43. 	BUDI  BAHASA (1); Bahasa  Menunjukkan Bangsa

43. BUDI BAHASA (1); Bahasa Menunjukkan Bangsa

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

Pada hari ini, Rabu, tanggal 28 Oktober 2020 kita kembali memperingati hari Sumpah Pemuda yang telah berulang selama 92 tahun terhitung sejak 1928. Dalam “Sumpah Pemuda” itu satu di antara tiga janji putri-putri Indonesia adalah “Kami putra dan putri ini Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Apakah berlebihan kalau dipertanyakan, apakah Sumpah Pemuda dapat diikrarkan pada 1928, sekiranya Raja Ali Haji dan lingkarannya di Pulau Penyengat pada paruh kedua abad ke-19 hingga satu/dua dekade abad ke-20 tidak melakukan upaya “pengapakan”, meminjam istilah U.U. Hamidi, lantaran generasi setelahnya belum dapat melakukan upaya “pengetaman”?

Pembinaan bahasa dan Pemeliharan budaya Melayu yang telah diupayakan Raja Ali Haji, setidak-tidaknya, dilandasi dua prinsip dan pandangan berorientasi masa depan. Pertama, bahwa “Jika hendak mengenal orang yang berbangsa/lihat kepada budi bahasa”, demikian ia gubah secara puitis dalam Gurindam Duabelas. Sikap dan pandangan Raja Ali Haji: “bahasa menunjukan bangsa”, menurut U.U. Hamidi, mengilhami dan membangkitkan jiwa dan semangat anak-cucu Raja Ali Haji sepeninggalannya untuk membangun kesadaran akan arti penting pemiliharaan bahasa dan budaya Melayu. (U.U. Hamidi, “Hilang Jasa Kapak Oleh Jasa Ketam”, 18).

Kedua, bahwa dalam memelihara dan melestarikan ilmu pengetahuan lebih baik dilakukan dalam bentuk tradisi tulis, dan bukan dalam bentuk tradisi lisan. Prinsip dan pandangan Raja Ali Haji ini, menjadi daya dorong bagi dirinya untuk melahirkan karya Bustān al-Kātabīn dan Kitab Pengetahuan Bahasa. Begitu pula, produktifitasnya dalam melahirkan karya tulis dari berbagai aspeknya, seperti aspek syair/sastera, sejarah, politik dan agama, khususnya aspek budaya dan bahasa menunjukan prinsip dan pandangannya ini.

Matheson menyatakan bahwa upaya Raja Ali Haji dalam memelihara budaya dan bahasa telah menjadi alas dasar yang kokoh bagi pembentukan tradisi intelektual Melayu modern. Sikapnya menghargai budaya Melayu tradisional dan pemanfaatan kaedah yang benar dan tepat menunjukkan ia sebagai “orang tengah” antara dunia tradisional dan dunia modern. (Matheson, “Pengenalan” 1998, xiii). Uraian tentang Raja Ali Haji yang berada pada masa ”transisi” antara tradisional dan modern, lihat Mohd. Taib Osman, “Raja Ali Haji of Riau: A Figur of Transition or the Last of the Classical Pujanggas?”, 41-66).

Pada era sebelumnya tradisi tulis-menulis yang dikembangkan mulai dari Hamzah Fanzuri di Aceh sampai Tun Sri Lanang di Johor bahasa dipandang sebagai alat komunikasi dan sekaligus pendukung kebudayaan. Pada era Raja Ali Haji di Riau, menurut U.U. Hamidi, bahasa tidak saja sebatas alat dan pendukung budaya, tetapi juga sebagai jati diri bangsa. Karenannya, dalam Alam Melayu bahasa dan budaya adalah dua entitas yang saling jalin-berkelindan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya –ibaratnya dua sisi mata uang– dalam membentuk jati diri orang Melayu. (Khaidir Anwar, “Sumbangan Bahasa Melayu Riau terhadap Bahasa Indonesia”, dalam Masyarakat Melayu dan Kebudayaannya, 1986): 36).

Kenyataan unifikasi dan hubungan erat bahasa dengan budaya Melayu, menurut Kahidir Anwar, lambat-laun berubah menjadi bahasa yang relatif netral dengan budaya. Akhirnya, hubungan bahasa dan budaya menjadi renggang/melonggar ketika bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia dipergunakan seluruh anak bangsa yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Dengan begitu, menurut Khaidir Anwar, sumbangan bahasa Melayu Riau terhadap perkembangan bahasa Indonesia sekaligus juga merupakan sumbangan budaya. Lagi-lagi menurut Khaidir Anwar, kalau kita menerima Bahasa Melayu (dikembangkan) Balai Pustaka itu yang kemudian berubah menjadi bahasa Indonesia, maka kita juga harus mengakui sumbangan bahasa Melayu Riau terhadap perkembangan bahasa Indonesia yang luar biasa sekali besarnya.

Khaidir Anwar menambahkan, mungkin tidak tepat kalau kita sebut hanya dengan istilah sumbangan, sebab bahasa Melayu lebih daripada sumbangan, bahasa Melayu merupakan pelimpahan, pemberian secara menyeluruh bagi bahasa Indonesia. Khaidir Anwar melanjutkan pengandaian, “sekiranya bahasa dan budaya Melayu tidak mau menyumbang lagi, maka bahasa dan budaya Indonesia akan kurang kaya.” (Lihat, Khaidir Anwar, “Sumbangan Bahasa Melayu Riau terhadap Bahasa Indonesia”, dalam Masyarakat Melayu dan Kebudayaannya, ed. S. Budisantoso, Pekanbaru: Pemda Riau, 1986,: 28-29 dan 36).

Dewasa ini, perkembangan bahasa Indonesia, sepertinya mulai meninggalkan bahasa induknya (bahasa Melayu) yang seolah-olah, meminjam istilah Khaidir Anwar, “kekurangan darah” dalam bersaing dengan berbagai bahasa daerah di Indonesia untuk memberikan sumbangan guna memperkaya perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Malah kosa kata Melayu mulai tidak popular dipergunakan dan diganti padanan kosa kata dari daerah lain.

Ironisnya lagi, penyebab berkurangnya sumbangan bahasa Melayu terhadap pengayaan bahasa Indonesia justru dilakukan orang Melayu terpelajar yang, menurut Khaidir Anwar, tidak mau/enggan menggunakan kosa kata bahasa Melayu, dan menggantinya dengan kosa kata dari daerah lain. Ia misalnya menyebutkan orang Melayu terpelajar enggan mempergunakan, sekedar contoh, kata “jering” (buah memiliki aroma khusus), dan lebih memilih menggunakan kata “jengkol”.

Sikap orang Melayu terpelajar itu, sepertinya lebih suka mengikuti daripada diikuti, sehingga sejumlah kosa kata dari daerah lain lebih kedengaran “merdu” ditelinga mereka, seperti kata “pengejawantahan”, “sandang pangan” dan lain-lainnya. Selain faktor sikap mental orang Melayu terpelajar tersebut, banyak faktor lain menjadi penyebab berkurangnya sumbangan bahasa Melayu terhadap pengayaan bahasa Indonesia, yaitu faktor demografi (orang Melayu bukan mayoritas), politik dan kekuasaan (alam Melayu bukan pusat kekuasaan). (Lihat, Khaidir Anwar, “Sumbangan Bahasa Melayu Riau…”, 35).

Penyusunan kamus ensiklopedis-monolingual Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa adalah sebagai wujud upayanya dalam membina bahasa dan memelihara budaya Melayu. Kitab Pengetahuan Bahasa sebagi sebuah karya bahasa dan budaya adalah unik dari segi “metode” dan “materi”. Keunikan tersebut, setidaknya disebabkan latar belakang dan/tujuan Raja Ali Haji membuat kamus itu sendiri.

Pertama, Raja Ali Haji tetap konsisten merujuk kepada metode bahasa Arab, karena ia ingin mencegah pengaruh bahasa Asing yang mulai menodai bahasa Melayu dan sekaligus dapat mencederai adat-istiadat Melayu.( Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 197).

Kedua, Raja Ali Haji memberikan uraian materi panjang terhadap sejumlah kata tertentu karena ia mengharapakan agar kata itu dapat dipahami secara tepat dan benar, sekaligus memberikan pengajaran terhadap adat-istiadat, nilai-nalai moral dan agama bagi masyarakat pembacanya.( Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 109; Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 113).

Upaya Raja Ali Haji untuk memberikan makna dan penjelasan secara mufassar dalam Kitab Pengetahuan Bahasa menjadi relevan dengan tuntutan zamannya. Penjelasan untuk satu kata tertentu perlu dijabarkan panjang lebar, misalnya dengan disertai contoh dimaksudkan untuk membimbing masyarakat dalam etika dan perbuatan yang baik. Dalam pandangannya, kalau penggunaan bahasa Melayu tidak dijelaskan dengan baik dan jelas, cepat atau lambat, masyarakat Melayu akan salah dalam penggunaan bahasanya.

Pada waktu hidupnya saja, ia sudah melihat ada kecenderungan keliru dalam penggunaan bahasa Melayu, dan ini tentu saja disesalkan Raja Ali Haji, misalnya meniru bahasa Inggris dan Belanda. Pengabaian bahasa Melayu berarti pengabaian tradisi dan adat istiadat yang telah tertanam dalam masyarakat. Pada gilirannya tak terelakkan akan menghancurkan susunan dunia dan kerajaan Melayu. (Lihat, Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 122).

Penodaan bahasa Melayu disebabkan bercampur-baurnya antara bahasa Melayu dan bahasa asing. Penyebab lainnya adalah meniru penggunaan bahasa Melayu yang salah dilakukan oleh orang asing, seperti tercermin dari penggunaan kata-kata, misalnya antara kata ”bilang” (hitung) dan cakap (bicara). Raja Ali Haji menyebutkan bahwa kata “bilang” bermakna “yaitu menentukan apa yang ada banyak sedikitnya, yaitu daripada satu hingga sehabis had bilangan di dalam bilangan itu.”

Menurut Raja Ali Haji, bilangan itu terdiri dari bilangan genap dan bilangan ganjil. Dan Raja Ali Haji menyalahkan bagi orang yang mencampuradukan penggunaan antara kata “bilang” dan kata “cakap” karena itu dilakukan oleh orang asing yang tidak memahami bahasa Melayu. Persisnya, ia mengatakan, “Syahdan ada pula dibahasakan bilang itu cakap, maka yaitu tersalah karena orang yang lain bangsa dari pada bangsa Melayu.”

