20. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (4): Penerjemahan Pada Masa Dinasti Abbasyiah di Baghdad

20. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (4): Penerjemahan Pada Masa Dinasti Abbasyiah di Baghdad

Oleh Alimuddin Hassan*

 

Kecenderungan praktis dan pragmatis penerjemahan karya tertentu, seperti ilmu astrologi dan kedokteran, sebagaimana disebutkan sebelumnya,bukanlah semata-mata monopoli pemerintahan Dinasti Umayyah. Akan  tetapi,kenyataan ini juga berlaku pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Bahkan kecenderungan pada astrologi yang, sepertinya “irrasional”, misalnya mempercayai gerak-gerak dan posisi bintang juga menjadi kecenderungan sejumlah khalifah pada masa Dinasti Abbasyiah.

Demi keperluan apa yang disebut di atas, maka pada masa khalifah Harun al-Rasyid, oleh karenanya, sejumlah buku-buku tentang astrologi diterjemahkan, misalanya naskah Quadripasrtituskarya Ptolemi. Harun al-Rasyid dan sejumlah khalifah Dinasti Abbasyah selalu meminta pandangan para astrolog untuk memabaca “masa depan” kekuasaan mereka. (C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, 2002: 38). Khalifah al-Ma’mun sendiri yang terkenal kental rasionalismenya juga menggunakan jasa advis astrologi dalam mengambil keputusan strategis,sebagaimana penuturan Majid Fakhri:

“Pergolakan politik yang menyebabkan jatuhnya Bani Umayyah dan naiknya Dinasti Abbasyiah sebagai penggantinya menyakinkan di kalangan Dinasti Abbasyiah bahwa rahasia nasib manusia dan jatuh-bangunnya kerajaan berlaku dengan pasti menurut perhintungan bintang, dan hanya orang-orang  bijaklah yang mempu memahaminya. Dari sinilah bermula muncul hasrat yang kuat untuk memahami dan menerjemahkan karya-karya kuna berkenaan dengan astrologi.Bahkan khalifah-khalifah yang sangat rasional sekalipun, seperti al-Ma’mun tidak luput dari ketergantungan pada perhitungan bintang-bintang tersebut.Ia tidak saja mengangkat seorang astrolog sebagai pembantunya, tetapi ia juga tidak dapat melakukan gerakan militer dan kebijakan politik yang penting tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan astrolog tersebut.” (Lihat, Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 8).

Dari kutipan di atas, selain ilmu kedokteran, nyata betul bahwa ilmu astrologi memiliki arti peting, khususnya dalam menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaan. Arti penting ilmu astrologi di sini seiring dengan kecendrungan dan godaan universal bagi penguasa untuk tetap mempertahan kekuasaan (wa mulkun la yablâ). Karenanya, sebagaimana disebutkan Majid Fakhry di atas, kehadiran astrolog-astrolog di lingkungan  istana menjadi sangat diperlukan oleh khalifah –termasuk khalifah seperti al-Ma’mun– untuk memberikan “nasehat” dalam rangka mengambil keputusan-keputusan penting yang menentukan nasib dirinya dan menyangkut eksistensi kekhalifahan Dinasti Abbasyiah secara keseluruhan.

Pada masa Bani Umayyah penerjemahan warisan ilmu dan filsafat Hellensime masih bersifat individual-personal dan/ataubelum merupakan sebuah gerakan. Sementara pada era pemerintahan Dinasti Abbasyiah, khususnya periode-periode awal, dan terlebih-lebih pada masa pemerintahan al-Ma’mun,penerjemahan sudah bersifat kolektif-komunal dengan melibatkan banyak ilmuan dan penerjemah. Dengan kata lain, penerjemahan pada masa Disnati Umayyah tidak lebih sebuah proyek kecil.  Sebaliknya pada masa Dinsati Abbasyiah penerjemahan sudah merupakan suatu proyek besar-besaran. (Chales M. Santon, Higher Learning in Islam: 65).

Lebih lanjut, upaya penerjemahan tersebut merupakan sebuah gerakan yang terpadu dan sistematis serta langsung di bawah patronase penguasa. Di bawah perlindungan para khalifah Dinasti Abbaysiah, khususnya pada masa pemerintahan al-Mansur, al-Rasyid dan al-Ma’mun dapat dikatakan puncak aktifitas penerjemahan. Aktivitas penerjemahanpada masa Dinasti Abbasyiah berlangsung sekitar 100 tahun, yaitu antara tahun 750 hingga 850.

Adalah khalifah al-Mansur yang memulai gerakan penerjemahan secara gencar pada masa awal Dinasti Abbasyiah. Kesan umum yang dapat diperoleh mengenai al-Manshur bahwa ia berminat sekali pada karya-karya ilmiah dan filosofis. Untuk itu, ia memberikan dukungan dan perlindungan pada kegiatan penerjemahan. Meskipun demikian, berhubungan dengan langkanya para ahli dan sarjana serta karena masih kurangnya bahan-bahan ilmiah dan filasafat Hellemisme-Yunani yang dapat diperolah, sehingga proses penerjemahan pada masanya tidak mendapat kemajuan sesuai harapankanya. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 19).

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ketika al-Manshur bertahun-tahun menderita sakit, ia meminta untuk mendatangkan dokter dariJundisapur.Reputasi Jurjis Bukhtyshu’ sebagai dokter  sangat mumpuni itu terdengar oleh khalifah.  Oleh karenaya, ia meminta agar dokter Kristen terkenal itu dijemput untuk datang ke istananya. Keberhasilan menyembuhkan penyakit khalifah al-Mansur, kemudian Jurjis bin Bakhtaisyu’ diangkat menjadi kepala tim dokter istana, hingga wafanya al-Mansur.

Akan tetapi, setelah lanjut usia Jurjis kembali lagi ke Jundisapur dan kedudukanya digantikan oleh keturunanya (anaknya), Gabrel Bakhtyshu’. Anakanya iniberkhidmat pada masa khalifah al-Mahdi, di si samping ia juga berkerja di istana wazir Ja’far al-Barmaki dan, bahkan hingga masa khalifah al-Makmun, nantinya.Belakangan, keturunan keluarga ini menjadi keluarga medis paling penting dalam dunia Muslim. Dan anggota keluarganya terus-menerus menjadi dokter terkemuka hingga akhir abad ke-11 M). (Lihat, Phillip K. Hitti,  History of the Arab, 309; Ahmad Fuad al-Ahwani,  Filsafat Islam: 43).

Sebelum kepindahan Jurjis Bakhtyisu’ di Baghdad, ia selama beberapa lama menjadi kepala rumah sakit dan pusat medis di Kota Jundisapur. Belakangan, keturunan-keturuanan dan mahasiswa-mahasiswaJurjis Bakhtyisu’ di Jundisapur melawatdan berdomisili Baghdad. Mereka secara langsung telah membuat organik antara perguruan dan pusat medisdi Jundisapur dan di Baghdad. Dengan kata, kepindahan Jurjis Bakhtyisy’, keturunan dan mahasiswa tersebut dapat dikatakan merupakan awal proses  mengalihkan pusat medis dari Jundisapur ke Baghdad.(Lihat, Seyyed Hossen Nasr, Nasr, Science and Civilization in Islam, 193; Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, 43; Philip K. Hitti, History of the Arab, 309; Frans Rosenthal, The Classical Heritage in Islam: 1975: 6). 

Sementara penerjemahan sedang berlangsung, disadari oleh para  sarjana dan ahli penerjemah itu bahwa sedemikian besar dan kayanya warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme-Yunani yang harus diupayakan penerjemahannya. Maka di antara mereka mengusulkan kepada khalifah al-Ma’mun untuk mengorganisir aktifitas penerjemahan dalam skala lebih luas dan intensif. (W. Montgemory Watt,  Islamic Philosophy and Theology, Chicago: Edinburgh University Press, 1962: 41).

Pada masa Dinasti Abbaysiah warisan Yunani-Hellenisme yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Syiriah yang dilakukan oleh orang Kristen Nestorian dan pagan dari Mesopotamia tersedia cukup melimpah. Selain itu, lewat penaklukan di daerah-daerah perbatasan Byzantium, manuskrip-manuskrip tambahan adalah merupakan bagian dari  kekayaan dibawa pulang ke Baghdad. Didorong oleh hasrat  begitu kuat untuk mempelajari warisan pengetahuan Hellenisme-Yunani, para khalifah disebut  sebelumnya, bila tidak memperolah naskah-naskah dengan cara penaklukan, maka mereka membelinya dari musuh mereka, khusunya naskah-naskah dari Byzantium di Konstantinopel. (Chales M. Santon, Higher Learning in Islam: 65).

Kemudian, penerjemahan menemui momentumnya ketika  al-Ma’mun mengambil kebijakan untuk mendirikan Bayt al-Hikmah (“Gedung Hikmah”). PendirianBayt al-Hikmahitu sendiri dimaksud dengan tiga fungsi  kombinasi, yaitu lembaga penerjemahan, akademi dan perpustakaan. Artinya, dengan tiga peran ini menjadikan lembaga Bayt Hikmahbenar-benar penyokong  kota Baghdad sebagai marcusuar ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia. Disebut-sebut bahwa Bayt Hikmah merupakan lembaga pendidikan yang terpenting artinya  setelah Musium Iskandaria  didirikan  pada pertengahan pertama abad ke-3 SM (Phillip K. Hitti,  History of the Arab, 310).

Untuk menyediakan dan melengkapi kepustakaan Bayt al-Hikmah yang baru didirikan itu dengan karya-karya ilmiah dan filsafat, al-Makmun mengirim utusan ke Byzintium untuk mencari dan memperoleh buku-buku “pelajaran kuno”. Kemudian buku-buku tersebut diserahkan kepada sekelompok sarjana untuk diterjemahkan. Termasuk dalam kelompok ini terdapat sejumlah nama sangat terkenal, seperti Yahya bin Musawayh (guru Hunain ibn Ishak) –sebelumnya juga mengabdi kepada khalifah al-Mansur dan Harun– diangkat al-Ma’mun sebagai Direktur Bayt al-Hikmah segera setelah didirikannya. Bersama dengan beberapa penerjemah terkenal lainnya, seperti al-Hajjaj bin Muthar, Yahya bin Bithriq dan Salim, sekaligus disebut-sebut sebagai pengurus Bayt al-Hikmah. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 24).

Pada saat itu,Bayt al-Hikmah selain sebagai pusat penerjemahan juga dipergunakan sebagai tempat untuk mempelajari sekaligus menyebarkan teologi, kususnya teologi Mua’tazilah, dan filsafat secara umum. Pimpinan lembaga ini, misalnya  mengundang sejumlah ilmuan dan sarjana dari berbagai daerah untuk berdebat dan berdiskusi di antara mereka dalam semua lapangan ilmu pengetahuan, khususnya menyangkut tentang agama, teologi dan filsafat serta ilmu-ilmu kealaman.(Charles M. Santnton, Highere Learning in Islam: 75).

Khalifah al-Mak’mun sendiri sebagai sebagai penganut teologi rasional Mu’tazilah disebut-sebut terlibat secara intens dalam diskusi-diskusi. Al-Ma’mun menguasi berbagai pemikiran dalam filsafat yang menjadi perdebat dalam diskusi-diskusi. Bahkan di antara sedikit khalifah dalam Islam, al-Ma’mun juga menulis beberapa karya terkait masalah-masalah filsafat yang muskil. ((C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, 2002: 38)

Dari sekian banyak penerjemah pada masa itu yang paling terbesar dan berjasa adalah Hunain ibn Ishak (Johannitus Onan, sebagaimana ia dikenal di Barat pada abad pertengahan). Hunain bukan saja sebagai seorang penerjemahan yang pandai dan lihai, tetapi ia juga salah seorang di antara  dokter-dokter  masyhur pada zamanya. Lebih jauh, bagaimana peran tokoh ini dalam proses aktivitas penerjemahan, Nasr memaparkan:

“Dibantu oleh kemanakannya, Hubaisy dan anaknya Ishak, Hunain sering menerjemahkan teks dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Syiria dan menyerahkan penerjemahan dari bahasa Syiriah ke bahasa Arab yang dilakukan oleh mahasiswa dan khususnya Hubaisy. Pada waktu itu, ia memeriksa terjemahan akhir dan membandingkannya dengan teks Yunani aslinya. Kadang-kadang ia menerjemahkan langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.”

