20. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (4): Penerjemahan Pada Masa Dinasti Abbasyiah di Baghdad

20. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (4): Penerjemahan Pada Masa Dinasti Abbasyiah di Baghdad

Oleh Alimuddin Hassan*

 

Kecenderungan praktis dan pragmatis penerjemahan karya tertentu, seperti ilmu astrologi dan kedokteran, sebagaimana disebutkan sebelumnya,bukanlah semata-mata monopoli pemerintahan Dinasti Umayyah. Akan  tetapi,kenyataan ini juga berlaku pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Bahkan kecenderungan pada astrologi yang, sepertinya “irrasional”, misalnya mempercayai gerak-gerak dan posisi bintang juga menjadi kecenderungan sejumlah khalifah pada masa Dinasti Abbasyiah.

Demi keperluan apa yang disebut di atas, maka pada masa khalifah Harun al-Rasyid, oleh karenanya, sejumlah buku-buku tentang astrologi diterjemahkan, misalanya naskah Quadripasrtituskarya Ptolemi. Harun al-Rasyid dan sejumlah khalifah Dinasti Abbasyah selalu meminta pandangan para astrolog untuk memabaca “masa depan” kekuasaan mereka. (C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, 2002: 38). Khalifah al-Ma’mun sendiri yang terkenal kental rasionalismenya juga menggunakan jasa advis astrologi dalam mengambil keputusan strategis,sebagaimana penuturan Majid Fakhri:

“Pergolakan politik yang menyebabkan jatuhnya Bani Umayyah dan naiknya Dinasti Abbasyiah sebagai penggantinya menyakinkan di kalangan Dinasti Abbasyiah bahwa rahasia nasib manusia dan jatuh-bangunnya kerajaan berlaku dengan pasti menurut perhintungan bintang, dan hanya orang-orang  bijaklah yang mempu memahaminya. Dari sinilah bermula muncul hasrat yang kuat untuk memahami dan menerjemahkan karya-karya kuna berkenaan dengan astrologi.Bahkan khalifah-khalifah yang sangat rasional sekalipun, seperti al-Ma’mun tidak luput dari ketergantungan pada perhitungan bintang-bintang tersebut.Ia tidak saja mengangkat seorang astrolog sebagai pembantunya, tetapi ia juga tidak dapat melakukan gerakan militer dan kebijakan politik yang penting tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan astrolog tersebut.” (Lihat, Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 8).

Dari kutipan di atas, selain ilmu kedokteran, nyata betul bahwa ilmu astrologi memiliki arti peting, khususnya dalam menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaan. Arti penting ilmu astrologi di sini seiring dengan kecendrungan dan godaan universal bagi penguasa untuk tetap mempertahan kekuasaan (wa mulkun la yablâ). Karenanya, sebagaimana disebutkan Majid Fakhry di atas, kehadiran astrolog-astrolog di lingkungan  istana menjadi sangat diperlukan oleh khalifah –termasuk khalifah seperti al-Ma’mun– untuk memberikan “nasehat” dalam rangka mengambil keputusan-keputusan penting yang menentukan nasib dirinya dan menyangkut eksistensi kekhalifahan Dinasti Abbasyiah secara keseluruhan.

Pada masa Bani Umayyah penerjemahan warisan ilmu dan filsafat Hellensime masih bersifat individual-personal dan/ataubelum merupakan sebuah gerakan. Sementara pada era pemerintahan Dinasti Abbasyiah, khususnya periode-periode awal, dan terlebih-lebih pada masa pemerintahan al-Ma’mun,penerjemahan sudah bersifat kolektif-komunal dengan melibatkan banyak ilmuan dan penerjemah. Dengan kata lain, penerjemahan pada masa Disnati Umayyah tidak lebih sebuah proyek kecil.  Sebaliknya pada masa Dinsati Abbasyiah penerjemahan sudah merupakan suatu proyek besar-besaran. (Chales M. Santon, Higher Learning in Islam: 65).

Lebih lanjut, upaya penerjemahan tersebut merupakan sebuah gerakan yang terpadu dan sistematis serta langsung di bawah patronase penguasa. Di bawah perlindungan para khalifah Dinasti Abbaysiah, khususnya pada masa pemerintahan al-Mansur, al-Rasyid dan al-Ma’mun dapat dikatakan puncak aktifitas penerjemahan. Aktivitas penerjemahanpada masa Dinasti Abbasyiah berlangsung sekitar 100 tahun, yaitu antara tahun 750 hingga 850.

Adalah khalifah al-Mansur yang memulai gerakan penerjemahan secara gencar pada masa awal Dinasti Abbasyiah. Kesan umum yang dapat diperoleh mengenai al-Manshur bahwa ia berminat sekali pada karya-karya ilmiah dan filosofis. Untuk itu, ia memberikan dukungan dan perlindungan pada kegiatan penerjemahan. Meskipun demikian, berhubungan dengan langkanya para ahli dan sarjana serta karena masih kurangnya bahan-bahan ilmiah dan filasafat Hellemisme-Yunani yang dapat diperolah, sehingga proses penerjemahan pada masanya tidak mendapat kemajuan sesuai harapankanya. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 19).

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ketika al-Manshur bertahun-tahun menderita sakit, ia meminta untuk mendatangkan dokter dariJundisapur.Reputasi Jurjis Bukhtyshu’ sebagai dokter  sangat mumpuni itu terdengar oleh khalifah.  Oleh karenaya, ia meminta agar dokter Kristen terkenal itu dijemput untuk datang ke istananya. Keberhasilan menyembuhkan penyakit khalifah al-Mansur, kemudian Jurjis bin Bakhtaisyu’ diangkat menjadi kepala tim dokter istana, hingga wafanya al-Mansur.

Akan tetapi, setelah lanjut usia Jurjis kembali lagi ke Jundisapur dan kedudukanya digantikan oleh keturunanya (anaknya), Gabrel Bakhtyshu’. Anakanya iniberkhidmat pada masa khalifah al-Mahdi, di si samping ia juga berkerja di istana wazir Ja’far al-Barmaki dan, bahkan hingga masa khalifah al-Makmun, nantinya.Belakangan, keturunan keluarga ini menjadi keluarga medis paling penting dalam dunia Muslim. Dan anggota keluarganya terus-menerus menjadi dokter terkemuka hingga akhir abad ke-11 M). (Lihat, Phillip K. Hitti,  History of the Arab, 309; Ahmad Fuad al-Ahwani,  Filsafat Islam: 43).

Sebelum kepindahan Jurjis Bakhtyisu’ di Baghdad, ia selama beberapa lama menjadi kepala rumah sakit dan pusat medis di Kota Jundisapur. Belakangan, keturunan-keturuanan dan mahasiswa-mahasiswaJurjis Bakhtyisu’ di Jundisapur melawatdan berdomisili Baghdad. Mereka secara langsung telah membuat organik antara perguruan dan pusat medisdi Jundisapur dan di Baghdad. Dengan kata, kepindahan Jurjis Bakhtyisy’, keturunan dan mahasiswa tersebut dapat dikatakan merupakan awal proses  mengalihkan pusat medis dari Jundisapur ke Baghdad.(Lihat, Seyyed Hossen Nasr, Nasr, Science and Civilization in Islam, 193; Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, 43; Philip K. Hitti, History of the Arab, 309; Frans Rosenthal, The Classical Heritage in Islam: 1975: 6). 

Sementara penerjemahan sedang berlangsung, disadari oleh para  sarjana dan ahli penerjemah itu bahwa sedemikian besar dan kayanya warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme-Yunani yang harus diupayakan penerjemahannya. Maka di antara mereka mengusulkan kepada khalifah al-Ma’mun untuk mengorganisir aktifitas penerjemahan dalam skala lebih luas dan intensif. (W. Montgemory Watt,  Islamic Philosophy and Theology, Chicago: Edinburgh University Press, 1962: 41).

Pada masa Dinasti Abbaysiah warisan Yunani-Hellenisme yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Syiriah yang dilakukan oleh orang Kristen Nestorian dan pagan dari Mesopotamia tersedia cukup melimpah. Selain itu, lewat penaklukan di daerah-daerah perbatasan Byzantium, manuskrip-manuskrip tambahan adalah merupakan bagian dari  kekayaan dibawa pulang ke Baghdad. Didorong oleh hasrat  begitu kuat untuk mempelajari warisan pengetahuan Hellenisme-Yunani, para khalifah disebut  sebelumnya, bila tidak memperolah naskah-naskah dengan cara penaklukan, maka mereka membelinya dari musuh mereka, khusunya naskah-naskah dari Byzantium di Konstantinopel. (Chales M. Santon, Higher Learning in Islam: 65).