Akan tetapi, Raja Ali Haji sangat menyayangkan orang-orang Melayu ikut-ikutan pula dalam kesalahan mengunakan kata bilang sama dengan cakap. Sehingga, “…. pada dirinya jadi berkekalanlah rusaknya bahasa Melayu itu diperbuatnya.” (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 173 dan 197). Begitu pula, ungkapan kasih tahu yang seharusnya beri tahu, kata pasti dirubah penggunaannya menjadi musti, atau kalimat ini berapa harga? diganti menjadi ini berapa punya harga, dan masih banyak lagi, menurut pengakuan Raja Ali Haji. (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 173 dan 197)

Pada kasus yang sama (1862) ia mendapatkan sebuah buku Kitab Loghat yaitu Kitab Menyatakan Bahasa Melayu dan Bahasa Nederland, terbitan P.P. Roorda van Eysinga (1855), Raja Ali Haji dengan suara lantang mengkritikannya: “Campur baur bahasa dalam dan bahasa luar, dan campur baur lagi bahasa halus dan bahasa kasar, dan campur pula bahasa Arab. Entah siapa pengarangnya….”

Lebih lanjut Raja Ali Haj menulis, “Dan lagi saya dapatkan pula di dalam kitab itu juga, pada bab Ta-nya dengan bahasa tak usah. Ini bahasa jika dituturkan dengan lidah, dan jika dengan surat2 tiada boleh begitu. Hendaklah dengan huruf tiada usahlah. Dan jika dengan pertambatan perkataan, jika dengan lidah tak usahlah engkau buat begitu, dan jika dengan huruf di dalam surat2 kepada sanak suadara2 ‘tiada usahlah adinda perbuat demikian itu’ atau ‘kakanda’ atau ‘tuan hamba’. Dan banyak lagi yang boleh dikiaskan dan diumpamakan adanya.” (Lihat, Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 57).

Raja Ali Haji melontarkan kritiknya atas penggunaan bahasa Melayu yang sudah mulai bercampur-baur dengan bahasa asing serta penyampuradukan antara bahasa Melayu halus dan kasar. Begitu pula, ia mengkritik lebih tajam terhadap orang menyamakan penggunaan bahasa Melayu secara lisan dan penggunaan bahasa Melayu secara tulisan. Penyalahgunaan bahasa Melayu semacam itu, menurut Hasan Junus, terjadi karena salah kaprah disebabkan kurang hati-hati dalam mempergunakannya, dan tidak merujuk kepada sumber aslinya.

Dalam konteks di atas, Hasan Junus misalnya mencontohkan penggunaan kata “serapah” yang seharusnya “seranah”. Kata “serapah” sama artinya dengan “jampi” atau “mantera” yang berkonotasi positif. Hasan Junus menjelaskan kata “jampi”, yaitu “seorang membacakan atas seseorang dari pada ayat Qur’an atau doa-doa, isim-isim atau serapah-serapah karena obat kedatangan penyakit atau karena berkehendakkan sesuatu hikmah atau tangkal.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 197).

Adapun “seranah” mirip jampi atau mantera dalam konotasi negatif, seperti ketika seorang membaca lalu menghembuskan manteranya kepada orang lain dari jarak jauh supaya orang itu bangkit birahi kepadanya. Kemudian, dewasa ini dalam kosa kata bahasa Indonesia, kata “sumpah serapah” dengan salah kaprah diartikan sebagai “maki-hamun”.

Padahal yang benar (makna asalnya) dalam bahasa Melayu kata “sumpah serapah” dimaksudkan dalam bahasa Indonesia itu seharusnya adalah “sumpah seranah”. Begitu pula, kata “seronok” dalam bahasa Indonesia berkonotasi pada pengertian porno. Padahal kata “seronok” bahasa Melayu berarti menyenangkan. (Lihat, Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 120; Taufik Ikran Kamil, “Pandangan Raja Ali Terkini”, 8).

Dalam konteks dewasa ini, Abdul Hadi W.M. mengatakan bahwa andaikata Raja Ali Haji masih hidup tentu akan lebih sedih lagi melihat perkembangan bahasa Indonesia yang telah mengalami kerancuan disebabkan banyaknya kata-kata/ istilah-istilah dari bahasa Inggris diambil begitu saja tanpa diindonesiakan dengan sepenuhnya. Selanjutnya dengan nada keras Abdul Hadi W.M. menyatakan, “Bahasa Indonesia yang dipakai sekarang ini tidak mencerminkan bahwa pemakainya memiliki keperibadian, tingkat budi pekerti dan intelektual yang memadai.” (Lihat, Abdul Hadi W. M., “Raja Ali Haji: Ulil Albab di Persimpangan Zaman”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji Sebagai Bapak Bahasa Indonesia, 302-303).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)
UIN Suska Riau.
42. FILSAFAT SOSIAL MALIK BENNABI: Pemikiran Keagamaan Membentuk Peradaban

42. FILSAFAT SOSIAL MALIK BENNABI: Pemikiran Keagamaan Membentuk Peradaban

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Bila difikirkan segala sesuatu dari perspektif kesemestaan, maka akan dilihat suatu peradaban berjalan seperti matahari. Ia seakan-akan berputar mengelilingi bumi dengan sinarnya yang menderang di ufuk bangsa tersebut, kemudian bergeser ke ufuk bangsa yang lain. Adalah sangat bermanfaat, kata Malik Bennabi, apabila para pemimpin mau mengganti panorama yang terpampang jelas seperti itu, yang dengan itu mereka bisa memahami karakter benda-benda.

Sayangnya, ungkap Malik Bennabi lebih lanjut, mereka lebih membangga-banggakan dosa, sehingga mereka menganggap bahwa keinginannya berada di atas keinginan takdir, sehingga mereka berani mengatakan: “Wahai matahari, berhentilah!”. Mana mungkin matahari mau berhenti, mau mendengarkan ocehan orang seperti itu. Sebab, takdir pasti terus mengendalikan peradaban menuju ketentuan Allah bagi perjalanannya, dari satu putaran ke putaran yang lain, dari satu fajar ke fajar berikutnya, tanpa mengambil peduli terhadap ulah sementara orang yang mau memadamkan cahayanya atau memutarbalikkan fakta. Matahari juga tidak akan peduli terhadap prasangka-prasangka di sudut-sudut mesjid, atau apa yang diinginkan oleh kolonial.

Seperti diketahui, begitu suatu bangsa mulai menapakkan kakinya menuju peradaban, maka perbekalan yang dibawanya, dengan sendirinya, bukan datang dari para ulama atau ilmu pengetahuan, dan juga tidak dari produk-produk industri dan teknologi. Akan tetapi, berupa prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi seluruh produk tersebut. Untuk itu, entry point peradaban, tidak lain, kecuali tiga faktor adalah: (1) Manusia, (2) Tanah, dan (3) Waktu.

Mekipun demikian, suatu peradaban tidak akan muncul dalam suatu ummat di wilayah dan masa tertentu, kecuali dalam bentuk wahyu yang turun dari langit yang menjadi pedoman dan petunjuk ummat manusia. Artinya, kata Malik Bennabi, paling tidak wahyu tersebut akan membangun landasan peradabannya dalam memberikan arahan kepada manusia menuju Tuhan dalam pengertian umum. Dan adalah pas kalau dirumuskan, ‘pemikiran keagamaan membentuk peradaban’. Karenanya, tidaklah berlebihan kalau sejarah menemukan benih-benih peradaban kaum Budhis dalam agama Budha, dan inti peradaban kaum Brahmais dalam agama Brahma.

Kalau begitu bagaimana dengan peradaban modern Barat yang memegang hegemoni dewasa ini? Darimana Barat (orang Eropa) memiliki ‘prinsip kesadaran’ yang membuat ia mampu menciptakan peradaban. Dan bagaimana Malik Bennabi menjelaskan realitas faktual ini? Untuk menjawab ini, Malik Bennabi mengutip Kitab Suci Perjanjian Lama, ‘pada mulanya adalah Ruh’.

Selanjutnya, mengutip pendapat cendekiawan Hermann de Kesserling saat dia mengatakan, “Dengan dua Jerman muncullah semangat kreatif yang tinggi dalam Dunia Masehi”. ‘Semangat yang tinggi’ yang dimaksud disitu adalah pemikiran Masehi. Selanjutnya, cendekiawan ini mengatakan, ‘Semangat agama Masehi dan prinsipnya yang kreatif adalah dua pilar utama yang merintis jalan Eropa untuk meraih kepemimpinan sejarah’.

Beranjak dari hal ini, ummat Islam dapat memahami hakekat peradaban yang dibangunnya dengan menoleh sejarah awal munculnya peradaban Islam. Mengenai masalah ini, Malik Bennabi memberikan gambaran:

“Pada awalnya, Jazirah Arabiah sebelum turunnya Al-Qur’an, hanya diisi oleh bangsa Baduwi yang hidup di padang pasir gersang yang menghabiskan waktunya tanpa banyak memberikan manfaat. Karena itu, ketiga unsur peradaban: manusia, tanah dan waktu hanya dapat membisu. Dengan lain ungkapan, ketiga unsur tersebut menumpuk tanpa peran apapun dalam sejarah. Tetapi, ketika muncul ‘ruh’ di Gua Hira, …tumbuhlah peradaban baru dari ketiga tumpukan unsur peradaban tadi, seolah-oleh ini dilahirkan oleh kalimat ‘iqra’ yang mengagetkan seorang Nabi yang ummi, yang dengan dan bersama itu menggeliatlah alam semesta. Sejak saat itu, tampillah khalifah Arab di panggung sejarah, sehingga untuk waktu-waktu yang sangat lama ia bisa membawakan peradaban baru bagi dunia, kemudian membimbingnya menuju kemajuan.”
Dari sini dapat ditegaskan bahwa peradaban-peradaban ummat manusia merupakan mata rantai yang besambung, yang perkembangannya mirip dengan agama-agama yang ada. Sebab gugusan pertamanya dimulai dengan munculnya pemikiran keagamaan dan ketenggelamannya dimulai dengan hilangnya ‘ruh’ yang kemudian disusul dengan rahibnya akal. Karenanya adalah sangat mungkin bagi ummat Islam untuk membangun peradaban dan memperbaharui dirinya, sepanjang syarat-syarat dan hukum-hukum tersebut tidak dikesampingkan. Hal seperti diisyaratkan oleh Allah: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa bencana dan ditimpa adzab yang sangat pedih.”

Jadi, keberadaan peradaban, menurut Malik Bennabi, sebagaimana yang telah disebut-sebut di muka, meniscayakan agama sebagai landasannya guna mensenyawakan ketiga unsur pokok peradaban, yaitu unsur: manusia, tanah dan waktu. Untuk itu, ketiga masalah ini akan diuraikan sekedarnya.

Pertama: Unsur manusia
Problem yang dihadapi berbeda-beda. Ummat manusia tidak hanya menghadapi satu masalah tetapi berbagai dimensi masalah sejalan dengan beragamnya periode peradaban yang dilalui. Untuk itu tidak adil, bila kita bandingkan manusia yang ada di Dunia Islam dengan manusia yang ada di Dunia Barat. Oleh karena itu, manusia yang berada dalam Dunia Islam, harus membangun peradabannya dengan tiga orientasi: orientasi kebudayaan, orientasi kerja, dan orientasi moral. Dengan ketiga orientasi ini, manusia bakal memiliki persyaratan yang lengkap bagi upaya merintis peradaban yang dapat mencapai kegemilangan dalam sejarah.