Lebih lanjut, Nasr memamarkan prihal Hunain ibn Ishak: “Dengan cara begitu, Hunain dan perguruannya membuat banyak terjemahan bagus, termasuk 95 karya Galen ke bahasa Syiriah dan 99 buah ke bahasa Arab. Pada masa itu memang masih ada penerjemah masyhur lainnya, tetapi tidak seorangpun dari tokoh-tokoh tersebut yang dapat menandingi Hunain. Keahlian Hunain sebagai penerjemah dan juga sekaligus sebagai dokter, membuatnya pantas dipandang sebagai seorang di antara tokoh-tokoh utama sejarah medis Islam.” (Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 195).

Dalam pandangan para ilmuan berbahasa Arab menyebutkan bahwa terjemahan dilakukan pada masa-masa awal dari segi gramatika terkadang janggal dan sulit dimengerti. Karenanya, Hunain dan timnya berupaya untuk menerjemahkan ulang (Michael M. Stanton, Higher Learning in Islam: 66-67).  Sebagian hasil terjemahan masa awal banyak bersifat harfiah dan tidak akurat. Untuk itu, perlu direvisi guna menangkap makna lebih tepat dan akurat.  Akan tetapi, biasanya terjemahan semacam ini terjadi pada karya terjemahan dari versi bahasa Syiria, dan bukan pada karya terjemahan langsung dari bahasa asilnya, Yunani (Watt, Islamic Philosophy and Theology, 82). 

Penerjemahan dilakukan oleh Hunain Ibn Ishak beserta timnya menandai tahap  penerjemahan yang sangat menentukan. Begitu pula timbulnya perhatian baru dalam tingkat kecermatan dan keseksamaan yang baik, mengharuskan untuk menerjemahkan kembali naskah-naskah ilmiah dan filsafat yang telah dilakukan sebelumnya. (Majid Fakhri,  A History of Islamic Philosophy: 25). Untuk kepiawaian dan keahlian itu Hunain ibn Ishak digaji sebesar 500 dirham perbulan. Begitu pula, al-Ma’mun  membayar para penerjemah dalam bentuk emas seberat buku ia  diterjemahkan. (Phillip K. Hitti, History of the Arab: 113). 

Dalam proses dan kesemarkan penerjemahan pada masa Dinasti Abbasyiah, penerjemahan tidak saja dilakukan oleh khalifah secara resmi. Akan tetapi, di kalangan masyarakat tertentu timbul kesadaran untuk berpartisipasi aktif dalam proses penerjemahan tersebut. Keluarga Banu Musa misalnya, diriwayatkan menyumbang banyak uang dalam proses penerjemahan naskah-naskah warisan Yunani-Hellenisme. Banu Musa, sebagaimana para khalifah Dinasti Abbasyiah, mengutus orang-orang ke Bizantium untuk membeli naskah-naskah Yunani-Hellenisme seberapapun harganya, dan mengupah para sarjana untuk menerjemahkannya.

Demikian berkembangnya penerjemahan pada era Dinasti Abbasyiah, khususnya pada masa al-Ma’mun dengan Bayt al-Hikmah-nya. Sedemikian rupa maraknya penerjemahan era ini, sehingga jumlah karya-karya Yunani hasil terjemahan dalam bahasa Arab begitu luar biasa, dan sangat melimpah. Pada akhir abad kesembilan hampir semua karya yang diketahui dari musium-musium Hellenistik telah tersedia bagi ilmuan-ilmuan Muslim dalam bahasa Arab.

Dari kondisi seperti itu, kota Baghdad benar-benar menjadi mercusuar ilmu pengatahun dan pusat peradaban anak manusia selama berabad-abad lamanya. Dari situasi kondusif seperti itulah pada tahun-tahun berikutnya dunia Islam melahirkan sedemikian banyak filosuf dan ilmuan diseluruh bidang keilmuan. Dunia Islam telah berhasil melahirkan “karya” mencengangkan Dunia Barat yang pada waktu itu baru belajar mengeja namanya.

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā  bi Allāh

 

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]
UIN Suska Riau).
19. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (3): Dinasti Umayyah dan Arab Bahasa Resmi Negara

19. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (3): Dinasti Umayyah dan Arab Bahasa Resmi Negara

Oleh Alimuddin Hassan

 

Pada mulanya arus utama pemikiran Yunani-Hellenisme masuk  ke dunia Islam bukannya melalui manuskrip dan sumber-sumber asli dari Yunani-Hellenisme itu sendiri. Akan tetapi, masuknya pemikiran tersebut melalui hasil terjemahan dilakukan oleh ilmuan dan serjana Kristen, Yahudi, Persia kedalam bahasa Syiria. (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam,63). Meskipun belakangan,tentu saja ada banyak juga manuskrip-manuskrip berbahasa Yunani langsung  diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Untuk keperluan penerjemahan warisan Yunani_Hellenismekedunia Islam pada periode-periode berikutnya tidak terlalu berarti kalau pemerintahan Islam pada masa Dinasti Umayyah tidak menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara. Upaya mengganti bahasa dari bahasa Persia, Yunani dan Syiria kepada bahasa Arab ini terjadi menjelang akhir abad ketujuh (MajidFakhri, A History of Islamic Philosophy: 17). Dengan kebijakan ini, penerjemaham dan pengembangan ilmu dan filsafat di dunia Islam menjadi lebih semarak, dan kelak mencapai puncak keemasannya pada masa Dinasti Abbasyiah.

Begitu pula urutannyabila kita surut ke belakang, upaya Dinasti Umayyah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, dan pada gilirannya menjadi bahasa ilmu pengetahuan dalam penerjemahan, sepertinya sulit tercapai sekiranya ‘Ali bin Abi Thalib –kira-kira 20 tahun sepeninggalan Rasul Allah– tidak menganjurkan agar umat Islam mempelajari sastra arab pada umumnya. Dan lebih spesifik Ali bin Abi Thalib memerintahkan para ahli bahasa untuk meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab. Ali bin Abi Thalib berpandangan bahwa masyarakat memerlukan ilmu tersebut karena bermamfaat dalam mengelaborasi pengetahuan dan pemahaman agama umat Islama.

Walaupun pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib disebukkan dengan sejumlah peperangan, tetapi ia dan generasinya tidak menjadikan aral untuk tidak membentuk kaidah-kaidah dalam  membina bahasa Arab. Artinya, tanpa upaya “mengapak”, dan bahkan sekaligus “mengetam” yang dilakukan oleh ahli-ahli bahasa Arab  atas anjuran Ali bin Abi Thalib, maka upaya untuk menjadi bahasa Arab sebagai bahasa resmi, pada gilirannya menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu dan agama, khususnya dalam kepentingan penerjemahan, kemungkinan besar  akan mengalami kendala dan keterlambatan.

Selain itu, pada masa pemeritahan Dinasti Umayyah sejumlah khalifahnya memuliakan kedudukan ilmu-ilmu sastra, meninggikan kedudukan para penyair dan ahli-ahli agama. Dengan demikian, pada akhir kekuasaan Dinasti Umayyah bermuculanlah sejumlah ulama dari berbagai bidang keilmuan. Dalam bidang fiqh yang melahirkan berbagai macam mazhab, misalnya empat empat mazhab yang paling masyhur, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Begitu pula, pada masa Dinasti Umayyah muncul perdebatan-perdebatan teologis, sehingga melahirkan ilmu kalam dengan derivasi alirannya masing-masing. Dalam perdebatan teologis ini berkembanglah paham Qadariyah,  Jabariah dan Murji’ah. Dan dalam  ilmu kalam  itu tersebutlah aliran-aliran pemikiran, seperti Asy’ariyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah.

Dalam perdebatan-perdebatan teologis tersebut, terutama  aliran kalam Mu’tazilah mengambil metode filsafat Yunani-Hellenisme yang rasional. Dengan begitu mendorong orang-orang Mu’tazilah untuk mempelajari filsafat warisan dari Yunani-Hellenisme. Pada gilirannya kencenderungan pada ilmu dan metode rasional tersebut turut pula  mendorong dimulainya upaya penerjemahan pada akhir abad pertama Hijriyah. (Lihat, Syaikh Muhammad Abduh, Islam Ilmu Pengetahauan,  dan Masyarakat Madani, 2005: 143-144.

Meskipun pergantian bahasa itu awalnya lebih dimaksudkan untuk kepentingan politik dan administratif. Namun, tidak ayal lagi, belakangan sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan dan kesemarakan upaya-upaya penerjemahan warisan Yunani-Hellenisme baik langsung (dari bahasa Yunani) ataupun tidak langsung (lewat bahasa Syiria) ke dalam bahasa Arab. Pergantian berbagai bahasa tersebut dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara menandai usaha pertama pemerintahan Islam untuk menunjukkan keunggulan literer mereka, sebagaimana halnya keunggulan militer dan politik mereka  atas bangsa-bangsa yang ditaklukannya selama ini.

Sulit untuk dipastikan apa motivasi dan latar belakang pergantian bahasa tersebut. Akan tetapi, ada keterangan (dan inipun hanya disinyalir) bahwa pergantian bahasa asing ke dalam bahasa Arab, apakah disebabkan oleh rasa iri atau bukan umat Islam terhadap monopoli yang dipertahankan orang-orang non-Islam (terutama umat Kristen dan Yahudi) sebagai pegawai-pegawai khalifah. Namun, yang pasti dari segi pertimbangan praktis pun pergantian itu merupakan suatu keniscayaan. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, 17).

Tanpa kebijaksanaan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi, sepertinya sulit untuk mengharapkan penerjemahan dalam bahasa Arab yang “melimpah” sebagaimana terjadi pada masa Dinasti Abbasyiah, dan persisinya pada era pemerintahan khalifah al-Ma’mun. Begitupun, sekiranya bahasa Arab tidak dijadikan sebagai bahasa “tunggal”, dan penerjemahan itu tidak “terkonsentrasi” kedalam bahasa Arab, maka besar kemungkinan sarjana-sarjana dan ahli penerjemah dengan latar belakang beragam (bahasa dan agama) besar kemungkinan akan menerjemahkan warisan Yunani-Hellenisme tersebut tidak dalam bahasa Arab, tetapi dalam bahasa lain sesuai dengan kecenderungan mereka masing-masing.

Belakangan, dengan kebijakan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, menurut George Sarton, bahasa Arab benar-banar memainkan peran yang sangat penting dan utama. Dengan begitu, bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan internasional, dan sulit untuk mencari tandingannya. Kenyataan ini diungkapkan oleh Mehdi Nekosteen:

 “Bahasa Arab merupakan bahasa sains internasional, sedemikian hebatnya sehingga tidak akan dapati ditandingi oleh bahasa lain kecuali bahasa Yunani, dan itu pun tidak akan pernah dapat terulang sampai kapan pun. Bahasa Arab bukan merupakan bahasa satu kaum, satu bangsa, tetapi merupakan bahasa dari beberapa kaum, bangsa dan agama.”(Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, viii).

Pada periode awal, masa dinasti Umayyah, kegiatan penerjemahan dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan praktis dan kecenderungan-kecenderungan pragmatis. Misalnya, pada masa ini penerjemahan hanya dilakukan pada bidang tertentu, yaitu bidang kedokteran dan astrologi (astronomi). Kedua bidang ini memang mempunyai nilai praktis (untuk keperluan sehari-hari) dan nilai prgamatis (untuk tujuan-tujuan tertentu) dalam hidup ini, khususnya bagi khalifah dalam mempertahankan kekuasannya.

Sementara warisan pemikiran Yunani bersifat abstrak dan filosofis baru dilakukan pada berkembangan dekade berikutnya. Kecenderungan praktis dan pragmatis itu pada tahap dini  dapat dilihat pada pribadi Khalid bin Yasid  –putra (kedua) mahkota Umayyah urung menjadi khalifah. Menurut Ibn al-Nadim, sebagaimana dikutip Majid Fakhry, atas kegagalan Khalid bin Yasin jadi khalifah, ia beralih mempelajari kimia, astrologi dan kedokteran.

Pada masa khalifah Marwan (683-685) penerjemahan karya ahli kedokteran Monofosit Iskandariah dan ahli kedokteran Yahudi diterjemahkan. Karya-karya bidang kedokteran ini memperoleh reputasi yang sangat tinggi di kalangan orang-orang Syiriah. Dan tidak pelaak lagi, kedua karya ini merupakan terjemahan dalam bidang kedokteran yang paling dini ke dalam bahasa Arab. (MajidFakhri, A History of IslamicPhilosophy, 17).

Kendatipun bersentuhan dengan tradisi filsafat dan teologi Hellenisme, Bani Umayyah tetap tidak begitu berminat untuk mamajukan kajian filsafat dan teologi. Demi mempertahan kekuasaan, Bani Umayyah menyebarkan suatu doktrin simplistis yang memberi jastifikasi  dan  legalisasi bagi stabilatas dan kelanggengan kekuasaannya. Bani  Umayyah membuat tafsir teologis tunggal bahwa hak atas pemerintahan dan kekuasaan adalah berasal dari Tuhan.

Bani Umayyah sepertinya enggan untuk memperkenalkan sistem hukum agama yang akan mengurangi dan merongrong kekuasaan mereka. Bani Umayyah juga tidak begitu tertarik untuk menafsirkan al-Qur’an dan al-Sunnah yang merumitkan bagi dirinya. Khalifah Dinasti Muawiyyah memandang kalau hal itu dilakukan kemungkinan menjadi ancaman bagi kekuasannya. (Chales M. Stanton, Higher Learning in Islam, 64).

Setelah penaklukan Demaskus dan pembangunannya sebagai ibukota propinsi Syiria (dan kemudian menjadi ibukota pemeritahan Bani Umayyah) telah terjadi interaksi antara budaya Arab denganYunani-Hellenisme yang ada di kota ini. Karenanya, selama abad ketujuh, pemerintahan Bani Umayyah mengandalkan komunitas ilmuan dan sarjana dari kota-kota tetangga, Nisbis, khususnya untuk mendapatkan dokter.

Dokter-dokter beragama Kristen secara bergantian menjadi langganan istana selama pemerintahan Bani Umayyah. Di samping sebagai dokter biasanya mereka juga berperan sebagai penasehat bagi penguasa. Sadarakanpentingilmuitu secara praktis dan pragmatisbeberapa di antara   kepada sarjana Kristen tersebut untuk menerjemahkan karya-karya kedokteran dari bahasa Syiria kedalam bahasa Arab. Kegiatan ini terjadi sejak tahun 638; dan sekaligus menandai awal penerjemahan warisan Yunani tentang karya-karya kedokteran di masa Dinasti Umayyah.

Seperti disebutkan di atas kecenderungan awal begitu kuat untuk menerjemahan karya-karya kedokteran demi pertimbangan praktis dan pragmatis. Ini dapat dipahami bahwa kedokteran berkaitan dengan sehat-kehidupan dan sakit-kematian seseorang. Seorang penguasa, apalagi untuk terus dapat bertahan di kursi/tampuk kekuasaannya, maka yang paling ditakuti adalah “sakit”. Untuk tetap sehat diperlukan dokter yang terus dapat mengontrol bagaimana kesehatan sang penguasa (tanpa bermaksud menafikan kekuasaan/kehendak Tuhan tentang ajal seseorang).

Begitu juga dalam bidang astrologi (astronomi) penerjemahan dilakukan lantaran adanya doktrin dari agama-agama Timur yang menganggap bintang-bintang ebagai alat untuk mengurai alam suprnatural. Gerakan bintang-bintang tersebut dapat digunakan untuk menafsirkan bagaimana kehendak Tuhan. Karenanya, timbul hasrat kuat untuk mengetahui astrologi (“posisi dan gerak bintang”). Sikap pandang ini sekaligus mendorong usaha penerjemahan bidang ilmu tersebut pada pemerintahan Bani Umayyah. (Charles M. Santon,  HigherLearning in Islam: 64).

Ada yang menyebutkan –sebagai sebuah cacatan—bahwa terdapat perbedaan signifikan antara astrologi dan astronomi sebagai sebuah disiplin keilmuan. Kalau yang disebut pertama cenderung mengandung unsur-unsur ramalan, sepintas tidak mencerminkan unsur ilmiah padanya, dan sulit dipertanggungjawabkan sebagai sebuah disiplin keilmu-pengetaahuan. Sehingga astrologi lebih banyak dipergunakan pada awal-awal perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Sebaliknya, term keilmuan astronomi yang dipergunakan belakangan, merupakan disiplin ilmu yang relatif  “bersih”  dari unsur ramalan dan mitos-mitos. Begitu pula, ilmu astronomi dengan sendirinya lebih dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmiahnnya. Sehingga dewasa ini kita lebih sering menggunakan term astronomi ketimbang kata astrologi.

Transmisi warisan ilmu dan filsafat dari Yunani-Hellenismelewat aktifitas penerjemahan ke dunia Islam pada masa Dinasti Umayyah memang masih pada tarap awal. Dan dapat dikatakan bahw aktifitas penerjemahan pada masa ini masih bersifat perorangan, dan belum bersifat massif; atau belum menjadi proyek besar. Akan tetapi, Dinasti Umayyah telah memberikan dua konstribusi yang sangat berarti bagi pengembangan aktitifitas penerjemahan pada masa Dinasti Abbasyah, kelak.

Pertama, bahwa Dinasti Umayyah telah menunjukkan minat kuat pada warisan intelektual Hellenisme, khususnya ilmu astrologi dan kedokteran. Kedua, bahwa Dinasti Umayyah telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, sekaligus menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa dalam pengembagan ilmu dan agama, termasuk dalam aktifitas dalam penerjemahan.

Kedua, sumbangsih Dinasti Umayyah tersebut sangat berarti dalam “melicinkan” jalan penerjemahan yang akan ditempuh oleh Dinasti Abbasyiah. Tanpa peran Dinasti Umayyah itu, khususnya telah menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa yang dipergunakan oleh negara, maka niscaya penerjemahan pada masa Abbasyiah akan mengalami keterlabatan. Bahkan boleh jadi kita sama sekali tidak pernah menyaksikan maraknya penerjemahan, dan sekaligus urung menjadikan kota Baghdad sebagai pusat marcusuar ilmu dan peradaban manusia.

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh

 

Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)
18. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (2): Dari Yunani – Iskandaria-Syiria-Jundisapur ke Islam

18. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (2): Dari Yunani – Iskandaria-Syiria-Jundisapur ke Islam

Oleh: Alimuddin Hassan Palawa,

Jauh sebelum datangnya agama Islam,  daerah-daerah (kota-kota), seperti Iskandaria (Mesir), Demaskus, Antioka dan Ephesus (Syiria), Harran (Mesopotamia dan Jundisapur) sudah sangat dikenal. Kota-kota tersebut secara berganti-gantian telah menjadi pusat pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme warisan dari Yunani kuno selama berabad-abad. Kota Iskandaria pada abad ketiga SM. merupakan kota pertama penyemaian serta sekaligus menjadi pusat dan marcusuar filsafat dan ilmu pengetahuan warisan Yunani kuno.

Kota Iskandaria atau sering pula disebut dengan ejaan “Aleksandaria” didirikan oleh Iskandar Agung –murid filosuf  “guru pertama”, Aristoteles– dari Macedonia. Nama kota ini diambil dari nama pendirinya, Iskandar Agung (Alexander the Great).  Iskandar Agung tidak saja mengharagai ilmu pengetahuan dan filsafat serta agama-agama berbagai bangsa, malah ia juga menganjurkan para tentaranya untuk kawin dengan wanita-wanita Persia dan India. Berkat jiwa ketebukaannya itu kota yang didirikannya segera menjadi pusat ilmu pengetahuan bagi peradaban umat manusia. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: xxvi).

Dalam kondisi seperti inilah kota Iskandaria menjadi titik pertemuan Hellenisme dengan pengaruh dari Timur dan Mesir kuno. Kota Iskandaria memiliki kekayaan terpenting dan paling berharga, yaitu perpustakaan. Perpusataan ini dipenuhi jenis buku-buku ilmiah dari berbagai disiplin dan cabang ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu. Dalam perpustakaan ini untuk pertama kalinya umat manusia mengumpulkan dengan penuh kesungguhan dan sistematis pengetahuan apapun tentang dunia ini (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: xxvi).

Sementara itu kegiatan keilmuan di kota Iskandaria pada umumnya, dan perpustakaan Iskandaria pada khususnya sangat semarak. Dari kegiatan itu, misalnya, muncul konsep tantang “cosmos”   dalam bahasa Yunani berarti “harmonis”, kebalikan dari “chaos” artinya “kekacauan”. Dan mereka menyebut alam raya ini “cosmos” karena, menurut mereka, alam raya dalam keserasian. Dari kajian tersebut melahirkan sejumlah ilmuan dan ahli  dengan hasil penemuannya masing-masing, seperti diungkapkan oleh Carl Sagan, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid:

“Kemudian Iskandaria tampil banyak ahli ilmu pengetahuan yang lain, seperti Hipparchus yang mencoba membuat peta konstelasi bintang-bintang dan mengukur tingkat cahaya bintang-bintang itu; lalu Euclidus, penemu sebenarnya ilmu ukur atau geometri; kemudian Dionysius, yang meneliti organ-organ suara manusia dan meletakkan teori tentang bahasa; Herophlius, ahli ilmu faal atau fisologi yang menegaskan bahwa organ berpikir manusia bukanlah jantung seperti saat itu diyakini, melainkan otak; Heron, penemu rangkaian roda gigi dan mesin uap kuna, pengarang buku Automata, sebuah buku pertama tentang robot; Apollonius, yang meletakkan teori tentang bentuk-bentuk melengkung seperti elips, parabola dan hiperbola; Archimedes, genius mekanik yang terbesar sebelum Leonardo de Vinci; Ptolemy, seorang yang meskipun teorinya tentang alam raya ternyata salah (geosentris) namun semangat keilmuannya banyak memberi ilham.” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxvi-xxvi).

Kesemarakan pengkajian ilmu pengetahuan di kota Iskandaria pada abad keempat berada dibawah “bayang-bayang kegelapan” karena di kalangan Gereja Kristen sedang melakukan konsolidasi diri dan berusaha untuk mengikis budaya dan pengaruh paganisme. Beberapa ilmuan dicurigai dan diawasai, dan bahkan pada akhirnya, di antara mereka ada yang dibunuh. Salah satu korbannya, misalanya ialah seorang wanita bernama Hypetia yang, tidak saja pintar (ahli matematika dan astronomi) tetapi juga teramat cantiknya, dibunuh dengan sangat sadis dan menyedihkan; lalu dibakar bersama perpustakaan yang dimilikinya pada tahun 415.

Hypetia dilahirkan pada 370 Masehi. Carl Sagan menuturkan, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid, bahwa wanita ini menolak semua lamaran dari lak-laki kerena ia ingin mengabdikan dirinya dan mencurahkan perhatinnya sepenuhnya kepada ilmu pengetahuan. Tetapi cita-cita dan hasrat muliannya itu tidak dapat berlanjut karena pada usia 45 tahun ia dicegat oleh segerombolan kaum fanatik Kristen dalam perjalanan ke perpustakaan. Dia diturunkan dari kereta kudanya, lalu dibunuh dengan cara mengelupasi dagingnya dari tulangnya kemudian dibakar bersama apa yang dia miliki. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxviii).

Tidak lama sesudah itu, perpustakaan Iskandaria yang hebat itu pun juga tidak luput dari sikap picik dan fanatisme agama. Dan atas perintah Uskup Agung Iskandaria, perpustakaan Iskandaria yang hebat itu dibakar habis berserta isinya. Dengan peristiwa itu, menarik sekali menyimak pengandaian Carl  Sagan, berikut ini:

“… kalau saja perpustakaan Iskandaria tidak menjadi korban fanatisme agama, tradisi keilmuannya terus berlanjut, maka barangkali Eistein sudah tampil lima abad yang lalu. Atau mungkin  malah seorang Einstein  tidak (perlu)  pernah ada, sebab perkembangan ilmu pengetahuan  integral dan menyeluruh sudah terjadi. Dan mungkin pada abad dua puluh Masehi ini, sedikit saja orang yang tinggal di bumi  karena sebagian besar  telah menjelajah dan mengoloni bintang-bintang dan telah beranak pinak sampai milyaran jiwa!” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxx).

Awalnya warisan Yunani kuno datang dari Iskandaria –belakangan tidak kondusif lagi– lalu pindah ke Antioka dan dari sana ke Nisbis, Endessa (Ruha) dan Harran yang dibawa oleh orang-orang Nasrani aliran Monophysit dan Nestorian. Aliran Monophysit  ini berpendirian dengan mempercayai  konsep ketuhanan “trinitas”,  Tuhan (Bapak), Yesus (Anak) dan Ruh al-Qudus; dengan kata lain Lahut, Nasut dan Kalimah. Baginya ketiga unsur ketuhanan tersebut  tetap eksis (dan tetap berbeda satu dengan yang lainnya),  meskipun ketiga unsur tersebut menyatu dalam satu wujud, yaitu wujud Yesus. Kepercayan Monophysit ini  merupakan kepercayaan resmi bagi gereja, bahkan hingga dewasa ini. (Lihat, T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, 11-12; Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 125; bandingkan dengan Mohd. Sulaiman Yasin,  Pengantar Filsafat Islam (Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka, 1984), 229-230).

Adapaun aliran Nestorian tidak mengakui konsep ‘trinitas”. Baginya, Yesus adalah manusia yang juga sama dengan rasul-rasul terdahulu. Aliran ini  menekankan kemanusiaan Yesus dan menyatakan bahwa Yesus hanya saluran untuk menyampaikan kekuatan Ilahi, Ruh Kudus kepada umat manusia. Mislanya, aliran ini juga menolak gelar-gelar Maria sebagai “Ibu dari Tuhan”. Karena pendirian semacam itu aliran Nestorian menjadi bulan-bulanan bagi penguasa gerejani. Untuk menjaga keselamatanya mereka terpaksa hijrah kemana-mana. (Lihat, T.J. Fe Boer, The History of Philosophy in Islam, 11-12; lihat juga, Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam the Classical Periode, A.D. 700-1300 (Rawman & Littlefield Publishers, Inc., 1990), 54).

Aliran Nasrani yang disebut terakhir ini sangat berjasa dalam menyebarkan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Mereka sanga berperan dan bearjasa, khusus sebagai penerjemah dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria. Mereka tersebar diberbagai negeri (kota) ke arah Timur hingga Persia. (Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 30-31). Akan tetapi, hingga abad keenam Masehi kota Iskandaria tetap menjadi marcusuar filsafat dan ilmu pengetahuan (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 36).

Penyebaran warisan dari Yunani kuna hingga keberbagai negeri (kota) disebabkan beberapa faktor. Pertama, selama abad pertama kelahirannya, agama  Kristen mendapat perlakuan yang tidak baik dan adil serta tidak diterima oleh penguasa kekaisaran Romawi. Bahkan hingga tiga abad kelahirannya, agama Kristen terlibat dalam perseteruan dengan filsafat Yunani (dengan filosuf pagan) dan kota Iskandaria menjadi pentas pertarungan itu (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, 38).

Atas peristiwa itu, karenanya, secara umum banyak umat Kristen   yang meninggalkan kota Iskandaria. Bahkan umat Kristen aliran Nestorian khususnya juga dikejar-kejar karena pendirian keimanan mereka berbeda dengan paham resmi dianut oleh gereja dan negara. Di samping itu, juga disebab oleh penganiayaan tentara Kristen Byzantium yang menaklukan Iskandaria, sehingga mereka memindahkan sekolah-sekolahnya dari Iskandaria ke Antioka dan kemudian ke Harran, yaitu wilayah sebelah selatan Endessa dan dekat Nisbis. (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: 54-55).

Kedua, faktor lain yang menyebabkan penyebaran filsafat dan ilmu pengetahuan keberbagai negeri (kota), yaitu karena sikap benci kaisar Romawi terhadap warisan dari Yunani kuno tersebut. Puncak dari sikap semacam itu, misalnya ketika kaisar Justianus (tahun 529),  atas nama (pemahaman sempit) agama dan demi pertimbangan ekonomis, menutup musium Athena (pelanjut dari filsafat Athena) yang telah beroperasi selama satu mellenium. Kaisar yang tidak tahu menghargai arti penting filsafat dan ilmu itu, tidak saja  menutup musium itu tetapi juga menghancurkan apa yang terdapat dalamnya.

Sementara itu, ia juga menyatakan bahwa filosof dan ilmuan-ilmuan pagan tidak dibenarkan mengajar di perguruan-perguruan di Athena.  Sebelumnya pun gaji mereka sebagai tenaga pengajar tidak dibayarnya (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, 54-55). Pada urutannya, para filosuf dan ilmuan pagan tersebut diusir dari perguruan-perguruan di Athena. (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 39).

Setelah agama Kristen mengalami kemenagan melawan  paganisme,  kemudian Kaisar Yustianus melarang pengajaran-pengajaran filsafat di Athena. Kaisar juga melakukan tekan-tekanan terhadap filosuf dan ilmuan, sehingga banyak di antara mereka yang lari (diusirari sejumlah filosuf dan ilmuan). Dari sejumlah filosud dan ilmuan yang melarikan diri itu tujuh orang (beraliran Neo-Platonisme) di antaranya lari ke Jundisapur (Persia). Di sana mereka diterima dengan baik oleh Kaisar Anusyirwan, dimuliakan serta ditempatkan  pada kedudukan terhormat.

Belakangan di antara filosuf dan ilmuantersebut ada yang masuk agama Kristen itu,  kemudian menulis buku tentang Neo-Platonisme dengan diberi corak kekristenan, seperti karya Deynesus, mengaku murid Paulus. Dalam bukunya ia menerangkan rahasia-rahasia ketuhanan dan tingkatan alam malaikat. Pada akhirnya, karyanya ini menjadi bagian dari ajaran dasar agama Kristen. Lihat,  T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam: 14; Ahmad Amin, Fajr al-Islam: 129).

Akhirnya para filosuf berpindah ke Byzantium, kemudian ke Mesopotamia utara dan belakangan di Jundisapur. Di kota yang disebut belakangan ini para filosuf dan ilmua pagan bergabung dengan ilmuan-ilmuan Kristen Nestorian. Mereka bersatu dalam alam intelektual bebas yang menghargai kajian-kajian terhadap filsafat dan sains, tanpa mendapatkan halangan–halangan doktrinal. (Charles Michael Stanton,  Higher Learning in Islam, 54-55).

Sementara itu, sebelum kedatangan para filosuf dan ilmuan dari Athena, kota Jundisapur sejak tahun 260 (abad ketiga) mulai menjadi pusat kajian fislafat dan ilmu (khususnya ilmu kedokteran) Yunani.  Kota Yundisapur berasal dari nama pedirinya, yaitu panglima Persia bernana Sabur. Panglima perang Persia ini memimpin perang melawan serbuan tentara dari Romawi pada abad ketiga. Dalam pertempuran dahsyat tersebut tentara Persia di bawah pimpinan panglima Sabur mampu mengalahkan tentara Romawi, dan mereka dijadikan tawanan perang.

Untuk menampung tawanan perang yang jumlahnya jukup banyak tersebut, Panglima Sabur kemudian memindahkan mereka ke sebuah tempat dekat Tustur, sebuah kota  di Arabistan (Iran). Tempat itu kemudian dinamainya Jundisapur, artinya “pemusatan pasukan Sabur”. Dan dalam tawanan tersebut banyak terdapat ilmuan dari berbagai disiplin keilmuan yang belakangan mengembangkan kota Jundiasapur sebagai pusat ilmu. (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam:  39).

Kondisi ke arah pengembangan Jundisapur kota peradaban ditopang oleh banyaknya serjana-serjana (arsitektur dan kedokteran) yang turut menjadi  tawanan perang. Kemudian lambat laun Jundisapur menjadi kota metropolis, pusat sains  yang dipelajari dalam bahasa Yunani dan Sangsekerta, dan kemudian dalam bahasa Syiria. Dalam kota Jundisapur didirikan perguruan-perguruan menurut model perguruan di Iskandaria dan Antioka. Dan di perguruan ini diajarkan ilmu kedoteran, metematika, astronomi dan logika.

Kebanyakan teks pelajaran  dari bahasa Yunani itu diterjemahkan dalam bahasa Syiria. Di samping itu, dimasukkan juga unsur-unsur sains dari India dan Persia sendiri. Perguruan-perguruan ini berlanjut sampai jauh setelah dinasti Abbasyiah berdiri. Pada saatnya, perguruan-perguruan itu merupakan lembaga dan sumber penting filsafat dan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam, khususnya kota Baghdad. (Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 31).

Prihal hubungan antara kota Baghdad dan kota Jundisapur, Majid Fakhri menyatakan: “Kala itu, perguruan Jundisapur dengan fakultas kedokteran, akademi dan observatoriumnya mencapai puncak ketenarannya dan tetap berkembang dengan subur di saat kota Baghdad didirikan oleh khalifah Abbasyiah pada tahun 727. Mengingat Jundispur berdekatan dengan kota Baghdad maka hubungan secara politis dengan khalifah Abbasyiah sangat dekat. Akibatnya, dari perguruan inilah perkembangan ilmiah dan intelektual merambah ke seluruh kekuasaan Muslim. Sejak dini dalam pemerintahan Islam, Jundisapur telah menyumbang kepada khalifah di Baghdad sejumlah dokter-dokter istana, misalnya sejumlah Nestorian, seperti keluarga Bakhtisyu’ yang masyhur, mengabdi kepada khalifah dengan setia selama lebih dua abad. (Lihat, Majid Fakhri,  A History of Islamic Philosophy: 15).

Perlu dipertegas bahwa dalam “pengembaraan” filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kuna dari Iskandaria hingga ke Jundisapur, peranan serjana-sejarna Kristen (khususnya orang-orang Nestorian) tidak bisa dipandang remeh. Begitu pula, peran dan kedudukan orang-orang Syiria beserta bahasanya sangat signifikan. Orang-orang Kristen Nestorian dan orang-orang Syiriah telah berperan sebagai “hamzah washal” (penghubung) bagi transmisi dan peralihan filsafat Hellenisme  ke dunia Islam.

Meskipun demikan, figur-figur  era ini “hanya” berperan sebagai “hamza washal”, lantaran mereka semata-mata berperan sebagai penerjemah. Sebab sedikit sekali di antara mereka yang itu terlibat dalam melakukan pembaharuan terhadap pemikiran Hellenisme-Yunani kuno tersebut. Kalaupun mereka melakukan pembaharuan pemikiran, hanya pada masalah-masalah yang tidak sesuai dengan sistem keimanan mereka (khususnya ajaran Kristen), sehingga ia berusaha untuk mengalihkan Plato, misalnya, menjadi seorang pendeta Timur.

Penekanan arti  peran dan kedudukan penting orang-orang Syiria-Nostorian  “sebagai “hamza washal”, karena agaknya, tanpa peran mereka tersebut hampir dapat dipastikan bahwa sarjana Islam akan banyak kehilangan warisan dari Filsafat Hellenisme-Yunani. Upaya penerjemahan dilakukan sarjana Kristen dan orang-orang Syiria dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria itu sangat penting dan berarti pada masa itu. Upaya penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Syiriah sangat mempermudah penerjemahan baik dari bahasa Yunani langsung, terutama dari bahasa Syiria ke bahasa Arab yang akan dilakukan pada masa pemerintahan Bani Abbsyiah Islam, khususnya pada masa pemerintahan al-Ma’mun dengan lembaga Bayt al-Hikmah. (Lihat, Ahmad Amin: Fajr al-Islam, 173).

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb,

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)

TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (1): Sikap Sahabat dan Era Awal Mutakallimin

TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (1): Sikap Sahabat dan Era Awal Mutakallimin

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

Pada awal perkembangan  Islam, lewat bimbingan langsung dari Rasul Allah Muhammad saw di Madinah, umat Islam  (generasi sahabat) terpesona oleh kesucian al-Qur’an dan sabda Rasul Allah. Sahabat terpokus mengabdian diri mereka dalam mengambil pelajaran semata-semata pada kandungan al-Qur’an dan prilaku-perkataan Rasul Allah. Pendek kata, para sahabat benar-benar menjadikan Rasul Allah sebagai sumber dan teladan kebenaran (nilai logis), kebaikan (nilai etis), dan sumber kehidahan (nilai estetis) dalam kehidupan di dunia dan orientasi kehidupan akhirat.

Belakangan, konsekuensi dari kecenderungan seperti itu melahirkan ilmu-ilmu bidang sirah (Nabawi), Hadis, Tafsir dan fiqh serta cabang-cabang ilmu bahasa, misalnya tata-bahasa dan retorika. Ilmu-ilmu ini yang, sama sekali berbeda dengan ilmu filsafat-rasionl, dimaksudkan sebagai alat untuk memahami al-Qur’an dan Hadis. Sikap ganerasi Islam semacam itu dapat dimengerti karena orang-orang Arab (di Jazirah Arabiah) tidak memiliki tradisi keilmuan dan filsafat Hellenisme. 

Sebelum era kelahiran Islam, orang-orang Arab tidak mengenal pemikiran Hellenisme karena mereka tidak menaruh perhatian pada ilmu dan filsafat serta peradaban yang datang dari negeri-negeri tetangga, seperti dibawa oleh orang Mesir kuna, Persia, India dan Yunani kuna. Menurut Fuad al-Ahwani, bagaimana mungkin orang-orang Arab mengenal pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan, jika kenyataannya mereka  tidak menaruh perhatian sama sekali pada syarat utama diperlukan untuk mengenal ilmu dan  peradaban  walau hanya secara teoritis, yaitu mencatat dan menulis buku untuk mengabadikan kemajuan pemikiran yang mereka terima dari satu generasi ke genarasi berikutnya sebagai pusaka pemikiran. (Lihat, Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, 1995: 1-2).

Selain itu, orang-orang Arab sangat terkenal akan kecerdasan dan kekuatan daya hafal, sehingga mereka tidak memiliki tradisi tulis-menulis. Bagi mereka adalah kenaifan dan kehinaan kalau mereka menyatakan pemikirannya lewat tulisan; dan merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan kalau mereka menyatakan lewat lisannya. Ilmu dan pengatauan, menurut mereka, letaknya ada dalam dada, dan bukan pada tulisan (al-‘ilm fi al-sudûr wa la fi al-sutûr). Untuk itu, kalau ada orang Arab yang kedapatan sedang menulis, maka ia akan mewanti-wanti orang yang melihatnnya untuk tidak memberitahukan halanya itu kepada orang lain.

Walau demikian, ini tidak berarti bahwa di kalangan orang-orang Arab kegiatan mencari ilmu-ilmu “duniawi” [dengan terpaksa menggunakan term ini] tidak berjalan sama sekali. Karenanya, teori lama yang menyatakan bahwa “orang-orang Muslim awal adalah musuh bagi ilmu pengetahuan dan sains, dan bahwa mereka hanya mau menerima ilmu pengatahuan yang berasal dari Qur’an dan Hadis” adalah salah, dan pendapat yang tidak memiliki landasan sejarah. (Lihat, Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam: 2003, 17).

Kenyataan sejarah menunjukah sebaliknya bahwa pada masa-masa awal Islam, kendatipun hanya di kalangan  sangat terbatas, ada juga di antara mereka pergi ke luar daerah untuk menuntut ilmu. Harits bin Kaladah (w. 634)  dari Thaif, menurut Philip K. Hitti, adalah orang pertama yang didik secara ilmiah dan menempati urutan teratas dari daftar dokter-dokter Arab pada abad pertama Islam. Ia belajar ilmu kedokteran pada salah satu perguruan di Jundisapur, Persia. Dan belakangania memperoleh gelar kehormatan sebagai “dokter orang Arab.” (Lihat, Philip K. Hitti,  History of the Arab, London: Macmillan Press, 1970).

Contoh lain dari hubungan orang-orang Arab dengan dunia luar dalam bidang ilmu pengetahuan, misalnya, dilakukan oleh Nazdr Ibn Harist Ibn Kaladah. Ia, anak saudara ibu Rasul Allah saw., pernah merantau seperti ayahnya, ia bergaul dengan golongan cerdik-pandai  dan pendeta-pendeta agama Kristen serta ia berhasil mendapatkan ilmu-ilmu kuna sangat berharga.  Ia mempelajari filsafat, kata-kata hikmah, dan ia juga mengambil ilmu kedokteran dari ayahnya. Dikatakan bahwa al-Nazdr adalah penyokong perlawanan  yang dilakukan oleh Abu Sufyan terhadap Rasul Allah saw.  Ia beranggapan, dengan arogansinya, bahwa ilmu serta keahlian dapat mengalahkan keRasul Allahan. (Lihat, Ahmad Amin, Fajr al-Islam:  1975: 133).

Perihal profesi Harith bin Kaladah sebagai dokter direkam dalam hadis Rasul Allah saw. bahwa ada suatu riwayat berasal dari Said bin Abi Waqqas menyatakan ketika ia menderita sakit, Rasul Allah menjeguknya. Saat itu Rasul Allah bersabda, “Datanglah kepada Harist bin Kaladah karena ia tahu soal kedokteran.”Meskipun begitu, ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran, menurut Fuad al-Ahwani, belum dapat dianggap memadai karena ia belum menguasi ilmu kedokteran secara ilmiah. (Lihat, Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 35).

Akan tetapi, orang Arab sezaman dengan Rasul Allah saw. sebagaian besar masih skeptis terhadap ilmu kedokteran asing itu. Orang-orang Arab, khususnya sahabat Rasul Allah saw., masih lebih yakin terhadap ucapan Rasul Allah saw. mengenai kedokteran, misalnya soal hegiene, diet dan sebagaimnya. Mereka menuruti dan menaati ucapan Rasul Allah saw. dengan sepenuh hati; dan ini sekaligus merupakan ciri utama generasi  Muslim awal. (Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 192).

Selaras dengan itu, meskipun generasi Islam awal begitu terpesona kepada kitab suci dan figur Rasul Allah saw., tetapi ini tidak menutup kemungkinan bahwa pada masa itu terdapat juga pencarian ilmu pengetahuan “duniawi”. Ada penuturan, misalanya, bahwa pada masa Rasul Allah saw. diutus beberapa sahabat untuk belajar ilmu kedokteran di perguruan Jundisapur, Persia. Kebenaran ini sangatlah logis, mengingat anjuran Rasul Allah saw., “uthlub al-‘ilma wa law bi al-sîn”(tuntutlah ilmu walaupun [sampai] ke negeri Cina).

Hadis Rasul Allah tentang menuntut ilmu menandaskan bahwa jangankan ke Persia relatif lebih dekat jarakanya dari jazirah Arab, bahkan “wa law” (walaupun) sampai ke negeri Cina yang begitu jauh di belahan timur. Bukan itu saja, Rasul Allah juga memerintahkan beberapa sahabat untuk mempelajari bahasa Ibrani (Hebraw). (Nurcholish Madjid,  Islam Agama Kemanusian (Jakarta: Paramadina, 1995), 51-52).

Akan tetapi, perintah Rasul Allah saw. ini hanya berlaku secara “eksklusif” di kalangan sahabat, sehingga tidak memperlihatkan resonansi yang signifikan. Di samping itu, kegiatan semacam ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya,  “tenggelam” di dalam keseriusan sahabat Rasul Allah saw. untuk menekuni ilmu bersumber pada wahyu-wahyu Ilahi dan sunnah-sunnah langsung di sisi Rasul Allah saw. tercinta. Atau jangan-jangan hadis-hadis Rasul Allah untuk menekuni ilmu rasional-spekulatif (“duniawi”) sengaja dihilangkan sewaktu dilakukan kodifikasi Hadis.

Kemudian, setelah generasi Islam pertama (sahabat), umat Islam sudah tidak lagi terkonsentrasi di kota Madinah, tetapi sudah tersebar diberbagai daerah, seperti di Mesir, Syiria, Irak dan Persia. Di daerah-daerah ini, khususnya di Syiria, jauh sebelum datangnya Islam terdapat tradisi intelektual yang canggih dan merupakan kantong-kantong pemikiran Hellenisme. Di sana umat Islam dengan sendirinya terpaksa melakukan interaksi intelektual dengan penduduk tempatan, termasuk dengan orang-orang Nasrani Nestoria yang dikenal terpelajar. Dari interaksi tersebut tidak jarang doktrin dan pemikiran, seperti ide-ide qadariyah, masuk ke Islam dari latar belakang Hellenisme Kristen. (Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam Study Tentang Fundamentalisme Islam, 2000: 61)

Lebih dari itu, dalam melakukan interaksi sosial-intelektual umat Islam acapkali berbenturan dengan persoalan-persoalan yang, secara harfiah, tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan tidak didapatkan dalam Hadis Rasul Allah saw. Kondisi seperti ini memaksa sebagai umat Islam terpelajar (ulama) untuk meresponinya dengan menggunakan analogi (qiyas) dan pemikiran secara independen (rayu) bahkan kalau diperlukan dengan interpretasi allegoris (ta’wil). (Lihat, Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 3).

Artinya pendekatan tekstual terhadap kitab suci (begitu juga dengan Hadis Rasul Allah saw.) sudah mulai tidak relevan. Karenanya, harus diganti dengan pendekatan kontekstual, dan bahkan dengan penafsiran secara tamsil al-‘ibarah (perempuan dengan menyeberangi makna harfiahnya). Majid Fakhri memaparkan bahwa pendekatan yang sempit atas persoalan-persoalan yang muncul dari kajian-kajian ayat-ayat al-Qur’an, ternyata tidak dapat bertahan lama terhadap tekanan-tekanan waktu. Pertama, pertentangan dini yang tak terelekkan antara Islam dengan paganisme dan Kristen baik yang ada di Demaskus ataupun di Baghdad serta ketegangan-ketegangan yang ditimbulkannya.

Kedua, terdapatnya persoalan-persoalan moral dan hukum yang disebabkan oleh gambaran-gambaran yang tidak jelas menyangkut kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas di dunia ini, sebagaimana dipaparkan dalam al-Qur’an dan hubungannya dengan pertanggungjawaban manusia.

Dan akhirnya, terdapat kebutuhan sangat mendesak guna melindungi apa yang disebut kesatuan pandangan hidup umat Islam. Guna memenuhi kebutuhn ini tidak dapat dibangun tanpa upaya-upaya sistematis dan penyelesaian keterangan wahyu (al-Qur’an dan hadis) yang saling bertentangan dalam keharmonisan maknawi. (Majid Fakhri, A History of Islamic Philosophy: 4-5).

Pergumulan terhadap persoalan-persoalan krusial tersebut, lagi-lagi menurut Majid Fakhri, menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan teologi dalam Islam.Boleh jadi Majid Fakhri betul  bahwa persoalan-persoalan krusial  disebut di atas telah menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan teologi Islam pada era selanjutnya.  Perbincangan diseputar masalah-masalah krusial itu, setidak-tidaknya, menurut Ameer Ali, telah muncul pada era seorang sarjana Islam liberal dan rasional, yaitu  Ja’far al-Shâdik [seorang yang sangat terpelajar dan keturunan langsung dari Rasul Allah Muhammad saw].

Ja’far al-Shâdik disebut-sebut merupakan kepala keturunan Rasul Allah, Muhammad saw. Ia adalah seorang yang sangat terpelajar dengan kecenderungan rasionalis dan liberal. Ia juga seorang penyair, filosuf, dan rupa-rupanya ia menguasa beberapa bahasa asing. Karenanya, ia acap kali berhubungan dengan sarjana dan budayawan dari kalangan agama Kristen, Yahudi dan Zoroaster; dan dengan mereka ia sering melakukan dialog-dialog dan bertukar pikiran. Ja’far al-Shadik merupaan bapak rasionalisme dalam Islam di mana Abu Hanifah dan Imam Malik pernah berguru. Sehingga dari kedua muridnya ini sangat terlihat sekali pengaruh dan unsur  rasionalitasnya dalam membangun sistem hukum yang mereka kembangkan, terutama sekali tampak pada diri Abu Hanifah. (Lihat, Ameer Ali, The Spirit of Islam: 411).

Berikutnya sikap keterpelajaran ini dilanjutkan Hasan Basrimerupakansalah seorang guru besar yang paling terkenal di masanya, dan termasuk golongan yang anti paham predistinasi. Ia adalah seorang kelahiran Madinah, dan  ketika ia remaja, menurut Ameer Ali, ia benar-benar pernah duduk bersama dengan keluarga dan keturunan Rasul Allah dan menghirup pemikiran rasional dn bebas dari mereka. Belakangan ketika tinggal di Basrah, ia membuka halaqah-halaqah yang segera dikerumuni oleh peserta didik, termasuk dari Irak.  Dan di antara muridnya yang terkenal adalah Abu Huzaifah Washil bin Atha’.Belakangan,Washil bin Atha’ itu sendiri adalah pencetus dan pendiri aliran rasionalisme secara formal, Mu’tazilah. ((Ameer Ali, The Spirit of Islam, 414). Dan menurut Nasr, aliran ini merupakan teologi sistematis pertama dalam sejarah pemikiran teologi Islam. (Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Muslim: Teologi, Filsafat dan Gnosis: 1996),42)

Dorongan kuat untuk berpikir sistematis tentang dogma-dogma agama, menurut Rahman, menuntut aliran teologi Mu’tazilah melakukan rasionalisasi semakin lama semakin intens. (Lihat, Fazlur Rahman, Islam  (Chicago and London University of Chicago Press, 2002: 88).Guna mengembangkan rasionalisasi dalam Islam, aliran ini banyak dipengaruhi dan dengan mengambil metode filsafat Yunani yang rasional dan liberal. Ada dua alasan yang, menurut Abu Zahra, mendorong orang Mu’tazilah untuk mempelajari filsafat.

Pertama, mereka menemukan dalam filsafat Yunani keserasian dan kecenderungan pikiran mereka. Dengan mengambil  metode berpikir seperti itu membuat mereka menjadi lancar dan kuat dalam berargumentasi.

Kedua, mereka mempelajari metode berpikir filsafat untuk menyanggah  dan menolak  pihak-pihak lain berusaha meruntuhkan dasar-dasar ajaran Islam dengan argumentasi logis dan rasional. (Lihat, Muhammad Abu Zahra, Aliran Poitik dan Aqidah dalam Islam, 1996:  156).

Namun, masuknya filsafat Yunani dalam sistem pemikiran kalam, menurut Nurcholish Madjid,  sangat disayangkan. Ilmu Kalam dibandingkan dengan filsafat, lagi-lagi menurut Nurcholish madjid, jauh lebih orisinil, dan dianggap bentuk paling referesentatif pemikiran spekulatif Islam. Akan tetapi, kecenderungan meminjam dan menggunakan metode-metode filasfat Yunani untuk mengembangkan argumen-argumennya itu telah menjadi sumber pencemarannya, sehingga sejak tahap awal penggunaan Ilmu Kalam oleh kaum Mu’tazilah ini ditentang oleh para ulama. Bahkan meskipun Ilmu kalam Asy’ariyah kini diterima secara  taken for granted akan keabsahannya, tetapi ia harus menunggu dua abad lamanya  hingga datangnya al-Ghazali. Dan selama itu, Asy’ariyah juga menjadi sasaran polemik dan kontroversi. (Lihat, Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, 1997:  113).

Pada gilirannya, dalam merespon persoalan-pesoalan  di atas meniscayakan argumen-argumen lebih bernas, yang sepertinya, musykil untuk dirahi tanpa menggunakan argumen-argumen filosofis dan dukungan logika Yunani. Karenanya, perbincangan teologis itu memaksa dan mendorong mutakallimin Mu’tazilah dan sebagian orang Islam terpelajar untuk melakukan interaksi intelektual dengan dunia pemikiran Hellenisme, terutama dengan orang-orang Kristen Nestorian yang berdiam di Iskandaria (Mesir), Demaskus, Antioka dan Ephesus (Syiria), Harran (Mesopotamia dan Jundisapur).  Pada saatnya nanti, ditempat itulah lahir dorongan pertama kegiatan penelitian dan penerjemahan karya filsafat dan ilmu Yunani kuna.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa,
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)
UIN Suska Riau.

ḤASD (DENGKI):  Susah Melihat Orang Senang; Senang Melihat Orang Susah

ḤASD (DENGKI): Susah Melihat Orang Senang; Senang Melihat Orang Susah

Oleh Alimuddin Hassan

Raja Ali Haji sendiri memberikan arti asd menjadi dengki dengan pengertian, yaitu: “suka seorang akan hilang nikmat yang lainya, sama ada pada nikmat dunia atau nikmat agama.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 54). Di dalam al-Qur’an ditemukan pengertian asd (dengki) dengan sangat jelas: “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya.” (Q.S. Āli Imrān [3]: 120).

Kalau sekiranya sifat dengki yang bersemayam dalam hati itu mampu diredam dengan segala daya upaya, sehingga tidak sempat diaktulisasikan, tentu tidak akan menimbulkan mudarat kepada orang lain. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa telah berkata seorang pria kepada Hasan Basri, “apakah seeorang mukmin itu bisa mendengki?” Ia berkata, “Apakah kamu ingat pada anak-anak Ya‘qub (kisah Nabi Yusuf as)?” Ia menjawab, “Ya”. Hasan Basri berkata, “Ada kesusahan (kedengkian) di dadamu. Namun itu tidak akan membahayakanmu, selama kamu tidak mengeluarkannya melalui tangan dan lidah.” Lihat, Muslih Muhammad, Kecerdasan Emosi Menurut al-Qur’an [terj. Emiel Threeska] (Jakarta: Zaituna, 2010), 130.

Meskipun demikian, dengki semacam ini belum/tidak bisa  dikategorika sebagai dengki yang “postif”. Yang dimaksud “dengki positif” adalah “dengki” pada  seseorang yang senantiasa berbuat baik dan berupaya untuk menandingi kebaikan orang bersangutan.  Dalam konteks ini, sebagaimana sabda Nabi saw., hanya dua dengki yang dapat dibenarkan, sebagaimana sabda Nabi saw.: “Jika dengki (iri hati) bisa dibenarkan, maka hanya ada dua orang yang boleh  menjadi obyek paling tepat bagi kedengkian. Pertama, kepada orang seseorang yang diberi rezki oleh Allah dan dianugrahi kekuatan untuk senantiasa mengeluarkannya buat keadilan. Kedua, kepada orang yang diberi ilmu pengetahuan oleh Allah dan beramal sesuai dengan ilmunya, dan terus memberikan (mengajarkan) ilmunya kepada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim, berdasarkan keterangan Ibn Mas‘ud).

Akan tetapi, kalau sifat dengki tersebut dinyatakan lewat perkataan dan perbuatan, maka intelektual Melayu-Riau ini menyebutkannya, “bernama dengki yang jahat lagi dosa besar.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 54). Dengki yang disebut belakangan tidak bisa ditolerir, sehingga Raja Ali Haji menambahkan dengan kalimat yang tegas, “Inilah orang yang celaka bedebah, yang didapatkan juga balas kejahatan itu di dunia, di dalam akhirat.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 54).

Dengki termasuk dosa besar ketiga yang mula-mula dilakukan oleh makhluk Allah. Pertama, kesombongan yang dilakukan oleh Iblis yang tidak mau sujud kepada Adam, sehingga menyebabkannya menjadi makhluk Allah yang (paling) terkutuk. Kedua, kerakusan Adam (dan hawa) yang, meskipun telah dilarang Allah, memakan buah pohon “terlarang”, sehingga menyebabkannya terusir dari surga dan/ terbuang di bumi. Ketiga, kedengkian Qabil kepada Habil, sehingga Qabil membunuh saudaranya itu. Dengki yang disebut belakangan tidak bisa ditolerir, sehingga Raja Ali Haji menambahkan dengan kalimat yang tegas, “Inilah orang yang celaka bedebah, yang didapatkan juga balas kejahatan itu di dunia, di dalam akhirat.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 54.

Sifat dan perbuatan dengki mempunyai akibat tidak saja pada diri orang yang bersangkutan, tetapi lebih-lebih pada orang lain, seperti ungkapan Raja Ali Haji sendiri, “dengki itu membawa kebinasaan dirinya, hingga sampai membinasakan orang yang lainnya. Na‘uzu bi Allah.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 55). Untuk diri orang bersangkutan, apabila sifat dengki sudah mengkristal maka akan mengakibatkan sejumlah keburukan dan kehinaan pada dirinya. Dalam Gurindam Duabelas Raja Ali Haji bertutur:

Apabila dengki sudah tertanah

Datanglah daripadanya beberapa anak panah.

Ada beberapa “anak panah” sebagai akibat dan bahaya yang akan ditimpakan kepada orang-orang dengki. Pertama, orang dengki akan dimusnahkan amal ibadahnya di akhirat kelak. Artinya, pahala amal ibadah si-pendengki di dunia ini habis “dimakan” oleh kedengkiannya dengan sangat mudah, laksana api memakin kayu bakar yang kering. Rasulullah saw. bersabda: “iyyākum wa al-asad inna al-asad yakul al-asanah kamā takul al-nār al-khaab.”(Jauhilah olehmu semua kedengkian, karena kedengkian itu memakan segala kebaikan sebagaimana api makan kayu bakar yang kering). [HR. Abu Daud]).

Kedua, orang dengki akan senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan tercela, kemungkaran dan kemaksiatan, seperti berbohong, mengumpat, mencaci-maki, berseteru dengan orang lain, dan bahkan sampai saling membunuh.

Ketiga, orang dengki, menurut Raja Ali Haji, tidak akan mendapat shafa’at dari Nabi Muhammadsaw. di akhirat. Karena orang pendenki bukan bagian dari ummat Nabi Muhammad saw., sebagaimna sabdanya:  “man asada laysa minnā ” (orang yang dengki itu bukan daripada aku).

Keempat, orang dengki itu, langsung atau tidak langsung, telah berburuk sangka, menyalahkan dan marah kepada Allah atas anugerahkan nikmat yang diberikan kepada orang lain. Dengan sendirinya dapat dipastikan bahwa orang dengki semacam tidak akan pernah persyukur pada Allah dan sekaligus ingkar (kufur) atas nikmat yang diberikan Allah. Oleh karena itu, menurut Raja Ali Haji, orang dengki tersebut akan dimasukkan ke dalam neraka di akhirat kelak.

Kelima, orang dengki akan membawa mudarat kepada orang yang didengkinya, seperti melancarkan fitnah. Untuk itu, Rasulullah berlindung kepada orang pendeki, sebagaimana berlindung kepada syaithan. Dalam al-Qur’an ada perintah kepada Muhammad saw. agar memohon perlindungan kepada Allah yang menguasai cuaca pagi/subuh (rabb al-falāk) dari kejahatan seorang pendengki apabila mendengki (wa min sharri ḥāsd ithā asd . Q.s. al-Falak [113]: 5).

Keenam, orang dengki senantiasa hatinya merasa menderita dan berduka cita melihat orang didengkinya semakin sukses, dan senantiasa berharap dan berusaha sekuat mungkin agar orang yang didengkinya itu gagal  dan menderita. Dengki semacam ini adalah pangkal kesengsaraan orang bersangkutan. Semakin yang didengkinya itu tampak “bahagia” [kata bahagia ini beri tanda petik karena sejatinya yang orang didengkinya itu benar-benar bahagia] maka ia semakin menderita. Orang pendengki dengan sendirinya akan selalu gelisah dan tidak bahagia, karena ia selalu dihantui perasaan takut dikalahkan oleh orang lain.

Ketujuh,  orang dengki itu akan dibutakan mata hatinya oleh Allah, sehingga dia tidak kebenaran dan kebaikan serta tidak mampu lagi melihat kebmengerti akan hukum-hukum Allah. Menyebab itu semua, menueur Raja Ali Haji, lantaran hatinya selalu digerogoti sikap dengki kepada orang lain.

Delapan, orang dengki itu dibenci Allah, sehingga Allah tidak akan ditolong mereka dalam menjatuhkan/membinasakan musuh-musuhnya. Apa lagi, orang yang didengkinya itu terkadang dizaliminya, sehingga Allah berpihak dan mengasihi hamba-hamba-Nya yang dizalami itu. Akhirnya, Raja Ali Haji menyatakan bahwa penguasa dan pembesaran kerajaan harus mencermati akibat dan bahaya yang akan ditimbulkan oleh sifat dengki dengan mengacu pada al-Qur’an dan Hadith serta karya-karya ulama belakangan (mutakhkhirīn) dan ulama terdahulu (mutaqaddimīn). (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 54-56).

asd (dengki) merupakan salah satu sifat negatif yang bersemayam dalam hati. Karena hati secara individual adalah “raja” yang ada dalam anggota tubuh manusia, maka hati harus disucikan dari sifat hasad. Begitu pula, karena “raja” secara sosiologis adalah “hati” yang ada dalam anggota masyarakat, maka sifat hasad tersebut harus dihilangkan dari seorang raja. Untuk itu, dengki adalah termasuk sifat paling tercela dan “najis”. Raja Ali Haji menyatakan bahwa sifat dengki harus ditinggalkan penguasa dan pembesar karena kalau tidak bisa menyebabkan kebinasaan bagi kerajaan dan masyarakat.

“Seyogyanya hendaklah raja-raja dan segala orang besar-besar menjahukan penyakit najis berdengki-dengkian itu karena apabila banyaklah dan zahirlah di dalam suatu negeri akan ahlinya banyak berdengki-dengkian alamat negeri itu akan binasa jua akhirnya. Apalagi orang besarnya berdengki-dengkian mangkin segeralah binasanya. Maka hendaklah raja itu baik-baik benar siasat kepada kaum kerabatanya dan kepada menterinya hulubalangnya yang berdengki-dengkian itu.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 58-59).

Seorang penguasa (raja) seyogyanya cepat tanggap dalam menyelesaikan pertikaian akibat dari sikap dan prilaku dengki di kalangan pembesar kerajaan. Akan tetapi, setelah diambil langkah-langkah “bijak”  [baca: dipujuk dan disuluhkan] ternyata pembesar kerajaan tetap tidak juga berubah, maka penguasa (raja) harus mengambil langkah dan sikap tegas, yaitu “maka dilepaskanlah ia daripada jabatannya atau dienyahkan daripada negeri…”

Sekiranya penguasa (raja) tidak mengambil langkah-langkah pencegahan tertentu, maka sikap dengki di kalangan pembesar kerajaan dapat saja memicu dan menular kepada masyarakat. Akibatnya, penguasa sendiri yang menjadi susah dalam menyelesaikan pengaduan di kalangan masyarakat yang bertikai. Konsekwensi selanjutnya, kalau pertikaian itu tersebut tidak ditangani dengan baik, menurut Raja Ali Haji, akan dapat memicu terjadinya kegaduhan, yaitu “berpukul-pukulan dan berbunuh-bunuhan” yang dapat mengancam keselamatan negeri, “… inilah kebinasaan dan  kerusakan apabila banyak isi negeri itu berdengki-dengkian.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 58-59).

Ungkapan-ungkapan Raja Ali Haji di atas dapat diduga kuat terilhami dari sabda-sabda Nabi saw, seperti sabda Rasul Allah: Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasul Allah saw. bersabda: “Akan menimpa umatku racun umat-umat lain.” Para sahabat bertanya, “Apa itu racun umat-umat lain?”. Rasul Allah saw. bersabda: “Bersenang-senang tanpa batas, sombong, memperbanyak harta, berlomba hidup duniawi, saling menjauh, saling dengki, hingga terjadi pembangkangan, kemudian kekacauan.” (HR. Tabrani). Dalam Riwayat lain, Rasul Allah bersabda: “Yang paling kutakutkan pada umatku adalah memperbanyak harta. Lalu mereka saling mendengki dan saling membunuh.” (HR. Al-Hakim).

Untuk mengobati penyakit dengki, menurut Raja Ali Haji, secara umum  ada dua: ilmu dan amal. Dengan ilmu kita akan mengetahui bahaya dan akibat yang ditimbulkan oleh sifat dengki, sebagiamana disebutkan di atas. Dengan amal kita hendaknya jangan sampai mengejawantahkan sifat dengki itu dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Selanjutnya, Raja Ali Haji mengutarakan agak terperinci bagaimana cara mengobati sifat dengki yang telah bersemayan dalam hati:

“Syahdan jika datang dengki itu hendak mencacatkan atau mencederakan dia, tukarkan dan keluarkan dengan lidah membaiki dan memuji orang yang didengkinya itu. Dan jika datang dengki kita hendak takabur atasnya, tukarkan dengan kita rendahkan diri kepadanya. Dan jika datang dengki kita itu hendak menjatuhkan orang yang didengkikan itu, cari akal dan helah supaya bertambah-tambah baiknya, yakni baik kepada pangkat dan derajat. Dan jika datang dengki kita hendak menaham nikmat kepada orang yang didengkikan itu, gagahkan nafsu kita  dengan menyampaikan nikmatnya. Dan jika datang dengki kita itu hendak mendengkikan dia dengan kejahatan, maka tukarkan dengan mendoakan dia dengan kebaikan.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 58).

Kutipan di atas jelas memperlihatkan kepiawaian Raja Ali Haji dalam merumuskan tindakan-tindakan yang harus dilakukan agar kendengkian kita itu tidak menimpa orang lain. Berdasarkan kutipan itu, kedengkian beserta implikasinya dapat dihindarkan dengan beberapa cara. Pertama, kalau ingin menghina atau mencederai seseorang, maka bicaralah yang baik-baik dan memberikan pujian kepadanya. Kedua, kalau ingin bersifat sombong kepada orang lain, maka bersikap rendah hati (tawaḍḍu’) kepadanya. Ketiga, kalau ingin menjatuhkan seseorang, maka pikirkan kebaikan dan kedudukannya. Keempat, kalau ingin menahan nikmat seseorang, maka kalahkan hawa nafsu serakah. Kelima, kalau ingin melakukan kejahatan terhadap seseorang,  maka ganti dengan mendoakan kebaikan baginya.

Raja Ali Haji menambahkan bahwa usaha mengobati sifat dengki itu sangatlah sulit, dan bahkan mustahil tanpa memohon pertolongan Allah. Raja Ali Haji menyatakan karena “penyakit dengki itu penyakit pusaka daripada iblis laknatullah tatakala Allah Ta’ala mula-mula hendak menjadikan datuk kita nabi Allah Adam ‘alahi al-salam, seperti yang tersebut di dalam Qur’an al-‘Aẓim.” (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 58).

Prihal ini, al-Ghazali, guru intelektual dan mursyid spritual “tidak langsung” Raja Ali Haji, menyatakan bahwa “Tidak ada penyakit manusia yang tidak dapat disembuhkan, kecuali penyakit ḥasūd (iri hati) ini.” Guna mempertegas pernyataannya ini, al-Ghazali mengutip sebuah syair dari Imam al-Shafi‘i: “Kullu al-‘adāwatuh qad tarjī salāmatahā illa ‘adāwata min ‘ādāka ‘an asad”. (Semua permusuhan bisa diselesaikan. Kecuali permusuhan orang yang menyimpan rasa rasa dengki). (Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan, Bandung: Mizan, 2011: 99). Bagaimana mungkin penyakit hasad (dengaki) akan disembuhkan kalau seseorang sudah terjangkit perasaan senang melihat orang lain susah, dan sebaliknya susah melihat orang lain senang. Dalam dua arah hatinya selalu tercengkrama kedengkian yang mengatarkan mereka dalam ketidakbahagiaan.

Wa Allāh alam bi al-Ṣawāb,
tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)
UIN Suska Riau.

ISLAH DAN TAJDID:  Umat Islam Dihadapkan pada Modernitas Barat

ISLAH DAN TAJDID: Umat Islam Dihadapkan pada Modernitas Barat

Oleh: Alimuddin Hassan Palawa,

Pada galibnya, lahirnya kesadaran ilāḥ (reformasi [perubahan kearah perbaikan])  dan munculnya semangat tajdīd  (pembaharuan)  dalam Islam dipicu setelah lahirnya modernism di Dunia Barat. Menurut Nurcholish Madjid, ada dua peristiwa yang sangat menentukan menandai dimulaianya Abad Modern yang terjadi pada sekitar pertengahan abad ke-18.

Pertama, Revolusi Industri yang ditandai dengan kecanggihan “teknikalisme” dengan tuntutan efesiensi kerja yang tinggi diterapkan dalam semua bidang kehidupan. Kedua, Revolusi Perancis yang ditandai dengan pembebasan “kemanusiaan” atas tatanan sosial budaya dan politik yang sudah dipandang “usang” dan “membusuk”. Nurcholish Madjid menambahkan bahwa modernisme lahir tidak pada wilayah Eropa yang mempunyai masa lampau yang panjang dan gemilang, yaitu Yunani dan Romawi, melainkan di Inggris dan Perancis  di Eropa Barat Laut yang merupakan pendatang baru dalam pentas sejarah umat manusia.

Kelak, ternyata aspek kemanusiaan yang tercermin dalam cita-cita  Revolusi Perancis lebih bermakna daripada Revolusi Industri yang terwujud dalam teknikaliasi yang canggih sekalipun. Maka sering pula disebutkan tentang peranan utama “generasi revolusi Prancis 1789” dalam meletakkan dasar-dasar Abad Modern itu (Nurcholish Madjid, Kahazanah Intelektual Muslim, 50).

Berat dugaan, lantaran arti penting yang dikandung dalam tahun “1789” itu, sehingga Albert Hourani “berhijtihad” menetapkan tahun 1789 sebagai awal mula munculnya Era Liberal. “Ijtihad” Hourani ini, menurut Luthfi Assyaukanie, merupakan salah satu sumbangannya dalam memberikan patokan, belakangan diikuti oleh hampir semua sejarahwan, dalam memulai penulisan kesejarahan pemikiran Arab-Islam.

Tahun 1789 adalah tahun dimana Napoleon Bonaperta beserta pasukannya menginjakkan kakinya di Mesir. Hourani meyakini bahwa sejarah pemikiran Arab Modern atau sejarah Era Liberal bagi masyarakat Arab, bukan dimulai dari Muhammad ibn Abd Wahhab (1701-1893) di Arab Saudi. Lihat,  Luthfi Assyaukanie  “Pengantar”, dalam Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, Bandung: Mizan, 2004), hal. xvii.

Abad Modern yang lahir di Barat itu merupakan kelanjutan logis dari peradaban yang telah dibina oleh umat Islam selama berabad-abad. Akan tetapi, justru umat Islam pulalah yang paling menderita menghadapinya. Menurut Nurcholish Madjid, ini dapat diterangkan paling tidak tiga argumentasi.

Pertama, dari segi psikologis, karena perasaan sebagai kelompok manusia paling unggul selama ini, umat Islam tidak mempunyai kesiapan mental sama sekali untuk menerima kenyataan bahwa bangsa non-Islam bisa lebih maju dari mereka.

Kedua, sejarah interaksi permusuhan yang lama antara Dunia Islam dengan Dunia Kristen (Barat). Orang-orang Eropa tetap menyimpan dendam untuk menaklukan Spanyol di Barat dan negeri-negeri Balkan di Timur. Selain itu, permusuhan antara keduanya yang berkempanjangan dalam Perang  Salib dengan kekalahan tentara Kristen.

Ketiga,  letak geografis Dunia Islam yang berdampingan serta bersambungan dengan Eropa, yang memperbesar kedua argumen sebelumnya. (Lihat, Nurcholish Madjid, Kahazanah Intelektual Muslim, 54-55).

Misi dagang Eropa abad keenam belas dan tujuh belas secara progresif meluas hingga sejak abad ke-18 banyak dari wilayah dunia Muslim merasakan dampak ancaman ekonomi dan militer dari teknologi dan modernisasi Eropa. Memasuki abad ke-19 dan awal abad ke-20 Bangsa Eropa, khususnya Inggris, Prancis dan Belanda semakin masuk dan mendominasi sejumlah wilayah Dunia Muslim, mulai dari Afrika Utara hingga Asia Tenggara. (John L. Esposito, Islam the Staight Path, (New York: Oxford University Press, 1991: 124)

Dominasi Dunia Eropa atas Dunia Islam, diakui atau tidak, sejatinya, meskipun dalam “wujud rupa” yang berbeda masih berlangsung hingga dewasa ini, misalnya hegemoni dan “pendiktean” budaya yang dilakukan oleh Barat-Eropa atas Timur-Islam. Misalnya, cara pandang orang-orang Barat-Eropa sangat menghegemoni dalam mempengaruhi dan menentukan cara pandang orang-orang  Timur (Islam) bukan saja dalam melihat sejarah dunia, tetapi juga dalam melihat “dirinya sendiri” dalam perjalanan sejarahnya.

Hasan Hanafi, misalnya, menyatakan bahwa term “Timur Tengah” adalah berasal dari bahasa Inggris, ciptaan dan cara pandang Barat terhadap Timur (Dunia Islam khususnya.) Negara-negara Arab yang saat ini dikenal dengan “Timur Tengah” karena dibandingkan dengan negara-negara Arab kawasan Barat, seperti Maroko (dan sekitarnya) yang disebut dengan “Timur Dekat; atau dibandingkan dengan Cina yang berada di “Timur Jauh” bagi (cara pandang) orang Inggris. Lihat, Hasan Hanafi, “Pengantar” dalam Aunul Abied Shah, Muhammad, et al., Islam Garda Depan: Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), 21.

Belakangan, pendapat sama dinyatakan oleh Tamin Ansary, katanya: “…. frase Timut Tengah  mengasumsikan sesorang sedang berdiri di Eropa Barat –jika anda berdiri di dataran tinggi Persia, misalnya, yang disebut Timur Tengah itu sebenarnya adalah Barat Tengah. Oleh karena itu, saya lebih suka menyebut seluruh wilayah dari Indus hingga Istambul ini Dunia Tengah, karena ia terletak di antara dunia Mediterania dan dunia Cina.” Tamim Ansary, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam (Jakarta: Zaman, 2009), 30.

Untuk itu, menurut Hasan Hanafi, sudah saatnya Dunia Timur (orient), khususnya Dunia Islam, “membalikkan keadaan” untuk  tidak lagi melulu “dipandang” (menjadi objek kajian) oleh Dunia Barat (oksident) sebagai subjek, tetapi justru Dunia Timur (Islam) harus menjadi “subjek” oksidentalisme dalam “memandang” Dunia Barat. Dengan bahasa singkat, masa lalu dunia Islam  di baca dunia Barat, masa datang  dunia Islam membaca dunia Barat. Lihat Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 1999), 25-33.

Dengan pendekatan oksidentalisme ini, menurut Komaruddin Hidayat, Hasan Hanafi bermaksud “mendobrak dan mengakhiri mitos Barat sebagai representasi dan pemegang supermasi dunia”, khususnya dalam kajian keilmuan. Dan sekaligus bertujuan “pembebesan diri dari pengaruh pihak lain agar terdapat kesetaraan antaran al-āna yakni dunia Islam dan Timur pada umumnya, dan al-ākhar  yakni dunia Eropa dan Barat pada umumnya. (Lihat, Hidayat, “Oksidentalisme: Dekonstruksi Terhadap Barat”, dalam Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 1999), xix.

Munculnya perenungan, respon dan otokritik  dikalangan para pembaharu pemikiran Islam dengan melakukan upaya ilāḥ dan tajdīd, tidak dapat dipungkiri, berjalin kelindangan dengan dominasi Dunia Eropa atas Dunia Islam, sebagaimana telah dipaparkan di atas. Meskipun demikian, tanpa bermaksud melakukan “apologia atas ketidakberdayaan”, konsep reformasi (ilāḥ) dan pembaharuan (tajdīd), sejatinya adalah komponen yang fundamental  dalam ajaran Islam yang berakar dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

Mengenai konsep reformasi (ilāḥ) dan pembaharuan (tajdīd), Lihat,  Fazlur Rahman, “Revival and Reform in Islam”, dalam P. M. Holt, Ann K. S. Lambton and Bernard Lewis, The Cambridge History of Islam, New York: Cambridge University Press, 1970, hal. 632-642). Kedua konsep itu, menurut Jhon L. Esposito, mengadung seruan untuk kembali kepada sumber utama Islam: Al-Qur’an dan al-Sunnah. (John L. Esposito, Islam the Staight Path: 115).

Konsep ilāḥ dalam pengertian kebenaran moral yang kuat maupun membentuk kembali, semata-mata demi memperbaiki perbuatan, bertalian langsung dengan tugas panjang risalah al-nubuwwah. Nabi Sya‘ib umpanya, bercerita kepada umatnya: “Saya hanyalah menginginkan islah pada batas-batas kekuasaan saya.” Mereka yang melakukan ilāḥ, sering dipuji dalam al-Qur’an, dan mereka dilukiskan sebagai pelaksana perintah Allah.

Dengan cara pandang semacam itu, walaupun nabi-nabi telah berakhir dan upaya ilāḥ mereka sudah berakhir, namun pekerjaan ilāḥ sebagai sebuah risalah kenabian, yaitu perubahan kearah perbaikan, berlangsung terus sebagai bagian dari tanggungjawab seorang beriman. (John O. Voll, “Pembaharuan dan Perubahan Dalam Sejarah Islam: Tajdid dan Islah” dalam John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses, dan Tantangan, (Jakarta: Rajawali Press, 1987: 22-23).

Konsep tajdīd dalam Islam didasarkan pada hadis Nabi: “Tuhan akan mengirim untuk umat ini, pada awal setiap abad, mereka yang akan memperbaharui agama ini.” Sang pembaru (mujaddid) Islam diyakini akan dikirim Tuhan diawal setiap abadnya untuk mengembalikan pelaksanaan ajaran yang sejati. Mengingat regenarasi umat dalam sepanjang sejarah cenderung menyimpang dari jalan yang lurus. Ada dua aspek utama dalam proses ini, yaitu (i) kembali pada pola ideal  sebagaimana termaktup dalam al-Qur’an dan al-Sunnah; dan (ii) hak untuk berijtihad, dan untuk menafsirkan sumber-sumber Islam. (Lihat, John L. Esposito, Islam the Staight Path: 116; John O. Voll “Pembaharuan dan Perubahan Dalam Sejarah Islam: 23).

Dalam melakukan reformasi (ilāḥ) dan pembaharuan (tajdīd) dengan mencermati problem-problem dihadapi dunia Islam, di kalangan intelektual dan pemikir pembaharu Muslim terdapat beberapa variasi pandangan dan pemikiran sebab-sebab keterbelakangan kaum Muslim dan sekaligus upaya solusi pemecahannya.

 Pertama, pemikir kelompok Muslim yang  melihat bahwa biang keladi seluruh keterbelakangan dunia Islam adalah kerena berkembangnya paham khurafat dan telah menjauhnya kaum Muslim dari ajaran aslinya, al-Qur’an dan Hadis.  Menurut kelompok ini, jika umat Islam ingin meraih kembali kejayaan masa silam yang pernah dimiliki, mereka harus kembali ke pangkal; mengikis segala khurafat dan bid’ah serta kembali kepada al-qur’an dan al-Sunnah. Dalam kelompok ini dimotori oleh Muhammad ibn Abd Wahab dan belakangan menjadi gerakan Wahabisme yang dikenal  sebagai gerakan furifikasi dalam Islam. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarata: Bulan Bintang, 1975: 23-26).

Kedua, kelompok pemikir Muslim yang melihat bahwa sebab-sebab ketidakberdayan dunia Islam tersebut dikarenakan perpecahan dan tidak adanya persatuan di kalangan umat Islam yang mengakibatkan mereka menjadi terjajah. Untuk itu, menurut kelompok ini, umat Islam harus menggalang persatuan dan membebaskan diri belenggu penjajahan. Dalam kelompok ini termasuk Jamaluddin al-Afghani sebagai pelopor utamanya; yang terkenal dengan pemikirannya tentang Pan-Isalamisme. (H.A.R. Gibb,  Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, [terj. Machnun Husein] (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 49; Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004: 186-187).

Ketiga, kelompok pemikir Muslim yang melihat bahwa biang kerok dari segala keterbelakangan dunia Islam adalah karena kejumudan pemikiran lantaran tertutupnya pintu ijtihad. Sebagai jalan keluarnya agar ummat Islam dapat kembali membangun peradabanaya, mereka harus membuka lebar-lebar pintu ijtihad dengan mempergunakan rasionalitas-liberalitas secara kental, sembari mengambil nilai-nilai dari barat yang relevan dan tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam.

Di antara tokoh dari kelompok terakhir ini  sangat artikulatif  adalah Muhammad Abduh yang sengat masyhur dengan rasionalismenya. (Pembahasan panjang lebar prihal Muhammad Abduh dan pemikirannya, lihat  Charles C. Adam, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Moderen Reform Movement Inaugurated by Muhammad Abduh, London, New York: Russell & Russell, 1968). Untuk melihat rasionalitas Muhammad Abduh, lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987: 43-57) .

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)