Kemudian, penerjemahan menemui momentumnya ketika  al-Ma’mun mengambil kebijakan untuk mendirikan Bayt al-Hikmah (“Gedung Hikmah”). PendirianBayt al-Hikmahitu sendiri dimaksud dengan tiga fungsi  kombinasi, yaitu lembaga penerjemahan, akademi dan perpustakaan. Artinya, dengan tiga peran ini menjadikan lembaga Bayt Hikmahbenar-benar penyokong  kota Baghdad sebagai marcusuar ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia. Disebut-sebut bahwa Bayt Hikmah merupakan lembaga pendidikan yang terpenting artinya  setelah Musium Iskandaria  didirikan  pada pertengahan pertama abad ke-3 SM (Phillip K. Hitti,  History of the Arab, 310).

Untuk menyediakan dan melengkapi kepustakaan Bayt al-Hikmah yang baru didirikan itu dengan karya-karya ilmiah dan filsafat, al-Makmun mengirim utusan ke Byzintium untuk mencari dan memperoleh buku-buku “pelajaran kuno”. Kemudian buku-buku tersebut diserahkan kepada sekelompok sarjana untuk diterjemahkan. Termasuk dalam kelompok ini terdapat sejumlah nama sangat terkenal, seperti Yahya bin Musawayh (guru Hunain ibn Ishak) –sebelumnya juga mengabdi kepada khalifah al-Mansur dan Harun– diangkat al-Ma’mun sebagai Direktur Bayt al-Hikmah segera setelah didirikannya. Bersama dengan beberapa penerjemah terkenal lainnya, seperti al-Hajjaj bin Muthar, Yahya bin Bithriq dan Salim, sekaligus disebut-sebut sebagai pengurus Bayt al-Hikmah. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 24).

Pada saat itu,Bayt al-Hikmah selain sebagai pusat penerjemahan juga dipergunakan sebagai tempat untuk mempelajari sekaligus menyebarkan teologi, kususnya teologi Mua’tazilah, dan filsafat secara umum. Pimpinan lembaga ini, misalnya  mengundang sejumlah ilmuan dan sarjana dari berbagai daerah untuk berdebat dan berdiskusi di antara mereka dalam semua lapangan ilmu pengetahuan, khususnya menyangkut tentang agama, teologi dan filsafat serta ilmu-ilmu kealaman.(Charles M. Santnton, Highere Learning in Islam: 75).

Khalifah al-Mak’mun sendiri sebagai sebagai penganut teologi rasional Mu’tazilah disebut-sebut terlibat secara intens dalam diskusi-diskusi. Al-Ma’mun menguasi berbagai pemikiran dalam filsafat yang menjadi perdebat dalam diskusi-diskusi. Bahkan di antara sedikit khalifah dalam Islam, al-Ma’mun juga menulis beberapa karya terkait masalah-masalah filsafat yang muskil. ((C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, 2002: 38)

Dari sekian banyak penerjemah pada masa itu yang paling terbesar dan berjasa adalah Hunain ibn Ishak (Johannitus Onan, sebagaimana ia dikenal di Barat pada abad pertengahan). Hunain bukan saja sebagai seorang penerjemahan yang pandai dan lihai, tetapi ia juga salah seorang di antara  dokter-dokter  masyhur pada zamanya. Lebih jauh, bagaimana peran tokoh ini dalam proses aktivitas penerjemahan, Nasr memaparkan:

“Dibantu oleh kemanakannya, Hubaisy dan anaknya Ishak, Hunain sering menerjemahkan teks dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Syiria dan menyerahkan penerjemahan dari bahasa Syiriah ke bahasa Arab yang dilakukan oleh mahasiswa dan khususnya Hubaisy. Pada waktu itu, ia memeriksa terjemahan akhir dan membandingkannya dengan teks Yunani aslinya. Kadang-kadang ia menerjemahkan langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.”

Lebih lanjut, Nasr memamarkan prihal Hunain ibn Ishak: “Dengan cara begitu, Hunain dan perguruannya membuat banyak terjemahan bagus, termasuk 95 karya Galen ke bahasa Syiriah dan 99 buah ke bahasa Arab. Pada masa itu memang masih ada penerjemah masyhur lainnya, tetapi tidak seorangpun dari tokoh-tokoh tersebut yang dapat menandingi Hunain. Keahlian Hunain sebagai penerjemah dan juga sekaligus sebagai dokter, membuatnya pantas dipandang sebagai seorang di antara tokoh-tokoh utama sejarah medis Islam.” (Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 195).

Dalam pandangan para ilmuan berbahasa Arab menyebutkan bahwa terjemahan dilakukan pada masa-masa awal dari segi gramatika terkadang janggal dan sulit dimengerti. Karenanya, Hunain dan timnya berupaya untuk menerjemahkan ulang (Michael M. Stanton, Higher Learning in Islam: 66-67).  Sebagian hasil terjemahan masa awal banyak bersifat harfiah dan tidak akurat. Untuk itu, perlu direvisi guna menangkap makna lebih tepat dan akurat.  Akan tetapi, biasanya terjemahan semacam ini terjadi pada karya terjemahan dari versi bahasa Syiria, dan bukan pada karya terjemahan langsung dari bahasa asilnya, Yunani (Watt, Islamic Philosophy and Theology, 82). 

Penerjemahan dilakukan oleh Hunain Ibn Ishak beserta timnya menandai tahap  penerjemahan yang sangat menentukan. Begitu pula timbulnya perhatian baru dalam tingkat kecermatan dan keseksamaan yang baik, mengharuskan untuk menerjemahkan kembali naskah-naskah ilmiah dan filsafat yang telah dilakukan sebelumnya. (Majid Fakhri,  A History of Islamic Philosophy: 25). Untuk kepiawaian dan keahlian itu Hunain ibn Ishak digaji sebesar 500 dirham perbulan. Begitu pula, al-Ma’mun  membayar para penerjemah dalam bentuk emas seberat buku ia  diterjemahkan. (Phillip K. Hitti, History of the Arab: 113). 

Dalam proses dan kesemarkan penerjemahan pada masa Dinasti Abbasyiah, penerjemahan tidak saja dilakukan oleh khalifah secara resmi. Akan tetapi, di kalangan masyarakat tertentu timbul kesadaran untuk berpartisipasi aktif dalam proses penerjemahan tersebut. Keluarga Banu Musa misalnya, diriwayatkan menyumbang banyak uang dalam proses penerjemahan naskah-naskah warisan Yunani-Hellenisme. Banu Musa, sebagaimana para khalifah Dinasti Abbasyiah, mengutus orang-orang ke Bizantium untuk membeli naskah-naskah Yunani-Hellenisme seberapapun harganya, dan mengupah para sarjana untuk menerjemahkannya.

Demikian berkembangnya penerjemahan pada era Dinasti Abbasyiah, khususnya pada masa al-Ma’mun dengan Bayt al-Hikmah-nya. Sedemikian rupa maraknya penerjemahan era ini, sehingga jumlah karya-karya Yunani hasil terjemahan dalam bahasa Arab begitu luar biasa, dan sangat melimpah. Pada akhir abad kesembilan hampir semua karya yang diketahui dari musium-musium Hellenistik telah tersedia bagi ilmuan-ilmuan Muslim dalam bahasa Arab.

Dari kondisi seperti itu, kota Baghdad benar-benar menjadi mercusuar ilmu pengatahun dan pusat peradaban anak manusia selama berabad-abad lamanya. Dari situasi kondusif seperti itulah pada tahun-tahun berikutnya dunia Islam melahirkan sedemikian banyak filosuf dan ilmuan diseluruh bidang keilmuan. Dunia Islam telah berhasil melahirkan “karya” mencengangkan Dunia Barat yang pada waktu itu baru belajar mengeja namanya.