1. Orientasi Kebudayaan
Kebudayaan adalah merupakan suatu keharusan untuk, pertama-tama, membersihkan tradisi, adat kebiasaan, dan wawasan moral dan sosial, termasuk unsur-unsur yang mematikan dan tidak berguna, sehingga atmosfir yang ada di sekeliling menjadi bersih. Pembersihan ini tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pemikiran baru yang dapat menghantarkan kepada dunia kebangkitan. Adapun cara-cara yang harus ditempuh adalah: (1) Cara negatif, membersihkan diri dari karat-karat masa lalu, dan (2) Cara positif, pemikiran baru yang menghantarkan pada tuntutan masa depan. Upaya ini harus dilakukan secara simultan, dan kedua-duanya mengambil sumber dari Al-Qur’an, menafikan pemikiran-pemikiran jahiliyah yang mandul, dan menggariskan pemikiran Islam yang jernih dengan memprogramkan masa depan dengan metode yang positif.

2. Orientasi Kerja
Kerja adalah satu-satunya cara yang dapat menggerakkan benda-benda ke tujuan dalam tataran sosial. Meskipun kerja bukan merupakan unsur pokok peradaban, tetapi kerja muncul dari ketiga unsur tersebut. Orientasi kerja pada taraf pembentuk masyarakat, secara umum menggerakkan usaha bersama pada satu arah. Seluruh komponen masyarakat, pengemis, penggembala, petani, pedagang, mahasiswa, dosen, budayawan dan lain-lainnya, agar meletakkan sebuah batubata dalam bangunan peradaban yang baru. Dengan demikian, mereka disebut beramal sepanjang mereka memberi dan mengambil sesuatu dalam bentuk yang berpengaruh dalam sejarah.

3. Orientasi Modal
Modal inti definisinya adalah, ‘harta yang bergerak’. Modal berbeda dengan ‘kekayaan’. Dengan demikian, masalahnya bukanlah masalah menghimpun dana, melainkan menggerakkan kekayaan dan mengaktifkannya dengan cara mengarahkan kekayaan ummat yang tidak banyak itu dan itu dilakukan dengan menggeser arti sosialnya dari kekayaan yang menganggur menjadi modal yang bergerak, yang dapat menciptakan aktivitas pemikiran, kerja dan kehidupan di seluruh negara. Ikatan yang membuat kekayaan tidak bisa bergerak dan naik menjadi modal, telah menyebabkan ia menjadi sesuatu yang ‘primitif’ dan sederhana, baik dari sudut ekonomi maupun budaya.

Kedua: Unsur Tanah
Tanah adalah salah satu di antara tiga unsur pembentuk peradaban dan ketika terdapat perekat keagamaan dalam ketiga unsur itu –sebagaimana yang dijelaskan terdahulu– maka kita akan melihat unsur tanah yang ada di Dunia Islam, sangat penting untuk dikaji sebagai salah satu unsur peradaban. Ketika dibahas masalah tanah, maka kita tidak membicarakan karakter dan ciri-cirinya, sebab hal itu tidak berkaitan dengan tema tanah sebagai unsur peradaban, melainkan pada aspek nilai sosialnya. Apabila nilai suatu bangsa itu tinggi dan peradabannya maju, kata Malik Bennabi, maka harga tanah akan menjadi sangat mahal. Sebaliknya, jika ummat atau bangsa terbelakang dan peradabannya tidak maju maka harga tanahpun menjadi sangat murah.

Mengingat tanah sangat penting bagi pembentuk peradaman, maka Malik Bennabi, mengajak Dunia Islam untuk memelihara tanah dengan melakukan reboisasi dengan tidak membiarkan menjadi padang gurun pasir, seperti yang banyak tampak di Timur Tengah dan Afrik, dimana ummat Islam menjadi konsentrasi komunitasnya. Untuk masalah ini, Malik Bennabi mengatakan:

“Menanam pohon di padang pasir, misalnya, mula-mula pasti kelihatan sia-sia. Karena itu kita mesti memulainya dari pantai, dan bagian-bagian lain yang masih mempunyai potensi yang cocok untuk ditanami. Semua itu kita lakukan dengan membentuk pusat-pusat pengembangan teknologi di beberapa kota tertentu, yang dari situ gerakan penghijauan dilakukan hingga kepedalaman. Ini dari aspek teknologinya, sedangkan dari aspek psikologisnya, kita mesti menjadikan penghijauan tersebut sebagai simbol dari negeri yang terancam padang pasir, dalam upaya mereka mempertahankan diri. Bahkan hendaknya kita pun menetapkan hari penghijauan, sebagai peringatan atas perjuangan kita melawan padang pasir yang ancamannya sekarang ini dihadapi oleh mayoritas negara-negara Arab Islam.”

Ketiga: Unsur Waktu
Waktu, kata Malik Bennabi, adalah sumber purba yang mengalir di dunia ini sejak azali. Tiada suatu haripun yang menyemburatkan fajar barunya, tanpa ia menyerukan, “Wahai anak cucu Adam, aku adalah makhluk yang baru dan menjadi saksi atas pekerjaanmu. Oleh sebab itu tangkaplah aku, karena aku tidak akan datang kembali hingga datang hari kiamat”. Meskipun demikian, menurut Malik Bennabi, waktu adalah ‘bisu’, sehingga kita kerapkai melupakannya, dan peradaban pun lupa saat ini lengah atau melepaskan kesempatan yang sangat berharga yang tidak mungkin diganti. Pada saat manusia baru menyadari urgensi waktu, maka manusia tidak lagi memandang penting kekayaan, kebahagiaan bahkan cinta. Satu-satunya yang penting adalah waktu itu sendiri.

Bagian waktu yang dimiliki oleh setiap orang adalah sama. Waktu yang dimiliki oleh Dunia Islam dengan Dunia Barat juga sama. Ketika ‘lonceng kerja’ berbunyi, kemanakah ummat Islam melangkahkan kakinya? Malik Bennabi menggambarkan apresiasi Dunia Islam terhadap waktu, begini: “Dunia Islam kita mengenal ‘makhluk’ yang bernama waktu. Malangnya, waktu yang kita kenal ini adalah waktu yang berakhir dengan ‘tidak ada apa-apanya’, sebab kita tidak mengerti maknanya dan tidak tahu pula nilai-nilai pembagiannya dari jam ke jam, dari menit ke menit, dan dari detik ke detik. Lebih dari itu, sehingga kita pun belum mengerti tentang konsep ‘zaman’ yang memiliki keterpautan erat dengan sejarah.”

Kehidupan sejarah yang tunduk pada pembagian pewaktuan, telah dan akan meninggalkan kereta kita. Dengan demikian, kita sangat butuh akan adanya pembagian waktu yang cermat dan terprogram dengan baik, agar kita bisa mengejar ketinggalan. Karena kalau waktu sudah berlalu tidak ada satu kekuatan manapun di dunia ini yang dapat menghentikan atau mengembalikan waktu. (Malik Bennabi, Syuruth Nahdhah, 1961: 191).

Disini sengaja penulis tidak mengambil kesimpulan, tetapi penulis hanya sekedar ingin mengatakan secara jujur dan berani, bahwa Malik Bennabi ternyata adalah seorang pemikir yang sangat otoritatif, dimana namanya sangat layak disandingkan dengan Muhammad Iqbal atau pemikir lain sebelumnya, Ibn Khaldun. Malik Bennabi seorang pemikir yang sangat produktif dan otoritatif, sehingga tidak ragu untuk mengatakan bahwa ia Seorang Filosuf Peradaban.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).
41. FILSAFAT SOSIAL MALIK BINNABI (1) Identifikasi Penyakit dan Solusi Pengobatan Umat Islam

41. FILSAFAT SOSIAL MALIK BINNABI (1) Identifikasi Penyakit dan Solusi Pengobatan Umat Islam

Alimuddin Hassan Palawa*

 

Dunia Islam telah lama berdiri di luar sejarah, seolah-olah Islam tidak mempunyai orientasi. Dunia Islam bagaikan orang sakit yang pasrah, seakan-akan rasa sakitnya sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dirinya. Menjelang datang abad ini, tiba-tiba Dunia Islam mendengar suara yang meneriakkan penyakit yang mengeram dalam tubuhnya. Segera ia keluar dari kamar tidurnya yang gelap dan pengap, serta kini dirasakan sakitnya disana-sini.

Ketika Dunia Islam menyadari penyakitnya, menurut Malik Bennabi, kini ada harapan akan munculnya fajar yang dapat dipandang sebagai awal babakan sejarah baru yang disebut ‘kebangkitan’. Namun, apa indikasi menyingsinya fajar baru tersebut? Karenanya, sebelum ‘bangkit’ menongsing fajar baru yang menyingksing itu, penyakit atau rasa sakit umat Islamt harus diobati. Maka, kata Malik Bennabi, kita mesti menempatkan istilah “sakit” di atas dalam perspektif kedokteran. Dengan demikian, kita dapat melihat kerangka berfikir yang benar. Sebab perbincangan penyakit (rasa sakit) bukanlah pembeberan tentang obat (Malik Bennabi, Syuruth Nahdhah 1961: 52)

Beberapa kajian yang dilakukan untuk mengobati penyakit dunia Islam yang berupa penyakit keterjajahan (bidang politik), penyakit kebodohan (bidang ilmu pengetahuan), dan penyakit kemiskinan (bidang ekonomi). Akan tetapi, menurut Malik Bennabi, pada kajian tersebut tidak ditemukan analisis metodologis tentang penyakit Dunia Islam yang telah diderita selama berabad-abad. Benar bahwa Jamaluddin al-Afghani melihat bahwa persoalan ummat Islam adalah persoalan politik, dan karena itu harus di atasi dengan cara politik pula. Sementara itu, benar bahwa Muhammad Abduh melihatnya sebagai persoalan yang tidak mungkin diselesaikan kecuali dengan melakukan reformasi di bidang aqidah dan pendidikan.

Namun, semua identifikasi yang dibuat oleh pembaharun tersebut sama sekali tidak menyentuh dan mengobati penyakit sesungguhnya diderita Dunia Islam. Apa yang dilakukan kedua pembaharu, Jamal al-Afghani dan Muhammad Abduh, menurut Malikn Binnabi, baru pada tahap berbicara seputar yang tidak esensial. Hasil dari identifikasi seperti ini, kata Malik Bennabi lebih lanjut, bukannya berusaha untuk mengobati penyakit, tetapi baru pada tahap membicarakan bentuk-bentuk penyakit.

Karena itu, kata Malik Bennabi, hasilnya bisa disamakan dengan hasil yang diperoleh oleh seorang dokter yang mengobati suatu penyakit dengan melakukan infus beberapa zat tertentu yang tidak berfungsi untuk membasmi penyakit, melainkan sekedar menurunkan demam yang muncul ketika seseorang sedang terserang penyakit. Padahal penyakit tersebut sudah sangat lama diderita. Pada dasarnya mereka tidak mengetahui hakikat penyakit yang mengeram dalam tubuhnya. Dan anehnya tidak berusaha untuk mengetahuinya. Akibatnya, penyakitnya bertambah parah, dan nyaris tubuhnya menjadi sarang penyakit.

Pada dasarnya, menurut Malik Bennabi, ada dua cara untuk mengatasi kondisi sakit tersebut: (1) membasmi penyakit, atau (2) suntik mati orang yang sakit tersebut. Persoalannya, apakah orang yang sakit dan masuk rumah sakit, tanpa tahu secara pasti penyakit dirinya, bisa berspekulasi untuk menghilangkan penyakitnya atau harus mengatasi persoalan dirinya terlebih dahulu. Inilah persoalan dunia Islam, dia masuk rumah sakit peradaban Barat untuk minta disembuhkan. Akan tetapi, disembuhkan dari penyakit apa dan dengan obat apa?

Mengenai kondisi dunia Islam tersebut Malik Bennabi menyatakan: “Sungguh nyata bahwa kita tidak tahu sama sekali berapa lama pengobatan seperti ini akan berlangsung. Namun, kondisi yang disodorkan ke depan mata kita semenjak setengah abad yang lalu, memiliki bukti-bukti sosiologis yang perlu kita jadikan objek perenungan dan analisis. Di tengah analisis yang kita upayakan, kita dapat memahami makna realistis dari periode sejarah. Dimana kita sedang berada, sekaligus melakukan revisi-revisi apa yang mesti kita tambahkan.

Malik Bennabi membagi periode sejarah ke dalam tiga periode: Pertama, periode pra-peradaban, kedua, periode peradaban, dan ketiga periode pasca-peradaban. Menurutnya periode pasca-peradaban berawal dari jatuhnya Daulah Murabutun hingga sekarang. Tapi dengan adanya upaya kebangkitan di kalangan ummat Islam, maka ummat Islam saat ini, menurut Malik Bennabi yang dapat mengantarkan ummat Islam memasuki periode baru ‘awal peradaban’. (Lihat, Malik Bennabi, Membangun Dunia Baru Islam, hal. 168 dan 197).

Dalam periode ini, Dunia Islam bagaimanapun juga, harus tetap memperoleh kepastian tentang penyakitnya. Sesudah itu, dia diantar ke bagian pengobatan tertentu, sebagaimana lazimnya bila seseorang berobat ke rumah sakit. Hal itu dimaksudkan agar dia dapat disembuhkan dari penyakitnya yang memang belum diketahui secara pasti, yang akan disembuhkan dengan obat berdasarkan resep yang diberikan kepadanya. Karenanya, dalam konteks penyembuhan penyakit Dunia Islam, Malik Bennabi, mengatakan:

“Pada bagian tertentu Dunia Islam harus menanam ‘benih’ guna menentang kebodohan, di bagian lain harus mengambil ‘kayu’ pemukul untuk melawan penjajah, di bagian lain lagi harus memiliki ‘modal’ agar tidak tertimpa kemiskinan. Dia harus membangun sekolah di satu sisi, di sisi lain harus merebut kemerdekaan, dan di segi lainnya lagi harus membangun pabrik-pabrik. Meskipun demikian, dalam kondisi seperti itu, ketika dilihat dari dekat, ternyata kita tidak merumuskan bagian dari dirinya yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Artinya kita tidak menemukan peradaban.”

Dari kutipan di atas ada tiga sentral yang harus dilakasanakan ummat Islam kalau mau merobah nasib, yaitu (i) menanam “benih” pengetahuan untuk membasmi kebodohan; (ii) memiliki “modal” untuk membangun sarana ekonomi dalam memberantas kemiskinan; (iii) mengambil “kayu” untuk membangkitkan kesadaran politik dalam menentang penjajahan.
Kalau diperhatikan dengan seksama tema sentral dari pemikiran Malik Bennabi dalam upaya penyembuhan penyakit Dunia Islam adalah ‘peradaban’. Oleh karena itu, menurut Malik Bennabi, kita harus memahami terlebih dahulu cara dan teknologi yang dipergunakan oleh Barat dalam menjajah. Sebab pada abad ke-20 ini, kata Malik Bennabi, ummat Islam hidup di suatu alam yang terlihat nyata bahwa sumbangan-sumbangan peradaban Barat sudah menjadi hukum historis zaman ummat Islam. Bahkan menurut pengakuannya, ‘dalam kamar tempat saya menulis sekarang ini, segala sesuatu adalah Barat, kecuali sedikit yang ada di depan mata saya’. Itu artinya, adalah sia-sia bila ummat Islam membuat tabir pemisah antara peradaban yang ingin direalisasikan oleh Dunia Islam dari peradaban modern yang notabene adalah Barat.

Meskipun demikian, sadar Malik Bennabi, kenyataan seperti ini sepenuhnya akan menimbulkan problem tersendiri. Untuk itu, bukanlah merupakan suatu keniscayaan bagi ummat Islam, dalam upaya menumbuhkan dan membangun peradaban dengan mengadopsi segala sesuatu dari Barat. Sebab hal tersebut, ungkap Malik Bennabi, pada akhirnya mengantarkan kita pada usaha yang benar-benar mustahil untuk dilakukan, bila secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

Pertama, secara kualitatif, munculnya kemustahilan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa sesuatu peradaban, yang manapun, tidak mungkin bisa dibeli sekaligus, baik meliputi benda-benda yang diproduksi ataupun gagasan-gagasannya. Artinya, bahwa tidak mungkin ummat Islam membeli semangat, gagasan-gagasan dan kenyataan-kenyataan yang berdimensi internal, yaitu suatu himpunan gagasan dan makna-makna yang tidak bisa disentuh dengan jari yang terdapat dalam buku-buku atau institusi-institusi. Namun, tanpa semua itu, segala barang yang kita beli akan tidak menjadi berarti karena tidak memiliki semangat dan tujuan.

Kedua, secara kuantitatif, kemustahilan seperti itu juga tidak kalah besarnya. Adalah absurd bagi ummat Islam membayangkan bisa membeli sejumlah besar benda-benda, dan ummat Islam pun tidak mempunyai dana untuk itu. Kalau sekiranya kita menganggap itu bisa dilakukan, maka hal itu secara pasti akan mengantarkan ummat Islam kepada kemustahilan ganda, dan pada akhirnya akan menjerumuskan ummat Islam pada abad yang disebut ‘peradaban benda-benda’, disamping akan membuat ummat Islam mensakralkan benda-benda peradaban tersebut.

Pada keniscayaan persepsi sosial bahwa sejarah memiliki rotasi dan perjalanan yang berkesinambungan. Sesekali sejarah merekam peristiwa-peristiwa besar dan capaian-capaian yang agung untuk manusia, pada kali lain meluncur ke dasar yang paling dalam dan hina dan untuk selanjutnya tertidur pulas. Menurut Malik Bennabi, kalau pengalaman sejarah tersebut kita jadikan pelajaraan, maka dalam upaya ummat Islam untuk mengatasi berbagai problem yang dihadapi, ummat Islam harus melihat posisinya dalam putaran sejarah, memahami kondisinya yang berada di dalamnya, dan menemukan berbagai faktor yang menyebabkan kemerosotan dan upaya kemajuan yang akan dilakukan.

Agaknya, faktor tersebut yang menyebabkan keterpelantingan ummat Islam dari jalur sejarah adalah ketidaktahuan ummat Islam tentang nuktah yang mana akan memulai sejarahnya. Dan barangkali faktor yang paling utama bagi kekeliruan-kekeliruan para pemimpin Islam adalah karena rekaman-rekaman sosial tersebut luput dari perhitungan mereka. Dan dari situlah awal munculnya bencana, dan kereta api ummat Islam pun keluar dari rel menuju arah yang tidak menentu.

Karenanya, ketika ummat Islam, kata Malik Bennabi, telah berhasil menentukan posisinya dalam putaran sejarah, maka mudahlah bagi ummat Islam untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan kemundurannya dan sekaligus mengetahui supaya yang akan mengantarkannya kepada kebangkitan. Ketika ummat Islam sudah mengetahui titik sejarahnya, ungkap Malik Bennabi, di hadapan mencuat kenyataan sekaligus pertanyaan: “Sekarang, kita adalah orang-orang yang akan mulai melakukan perjalanan, dan kafilah kita sudah mulai melangkahkan kakinya.

Namun, kemana dia akan berjalan? Dan dengan bekal apa pula di gunakan bila nantinya macet dalam perjalanan?” Pernyataan dan pertanyaan itu meniscayakan ummat Islam berhadapan dengan berbagai kondisi. Sebab dalam setiap perjalanan, ummat Islam harus tahu arah dan tujuannya serta dengan memiliki bekal yang akan dipergunakan selama dalam perjalanannya. Pertanyaan-pertanyaan ini penting, tetapi, menurut Malik Bennabi, tidak boleh dijawab secara spontan –tidak pernah mengalami perubahan– terdapat dalam Al-Qur’an: “Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan dalam Sunnatullah” (Q.s. 48: 23).

Hal pertama yang harus diketahui oleh ummat Islam yang baru bangkit –sedang sisi-sisi tidur dan mimpinya yang lelap dan panjang masih menempel dalam benaknya– adalah: “Adakah dia memiliki sesuatu yang menjadi sebab kebangkitan?” Kata Malik Bennabi, dalam Al-Qur’an ditemukan teks yang mengemukakan tentang prinsip bio-historis, berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa selama bangsa itu tidak mau mengubah dirinya sendiri”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurut Malik Bennabi, “Ya” bukanlah jawaban yang baik, kecuali apabila dipahami dan diperoleh kejelasan tentang dua syarat: Pertama, kesesuaian hukum sejarah dengan prinsip Qur’ani; kedua, berpedoman dan berpegang kepada Al-Qur’an.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).
40. THE SPIRIT OF ISLAM: Syed Ameer Ali Apologia Islam di Mata Orientalis

40. THE SPIRIT OF ISLAM: Syed Ameer Ali Apologia Islam di Mata Orientalis

Oleh: Ali M. Hassan Palawa*

Buku The Spirit of Islam karya pemikir modern “apologic” Islam, Syed Ameer Ali dari Anak-Benua India telah dialih-bahasakan oleh H.B. Jassin dalam bahasa Indonesia. Konon, tatkala buku ini dialih-bahasakan, Soekarno menyarankan agar judul buku The Spirit of Islam ini diterjemahkan menjadi “Api Islam”. Disebut “konon” karena saya tidak bias melacak ulang dari mana sumbernya.

Namun yang pasti, Cak Nur (Nurcholish Madjid-Allahummayarham) kembali mengingatkan: “Dahulu Bung karno menyeru umat Islam untuk “menggali api Islam”, karena agaknya ia melihat bahwa kaum Muslimin saat itu, mungkin sampai sekarang, hanya mewarisi “abu” dan “arang” yang mati dan statis dari warisan cultural mereka.” (Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenandan Keindonesiaan, 1989: 80).

Dewasa ini, ungkapan “al-Islam yu’la wa la yu’la ‘alaih” (Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengatasinya), sepertinyahanya berlaku pada tataran idealitas, dan bukan pada tataran realitas. Dulu umat Islam memang pernah membuktikan ungkapan tersebut dalam realitas sejarah. Lalu, bagaimana objektivikasi ungkapan tersebut di masa kini dan mendatang? Dalam mengejawantahkan ugkapan itu lagi, umat Islam terlebih dahulu membuktikan bahwa Islam adalah “Salih fi kulli zaman wa makan” dalam menghadapi dan menjawab tantangan modernitas di kekinian dan di kedisinian.

Dalam mencermati problem-problem dihadapi dunia Islam terdapat beberapa variasi pandangan dan pemikiran di kalangan intelektual dan pemikir pembaharu Muslim sebab keterbelakangan kaum Muslim, dan sekaligus upaya pemecahannya. Namun, rumusan sebab dan upaya pemecahan keterbelakangan itu, sepertinya masih jauh “panggang dari api.” Sehingga dewasa ini dunia Islam merupakan kawasan bumi paling terkebelakang di antara penganut agama-agama besar di jagad ini.

Selama dalam dua abad belakangan, Cak Nur menyebutkan bahwa negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia baru yang bergama Protestan; oleh Eropa Selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh Israil yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong serta Singapura yang Budhis-Konfusionis; oleh Jepang yang Budhis-Teois; dan oleh Thailan yang Budhis. (Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 21.

Sebetulnya kondisi memilukan menimpa dunia Muslim ini selama berabad-abad belakangan tidak perlu berlanjut hingga kini. Umat Islam dapat saja, minimal mengurangi jarak ketertinggalannya dari negara-negara maju, dan sekaligus menjadi “bulan-bulanan” (baca: menjadi negeri terjajah), khususnya dari negara Eropa Barat. Namun, sungguh disayangkan, umat Islam tidak mau menyahuti seruan gagasan dan pembaharuan pemikiran beberapa pembaharu pemikir Islam secara sungguh-sungguh agar bangkit dari kemunduran dan keterbelakangan.

Pada paruh kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20 sejumlah pembaharu pemikiran Islam dari berbagai belahan dunia Islam, khususnya Mesir dan India. Misalnya, Muhammad Abduh dan Syed Ahmad Khan menyerukan pembaharuan pemikiran Islam agar umat Islam kembali menangkap ajaran agama Islam yang lebih kreatif, dinamis dan logis, dan liberal, dan segaligus lebih otentik dengan kemampuan menangkap “api Islam” dan meninggakalkan “abunya”, sebagaimana yang pernah diperagakan oleh umat dalam sejarah Islam klasik selama berabad-abad. (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 22).

Namun, kenyatannya tidaklah demikian, jangankan menangkap “api” Islam, umat Islam justru meninggalkan ajaran agamanya dan hanya menggenggam “abunya”. Karenanya, Muhammad Abduh benar ketika mengatakan, “umat Kristen maju karena meninggalkan agamanya; dan ummat Islam mundur karena meninggalkan agamanya.” (Fazlur Rahman, Islam, 1984: 322-323; dan Hourani, Arabic Thoughth in the Liberal Age 1798-1939, 1962: 130-159).

Jika direnungkan lebih mendalam ungkapan Muhammad Abduh ini, akan menghasilkan argumen bahwa menjadi rasional dalam Islam adalah inheren (melakat dalam) agama itu sendiri, sedangkan pada orang Barat adalah tantangan terhadap agamanya. Jika alur logika ini diteruskan, argumen berikutnya bahwa menjadi modern dan ilmiah dalam Islam adalah konsisten dengan ajaran agama Islam, sedangkan pada orang Barat berarti penyimpangan dari agamanya. (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 165)

Belakangan, menurut Rahman, pandangan pemikiran semacam ini dipopolerkan dan diperdebatkan dengan intens oleh ahli hukum dan pemikir Anak-Benua India yang terkemuka: Syed Ameer Ali. (Fazlur Rahman, Islam, hal. 322-323). Maka sangat logis dan relevan kalau ia mengungkapkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukanlah agama yang membawa kepada kemunduruan. Tetapi sebaliknya, agama Islam adalah agama rasional dan rilberal yang mengantarkan kepada kemajuan. (Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-I Adabiyat Delli, tt.), hal. 435).

Untuk membuktikan pandangannya ini, ia kembali merujuk kepada sejarah kegemilangan umat Islam klasik. Akan tetapi, pandangan dan sikap Syed Ameer Ali seperti ini tidak jarang oleh orang Barat (orientalis) dipandangnya sebagai apologia terbesar. Lantaran menonjolkan kejayaan Islam masa klasik, akibatnya ia kerapkali disebut olah orang-orang Barat sebagai apolog terbesar Islam. Memang, melalui karyanya, The spirit of Islam, ia berusaha untuk membuktikan kepada dirinya (baca: ummat Islam) dan pada orang-orang lain (baca: orang Barat) bahwa Islam adalah baik dan benar. Disamping itu, ia memahami bahwa Islam merupakan suatu proses akhir yang paling sempurna dari agama dan kepercayaan sebelumnya.

Sebenarnya masalah apologia merupakan satu hal yang harus diketahui oleh orang yang ingin memahami pemikiran-pemikiran modern dalam dunia Islam. Karena sebagian besar pemikir Muslim modernis, menurut Mukti Ali, secara umum masuk dalam kategori ini. Tidak sedikit dari karya-karya dan pernyataan-pernyataan kaum Muslim modernis tentang agama Islam pada dasarnya adalah pembelaan diri. Oleh para ilmuan Barat, argumen para Muslim modernis pada umumnya dicemooh sebagai pembenaran belaka. Memang maksud baik para Msulim modernis tersebut diakui tetapi nilainya tidak seberapa. Paling tidak, pandangan seperti ini, menurut Baljon, ada dua alasan yang menjadi penyebabanya.

Pertama, kaum orientalis mendasarkan pendapatnya secara terlampau esklusif pada karya-karya pemikir Muslim modernis yang ditulis dalam bahasa Eropa (Inggris), khususnya buku yang sejenis The spirit of Islam tersebut. Namun tulisan-tulisan seperti ini tidak cocok untuk dijadikan contoh (dalam mengeneralisir). Alasannya sederhana saja, yaitu para penulis Muslim terlalu sadar bahwa tulisan-tulisannya akan dibaca oleh orang-orang Barat; dan bahwa penulis tersebut harus selalu waspada untuk mempertahankan nama baik Islam. Oleh sebab itu, usulan-usulannya secara apriori bersifat pembenaran dalam arti kata yang sempit.

Apa yang diuraikan para penulis Islam tadi, dalam pikiran para pembaca Barat, tampak berlebihan dan kurang meyakinkan. Sebaliknya, pandangan pembenaran yang ditulis dalam bahasa, selain bahasa Inggris, Urdhu dan Arab, misalnya jauh lebih berimbang. Karena tulisan dalam dua bahasa terakhir tidak ditujukan kepada orang asing (Kristen-Barat), sehingga tidak ada keraguan. Lagi pula, sarana bahasa yang dipergunakan lebih memudahkan mereka memformulasikan gagasan-gagasan Islam tertentu dengan menyampaikan secara tidak langsung dan sedikit lebih halus.

Kedua, lazimnya orientalis Barat tidak menyadari apologetik merupakan aplikasi agama yang sesungguhnya. Sebenarnnya, agama menggambarakan respon manusia terhadap realitas transenden. Sebuah respon seperti itu dengan sendirinya dibatasi kemampuan-kemampauan yang inheren pada diri manusia.Karenanya, kepercayaan harus menggunakan bahasa sederhana dan harus mengikuti aturan pemikiran dan petunjuk. Baik cara berbicara maupun berpikir merupakan produk masanya. Jadi agama harus mengakomodasinya sendiri terhadap semangat dan kondisi masanya. Kalau tidak, agama benar-banar tidak berfungsi. Dan dari kebutuhan yang mendesak untuk berkomunikasi dengan “dunia” pada gilirannya secara alami menuntut apologetik. Lihat, H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 143; lihat juga, J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), (Leiden: E. J. Brill, 1968), hal. 121-122.

Maksud Syed Ameer Ali mengungkapkan kejayaan Islam klasik, bukanlah sekedar untuk “onanisme” (pemuasan diri) sesaat, apa lagi sembari menepuk-nepuk dada dengan bangga. Lebih jauh dari itu, dalam pandangan Ameer Ali, ada pelajaran menarik yang dapat dijadikan pengalaman historis: apa penyebab umat Islam klasik maju, dan apa pula penyebab (setelah itu) umat Islam menjadi mundur. Menurut Syeid Ameer Ali, jawabnya singkat meskipun tidak sederhana: Liberalisme dan rasionalisme Islam.

Pandangan, sikap dan pemikiran Syed Ameer Ali yang rasional dan liber itu dituangkan lewat karya-karya, khusus karya masterpiece-nya, The Spirit of Islam, Syed Ameer Ali, melebihi penulis manapun, benar-benar telah menampilkan konsepsi Islam liberal dan rasional secara konkrit, substansial dan memuaskan. Pemikiran Ameer Ali ini sangat berpengaruh di dunia Islam. Dalam buku The Spirit of Islam, Syed Ameer Ali mengulas ajaran-ajaran Islam mengenai tauhid, ibadah, hari kiamat, kedudukan wanita, perebudakan, sistem politik.

Di samping itu, Syed Ameer Ali juga menguraikan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran rasional dan filosofis serta sufistik. Dalam pengkajian Syed Ameer Ali terhadap gagasan-gagasan Islam tersebut acapkali pemberbandingkan dengan mengutarakan baberapa ajaran agama-agama dan tradisi kepercayaan yang ada sebelum Islam. Di atas segalanya, buku The Spirit of Islam juga mengulas sejarah awal Islam, tentu saja yang menjadi fokusnya adalah sang pembawa risalah, Nabi Muhammad saw.

Karya Syed Ameer Ali itu, menurut Harun Nasution, mempergunakan metode perbandingan, dan ditambah dengan uraian yang rasional dan liberal. Dia terlebih dahulu memaparkan ajaran-ajaran yang serupa dengan agama-agama lain. Kemudian, ia menjelaskan dan menyatakan bahwa Islam membawa perbaikan dalam ajaran-ajaran bersangkutan. Selanjutnya, dia memberikan argumen rasional dan liberal untuk menyatakan bahwa ajaran Islam tersebut tidak bertentangan, dan bahkan sejalan dengan pemikiran akal. Lihat, Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarata: Bu;an Bintang), hal. 183.

Sedangkan menurut H.A.R. Gibb, secara garis besar, isi buku tersebut dibagi menjadi tiga. Pertama, Menguraikan sejarah hidup Nabi Muhammad.Dia menampilkan sosok Nabi Muhammad sebagai manusia yang menyejarah. Berbeda misalnya dengan gambaran yang diberikan oleh kaum sufi tentang Nabi Muhammad yang sarat dengan hal-hal suprarasional dan unsur-unsur kekaramatan. Meskipun memang Ameer Ali juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai contoh kebajikan yang par exellances dan penjelamaan manusia yang paling agung (insan kamil).

Kedua, ajaran Nabi Muhammad dihidangkan dalam cita-cita sosial zaman sekarang.Empat kewajiban ibadah mahdah, sholat, puasa, zakat dan haji, dia paparkan atas dasar yang masuk akal berhubungan dengan fungsi sosialnya.

Ketiga, perebudakan, poligami dan lainnya merupakan kelamahan moral dan sosial, dan itu diakui.. Akan tetapi dijelaskan bahwa kondisi tersebut bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan tanggung jawab terhadap masalah itu diletakkan di atas pundak para ulama dalam ilmu fiqh belakangan. Perbudakan misalnya bertentangan dengan (semangat) ajaran al-Qur’an tentang persamaan semua keturunan Adam; poligami terlarang dengan syarat-syarat dalam al-Qur’an; perceraian seharusnya ditolak dengan semangat ajaran dan contoh dari Nabi Muhammad. Lihat, H.A.R. Gibb, Islam Dalam Lintas Sejarah, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1983), hal. 134-135.

Tak pelak lagi, konsepsi Islam sedemikian ini telah mendapat pengakuan secara bulat dan penuh semangat dari umat Islam terpelajar, dimana sebelumnya secara diam-diam telah merasa dikecewakan atas penampilan konsepsi Islam yang konservatif dan tradisional. Sampai batas tertentu, dia telah berhasil mencapai sasarannya, dan bahkan lebih penting lagi, dia telah sukses menggerakkan para ulama ortodoks-konservatif untuk menerima dan mendukung beberapa gagasan yang dipaparkan dalam bukunya, The Spirit of Islam tersebut. (H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, 1996: 119).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).
39. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (3): Sepenggal  Sejarah  Islam Klasik Era Khulafa’  al-Rasyidin

39. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (3): Sepenggal Sejarah Islam Klasik Era Khulafa’ al-Rasyidin

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

Segera setelah Rasul Allah saw. wafat, menurut Harun Nasution, persoalan yang mula-mula mencuat kepermukaan dalam sejarah awal Islam klasik bukannya persoalan teologis, tetapi justru persoalan politik. Persoalannya adalah perbedaan pendangan politik tentang siapa yang akan menjadi khalifah (pengganti) Rasul Allah dalam memimpin orang-orang Mukmin. Karena Nabi Muhammad tidak menunjuk penggantinya, belakangan di kalangan para pemerhati dan mengkaji sejarah Islam klasik, khususnya pengkaji pemikiran politik Islam membangun argumentasi dan rasionalisasi, kenapa Rasul Allah tidak menunjuk penggantinya. (Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1978: 92; Philip K. Hitti, History of the Arabs, 1970: 139).

Jaluluddin Suyuti, kata Hudzaifah, menyatakan bahwa beberapa sahabat meminta Rasul Allah untuk menunjuk dan mengangkat penggatinya. Namun, Rasul Allah menolak untuk berbuat demikian, seraya bersabda bahwa apabila meraka (umat Islam) memberontak terhadap pengganti yang diangkat oleh Rasul Allah, maka konsekwensi mereka akan dihukum. Seandainya Rasul Allah mengangkat seorang pengganti dan merinci suatu cara tertentu dalam pemilihan, maka cara itulah yang menjadi satu-satunya cara pengangkatan seorang kepala negara.

Ketentuan yang bersifat membatasi itu akan menyebabkan kesulitan besar dalam perkembangan pemerintahan dalam Islam. Jadi dengan tidak menunjuk pengganti dan menentapkan suatu cara tertentu, maka Rasul Allah telah bertindak sesuai dengan jiwa al-Qur’an menganai masalah tersebut. Dengan begitu, baik Rasul Allah maupun al-Qur’an memberikan kebebasan pada umat Muslim untuk mengatur cara bentuk pemerintahan dalam Islam. (Ahmad, Mumtaz (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, 1996: 63).

Al-Qur’an itu sendiri, menurut Ayubi dalam karyanya “Political Islam: Religion and Politics in The Arab World”, sedikit sekali mengungkap persoalan (pemerintahan) politik. Mengapa al-Qur’an tidak menjelaskan dasar-dasar kekhalifahan serta syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang akan menjadi khalifah? Jawabannya, bahwa al-Qur’an telah menetapkan minimal tiga dasar pemerintahan dalam Islam, yaitu: keadilan, musyawarah dan kepatuhan ulil amri.

Dalam soal kepatuhan terhadap ulil amri ada penegasan bahwa suka atau tidak suka; setuju atau tidak setuju, umat Islam harus menaatinya. Namun, pengecuali ketataatan kepada ulil amri itu tidak berlaku pada penguasa yang melakukan pendurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya, terhadap penguasa semacam ini tidak boleh dipatuhi dan ketaan tidak berlaku padanya. Bahkan ada disebutkan bahwa penguasa semacam ini hari diganti. (Lihat, Nasih N. Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in The Arab World, 1991: 1-2).

Lebih jauh, bahkan menurut Abu Zahrah, tidak ada satupun nash yang qath’i atau isyarat yang jelas dari Rasul Allah tentang siapa yang akan menggantikannya. Yang ada hanyalah perintah Rasul Allah kepada Abu Bakar untuk menggantikannya menjadi imam shalat sewaktu Rasul Allah menderita sakit menjelang wafatnya. Para pengkaji pemikiran politik Islam melihat bahwa tidak ada relevansi (sebab akibat), dan analogi yang kurang tepat bila mempersamakan antara menggatikan Rasul Allah menjadi imam shalat dan menjadi khalifah.

Tambah lagi, dalam perdebatan yang terjadi di antara kelompok Muhajirin dan Anshar di Balairuang Saqifah Bani Sa’adah mengenai khalifah (pengganti Rasulullah) tidak satupun dari kedua kelompok itu yang menjadikan perintah Rasul Allah kepada Abu Bakar untuk menggantikan Rasul Allah menjadi imam shalat sebagai dasar argumen pemikiran mereka, khususnya dari kelompok Muhajirin. (Lihat, Muhammad Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, 1996: 23)

Perintah atau permintaan Rasul Allah untuk menggatikan jadi imam shalat itu tidak mengisyaratkan sebagai hak Abu Bakar al-Siddiq secara “ekslusif” atas kekhalifahan kaum Muslim. Sebaliknya, penafsiran jadi imam shalat sebagai hak “ekslusif” adalah kurang proporsional, dan tidak pada tempatnya. Memimpin kehidupan ibadah muamalah umat manusia yang “kompleks” berbeda dengan memimpin ibadah mahdah shalat berjamahan umat Muslim yang “sederhana”. Karenanya, isyarat menjadi imam shalat yang dikaitkan dengan pengangkatan jadi khalifah tersebut menjadi kabur.

Begitupun, ada hadis Rasul Allah (baca: Hadist Khadir Khum) yang menyatakan pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Rasul Allah, kelak. Di kalangan Syi‘ah meyakin ini bahwa lewat hadis ini, Rasul Allah telah menunjuk sepupunya sekaligus menantunya, Ali bin Abu Thalib sebagai pengatinya. Argumen yang meskipun, konon berdasarkan hadis, itu pun tetap dipertanyakan keabsahanya.

Menurut M.A. Shaban, salah satu keberatan dan penolakan terhadap hadis pengangkatan Ali sebagai pengganti Rasulullah adalah menyalahit tradisi Arab. Di kalangan orang Arab tidak ada tradisi mengangkat pemimpin yang masih berusia muda, sekitar berusia 30-an tahun. Dalam hal ini, Rasul Allah sangat memahami, sebagai anak zamannya, tradisi orang Arab yang ada pada waktu itu. (Lihat, M.A. Shaban, Sejarah Islam: Penafsiran Baru 600 – 750, 1993: 21)

Sebelum jasad Rasul Allah dikebumikan, sejumlah tokoh masyarakat sebagai refresentasi dari kaum Muhajirin dan Anshor melakukan musyawarah di Saqifah Bani Sa‘adah. Tradisi musyawarah di kalangan orang-orang Arab, sebelum datangnya Islam, telah sering dilakukan lewat lembaga yang disebut “Dewan” (Nadi). Di lembaga ini para tokoh (orang-orang tua) dari suatu suku atau wilayah tertentu bermusyawarah untuk memilih pemimpin di kalangan mereka, disamping bermusyawarah mengenai urasan-urasan pentinh mereka lainnya.

Lembaga itulah yang, menurut Fazlur Rahman, kemudian didoktrinisasikan oleh al-Qur’an dengan menggunakan istilah “syura”. (Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donahue & L. Esposito (ed.), Islamic in Transition Muslim Perspective, 1982: 263). Dalam musyawarah yang alot Sa’aqifah Bani Saadah tersebut, tanpa dihadiri oleh kaum Bani Hasyim karena dalam kedukaan mengurus jenazah Rasul Allah, akhirnya terpilih Abu Bakar atas usulan Umar Ibn Khattab yang mendapat persetujuan dari peserta musyawarah.

Segera setelah Abu Bakar al-Shiddiq terpilih sebagai khalifah, Umar Ibn Khattab memintanya untuk mengulurkan tangannya sebagai wujud menerima jabatan khalifah tersebut. Kemudian Umar Ibn Khattab memberikan bay’ah (sumpah setia) kepada Abu Bakar al-Shiddik, dan diikuti oleh kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Bay’ah ini dipahami sebagai kepastian hak dan kewajiban timbal balik antara rakyat dan pengusa (dewasa ini sering disebut sebagai “kontrak sosial”).

Dalam sambutan terpilihnya, Abu Bakar menyatakan, “bahwa saya telah mendapat kekuasaan dari orang-orang mukmin yang meminta untuk menjalankan ajaran agama dan Sunnah, sehingga sekirannya saya tetap teguh berpegang kepad keduanya maka dukunglah saya. Akan tetapi, jika saya kedapatan berbuat salah menjalan kedua aturan pokok itu, maka pecatlah saya”. (Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”: 263).

Proses pemilihan Khulafah al-Rasyidin berikutnya, masing-masing Umar Ibn Khattab (634-644), Utsaman bin Affan (644-656) dan Ali bin Abi Thalib (656-661) tetap lewat proses musyawarah. Meskipun dengan pola yang berbeda-beda yang juga dilanjutkan dengan bay’ah. Para Khulafa al-Raysidin, karena bukan seorang Rasul Allah yang menerima wahyu, dalam menjalankan pemerintahan mereka tunduk pada pada prinsip-prinsip dasar yang digariskan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Di samping itu, mereka juga melakukan musyawarah dengan para sahabat Rasul Allah. Pada umumnya para pemikir politik dalam Islam berpendapat bahwa masa pemerintahan khulafah al-rasyidun inilah yang paling ideal dalam Islam.

Pemerintahan ideal ini pada masa khulafa al-rasyidun disebut, menurut Madjid Khaduri, berbentuk nomokrasi karena peranan penting dalam pemerintahan adalah syariah. Berbeda dengan ini, al-Maududi menyebutnya dengan teo-demokrasi karena di samping syariah yang diwahyukan Tuhan sebagai pemegang kedaulatan tunggal dalam Islam, musyawarah antar-ummat juga mempunyai kedudukan penting. (Lihat, Mulya, Musda, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, 2001: 5).

Setelah wafatnya Rasulullah, kaum Muslim di Madinah terbentuk kelompok-kelompok politik yang berbeda-beda, seperti kelompok kaum Anshar, Muhajirin dan kelompok Bani Hasyim. Masing-masing kelompok mempunyai pimpinan tersendiri. Kelompok kaum Anshar dipimpin oleh Sa’ad bin Ubaidah, kelompok Muhajirin mendudukung Abu Bakar al-Sidik dan Umur ibn Khattab, sedangkan kelompok Bani Hasyim mendukung sepupu dan menantu Rasul Allah, Ali bin Abi Tahlib.

Adanya fraksi-fraksi politik tersebut dengan sendiri menimbulkan pemikiran di bidang politik. Misalnya, kelompok kaum Anshor mengklaim kekuasaan adalah milik mereka. Dengan pertimbangan bahwa mereka merupakan bagian terbesar dari angkatan bersenjata ummat Islam. Bahkan ketika perdebatan di antara kelompok-kelompok tersebut memuncak dan sulit untuk menemukan kata sepakat, maka kelompok kuam Anshar mengusulkan, sebagai pemikiran alternatif, agar kekuasaan dan kedaulatan ummat Islam dibagi dua.

Sebaliknya, kelompok dari kaum Muhajirin berpendapat bahwa kesatuan dan keutuhan kekuasan dan kedaulatan umat Islam harus dipertahankan. Dan dalam kekuasaan dan kedaulatan ummat Islam yang utuh tersebut, menurut mereka, kelompok kaum Muhajirin adalah pemilik kekuasaan yang abash. Dengan alasan bahwa bagi semua orang Arab hanya mau menerima kepemimpinan dari suku Quraisy saja. Barang kali legitimasi alasan ini berdasarkan pada hadis Rasul Allah, yaitu “al-a’immah min Quraisy” (kepemimpinan dari Bani Quraisy). Sementara itu, belakangan Bani Hasim mengklaim bahwa kekuasaan dan kepemipinan atas ummat Islam adalah milik mereka. Dengan pertimbangan atas pertalaian keluarga dengan Rasulullah.

Setelah periode Khulafau al-Rasyidin berakhir, pemerintahan dalam Islam beralih kepada dinasti Umayyah. Mu’awiyah (661-680) adalah khalaifah yang pertama merubah sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem domokrasi menjadi monarki, yaitu dengan mengangkat putranya, Yazid sebagai pengatinya. Ketika dinasti Ummayah digulingkan oleh dinasti Abbasyiah, bukannya pemerintahan bentuk monarki dirubah, tetapi tetap dipertahankan, bahkan pemerintahnya lebih absolut dari dinasti sebelumnya. Sabda Rasul Allah, “Sepeninggalanku kekhalifahan berumur tiga puluh tahun. Sesudah itu, ia akan berubah menjadi kerajaan yang digigit (dipertahankan secara turun-temurun).” (Lihat, Abu Zahra, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam: 13).

Kendatipun hadis ini diragukan oleh peneliti hadis, lantaran “a historis”, karena “kekhalifahan” pada masa hidup Rasul Allah belum tercipta, tetapi baru setelah Rasul Allah wafat. Namun, keberatan tersebut mengandaikan keraguan mereka terhadap kekuatan estimasi dari Rasul Allah. Dan kalau ditinjau bahwa Muahmmad merupakan Rasul Allah, maka keberatan tersebut menjadi tidak terlalu berarti. Banyak orang menyangkan perubahan sistem pemerintahan tersebut. Bahkan pemikir-pemikir pembaharu dalam Islam abad ke-19 dan 20 menyatakan bahwa salah satu penyebab kemunduran ummat Islam adalah lenyapnya pemeritahan khulafa al-rasyidun yang bercorak demokratis dan republik itu menjadi monarki. (Musda Mulya, Negara Islam: 5).

Dalam penilaiannya terhadap sistem politik yang dibangun oleh Rasul Allah, kemudian diteruskan oleh para khulafa al-rasyidin, menurut Robert N. Bellah, sangat modern untuk ukuran zaman dan tempatnya. Bahkan era khulafa al-rasyidin sebagai kelanjutan era Rasul Allah di Madinah terlalu “modern” untuk berhasil, seperti dikutip Nurcholish Madjid:

“Tidak dapat lagi dipersoalkan bahwa di bawah Rasul Allah Muhammad masyarakat Arab telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik. Tatkala struktur yang telah terbentuk di bawah Rasul Allah dikembangkan oleh para khlifah pertama untuk menyediakan perinsip penyusunan suatu emperium dunia, hasilnya suatu yang untuk masa dan tempat sangat modern.”

Sistem politik awal Islam klasik sedemikian modernannya, sehingga hanya mampu bertahan dengan berakhirnya kepemimpinan khulafa’ al-rasyidun. Pemerintahan pasca khalifah al-rasyidun ini gagal menerapkan sistem politik modern. Dengan begitu, mereka kembali pada prinsip organisasi sosial pra-Islam, merupakan bukti tambahan untuk kemodernan eksperimen dini tersebut. Eksperimen itu terlalu modern untuk bisa berhasil karena belum ada prasarana sosial yang diperlukan untuk mendukungnnya.” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusia: 15-16; Robert N. Bellah, Beyon Belief Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, 2000: 213).

Sistem politik awal Islam klasik disebut modern dalam hal tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partispasi yang diharapkan dari kalangan rakyat sebagai anggota masyarakat. Pratek sistem politik semacam ini terjawantahkan dengan sempurna sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah. Begitu pula, sistem politik Islam dikatakan modern dalam hal pemilihan pemimpin (khalifah) secara demokratis lewat musyawarah. Lebih dari itu, disebut modern karena keterbukaan kedudukan kepemimpinannya untuk dinilai kemampuan mereka menurut landasan-landasan universalistas. Kepemimpin modern itu tidak dilambangkan menjadi lembaga yang anti kritik dalam kepemimpinan monarki (diangkat turun-menurun).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

 

38. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (2): Sekelumit Sejarah Islam Klasik Era Rasul Allah

38. PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (2): Sekelumit Sejarah Islam Klasik Era Rasul Allah

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Kelahiran agama Islam di tengah-tangah masyarakat Arab jahiliyah di Mekkah melulu dipandang dari perspektif teologis dan moral dengan pertimbangan masyarakatnya adalah pengunut paganisme dan bobrok akhlaknya, an sich. Sementara itu, kelahiran Islam dan tampilnya Nabi Muhammad di Mekkah, hampir-hampir tidak pernah dihubungan dengan motif lain, misalnya ekonomi dan politik. Padahal di Mekkah pada masa itu telah terjadi ketimpangan ekonomi-perdagangan dan ketidakadilan politik-kekuasaan. Yang kuat menindas; dan yang lemah ditindas.

Perolehan harta secara berlebih-lebihan, merampas hak-hak orang lemah dan mengabaikan orang-orang miskin di Mekkah tidak dapat dibenarkan. Karenanya, menurut Watt, ajaran yang mula-mula disampaikan oleh Nabi Muhammad sangat sarat dengan tema-tema tersebut, seperti tulisnya, “surah-surah yang paling awal dalam al-Qur’an menegaskan bahwa akar dari kegelisahan sosial di Mekkah adalah materialisme individualistik kebanyakan penduduknya.

Kesombongan saudagar-saudagar besar melalui kekayaannya terhadap orang-orang miskin dan tertindas mendapat kecaman. Bahkan ajaran-ajaran teologis dalam surah-surah awal ini mempunyai relevansi dengan situasi tersebut. (Lihat, W. Montgemory Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Tokoh Orientalis, Jokyakarta: Tiara Wacana, 3-4). Dalam bahasa yang hampir sama, Fazlur Rahman, setelah membandingkan agama Islam dengan agama monotaimse lainnya, menyatakan:

“Bagi monitasme Muhammad, sudah dari sejak awanya berkelindan dengan humanisme dan raasa keadalian sosial-ekonmomi yang tidak kalah dengan intensitas konsep monotaistik lainnya. Karennya, kalau secara seksama kita membaca wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad tentu saja kita akan mengambil kesimpulan bahwa keduanya seyogyanya dipandang sebagai ungkapan pengalaman yang sama.” (Fazlur Rahman, Islam, 2002: 12).

Mekkah sebagai kota perdagangan menjadikan penduduknya “…. kalau bukan seorang pedangan maka ia seorang makelar”, kata Straff, seorang perwira tentara Romawi yang ikut berperang di jazirah dalam menuliskan pengalamamnya.” “Jika mereka diseru menunaikan sholat Jum’at,” demikian firman Allah, “ Bergegaslah kamu mengingat Allah dan tinggalkan jaua-beli.” (Q.S. 62:9).

Dikalangan orang Mekkah, hari Jum’at adalah hari suka-cita dan orang-orang pada sibuk di pasar. Ada hadis Nabi yang mengisahkan, betapa Nabi Muhammad sedang berkhutbah, ditinggalkan jama’ah dan yang tersisa hanya dua belas orang, gara-gara mereka menyambut kafilah yang tiba membawa dagangan. (Lihat, H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah: Suatu Penafsiran Baru, Bandung: Mizan, 1990: 55).

Dengan kondisi di atas kota Mekkah telah melahirkan konglomarasi yang memenopoli perdanganan, sehingga kekayaan (modal) terkonsentarisi pada segelintari orang, sekaligus memiskinkan sejumlah banyak orang. Konsekwensinya, menyerat timbulnya ketegangan-ketegangan di antara mereka, dan boleh jadi berakhir dengan peperangan di antara suku-suku yang ada.

Dalam kondisi seperti ini, Nabi Muhammad tampil untuk memberikan peringatan tentang bahaya yang akan melanda Mekkah beserta perdagangannya. (Lihat, M.A. Shaban, Sejarah Islam: Penafsiran Baru 600-750, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993: 1-9). Maka munculnya Nabi Muhmmad dalam panggung sejarah guna melakukan revolusi dalam rangka merubah tatanan kepercayaan, ekonomi dan politik masyarakat Mekkah. (Bernard Luwis, The Political Language of Islam, Chicaco: University Chicaco Press, 1989: 92).

Namun, selama periode Mekkah (611-622) Nabi Muhammad tidak berhasil mengemban misinya. Ia hanya mendapat pendukung sekelompok kecil dari kalangan yang tidak mempunyai pengaruh serta tidak mempunyai wilayah dan kedaulatan di Mekkah. Posisi mereka pada waktu itu sangat lemah sebagai golongan minoritas tertindas dan tidak mampu menentang kekuasaan kaum Quraisy Mekkah. (J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, 1996: 1).

