkembangan bahasa Indonesia, sepertinya mulai meninggalkan bahasa induknya (bahasa Melayu) yang seolah-olah, meminjam istilah Khaidir Anwar, “kekurangan darah” dalam bersaing dengan berbagai bahasa daerah di Indonesia untuk memberikan sumbangan guna memperkaya perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Malah kosa kata Melayu mulai tidak popular dipergunakan dan diganti padanan kosa kata dari daerah lain.
Ironisnya lagi, penyebab berkurangnya sumbangan bahasa Melayu terhadap pengayaan bahasa Indonesia justru dilakukan orang Melayu terpelajar yang, menurut Khaidir Anwar, tidak mau/enggan menggunakan kosa kata bahasa Melayu, dan menggantinya dengan kosa kata dari daerah lain. Ia misalnya menyebutkan orang Melayu terpelajar enggan mempergunakan, sekedar contoh, kata “jering” (buah memiliki aroma khusus), dan lebih memilih menggunakan kata “jengkol”.
Sikap orang Melayu terpelajar itu, sepertinya lebih suka mengikuti daripada diikuti, sehingga sejumlah kosa kata dari daerah lain lebih kedengaran “merdu” ditelinga mereka, seperti kata “pengejawantahan”, “sandang pangan” dan lain-lainnya. Selain faktor sikap mental orang Melayu terpelajar tersebut, banyak faktor lain menjadi penyebab berkurangnya sumbangan bahasa Melayu terhadap pengayaan bahasa Indonesia, yaitu faktor demografi (orang Melayu bukan mayoritas), politik dan kekuasaan (alam Melayu bukan pusat kekuasaan). (Lihat, Khaidir Anwar, “Sumbangan Bahasa Melayu Riau…”, 35).
Penyusunan kamus ensiklopedis-monolingual Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa adalah sebagai wujud upayanya dalam membina bahasa dan memelihara budaya Melayu. Kitab Pengetahuan Bahasa sebagi sebuah karya bahasa dan budaya adalah unik dari segi “metode” dan “materi”. Keunikan tersebut, setidaknya disebabkan latar belakang dan/tujuan Raja Ali Haji membuat kamus itu sendiri.
Pertama, Raja Ali Haji tetap konsisten merujuk kepada metode bahasa Arab, karena ia ingin mencegah pengaruh bahasa Asing yang mulai menodai bahasa Melayu dan sekaligus dapat mencederai adat-istiadat Melayu.( Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 197).
Kedua, Raja Ali Haji memberikan uraian materi panjang terhadap sejumlah kata tertentu karena ia mengharapakan agar kata itu dapat dipahami secara tepat dan benar, sekaligus memberikan pengajaran terhadap adat-istiadat, nilai-nalai moral dan agama bagi masyarakat pembacanya.( Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 109; Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 113).
Upaya Raja Ali Haji untuk memberikan makna dan penjelasan secara mufassar dalam Kitab Pengetahuan Bahasa menjadi relevan dengan tuntutan zamannya. Penjelasan untuk satu kata tertentu perlu dijabarkan panjang lebar, misalnya dengan disertai contoh dimaksudkan untuk membimbing masyarakat dalam etika dan perbuatan yang baik. Dalam pandangannya, kalau penggunaan bahasa Melayu tidak dijelaskan dengan baik dan jelas, cepat atau lambat, masyarakat Melayu akan salah dalam penggunaan bahasanya.
Pada waktu hidupnya saja, ia sudah melihat ada kecenderungan keliru dalam penggunaan bahasa Melayu, dan ini tentu saja disesalkan Raja Ali Haji, misalnya meniru bahasa Inggris dan Belanda. Pengabaian bahasa Melayu berarti pengabaian tradisi dan adat istiadat yang telah tertanam dalam masyarakat. Pada gilirannya tak terelakkan akan menghancurkan susunan dunia dan kerajaan Melayu. (Lihat, Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 122).
Penodaan bahasa Melayu disebabkan bercampur-baurnya antara bahasa Melayu dan bahasa asing. Penyebab lainnya adalah meniru penggunaan bahasa Melayu yang salah dilakukan oleh orang asing, seperti tercermin dari penggunaan kata-kata, misalnya antara kata ”bilang” (hitung) dan cakap (bicara). Raja Ali Haji menyebutkan bahwa kata “bilang” bermakna “yaitu menentukan apa yang ada banyak sedikitnya, yaitu daripada satu hingga sehabis had bilangan di dalam bilangan itu.”
Menurut Raja Ali Haji, bilangan itu terdiri dari bilangan genap dan bilangan ganjil. Dan Raja Ali Haji menyalahkan bagi orang yang mencampuradukan penggunaan antara kata “bilang” dan kata “cakap” karena itu dilakukan oleh orang asing yang tidak memahami bahasa Melayu. Persisnya, ia mengatakan, “Syahdan ada pula dibahasakan bilang itu cakap, maka yaitu tersalah karena orang yang lain bangsa dari pada bangsa Melayu.”