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā  bi Allāh

 

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]
UIN Suska Riau).
19. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (3): Dinasti Umayyah dan Arab Bahasa Resmi Negara

19. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (3): Dinasti Umayyah dan Arab Bahasa Resmi Negara

Oleh Alimuddin Hassan

 

Pada mulanya arus utama pemikiran Yunani-Hellenisme masuk  ke dunia Islam bukannya melalui manuskrip dan sumber-sumber asli dari Yunani-Hellenisme itu sendiri. Akan tetapi, masuknya pemikiran tersebut melalui hasil terjemahan dilakukan oleh ilmuan dan serjana Kristen, Yahudi, Persia kedalam bahasa Syiria. (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam,63). Meskipun belakangan,tentu saja ada banyak juga manuskrip-manuskrip berbahasa Yunani langsung  diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Untuk keperluan penerjemahan warisan Yunani_Hellenismekedunia Islam pada periode-periode berikutnya tidak terlalu berarti kalau pemerintahan Islam pada masa Dinasti Umayyah tidak menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Upaya mengganti bahasa dari bahasa Persia, Yunani dan Syiria kepada bahasa Arab ini terjadi menjelang akhir abad ketujuh (MajidFakhri, A History of Islamic Philosophy: 17). Dengan kebijakan ini, penerjemaham dan pengembangan ilmu dan filsafat di dunia Islam menjadi lebih semarak, dan kelak mencapai puncak keemasannya pada masa Dinasti Abbasyiah.

Begitu pula urutannyabila kita surut ke belakang, upaya Dinasti Umayyah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, dan pada gilirannya menjadi bahasa ilmu pengetahuan dalam penerjemahan, sepertinya sulit tercapai sekiranya ‘Ali bin Abi Thalib –kira-kira 20 tahun sepeninggalan Rasul Allah– tidak menganjurkan agar umat Islam mempelajari sastra arab pada umumnya. Dan lebih spesifik Ali bin Abi Thalib memerintahkan para ahli bahasa untuk meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab. Ali bin Abi Thalib berpandangan bahwa masyarakat memerlukan ilmu tersebut karena bermamfaat dalam mengelaborasi pengetahuan dan pemahaman agama umat Islama.

Walaupun pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib disebukkan dengan sejumlah peperangan, tetapi ia dan generasinya tidak menjadikan aral untuk tidak membentuk kaidah-kaidah dalam  membina bahasa Arab. Artinya, tanpa upaya “mengapak”, dan bahkan sekaligus “mengetam” yang dilakukan oleh ahli-ahli bahasa Arab  atas anjuran Ali bin Abi Thalib, maka upaya untuk menjadi bahasa Arab sebagai bahasa resmi, pada gilirannya menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu dan agama, khususnya dalam kepentingan penerjemahan, kemungkinan besar  akan mengalami kendala dan keterlambatan.

Selain itu, pada masa pemeritahan Dinasti Umayyah sejumlah khalifahnya memuliakan kedudukan ilmu-ilmu sastra, meninggikan kedudukan para penyair dan ahli-ahli agama. Dengan demikian, pada akhir kekuasaan Dinasti Umayyah bermuculanlah sejumlah ulama dari berbagai bidang keilmuan. Dalam bidang fiqh yang melahirkan berbagai macam mazhab, misalnya empat empat mazhab yang paling masyhur, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Begitu pula, pada masa Dinasti Umayyah muncul perdebatan-perdebatan teologis, sehingga melahirkan ilmu kalam dengan derivasi alirannya masing-masing. Dalam perdebatan teologis ini berkembanglah paham Qadariyah,  Jabariah dan Murji’ah. Dan dalam  ilmu kalam  itu tersebutlah aliran-aliran pemikiran, seperti Asy’ariyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah.

Dalam perdebatan-perdebatan teologis tersebut, terutama  aliran kalam Mu’tazilah mengambil metode filsafat Yunani-Hellenisme yang rasional. Dengan begitu mendorong orang-orang Mu’tazilah untuk mempelajari filsafat warisan dari Yunani-Hellenisme. Pada gilirannya kencenderungan pada ilmu dan metode rasional tersebut turut pula  mendorong dimulainya upaya penerjemahan pada akhir abad pertama Hijriyah. (Lihat, Syaikh Muhammad Abduh, Islam Ilmu Pengetahauan,  dan Masyarakat Madani, 2005: 143-144.

Meskipun pergantian bahasa itu awalnya lebih dimaksudkan untuk kepentingan politik dan administratif. Namun, tidak ayal lagi, belakangan sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan dan kesemarakan upaya-upaya penerjemahan warisan Yunani-Hellenisme baik langsung (dari bahasa Yunani) ataupun tidak langsung (lewat bahasa Syiria) ke dalam bahasa Arab. Pergantian berbagai bahasa tersebut dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara menandai usaha pertama pemerintahan Islam untuk menunjukkan keunggulan literer mereka, sebagaimana halnya keunggulan militer dan politik mereka  atas bangsa-bangsa yang ditaklukannya selama ini.

Sulit untuk dipastikan apa motivasi dan latar belakang pergantian bahasa tersebut. Akan tetapi, ada keterangan (dan inipun hanya disinyalir) bahwa pergantian bahasa asing ke dalam bahasa Arab, apakah disebabkan oleh rasa iri atau bukan umat Islam terhadap monopoli yang dipertahankan orang-orang non-Islam (terutama umat Kristen dan Yahudi) sebagai pegawai-pegawai khalifah. Namun, yang pasti dari segi pertimbangan praktis pun pergantian itu merupakan suatu keniscayaan. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, 17).

Tanpa kebijaksanaan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi, sepertinya sulit untuk mengharapkan penerjemahan dalam bahasa Arab yang “melimpah” sebagaimana terjadi pada masa Dinasti Abbasyiah, dan persisinya pada era pemerintahan khalifah al-Ma’mun. Begitupun, sekiranya bahasa Arab tidak dijadikan sebagai bahasa “tunggal”, dan penerjemahan itu tidak “terkonsentrasi” kedalam bahasa Arab, maka besar kemungkinan sarjana-sarjana dan ahli penerjemah dengan latar belakang beragam (bahasa dan agama) besar kemungkinan akan menerjemahkan warisan Yunani-Hellenisme tersebut tidak dalam bahasa Arab, tetapi dalam bahasa lain sesuai dengan kecenderungan mereka masing-masing.

Belakangan, dengan kebijakan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, menurut George Sarton, bahasa Arab benar-banar memainkan peran yang sangat penting dan utama. Dengan begitu, bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan internasional, dan sulit untuk mencari tandingannya. Kenyataan ini diungkapkan oleh Mehdi Nekosteen:

 “Bahasa Arab merupakan bahasa sains internasional, sedemikian hebatnya sehingga tidak akan dapati ditandingi oleh bahasa lain kecuali bahasa Yunani, dan itu pun tidak akan pernah dapat terulang sampai kapan pun. Bahasa Arab bukan merupakan bahasa satu kaum, satu bangsa, tetapi merupakan bahasa dari beberapa kaum, bangsa dan agama.”(Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, viii).

Pada periode awal, masa dinasti Umayyah, kegiatan penerjemahan dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan praktis dan kecenderungan-kecenderungan pragmatis. Misalnya, pada masa ini penerjemahan hanya dilakukan pada bidang tertentu, yaitu bidang kedokteran dan astrologi (astronomi). Kedua bidang ini memang mempunyai nilai praktis (untuk keperluan sehari-hari) dan nilai prgamatis (untuk tujuan-tujuan tertentu) dalam hidup ini, khususnya bagi khalifah dalam mempertahankan kekuasannya.

Sementara warisan pemikiran Yunani bersifat abstrak dan filosofis baru dilakukan pada berkembangan dekade berikutnya. Kecenderungan praktis dan pragmatis itu pada tahap dini  dapat dilihat pada pribadi Khalid bin Yasid  –putra (kedua) mahkota Umayyah urung menjadi khalifah. Menurut Ibn al-Nadim, sebagaimana dikutip Majid Fakhry, atas kegagalan Khalid bin Yasin jadi khalifah, ia beralih mempelajari kimia, astrologi dan kedokteran.

Pada masa khalifah Marwan (683-685) penerjemahan karya ahli kedokteran Monofosit Iskandariah dan ahli kedokteran Yahudi diterjemahkan. Karya-karya bidang kedokteran ini memperoleh reputasi yang sangat tinggi di kalangan orang-orang Syiriah. Dan tidak pelaak lagi, kedua karya ini merupakan terjemahan dalam bidang kedokteran yang paling dini ke dalam bahasa Arab. (MajidFakhri, A History of IslamicPhilosophy, 17).

Kendatipun bersentuhan dengan tradisi filsafat dan teologi Hellenisme, Bani Umayyah tetap tidak begitu berminat untuk mamajukan kajian filsafat dan teologi. Demi mempertahan kekuasaan, Bani Umayyah menyebarkan suatu doktrin simplistis yang memberi jastifikasi  dan  legalisasi bagi stabilatas dan kelanggengan kekuasaannya. Bani  Umayyah membuat tafsir teologis tunggal bahwa hak atas pemerintahan dan kekuasaan adalah berasal dari Tuhan.