Faktor utama kegagalan itu disebabkan Nabi Muhammad dan pengikutnya mendapat tantangan dari kaum Quraisy, kelompok penguasa Mekkah yang ingin mempertahankan status qua. Bahkan musuh-musuhnya yang kaya itu melakukan pemboikotan ekonomi. Karena di Mekkah tidak kondusif untuk melakan perbaikan, dan malah kesalamatan jiwanya dan pengikutnya terancam, maka mereka tidak mempunyai alternatif, kecuali meninggalkan tanah kelahirannya (M.A. Saban, Sejarah Islam: 12) untuk hijrah ke Yastrib (belakangan berganti nama kota Madinah).

Semua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. di kota hijrah itu adalah refleksi dari ide yang terkandung dalam perkataan Arab “madinah”. Dari segi etimologis kata ini berarti “tempat peradaban”, yaitu padanan perkataan Yunani “polis” , seperti dalam nama kota “Constantinopel”. Dan “madinah” dalam arti itu adalah sama dengan “hadlarah” dan “tsaqafah”, masing-masing sering diterjemahkan, berturut-turut “peradaban” dan “kebudayaan”.

Akan tetapi, secara etimologis mempunyai arti “pola hidup menetap” sebagai lawan “badawih” yang berarti “pola hidup mengembara, nomad. Karena itu perkataan “madinah” dalam peristilahan modern, menunjuk kepada semangat dan pengertian “civil society ”, suatu istilah bahasa Inggris yang berarti “masnyarakat sopan, beradab dan teratur dalam bentuk negara yang baik. Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusian, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 187

Ketika berada di kota Madinah, Nabi Muhammad membangun sebuah komunitas baru dengan mempersatukan kaum Muhajirin dan kaum Anshar dalam ikatan persaudaraan berdasarkan iman. (Lihat, Abdullah al-Ahsan, Ummah or nation? Identitas Critis in Contemporary Muslim Society, The Islamic Foundation, 1992: 9; Hakim Javid Iqbal, “Konsep Negara Dalam Islam”, dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, 1996: 60). Di kota ini, menurut Harun Nasution, umat Islam mempunyai kedudukan yang baik dan segera berkembang menjadi suatu komunitas kuat dan mampu berdiri sendiri.

Nabi sendiri menjadi pemimpin masayakat yang baru dibentuknya itu, dan akhirnya menjadi sebuah negara yang wilayahnya kekuasaannya, ketika Nabi wafat, meliputi seluruh kawasan semenanjung Arabiah. Untuk itu, dengan sendirinya, ungkap T. Strothmsann, seperti dikutip Harun Nasution, kapasitas dan peranan disandang Nabi Muhammad menjadi ganda: sebagai Nabi dan kepala negara. (Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1986: 3 dan 92). Bahkan pada periode Madinah ini, menurut penilaian Philip K. Hitti, unsur kenabian dalam dirinya surut kebalakang, dan sikap politis-praktisnya yang mencuat kepermukaan. (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arab, 1970: 116).

Senada dengan itu, menurut A.H. Johns, Muhammad di Madinah memerintah komunitasanya dengan menggunakan otoritas keagamaan dan politik. Pada periode di Mekkah, ia tidak suskes sebagai seorang pemimpin agama hingga mendapat kesempatan untuk mengembangkan keterampilan bawaannya sebagai seorang pemimpin politik. Namun, itu sangat meragukan bahwa ia sukses sebagai seorang pemipin politik kalau ia tidak terlebih dahulu merefresentasikan dirinya sebagai seorang pemimpin agama. (A. H. Johns, “Political Authority in Islam: Same Reflections Relevant to Indonesia”, Anthony Reid, (ed.), The Making of an Islamic Discourse in Souteast Asia, 1993: 17).

Perjuangan Nabi Muhammad dalam membangun komunitas baru di Madinah acapkali ditunjuk sebagai awal berdirinya organisasi politik dalam Islam. Fazlur Rahaman, tokoh Neo-modernisme Islam, misialnya menyebutkan bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad tersebut merupakan sebuah negara. (Lihat, Fazlur Rahman, “The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donahue & L. Esposito (ed.), Islamic in Transition Muslim Perspective, 1982: 261). Pandangan serupa dari D.B. Macdonald yang menyatakan bahwa di kota Madinah telah terbentuk negara Islam pertama yang meletakkan dasar-dasar politik bagi penerapan perundangan-undangan Islam. (Lihat, D.B. Macdonald, Development of Muslim Theologi, Jurisprudence and Constitutional Theory, 1903: 67).

Adapun sumber perundangan-undangan di masa Nabi Muhammad saw. adalah wahyu ilahi (al-Qur’an) dan ketetapan-ketetapannya sendiri (al-Sunnah). Kalau terjadi sesuatu yang menghendaki adanya ketetapan hukum terhadap peristiwa atau masalah yang terjadi di tengah masyarakat, maka Allah menurun wahyu kepada Nabi untuk menjelaskan hukum yang belum diketahuinya. Akan tetapi, bila tidak ada wahyu yang turun, Nabi Muhammad saw. melakukan tinjauan hukum untuk menentukan ketetapan hukumnya. Hasil ketetapan Nabi Muhammad saw ini bersifat mengikat untuk diikuti oleh ummat Islam (J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan: 6).

Mengingat tindakan Nabi Muhammad saw dalam penjalankan pemerintahannya senantiasa berdasarkan pada tuntutnan dan bimbingan wahyu, maka sebagian pengakaji pemikiran politik Islam menyatakan bahwa negara yang dibentuk oleh Nabi adalah negara teokrasi dalam arti kedaulatan ada pada Tuhan. Meskipun demikian, ada juga di antar penulis keberatan dengan pandangan ini, karena banyak ayat al-Qur’an memerintahkan Nabi agar melakukan musyawarah dengan ummat. Salah satu diantaranya, “Bermusyawarah kamu dengan mereka dalam berbagai urusan, kemudian apabila kamu telah membulatakan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah” [Q.S. Al-Imran:159].

Dalam menjalankan pemerintahannya, khususnya dalam bidang muamalah, Nabi membuat perjanjian tertulis: “Piagam Madinah”. Piagam ini oleh kebanyakan penulis dan peneliti sejarah Islam serta pakar pemikiran politik Islam menyebutkan sebagai konstitusi negara Islam pertama. (Zainal Abadin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw. Konstitusi Negara Yang Pertama di Dunia, 1973).

Piagam Madinah ini merupakan landasan bagi masyarakat yang terdiri dari kaum Muhajirin, kaum Anshar serta orang-orang Jahudi dalam penyelengaraan administrasi dan keamanan di kota Madinah sebagai ummah wahidah (komunitas tunggal). Watt setuju kalau orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah dimasukkan dalam ummah wahidah. Akan tetapi, tidak sedikit ahli sejarah yang, misalnya R.B. Serjeant, Frederick M. Denny, keberatan tidak setuju) untuk memasukkah orang-orang Yahudi dalam komunitas tersebut.

Perinsip-perinsip penting yang dapat disimpulkan dalam dalam piagam itu adalah: Kedaulatan di tangan Allah dan otoritas keunggulan hukum-Nya; negara Islam Madinah berdasaarkan hukum Islam dan Nabi adalah kepala pemerintahannya. Perinsip-perisnip lainya yang dikandung dalam piagam Madinah itu, seperti persamaan hak dan kewajiban, musyawarah, keadilan, persaudaraan, kebebasan, hidup bertetangga, toleransi beragama, perdamaian dan pertaahanan, amar makruf dan nahi mungkar, tolong menolong dan membela yang teraniaya, serta ketakwaan.

Begitu pula, Nabi sangat menekankan tentang nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), misalanya sangat nyata dalam pidato Hajj al-Wadha’ (haji perpisahan), Nabi menyerukan: “Sesungguhnya darahmu (dima’), harta bendamu (amwal), dan kehormatanmu (a’rad) adalah suci atas kamu, seperti sucinya harimu (hari suci haji) ini, dalam bulanmu (bulan suci Dzulhijjah) ini dan dinegerimu (tanah suci) ini”.

Nilai-nilai kemanusiaan itu harus tetap dijaga karena setiap manusia mempunyai nilai kemanusiaan sejagad. Firman Allah “Sesiapa membunuh suatu jiwa tanpa (kesalahan) membunuh jiwa yang lain atau membuat kerusakan di bumi, maka ia bagaikan membunuh umat manusia seluruhnya, dan barangsiapa menolong hidup suatu jiwa, maka ia bagaikan menolong hidup umat manusia seluruhnya.” (Q.S. 5: 27-32).

Dalam pidatonya itu, Nabi juga sangat menegaskan pentingnya hak-hak asasi manusia, misalny hak-hak wanita, budak dan buruh. Nilai-nilai kemanusia dan hak asasi manusia itu berulang-ulang Nabi tegaskan menjalang wafatnya. (Ajaran Islam yang ditegaskan oleh Nabi ini, belakangan mempengaruhi gerakan humanisme di Barat. Pengaruh ajaran Nabi ini dapat dilihat pada pemikiran-pemikiran kefilsafatan tentang manusia dari Giovani Pico della Mirandola, salah seorang pemikir humanis terkemuka zaman Rainassance Eropa, ketika ia menyapaikan orasi ilmiah: “Oratio de homanis dignitate (Oration on the Dignity of man)”, orasi tentang harkat dan martabat manusia di depan para pimpinan gereja.

Pembukaan orasi itu berbunyi: “Saya telah membaca, para bapak yang suci, bahwa Abdullah seorang Arab Muslim, ketika ditanya tentang apa kiranya di atas panggung dunia ini, seperti telah terjadi, yang dapat dipandang paling manakjubkan?” Ia menjawab: “Tidak ada yang dapat dipandang lebih menakjubkan daripada manusia”. Dengan panggal tolak ini Gieovani membeberakan paham kemanusiaannya. Meskipun Geiovani kemudian dimusuhi Gereja dan karena tidak tahan kemudian “bertobat”.

Akan tetapi, pandangannya itu merupakan salah satu fondasi faham kemanusiaan dan keadilan di Barat, yaitu Humanisme Modern. Belakangan, seperti John Lock merumuskan tentang hak-ha asasi manusia, yaitu Liberte (kebebesan), egalite dan propiete (pemilikikan harta). Begitu pula, pendiri Negara Amerika, Thomas Jefferson, seorang humanis besar merumuskan dokumen modern tantang American Declartion of Independence (Deklerasi Kemerdekaan Amerika), pada 6 Juni 1776, berisi penegasan Life, Liberty, and the Pursuit of Happenes (hak hidup, hak kebebaan, dan hak mengejar kebahagian). (Lihat, Nucholish Madjid, Islam Agama Kemanusia: 182 dan 221; lihat juga Nurcholish Madjid, “The Potential Islamic Doctrinal Resources for the Establishment and Appreciation of the Modern Consept of Civil Society”, Makalah, Konferensi Internasioanl tentang “Islam and Civil Society, Massages from Aoutheast Asia”, diselenggarakan oleh The Sasakawa Peace Foundation, Jepang, 5-6 November 1999).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)