Akan tetapi, Raja Ali Haji sangat menyayangkan orang-orang Melayu ikut-ikutan pula dalam kesalahan mengunakan kata bilang sama dengan cakap. Sehingga, “…. pada dirinya jadi berkekalanlah rusaknya bahasa Melayu itu diperbuatnya.” (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 173 dan 197). Begitu pula, ungkapan kasih tahu yang seharusnya beri tahu, kata pasti dirubah penggunaannya menjadi musti, atau kalimat ini berapa harga? diganti menjadi ini berapa punya harga, dan masih banyak lagi, menurut pengakuan Raja Ali Haji. (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 173 dan 197)
Pada kasus yang sama (1862) ia mendapatkan sebuah buku Kitab Loghat yaitu Kitab Menyatakan Bahasa Melayu dan Bahasa Nederland, terbitan P.P. Roorda van Eysinga (1855), Raja Ali Haji dengan suara lantang mengkritikannya: “Campur baur bahasa dalam dan bahasa luar, dan campur baur lagi bahasa halus dan bahasa kasar, dan campur pula bahasa Arab. Entah siapa pengarangnya….”
Lebih lanjut Raja Ali Haj menulis, “Dan lagi saya dapatkan pula di dalam kitab itu juga, pada bab Ta-nya dengan bahasa tak usah. Ini bahasa jika dituturkan dengan lidah, dan jika dengan surat2 tiada boleh begitu. Hendaklah dengan huruf tiada usahlah. Dan jika dengan pertambatan perkataan, jika dengan lidah tak usahlah engkau buat begitu, dan jika dengan huruf di dalam surat2 kepada sanak suadara2 ‘tiada usahlah adinda perbuat demikian itu’ atau ‘kakanda’ atau ‘tuan hamba’. Dan banyak lagi yang boleh dikiaskan dan diumpamakan adanya.” (Lihat, Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 57).
Raja Ali Haji melontarkan kritiknya atas penggunaan bahasa Melayu yang sudah mulai bercampur-baur dengan bahasa asing serta penyampuradukan antara bahasa Melayu halus dan kasar. Begitu pula, ia mengkritik lebih tajam terhadap orang menyamakan penggunaan bahasa Melayu secara lisan dan penggunaan bahasa Melayu secara tulisan. Penyalahgunaan bahasa Melayu semacam itu, menurut Hasan Junus, terjadi karena salah kaprah disebabkan kurang hati-hati dalam mempergunakannya, dan tidak merujuk kepada sumber aslinya.
Dalam konteks di atas, Hasan Junus misalnya mencontohkan penggunaan kata “serapah” yang seharusnya “seranah”. Kata “serapah” sama artinya dengan “jampi” atau “mantera” yang berkonotasi positif. Hasan Junus menjelaskan kata “jampi”, yaitu “seorang membacakan atas seseorang dari pada ayat Qur’an atau doa-doa, isim-isim atau serapah-serapah karena obat kedatangan penyakit atau karena berkehendakkan sesuatu hikmah atau tangkal.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 197).
Adapun “seranah” mirip jampi atau mantera dalam konotasi negatif, seperti ketika seorang membaca lalu menghembuskan manteranya kepada orang lain dari jarak jauh supaya orang itu bangkit birahi kepadanya. Kemudian, dewasa ini dalam kosa kata bahasa Indonesia, kata “sumpah serapah” dengan salah kaprah diartikan sebagai “maki-hamun”.
Padahal yang benar (makna asalnya) dalam bahasa Melayu kata “sumpah serapah” dimaksudkan dalam bahasa Indonesia itu seharusnya adalah “sumpah seranah”. Begitu pula, kata “seronok” dalam bahasa Indonesia berkonotasi pada pengertian porno. Padahal kata “seronok” bahasa Melayu berarti menyenangkan. (Lihat, Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 120; Taufik Ikran Kamil, “Pandangan Raja Ali Terkini”, 8).
Dalam konteks dewasa ini, Abdul Hadi W.M. mengatakan bahwa andaikata Raja Ali Haji masih hidup tentu akan lebih sedih lagi melihat perkembangan bahasa Indonesia yang telah mengalami kerancuan disebabkan banyaknya kata-kata/ istilah-istilah dari bahasa Inggris diambil begitu saja tanpa diindonesiakan dengan sepenuhnya. Selanjutnya dengan nada keras Abdul Hadi W.M. menyatakan, “Bahasa Indonesia yang dipakai sekarang ini tidak mencerminkan bahwa pemakainya memiliki keperibadian, tingkat budi pekerti dan intelektual yang memadai.” (Lihat, Abdul Hadi W. M., “Raja Ali Haji: Ulil Albab di Persimpangan Zaman”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji Sebagai Bapak Bahasa Indonesia, 302-303).
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh