18. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (2): Dari Yunani – Iskandaria-Syiria-Jundisapur ke Islam

18. TRANSMISI FILSAFAT HELLENISME (2): Dari Yunani – Iskandaria-Syiria-Jundisapur ke Islam

Oleh: Alimuddin Hassan Palawa,

Jauh sebelum datangnya agama Islam,  daerah-daerah (kota-kota), seperti Iskandaria (Mesir), Demaskus, Antioka dan Ephesus (Syiria), Harran (Mesopotamia dan Jundisapur) sudah sangat dikenal. Kota-kota tersebut secara berganti-gantian telah menjadi pusat pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme warisan dari Yunani kuno selama berabad-abad. Kota Iskandaria pada abad ketiga SM. merupakan kota pertama penyemaian serta sekaligus menjadi pusat dan marcusuar filsafat dan ilmu pengetahuan warisan Yunani kuno.

Kota Iskandaria atau sering pula disebut dengan ejaan “Aleksandaria” didirikan oleh Iskandar Agung –murid filosuf  “guru pertama”, Aristoteles– dari Macedonia. Nama kota ini diambil dari nama pendirinya, Iskandar Agung (Alexander the Great).  Iskandar Agung tidak saja mengharagai ilmu pengetahuan dan filsafat serta agama-agama berbagai bangsa, malah ia juga menganjurkan para tentaranya untuk kawin dengan wanita-wanita Persia dan India. Berkat jiwa ketebukaannya itu kota yang didirikannya segera menjadi pusat ilmu pengetahuan bagi peradaban umat manusia. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: xxvi).

Dalam kondisi seperti inilah kota Iskandaria menjadi titik pertemuan Hellenisme dengan pengaruh dari Timur dan Mesir kuno. Kota Iskandaria memiliki kekayaan terpenting dan paling berharga, yaitu perpustakaan. Perpusataan ini dipenuhi jenis buku-buku ilmiah dari berbagai disiplin dan cabang ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu. Dalam perpustakaan ini untuk pertama kalinya umat manusia mengumpulkan dengan penuh kesungguhan dan sistematis pengetahuan apapun tentang dunia ini (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: xxvi).

Sementara itu kegiatan keilmuan di kota Iskandaria pada umumnya, dan perpustakaan Iskandaria pada khususnya sangat semarak. Dari kegiatan itu, misalnya, muncul konsep tantang “cosmos”   dalam bahasa Yunani berarti “harmonis”, kebalikan dari “chaos” artinya “kekacauan”. Dan mereka menyebut alam raya ini “cosmos” karena, menurut mereka, alam raya dalam keserasian. Dari kajian tersebut melahirkan sejumlah ilmuan dan ahli  dengan hasil penemuannya masing-masing, seperti diungkapkan oleh Carl Sagan, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid:

“Kemudian Iskandaria tampil banyak ahli ilmu pengetahuan yang lain, seperti Hipparchus yang mencoba membuat peta konstelasi bintang-bintang dan mengukur tingkat cahaya bintang-bintang itu; lalu Euclidus, penemu sebenarnya ilmu ukur atau geometri; kemudian Dionysius, yang meneliti organ-organ suara manusia dan meletakkan teori tentang bahasa; Herophlius, ahli ilmu faal atau fisologi yang menegaskan bahwa organ berpikir manusia bukanlah jantung seperti saat itu diyakini, melainkan otak; Heron, penemu rangkaian roda gigi dan mesin uap kuna, pengarang buku Automata, sebuah buku pertama tentang robot; Apollonius, yang meletakkan teori tentang bentuk-bentuk melengkung seperti elips, parabola dan hiperbola; Archimedes, genius mekanik yang terbesar sebelum Leonardo de Vinci; Ptolemy, seorang yang meskipun teorinya tentang alam raya ternyata salah (geosentris) namun semangat keilmuannya banyak memberi ilham.” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxvi-xxvi).