Bani Umayyah sepertinya enggan untuk memperkenalkan sistem hukum agama yang akan mengurangi dan merongrong kekuasaan mereka. Bani Umayyah juga tidak begitu tertarik untuk menafsirkan al-Qur’an dan al-Sunnah yang merumitkan bagi dirinya. Khalifah Dinasti Muawiyyah memandang kalau hal itu dilakukan kemungkinan menjadi ancaman bagi kekuasannya. (Chales M. Stanton, Higher Learning in Islam, 64).

Setelah penaklukan Demaskus dan pembangunannya sebagai ibukota propinsi Syiria (dan kemudian menjadi ibukota pemeritahan Bani Umayyah) telah terjadi interaksi antara budaya Arab denganYunani-Hellenisme yang ada di kota ini. Karenanya, selama abad ketujuh, pemerintahan Bani Umayyah mengandalkan komunitas ilmuan dan sarjana dari kota-kota tetangga, Nisbis, khususnya untuk mendapatkan dokter.

Dokter-dokter beragama Kristen secara bergantian menjadi langganan istana selama pemerintahan Bani Umayyah. Di samping sebagai dokter biasanya mereka juga berperan sebagai penasehat bagi penguasa. Sadarakanpentingilmuitu secara praktis dan pragmatisbeberapa di antara   kepada sarjana Kristen tersebut untuk menerjemahkan karya-karya kedokteran dari bahasa Syiria kedalam bahasa Arab. Kegiatan ini terjadi sejak tahun 638; dan sekaligus menandai awal penerjemahan warisan Yunani tentang karya-karya kedokteran di masa Dinasti Umayyah.

Seperti disebutkan di atas kecenderungan awal begitu kuat untuk menerjemahan karya-karya kedokteran demi pertimbangan praktis dan pragmatis. Ini dapat dipahami bahwa kedokteran berkaitan dengan sehat-kehidupan dan sakit-kematian seseorang. Seorang penguasa, apalagi untuk terus dapat bertahan di kursi/tampuk kekuasaannya, maka yang paling ditakuti adalah “sakit”. Untuk tetap sehat diperlukan dokter yang terus dapat mengontrol bagaimana kesehatan sang penguasa (tanpa bermaksud menafikan kekuasaan/kehendak Tuhan tentang ajal seseorang).

Begitu juga dalam bidang astrologi (astronomi) penerjemahan dilakukan lantaran adanya doktrin dari agama-agama Timur yang menganggap bintang-bintang ebagai alat untuk mengurai alam suprnatural. Gerakan bintang-bintang tersebut dapat digunakan untuk menafsirkan bagaimana kehendak Tuhan. Karenanya, timbul hasrat kuat untuk mengetahui astrologi (“posisi dan gerak bintang”). Sikap pandang ini sekaligus mendorong usaha penerjemahan bidang ilmu tersebut pada pemerintahan Bani Umayyah. (Charles M. Santon,  HigherLearning in Islam: 64).

Ada yang menyebutkan –sebagai sebuah cacatan—bahwa terdapat perbedaan signifikan antara astrologi dan astronomi sebagai sebuah disiplin keilmuan. Kalau yang disebut pertama cenderung mengandung unsur-unsur ramalan, sepintas tidak mencerminkan unsur ilmiah padanya, dan sulit dipertanggungjawabkan sebagai sebuah disiplin keilmu-pengetaahuan. Sehingga astrologi lebih banyak dipergunakan pada awal-awal perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Sebaliknya, term keilmuan astronomi yang dipergunakan belakangan, merupakan disiplin ilmu yang relatif  “bersih”  dari unsur ramalan dan mitos-mitos. Begitu pula, ilmu astronomi dengan sendirinya lebih dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmiahnnya. Sehingga dewasa ini kita lebih sering menggunakan term astronomi ketimbang kata astrologi.

Transmisi warisan ilmu dan filsafat dari Yunani-Hellenismelewat aktifitas penerjemahan ke dunia Islam pada masa Dinasti Umayyah memang masih pada tarap awal. Dan dapat dikatakan bahw aktifitas penerjemahan pada masa ini masih bersifat perorangan, dan belum bersifat massif; atau belum menjadi proyek besar. Akan tetapi, Dinasti Umayyah telah memberikan dua konstribusi yang sangat berarti bagi pengembangan aktitifitas penerjemahan pada masa Dinasti Abbasyah, kelak.

Pertama, bahwa Dinasti Umayyah telah menunjukkan minat kuat pada warisan intelektual Hellenisme, khususnya ilmu astrologi dan kedokteran. Kedua, bahwa Dinasti Umayyah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, sekaligus menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa dalam pengembagan ilmu dan agama, termasuk dalam aktifitas dalam penerjemahan.

Kedua, sumbangsih Dinasti Umayyah tersebut sangat berarti dalam “melicinkan” jalan penerjemahan yang akan ditempuh oleh Dinasti Abbasyiah. Tanpa peran Dinasti Umayyah itu, khususnya telah menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa yang dipergunakan oleh negara, maka niscaya penerjemahan pada masa Abbasyiah akan mengalami keterlabatan. Bahkan boleh jadi kita sama sekali tidak pernah menyaksikan maraknya penerjemahan, dan sekaligus urung menjadikan kota Baghdad sebagai pusat marcusuar ilmu dan peradaban manusia.

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh

 

Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

PENGUMUMAN LOMBA VIDEO NARASI PERDAMAIAN “Persatuan diatas Keberagaman”

Lomba Video Narasi yang diselenggarakan oleh Institute for Southeast Asian Islamic Studies pada 01 Agustus  2020 Hingga 20 September 2020 diikuti oleh 13 peserta yang sangat luar biasa. Pada hari ini telah masuk pada pengumuman hasil. Kami sangat mengapresiasi seluruh peserta yang berpartisipasi karena  telah bersusah payah mendedikasikan diri lewat narasi-narasi hebatnya serta tekhnik-tekhnik yang sangat baik dalam pembuatan Video. 

Berikut Hasil Keputusan dari perdebatan panjang dari para Juri lewat berita acara yang ditanda tangani:

  

Maka dengan sangat berbangga hati Kami berikan Selamat kepada Para Pemenang semoga kedepannya tetap mengkampanyekan perdamaian dimanapuin berada dan selalu aktif menghasilkan karya-karya yang lebih baik lagi untuk Indonesia yang lebih baik. dan kepada peserta yang belum beruntung, kami harap agar tidak berkecil hati tetap semangat dan selalu berusaha menjadi yang terbaik. 

Demikian dari kami, kurang dan lebihnya kami minta maaf. 

Wassalam. 

Pekanbaru, 02 Oktober 2020

Hormat Kami, 

Direktur ISAIS

(Dr. Alimuddin Hassan)

18. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (2): Dari Yunani – Iskandaria-Syiria-Jundisapur ke Islam

18. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (2): Dari Yunani – Iskandaria-Syiria-Jundisapur ke Islam

Oleh: Alimuddin Hassan Palawa,

Jauh sebelum datangnya agama Islam,  daerah-daerah (kota-kota), seperti Iskandaria (Mesir), Demaskus, Antioka dan Ephesus (Syiria), Harran (Mesopotamia dan Jundisapur) sudah sangat dikenal. Kota-kota tersebut secara berganti-gantian telah menjadi pusat pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme warisan dari Yunani kuno selama berabad-abad. Kota Iskandaria pada abad ketiga SM. merupakan kota pertama penyemaian serta sekaligus menjadi pusat dan marcusuar filsafat dan ilmu pengetahuan warisan Yunani kuno.

Kota Iskandaria atau sering pula disebut dengan ejaan “Aleksandaria” didirikan oleh Iskandar Agung –murid filosuf  “guru pertama”, Aristoteles– dari Macedonia. Nama kota ini diambil dari nama pendirinya, Iskandar Agung (Alexander the Great).  Iskandar Agung tidak saja mengharagai ilmu pengetahuan dan filsafat serta agama-agama berbagai bangsa, malah ia juga menganjurkan para tentaranya untuk kawin dengan wanita-wanita Persia dan India. Berkat jiwa ketebukaannya itu kota yang didirikannya segera menjadi pusat ilmu pengetahuan bagi peradaban umat manusia. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: xxvi).

Dalam kondisi seperti inilah kota Iskandaria menjadi titik pertemuan Hellenisme dengan pengaruh dari Timur dan Mesir kuno. Kota Iskandaria memiliki kekayaan terpenting dan paling berharga, yaitu perpustakaan. Perpusataan ini dipenuhi jenis buku-buku ilmiah dari berbagai disiplin dan cabang ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu. Dalam perpustakaan ini untuk pertama kalinya umat manusia mengumpulkan dengan penuh kesungguhan dan sistematis pengetahuan apapun tentang dunia ini (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: xxvi).

Sementara itu kegiatan keilmuan di kota Iskandaria pada umumnya, dan perpustakaan Iskandaria pada khususnya sangat semarak. Dari kegiatan itu, misalnya, muncul konsep tantang “cosmos”   dalam bahasa Yunani berarti “harmonis”, kebalikan dari “chaos” artinya “kekacauan”. Dan mereka menyebut alam raya ini “cosmos” karena, menurut mereka, alam raya dalam keserasian. Dari kajian tersebut melahirkan sejumlah ilmuan dan ahli  dengan hasil penemuannya masing-masing, seperti diungkapkan oleh Carl Sagan, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid:

“Kemudian Iskandaria tampil banyak ahli ilmu pengetahuan yang lain, seperti Hipparchus yang mencoba membuat peta konstelasi bintang-bintang dan mengukur tingkat cahaya bintang-bintang itu; lalu Euclidus, penemu sebenarnya ilmu ukur atau geometri; kemudian Dionysius, yang meneliti organ-organ suara manusia dan meletakkan teori tentang bahasa; Herophlius, ahli ilmu faal atau fisologi yang menegaskan bahwa organ berpikir manusia bukanlah jantung seperti saat itu diyakini, melainkan otak; Heron, penemu rangkaian roda gigi dan mesin uap kuna, pengarang buku Automata, sebuah buku pertama tentang robot; Apollonius, yang meletakkan teori tentang bentuk-bentuk melengkung seperti elips, parabola dan hiperbola; Archimedes, genius mekanik yang terbesar sebelum Leonardo de Vinci; Ptolemy, seorang yang meskipun teorinya tentang alam raya ternyata salah (geosentris) namun semangat keilmuannya banyak memberi ilham.” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxvi-xxvi).

Kesemarakan pengkajian ilmu pengetahuan di kota Iskandaria pada abad keempat berada dibawah “bayang-bayang kegelapan” karena di kalangan Gereja Kristen sedang melakukan konsolidasi diri dan berusaha untuk mengikis budaya dan pengaruh paganisme. Beberapa ilmuan dicurigai dan diawasai, dan bahkan pada akhirnya, di antara mereka ada yang dibunuh. Salah satu korbannya, misalanya ialah seorang wanita bernama Hypetia yang, tidak saja pintar (ahli matematika dan astronomi) tetapi juga teramat cantiknya, dibunuh dengan sangat sadis dan menyedihkan; lalu dibakar bersama perpustakaan yang dimilikinya pada tahun 415.

Hypetia dilahirkan pada 370 Masehi. Carl Sagan menuturkan, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid, bahwa wanita ini menolak semua lamaran dari lak-laki kerena ia ingin mengabdikan dirinya dan mencurahkan perhatinnya sepenuhnya kepada ilmu pengetahuan. Tetapi cita-cita dan hasrat muliannya itu tidak dapat berlanjut karena pada usia 45 tahun ia dicegat oleh segerombolan kaum fanatik Kristen dalam perjalanan ke perpustakaan. Dia diturunkan dari kereta kudanya, lalu dibunuh dengan cara mengelupasi dagingnya dari tulangnya kemudian dibakar bersama apa yang dia miliki. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxviii).

Tidak lama sesudah itu, perpustakaan Iskandaria yang hebat itu pun juga tidak luput dari sikap picik dan fanatisme agama. Dan atas perintah Uskup Agung Iskandaria, perpustakaan Iskandaria yang hebat itu dibakar habis berserta isinya. Dengan peristiwa itu, menarik sekali menyimak pengandaian Carl  Sagan, berikut ini:

“… kalau saja perpustakaan Iskandaria tidak menjadi korban fanatisme agama, tradisi keilmuannya terus berlanjut, maka barangkali Eistein sudah tampil lima abad yang lalu. Atau mungkin  malah seorang Einstein  tidak (perlu)  pernah ada, sebab perkembangan ilmu pengetahuan  integral dan menyeluruh sudah terjadi. Dan mungkin pada abad dua puluh Masehi ini, sedikit saja orang yang tinggal di bumi  karena sebagian besar  telah menjelajah dan mengoloni bintang-bintang dan telah beranak pinak sampai milyaran jiwa!” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxx).

Awalnya warisan Yunani kuno datang dari Iskandaria –belakangan tidak kondusif lagi– lalu pindah ke Antioka dan dari sana ke Nisbis, Endessa (Ruha) dan Harran yang dibawa oleh orang-orang Nasrani aliran Monophysit dan Nestorian. Aliran Monophysit  ini berpendirian dengan mempercayai  konsep ketuhanan “trinitas”,  Tuhan (Bapak), Yesus (Anak) dan Ruh al-Qudus; dengan kata lain Lahut, Nasut dan Kalimah. Baginya ketiga unsur ketuhanan tersebut  tetap eksis (dan tetap berbeda satu dengan yang lainnya),  meskipun ketiga unsur tersebut menyatu dalam satu wujud, yaitu wujud Yesus. Kepercayan Monophysit ini  merupakan kepercayaan resmi bagi gereja, bahkan hingga dewasa ini. (Lihat, T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, 11-12; Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 125; bandingkan dengan Mohd. Sulaiman Yasin,  Pengantar Filsafat Islam (Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka, 1984), 229-230).

Adapaun aliran Nestorian tidak mengakui konsep ‘trinitas”. Baginya, Yesus adalah manusia yang juga sama dengan rasul-rasul terdahulu. Aliran ini  menekankan kemanusiaan Yesus dan menyatakan bahwa Yesus hanya saluran untuk menyampaikan kekuatan Ilahi, Ruh Kudus kepada umat manusia. Mislanya, aliran ini juga menolak gelar-gelar Maria sebagai “Ibu dari Tuhan”. Karena pendirian semacam itu aliran Nestorian menjadi bulan-bulanan bagi penguasa gerejani. Untuk menjaga keselamatanya mereka terpaksa hijrah kemana-mana. (Lihat, T.J. Fe Boer, The History of Philosophy in Islam, 11-12; lihat juga, Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam the Classical Periode, A.D. 700-1300 (Rawman & Littlefield Publishers, Inc., 1990), 54).

Aliran Nasrani yang disebut terakhir ini sangat berjasa dalam menyebarkan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Mereka sanga berperan dan bearjasa, khusus sebagai penerjemah dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria. Mereka tersebar diberbagai negeri (kota) ke arah Timur hingga Persia. (Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 30-31). Akan tetapi, hingga abad keenam Masehi kota Iskandaria tetap menjadi marcusuar filsafat dan ilmu pengetahuan (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 36).

Penyebaran warisan dari Yunani kuna hingga keberbagai negeri (kota) disebabkan beberapa faktor. Pertama, selama abad pertama kelahirannya, agama  Kristen mendapat perlakuan yang tidak baik dan adil serta tidak diterima oleh penguasa kekaisaran Romawi. Bahkan hingga tiga abad kelahirannya, agama Kristen terlibat dalam perseteruan dengan filsafat Yunani (dengan filosuf pagan) dan kota Iskandaria menjadi pentas pertarungan itu (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, 38).

Atas peristiwa itu, karenanya, secara umum banyak umat Kristen   yang meninggalkan kota Iskandaria. Bahkan umat Kristen aliran Nestorian khususnya juga dikejar-kejar karena pendirian keimanan mereka berbeda dengan paham resmi dianut oleh gereja dan negara. Di samping itu, juga disebab oleh penganiayaan tentara Kristen Byzantium yang menaklukan Iskandaria, sehingga mereka memindahkan sekolah-sekolahnya dari Iskandaria ke Antioka dan kemudian ke Harran, yaitu wilayah sebelah selatan Endessa dan dekat Nisbis. (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: 54-55).

Kedua, faktor lain yang menyebabkan penyebaran filsafat dan ilmu pengetahuan keberbagai negeri (kota), yaitu karena sikap benci kaisar Romawi terhadap warisan dari Yunani kuno tersebut. Puncak dari sikap semacam itu, misalnya ketika kaisar Justianus (tahun 529),  atas nama (pemahaman sempit) agama dan demi pertimbangan ekonomis, menutup musium Athena (pelanjut dari filsafat Athena) yang telah beroperasi selama satu mellenium. Kaisar yang tidak tahu menghargai arti penting filsafat dan ilmu itu, tidak saja  menutup musium itu tetapi juga menghancurkan apa yang terdapat dalamnya.

Sementara itu, ia juga menyatakan bahwa filosof dan ilmuan-ilmuan pagan tidak dibenarkan mengajar di perguruan-perguruan di Athena.  Sebelumnya pun gaji mereka sebagai tenaga pengajar tidak dibayarnya (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, 54-55). Pada urutannya, para filosuf dan ilmuan pagan tersebut diusir dari perguruan-perguruan di Athena. (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 39).

Setelah agama Kristen mengalami kemenagan melawan  paganisme,  kemudian Kaisar Yustianus melarang pengajaran-pengajaran filsafat di Athena. Kaisar juga melakukan tekan-tekanan terhadap filosuf dan ilmuan, sehingga banyak di antara mereka yang lari (diusirari sejumlah filosuf dan ilmuan). Dari sejumlah filosud dan ilmuan yang melarikan diri itu tujuh orang (beraliran Neo-Platonisme) di antaranya lari ke Jundisapur (Persia). Di sana mereka diterima dengan baik oleh Kaisar Anusyirwan, dimuliakan serta ditempatkan  pada kedudukan terhormat.

Belakangan di antara filosuf dan ilmuantersebut ada yang masuk agama Kristen itu,  kemudian menulis buku tentang Neo-Platonisme dengan diberi corak kekristenan, seperti karya Deynesus, mengaku murid Paulus. Dalam bukunya ia menerangkan rahasia-rahasia ketuhanan dan tingkatan alam malaikat. Pada akhirnya, karyanya ini menjadi bagian dari ajaran dasar agama Kristen. Lihat,  T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam: 14; Ahmad Amin, Fajr al-Islam: 129).

Akhirnya para filosuf berpindah ke Byzantium, kemudian ke Mesopotamia utara dan belakangan di Jundisapur. Di kota yang disebut belakangan ini para filosuf dan ilmua pagan bergabung dengan ilmuan-ilmuan Kristen Nestorian. Mereka bersatu dalam alam intelektual bebas yang menghargai kajian-kajian terhadap filsafat dan sains, tanpa mendapatkan halangan–halangan doktrinal. (Charles Michael Stanton,  Higher Learning in Islam, 54-55).

Sementara itu, sebelum kedatangan para filosuf dan ilmuan dari Athena, kota Jundisapur sejak tahun 260 (abad ketiga) mulai menjadi pusat kajian fislafat dan ilmu (khususnya ilmu kedokteran) Yunani.  Kota Yundisapur berasal dari nama pedirinya, yaitu panglima Persia bernana Sabur. Panglima perang Persia ini memimpin perang melawan serbuan tentara dari Romawi pada abad ketiga. Dalam pertempuran dahsyat tersebut tentara Persia di bawah pimpinan panglima Sabur mampu mengalahkan tentara Romawi, dan mereka dijadikan tawanan perang.

Untuk menampung tawanan perang yang jumlahnya jukup banyak tersebut, Panglima Sabur kemudian memindahkan mereka ke sebuah tempat dekat Tustur, sebuah kota  di Arabistan (Iran). Tempat itu kemudian dinamainya Jundisapur, artinya “pemusatan pasukan Sabur”. Dan dalam tawanan tersebut banyak terdapat ilmuan dari berbagai disiplin keilmuan yang belakangan mengembangkan kota Jundiasapur sebagai pusat ilmu. (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam:  39).

Kondisi ke arah pengembangan Jundisapur kota peradaban ditopang oleh banyaknya serjana-serjana (arsitektur dan kedokteran) yang turut menjadi  tawanan perang. Kemudian lambat laun Jundisapur menjadi kota metropolis, pusat sains  yang dipelajari dalam bahasa Yunani dan Sangsekerta, dan kemudian dalam bahasa Syiria. Dalam kota Jundisapur didirikan perguruan-perguruan menurut model perguruan di Iskandaria dan Antioka. Dan di perguruan ini diajarkan ilmu kedoteran, metematika, astronomi dan logika.

Kebanyakan teks pelajaran  dari bahasa Yunani itu diterjemahkan dalam bahasa Syiria. Di samping itu, dimasukkan juga unsur-unsur sains dari India dan Persia sendiri. Perguruan-perguruan ini berlanjut sampai jauh setelah dinasti Abbasyiah berdiri. Pada saatnya, perguruan-perguruan itu merupakan lembaga dan sumber penting filsafat dan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam, khususnya kota Baghdad. (Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 31).

Prihal hubungan antara kota Baghdad dan kota Jundisapur, Majid Fakhri menyatakan: “Kala itu, perguruan Jundisapur dengan fakultas kedokteran, akademi dan observatoriumnya mencapai puncak ketenarannya dan tetap berkembang dengan subur di saat kota Baghdad didirikan oleh khalifah Abbasyiah pada tahun 727. Mengingat Jundispur berdekatan dengan kota Baghdad maka hubungan secara politis dengan khalifah Abbasyiah sangat dekat. Akibatnya, dari perguruan inilah perkembangan ilmiah dan intelektual merambah ke seluruh kekuasaan Muslim. Sejak dini dalam pemerintahan Islam, Jundisapur telah menyumbang kepada khalifah di Baghdad sejumlah dokter-dokter istana, misalnya sejumlah Nestorian, seperti keluarga Bakhtisyu’ yang masyhur, mengabdi kepada khalifah dengan setia selama lebih dua abad. (Lihat, Majid Fakhri,  A History of Islamic Philosophy: 15).

Perlu dipertegas bahwa dalam “pengembaraan” filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kuna dari Iskandaria hingga ke Jundisapur, peranan serjana-sejarna Kristen (khususnya orang-orang Nestorian) tidak bisa dipandang remeh. Begitu pula, peran dan kedudukan orang-orang Syiria beserta bahasanya sangat signifikan. Orang-orang Kristen Nestorian dan orang-orang Syiriah telah berperan sebagai “hamzah washal” (penghubung) bagi transmisi dan peralihan filsafat Hellenisme  ke dunia Islam.

Meskipun demikan, figur-figur  era ini “hanya” berperan sebagai “hamza washal”, lantaran mereka semata-mata berperan sebagai penerjemah. Sebab sedikit sekali di antara mereka yang itu terlibat dalam melakukan pembaharuan terhadap pemikiran Hellenisme-Yunani kuno tersebut. Kalaupun mereka melakukan pembaharuan pemikiran, hanya pada masalah-masalah yang tidak sesuai dengan sistem keimanan mereka (khususnya ajaran Kristen), sehingga ia berusaha untuk mengalihkan Plato, misalnya, menjadi seorang pendeta Timur.

Penekanan arti  peran dan kedudukan penting orang-orang Syiria-Nostorian  “sebagai “hamza washal”, karena agaknya, tanpa peran mereka tersebut hampir dapat dipastikan bahwa sarjana Islam akan banyak kehilangan warisan dari Filsafat Hellenisme-Yunani. Upaya penerjemahan dilakukan sarjana Kristen dan orang-orang Syiria dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria itu sangat penting dan berarti pada masa itu. Upaya penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Syiriah sangat mempermudah penerjemahan baik dari bahasa Yunani langsung, terutama dari bahasa Syiria ke bahasa Arab yang akan dilakukan pada masa pemerintahan Bani Abbsyiah Islam, khususnya pada masa pemerintahan al-Ma’mun dengan lembaga Bayt al-Hikmah. (Lihat, Ahmad Amin: Fajr al-Islam, 173).

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb,

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)

TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (1): Sikap Sahabat dan Era Awal Mutakallimin

TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (1): Sikap Sahabat dan Era Awal Mutakallimin

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

Pada awal perkembangan  Islam, lewat bimbingan langsung dari Rasul Allah Muhammad saw di Madinah, umat Islam  (generasi sahabat) terpesona oleh kesucian al-Qur’an dan sabda Rasul Allah. Sahabat terpokus mengabdian diri mereka dalam mengambil pelajaran semata-semata pada kandungan al-Qur’an dan prilaku-perkataan Rasul Allah. Pendek kata, para sahabat benar-benar menjadikan Rasul Allah sebagai sumber dan teladan kebenaran (nilai logis), kebaikan (nilai etis), dan sumber kehidahan (nilai estetis) dalam kehidupan di dunia dan orientasi kehidupan akhirat.

Belakangan, konsekuensi dari kecenderungan seperti itu melahirkan ilmu-ilmu bidang sirah (Nabawi), Hadis, Tafsir dan fiqh serta cabang-cabang ilmu bahasa, misalnya tata-bahasa dan retorika. Ilmu-ilmu ini yang, sama sekali berbeda dengan ilmu filsafat-rasionl, dimaksudkan sebagai alat untuk memahami al-Qur’an dan Hadis. Sikap ganerasi Islam semacam itu dapat dimengerti karena orang-orang Arab (di Jazirah Arabiah) tidak memiliki tradisi keilmuan dan filsafat Hellenisme. 

Sebelum era kelahiran Islam, orang-orang Arab tidak mengenal pemikiran Hellenisme karena mereka tidak menaruh perhatian pada ilmu dan filsafat serta peradaban yang datang dari negeri-negeri tetangga, seperti dibawa oleh orang Mesir kuna, Persia, India dan Yunani kuna. Menurut Fuad al-Ahwani, bagaimana mungkin orang-orang Arab mengenal pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan, jika kenyataannya mereka  tidak menaruh perhatian sama sekali pada syarat utama diperlukan untuk mengenal ilmu dan  peradaban  walau hanya secara teoritis, yaitu mencatat dan menulis buku untuk mengabadikan kemajuan pemikiran yang mereka terima dari satu generasi ke genarasi berikutnya sebagai pusaka pemikiran. (Lihat, Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, 1995: 1-2).

Selain itu, orang-orang Arab sangat terkenal akan kecerdasan dan kekuatan daya hafal, sehingga mereka tidak memiliki tradisi tulis-menulis. Bagi mereka adalah kenaifan dan kehinaan kalau mereka menyatakan pemikirannya lewat tulisan; dan merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan kalau mereka menyatakan lewat lisannya. Ilmu dan pengatauan, menurut mereka, letaknya ada dalam dada, dan bukan pada tulisan (al-‘ilm fi al-sudûr wa la fi al-sutûr). Untuk itu, kalau ada orang Arab yang kedapatan sedang menulis, maka ia akan mewanti-wanti orang yang melihatnnya untuk tidak memberitahukan halanya itu kepada orang lain.

Walau demikian, ini tidak berarti bahwa di kalangan orang-orang Arab kegiatan mencari ilmu-ilmu “duniawi” [dengan terpaksa menggunakan term ini] tidak berjalan sama sekali. Karenanya, teori lama yang menyatakan bahwa “orang-orang Muslim awal adalah musuh bagi ilmu pengetahuan dan sains, dan bahwa mereka hanya mau menerima ilmu pengatahuan yang berasal dari Qur’an dan Hadis” adalah salah, dan pendapat yang tidak memiliki landasan sejarah. (Lihat, Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam: 2003, 17).

Kenyataan sejarah menunjukah sebaliknya bahwa pada masa-masa awal Islam, kendatipun hanya di kalangan  sangat terbatas, ada juga di antara mereka pergi ke luar daerah untuk menuntut ilmu. Harits bin Kaladah (w. 634)  dari Thaif, menurut Philip K. Hitti, adalah orang pertama yang didik secara ilmiah dan menempati urutan teratas dari daftar dokter-dokter Arab pada abad pertama Islam. Ia belajar ilmu kedokteran pada salah satu perguruan di Jundisapur, Persia. Dan belakangania memperoleh gelar kehormatan sebagai “dokter orang Arab.” (Lihat, Philip K. Hitti,  History of the Arab, London: Macmillan Press, 1970).

Contoh lain dari hubungan orang-orang Arab dengan dunia luar dalam bidang ilmu pengetahuan, misalnya, dilakukan oleh Nazdr Ibn Harist Ibn Kaladah. Ia, anak saudara ibu Rasul Allah saw., pernah merantau seperti ayahnya, ia bergaul dengan golongan cerdik-pandai  dan pendeta-pendeta agama Kristen serta ia berhasil mendapatkan ilmu-ilmu kuna sangat berharga.  Ia mempelajari filsafat, kata-kata hikmah, dan ia juga mengambil ilmu kedokteran dari ayahnya. Dikatakan bahwa al-Nazdr adalah penyokong perlawanan  yang dilakukan oleh Abu Sufyan terhadap Rasul Allah saw.  Ia beranggapan, dengan arogansinya, bahwa ilmu serta keahlian dapat mengalahkan keRasul Allahan. (Lihat, Ahmad Amin, Fajr al-Islam:  1975: 133).

Perihal profesi Harith bin Kaladah sebagai dokter direkam dalam hadis Rasul Allah saw. bahwa ada suatu riwayat berasal dari Said bin Abi Waqqas menyatakan ketika ia menderita sakit, Rasul Allah menjeguknya. Saat itu Rasul Allah bersabda, “Datanglah kepada Harist bin Kaladah karena ia tahu soal kedokteran.”Meskipun begitu, ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran, menurut Fuad al-Ahwani, belum dapat dianggap memadai karena ia belum menguasi ilmu kedokteran secara ilmiah. (Lihat, Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 35).

Akan tetapi, orang Arab sezaman dengan Rasul Allah saw. sebagaian besar masih skeptis terhadap ilmu kedokteran asing itu. Orang-orang Arab, khususnya sahabat Rasul Allah saw., masih lebih yakin terhadap ucapan Rasul Allah saw. mengenai kedokteran, misalnya soal hegiene, diet dan sebagaimnya. Mereka menuruti dan menaati ucapan Rasul Allah saw. dengan sepenuh hati; dan ini sekaligus merupakan ciri utama generasi  Muslim awal. (Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 192).

Selaras dengan itu, meskipun generasi Islam awal begitu terpesona kepada kitab suci dan figur Rasul Allah saw., tetapi ini tidak menutup kemungkinan bahwa pada masa itu terdapat juga pencarian ilmu pengetahuan “duniawi”. Ada penuturan, misalanya, bahwa pada masa Rasul Allah saw. diutus beberapa sahabat untuk belajar ilmu kedokteran di perguruan Jundisapur, Persia. Kebenaran ini sangatlah logis, mengingat anjuran Rasul Allah saw., “uthlub al-‘ilma wa law bi al-sîn”(tuntutlah ilmu walaupun [sampai] ke negeri Cina).

Hadis Rasul Allah tentang menuntut ilmu menandaskan bahwa jangankan ke Persia relatif lebih dekat jarakanya dari jazirah Arab, bahkan “wa law” (walaupun) sampai ke negeri Cina yang begitu jauh di belahan timur. Bukan itu saja, Rasul Allah juga memerintahkan beberapa sahabat untuk mempelajari bahasa Ibrani (Hebraw). (Nurcholish Madjid,  Islam Agama Kemanusian (Jakarta: Paramadina, 1995), 51-52).

Akan tetapi, perintah Rasul Allah saw. ini hanya berlaku secara “eksklusif” di kalangan sahabat, sehingga tidak memperlihatkan resonansi yang signifikan. Di samping itu, kegiatan semacam ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya,  “tenggelam” di dalam keseriusan sahabat Rasul Allah saw. untuk menekuni ilmu bersumber pada wahyu-wahyu Ilahi dan sunnah-sunnah langsung di sisi Rasul Allah saw. tercinta. Atau jangan-jangan hadis-hadis Rasul Allah untuk menekuni ilmu rasional-spekulatif (“duniawi”) sengaja dihilangkan sewaktu dilakukan kodifikasi Hadis.

Kemudian, setelah generasi Islam pertama (sahabat), umat Islam sudah tidak lagi terkonsentrasi di kota Madinah, tetapi sudah tersebar diberbagai daerah, seperti di Mesir, Syiria, Irak dan Persia. Di daerah-daerah ini, khususnya di Syiria, jauh sebelum datangnya Islam terdapat tradisi intelektual yang canggih dan merupakan kantong-kantong pemikiran Hellenisme. Di sana umat Islam dengan sendirinya terpaksa melakukan interaksi intelektual dengan penduduk tempatan, termasuk dengan orang-orang Nasrani Nestoria yang dikenal terpelajar. Dari interaksi tersebut tidak jarang doktrin dan pemikiran, seperti ide-ide qadariyah, masuk ke Islam dari latar belakang Hellenisme Kristen. (Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam Study Tentang Fundamentalisme Islam, 2000: 61)

Lebih dari itu, dalam melakukan interaksi sosial-intelektual umat Islam acapkali berbenturan dengan persoalan-persoalan yang, secara harfiah, tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan tidak didapatkan dalam Hadis Rasul Allah saw. Kondisi seperti ini memaksa sebagai umat Islam terpelajar (ulama) untuk meresponinya dengan menggunakan analogi (qiyas) dan pemikiran secara independen (rayu) bahkan kalau diperlukan dengan interpretasi allegoris (ta’wil). (Lihat, Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 3).

Artinya pendekatan tekstual terhadap kitab suci (begitu juga dengan Hadis Rasul Allah saw.) sudah mulai tidak relevan. Karenanya, harus diganti dengan pendekatan kontekstual, dan bahkan dengan penafsiran secara tamsil al-‘ibarah (perempuan dengan menyeberangi makna harfiahnya). Majid Fakhri memaparkan bahwa pendekatan yang sempit atas persoalan-persoalan yang muncul dari kajian-kajian ayat-ayat al-Qur’an, ternyata tidak dapat bertahan lama terhadap tekanan-tekanan waktu. Pertama, pertentangan dini yang tak terelekkan antara Islam dengan paganisme dan Kristen baik yang ada di Demaskus ataupun di Baghdad serta ketegangan-ketegangan yang ditimbulkannya.

Kedua, terdapatnya persoalan-persoalan moral dan hukum yang disebabkan oleh gambaran-gambaran yang tidak jelas menyangkut kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas di dunia ini, sebagaimana dipaparkan dalam al-Qur’an dan hubungannya dengan pertanggungjawaban manusia.

Dan akhirnya, terdapat kebutuhan sangat mendesak guna melindungi apa yang disebut kesatuan pandangan hidup umat Islam. Guna memenuhi kebutuhn ini tidak dapat dibangun tanpa upaya-upaya sistematis dan penyelesaian keterangan wahyu (al-Qur’an dan hadis) yang saling bertentangan dalam keharmonisan maknawi. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 4-5).

Pergumulan terhadap persoalan-persoalan krusial tersebut, lagi-lagi menurut Majid Fakhri, menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan teologi dalam Islam.Boleh jadi Majid Fakhri betul  bahwa persoalan-persoalan krusial  disebut di atas telah menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan teologi Islam pada era selanjutnya.  Perbincangan diseputar masalah-masalah krusial itu, setidak-tidaknya, menurut Ameer Ali, telah muncul pada era seorang sarjana Islam liberal dan rasional, yaitu  Ja’far al-Shâdik [seorang yang sangat terpelajar dan keturunan langsung dari Rasul Allah Muhammad saw].

Ja’far al-Shâdik disebut-sebut merupakan kepala keturunan Rasul Allah, Muhammad saw. Ia adalah seorang yang sangat terpelajar dengan kecenderungan rasionalis dan liberal. Ia juga seorang penyair, filosuf, dan rupa-rupanya ia menguasa beberapa bahasa asing. Karenanya, ia acap kali berhubungan dengan sarjana dan budayawan dari kalangan agama Kristen, Yahudi dan Zoroaster; dan dengan mereka ia sering melakukan dialog-dialog dan bertukar pikiran. Ja’far al-Shadik merupaan bapak rasionalisme dalam Islam di mana Abu Hanifah dan Imam Malik pernah berguru. Sehingga dari kedua muridnya ini sangat terlihat sekali pengaruh dan unsur  rasionalitasnya dalam membangun sistem hukum yang mereka kembangkan, terutama sekali tampak pada diri Abu Hanifah. (Lihat, Ameer Ali, The Spirit of Islam: 411).

Berikutnya sikap keterpelajaran ini dilanjutkan Hasan Basrimerupakansalah seorang guru besar yang paling terkenal di masanya, dan termasuk golongan yang anti paham predistinasi. Ia adalah seorang kelahiran Madinah, dan  ketika ia remaja, menurut Ameer Ali, ia benar-benar pernah duduk bersama dengan keluarga dan keturunan Rasul Allah dan menghirup pemikiran rasional dn bebas dari mereka. Belakangan ketika tinggal di Basrah, ia membuka halaqah-halaqah yang segera dikerumuni oleh peserta didik, termasuk dari Irak.  Dan di antara muridnya yang terkenal adalah Abu Huzaifah Washil bin Atha’.Belakangan,Washil bin Atha’ itu sendiri adalah pencetus dan pendiri aliran rasionalisme secara formal, Mu’tazilah. ((Ameer Ali, The Spirit of Islam, 414). Dan menurut Nasr, aliran ini merupakan teologi sistematis pertama dalam sejarah pemikiran teologi Islam. (Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Muslim: Teologi, Filsafat dan Gnosis: 1996),42)

Dorongan kuat untuk berpikir sistematis tentang dogma-dogma agama, menurut Rahman, menuntut aliran teologi Mu’tazilah melakukan rasionalisasi semakin lama semakin intens. (Lihat, Fazlur Rahman, Islam  (Chicago and London University of Chicago Press, 2002: 88).Guna mengembangkan rasionalisasi dalam Islam, aliran ini banyak dipengaruhi dan dengan mengambil metode filsafat Yunani yang rasional dan liberal. Ada dua alasan yang, menurut Abu Zahra, mendorong orang Mu’tazilah untuk mempelajari filsafat.

Pertama, mereka menemukan dalam filsafat Yunani keserasian dan kecenderungan pikiran mereka. Dengan mengambil  metode berpikir seperti itu membuat mereka menjadi lancar dan kuat dalam berargumentasi.

Kedua, mereka mempelajari metode berpikir filsafat untuk menyanggah  dan menolak  pihak-pihak lain berusaha meruntuhkan dasar-dasar ajaran Islam dengan argumentasi logis dan rasional. (Lihat, Muhammad Abu Zahra, Aliran Poitik dan Aqidah dalam Islam, 1996:  156).

Namun, masuknya filsafat Yunani dalam sistem pemikiran kalam, menurut Nurcholish Madjid,  sangat disayangkan. Ilmu Kalam dibandingkan dengan filsafat, lagi-lagi menurut Nurcholish madjid, jauh lebih orisinil, dan dianggap bentuk paling referesentatif pemikiran spekulatif Islam. Akan tetapi, kecenderungan meminjam dan menggunakan metode-metode filasfat Yunani untuk mengembangkan argumen-argumennya itu telah menjadi sumber pencemarannya, sehingga sejak tahap awal penggunaan Ilmu Kalam oleh kaum Mu’tazilah ini ditentang oleh para ulama. Bahkan meskipun Ilmu kalam Asy’ariyah kini diterima secara  taken for granted akan keabsahannya, tetapi ia harus menunggu dua abad lamanya  hingga datangnya al-Ghazali. Dan selama itu, Asy’ariyah juga menjadi sasaran polemik dan kontroversi. (Lihat, Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, 1997:  113).

Pada gilirannya, dalam merespon persoalan-pesoalan  di atas meniscayakan argumen-argumen lebih bernas, yang sepertinya, musykil untuk dirahi tanpa menggunakan argumen-argumen filosofis dan dukungan logika Yunani. Karenanya, perbincangan teologis itu memaksa dan mendorong mutakallimin Mu’tazilah dan sebagian orang Islam terpelajar untuk melakukan interaksi intelektual dengan dunia pemikiran Hellenisme, terutama dengan orang-orang Kristen Nestorian yang berdiam di Iskandaria (Mesir), Demaskus, Antioka dan Ephesus (Syiria), Harran (Mesopotamia dan Jundisapur).  Pada saatnya nanti, ditempat itulah lahir dorongan pertama kegiatan penelitian dan penerjemahan karya filsafat dan ilmu Yunani kuna.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa,
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)
UIN Suska Riau.

SLIDER Keempat

SLIDER Keempat

Institut for Sotheast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau merupakan pusat lembaga kajian Islam Asia Tenggara yang bergerak dalam bidang kajian, penelitian, dan publikasi pemikiran, politik, social, dan sejarah Islam Asia Tenggara. Hingga saat ini, ISAIS merupakan satu-satunya lembaga di Indonesia yang mengelola Jurnal ilmiah yang memfokuskan pada kajian Islam Asia Tenggara, dengan nama Jurnal “Nusantara” dan saat ini sedang mengembangkan kajian Asia Pacific on Society and Religion dengan nama Jurnal APJRS (Asia Pasific Journal on Religion and Society).