Kesemarakan pengkajian ilmu pengetahuan di kota Iskandaria pada abad keempat berada dibawah “bayang-bayang kegelapan” karena di kalangan Gereja Kristen sedang melakukan konsolidasi diri dan berusaha untuk mengikis budaya dan pengaruh paganisme. Beberapa ilmuan dicurigai dan diawasai, dan bahkan pada akhirnya, di antara mereka ada yang dibunuh. Salah satu korbannya, misalanya ialah seorang wanita bernama Hypetia yang, tidak saja pintar (ahli matematika dan astronomi) tetapi juga teramat cantiknya, dibunuh dengan sangat sadis dan menyedihkan; lalu dibakar bersama perpustakaan yang dimilikinya pada tahun 415.

Hypetia dilahirkan pada 370 Masehi. Carl Sagan menuturkan, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid, bahwa wanita ini menolak semua lamaran dari lak-laki kerena ia ingin mengabdikan dirinya dan mencurahkan perhatinnya sepenuhnya kepada ilmu pengetahuan. Tetapi cita-cita dan hasrat muliannya itu tidak dapat berlanjut karena pada usia 45 tahun ia dicegat oleh segerombolan kaum fanatik Kristen dalam perjalanan ke perpustakaan. Dia diturunkan dari kereta kudanya, lalu dibunuh dengan cara mengelupasi dagingnya dari tulangnya kemudian dibakar bersama apa yang dia miliki. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxviii).

Tidak lama sesudah itu, perpustakaan Iskandaria yang hebat itu pun juga tidak luput dari sikap picik dan fanatisme agama. Dan atas perintah Uskup Agung Iskandaria, perpustakaan Iskandaria yang hebat itu dibakar habis berserta isinya. Dengan peristiwa itu, menarik sekali menyimak pengandaian Carl  Sagan, berikut ini:

“… kalau saja perpustakaan Iskandaria tidak menjadi korban fanatisme agama, tradisi keilmuannya terus berlanjut, maka barangkali Eistein sudah tampil lima abad yang lalu. Atau mungkin  malah seorang Einstein  tidak (perlu)  pernah ada, sebab perkembangan ilmu pengetahuan  integral dan menyeluruh sudah terjadi. Dan mungkin pada abad dua puluh Masehi ini, sedikit saja orang yang tinggal di bumi  karena sebagian besar  telah menjelajah dan mengoloni bintang-bintang dan telah beranak pinak sampai milyaran jiwa!” (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, xxx).

Awalnya warisan Yunani kuno datang dari Iskandaria –belakangan tidak kondusif lagi– lalu pindah ke Antioka dan dari sana ke Nisbis, Endessa (Ruha) dan Harran yang dibawa oleh orang-orang Nasrani aliran Monophysit dan Nestorian. Aliran Monophysit  ini berpendirian dengan mempercayai  konsep ketuhanan “trinitas”,  Tuhan (Bapak), Yesus (Anak) dan Ruh al-Qudus; dengan kata lain Lahut, Nasut dan Kalimah. Baginya ketiga unsur ketuhanan tersebut  tetap eksis (dan tetap berbeda satu dengan yang lainnya),  meskipun ketiga unsur tersebut menyatu dalam satu wujud, yaitu wujud Yesus. Kepercayan Monophysit ini  merupakan kepercayaan resmi bagi gereja, bahkan hingga dewasa ini. (Lihat, T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, 11-12; Ahmad Amin, Fajr al-Islam, 125; bandingkan dengan Mohd. Sulaiman Yasin,  Pengantar Filsafat Islam (Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka, 1984), 229-230).

Adapaun aliran Nestorian tidak mengakui konsep ‘trinitas”. Baginya, Yesus adalah manusia yang juga sama dengan rasul-rasul terdahulu. Aliran ini  menekankan kemanusiaan Yesus dan menyatakan bahwa Yesus hanya saluran untuk menyampaikan kekuatan Ilahi, Ruh Kudus kepada umat manusia. Mislanya, aliran ini juga menolak gelar-gelar Maria sebagai “Ibu dari Tuhan”. Karena pendirian semacam itu aliran Nestorian menjadi bulan-bulanan bagi penguasa gerejani. Untuk menjaga keselamatanya mereka terpaksa hijrah kemana-mana. (Lihat, T.J. Fe Boer, The History of Philosophy in Islam, 11-12; lihat juga, Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam the Classical Periode, A.D. 700-1300 (Rawman & Littlefield Publishers, Inc., 1990), 54).

Aliran Nasrani yang disebut terakhir ini sangat berjasa dalam menyebarkan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Mereka sanga berperan dan bearjasa, khusus sebagai penerjemah dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria. Mereka tersebar diberbagai negeri (kota) ke arah Timur hingga Persia. (Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 30-31). Akan tetapi, hingga abad keenam Masehi kota Iskandaria tetap menjadi marcusuar filsafat dan ilmu pengetahuan (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 36).

Penyebaran warisan dari Yunani kuna hingga keberbagai negeri (kota) disebabkan beberapa faktor. Pertama, selama abad pertama kelahirannya, agama  Kristen mendapat perlakuan yang tidak baik dan adil serta tidak diterima oleh penguasa kekaisaran Romawi. Bahkan hingga tiga abad kelahirannya, agama Kristen terlibat dalam perseteruan dengan filsafat Yunani (dengan filosuf pagan) dan kota Iskandaria menjadi pentas pertarungan itu (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, 38).

Atas peristiwa itu, karenanya, secara umum banyak umat Kristen   yang meninggalkan kota Iskandaria. Bahkan umat Kristen aliran Nestorian khususnya juga dikejar-kejar karena pendirian keimanan mereka berbeda dengan paham resmi dianut oleh gereja dan negara. Di samping itu, juga disebab oleh penganiayaan tentara Kristen Byzantium yang menaklukan Iskandaria, sehingga mereka memindahkan sekolah-sekolahnya dari Iskandaria ke Antioka dan kemudian ke Harran, yaitu wilayah sebelah selatan Endessa dan dekat Nisbis. (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: 54-55).

Kedua, faktor lain yang menyebabkan penyebaran filsafat dan ilmu pengetahuan keberbagai negeri (kota), yaitu karena sikap benci kaisar Romawi terhadap warisan dari Yunani kuno tersebut. Puncak dari sikap semacam itu, misalnya ketika kaisar Justianus (tahun 529),  atas nama (pemahaman sempit) agama dan demi pertimbangan ekonomis, menutup musium Athena (pelanjut dari filsafat Athena) yang telah beroperasi selama satu mellenium. Kaisar yang tidak tahu menghargai arti penting filsafat dan ilmu itu, tidak saja  menutup musium itu tetapi juga menghancurkan apa yang terdapat dalamnya.

Sementara itu, ia juga menyatakan bahwa filosof dan ilmuan-ilmuan pagan tidak dibenarkan mengajar di perguruan-perguruan di Athena.  Sebelumnya pun gaji mereka sebagai tenaga pengajar tidak dibayarnya (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, 54-55). Pada urutannya, para filosuf dan ilmuan pagan tersebut diusir dari perguruan-perguruan di Athena. (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam: 39).

Setelah agama Kristen mengalami kemenagan melawan  paganisme,  kemudian Kaisar Yustianus melarang pengajaran-pengajaran filsafat di Athena. Kaisar juga melakukan tekan-tekanan terhadap filosuf dan ilmuan, sehingga banyak di antara mereka yang lari (diusirari sejumlah filosuf dan ilmuan). Dari sejumlah filosud dan ilmuan yang melarikan diri itu tujuh orang (beraliran Neo-Platonisme) di antaranya lari ke Jundisapur (Persia). Di sana mereka diterima dengan baik oleh Kaisar Anusyirwan, dimuliakan serta ditempatkan  pada kedudukan terhormat.

Belakangan di antara filosuf dan ilmuantersebut ada yang masuk agama Kristen itu,  kemudian menulis buku tentang Neo-Platonisme dengan diberi corak kekristenan, seperti karya Deynesus, mengaku murid Paulus. Dalam bukunya ia menerangkan rahasia-rahasia ketuhanan dan tingkatan alam malaikat. Pada akhirnya, karyanya ini menjadi bagian dari ajaran dasar agama Kristen. Lihat,  T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam: 14; Ahmad Amin, Fajr al-Islam: 129).

Akhirnya para filosuf berpindah ke Byzantium, kemudian ke Mesopotamia utara dan belakangan di Jundisapur. Di kota yang disebut belakangan ini para filosuf dan ilmua pagan bergabung dengan ilmuan-ilmuan Kristen Nestorian. Mereka bersatu dalam alam intelektual bebas yang menghargai kajian-kajian terhadap filsafat dan sains, tanpa mendapatkan halangan–halangan doktrinal. (Charles Michael Stanton,  Higher Learning in Islam, 54-55).

Sementara itu, sebelum kedatangan para filosuf dan ilmuan dari Athena, kota Jundisapur sejak tahun 260 (abad ketiga) mulai menjadi pusat kajian fislafat dan ilmu (khususnya ilmu kedokteran) Yunani.  Kota Yundisapur berasal dari nama pedirinya, yaitu panglima Persia bernana Sabur. Panglima perang Persia ini memimpin perang melawan serbuan tentara dari Romawi pada abad ketiga. Dalam pertempuran dahsyat tersebut tentara Persia di bawah pimpinan panglima Sabur mampu mengalahkan tentara Romawi, dan mereka dijadikan tawanan perang.

Untuk menampung tawanan perang yang jumlahnya jukup banyak tersebut, Panglima Sabur kemudian memindahkan mereka ke sebuah tempat dekat Tustur, sebuah kota  di Arabistan (Iran). Tempat itu kemudian dinamainya Jundisapur, artinya “pemusatan pasukan Sabur”. Dan dalam tawanan tersebut banyak terdapat ilmuan dari berbagai disiplin keilmuan yang belakangan mengembangkan kota Jundiasapur sebagai pusat ilmu. (Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam:  39).

Kondisi ke arah pengembangan Jundisapur kota peradaban ditopang oleh banyaknya serjana-serjana (arsitektur dan kedokteran) yang turut menjadi  tawanan perang. Kemudian lambat laun Jundisapur menjadi kota metropolis, pusat sains  yang dipelajari dalam bahasa Yunani dan Sangsekerta, dan kemudian dalam bahasa Syiria. Dalam kota Jundisapur didirikan perguruan-perguruan menurut model perguruan di Iskandaria dan Antioka. Dan di perguruan ini diajarkan ilmu kedoteran, metematika, astronomi dan logika.

Kebanyakan teks pelajaran  dari bahasa Yunani itu diterjemahkan dalam bahasa Syiria. Di samping itu, dimasukkan juga unsur-unsur sains dari India dan Persia sendiri. Perguruan-perguruan ini berlanjut sampai jauh setelah dinasti Abbasyiah berdiri. Pada saatnya, perguruan-perguruan itu merupakan lembaga dan sumber penting filsafat dan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam, khususnya kota Baghdad. (Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam: 31).

Prihal hubungan antara kota Baghdad dan kota Jundisapur, Majid Fakhri menyatakan: “Kala itu, perguruan Jundisapur dengan fakultas kedokteran, akademi dan observatoriumnya mencapai puncak ketenarannya dan tetap berkembang dengan subur di saat kota Baghdad didirikan oleh khalifah Abbasyiah pada tahun 727. Mengingat Jundispur berdekatan dengan kota Baghdad maka hubungan secara politis dengan khalifah Abbasyiah sangat dekat. Akibatnya, dari perguruan inilah perkembangan ilmiah dan intelektual merambah ke seluruh kekuasaan Muslim. Sejak dini dalam pemerintahan Islam, Jundisapur telah menyumbang kepada khalifah di Baghdad sejumlah dokter-dokter istana, misalnya sejumlah Nestorian, seperti keluarga Bakhtisyu’ yang masyhur, mengabdi kepada khalifah dengan setia selama lebih dua abad. (Lihat, Majid Fakhri,  A History of Islamic Philosophy: 15).

Perlu dipertegas bahwa dalam “pengembaraan” filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kuna dari Iskandaria hingga ke Jundisapur, peranan serjana-sejarna Kristen (khususnya orang-orang Nestorian) tidak bisa dipandang remeh. Begitu pula, peran dan kedudukan orang-orang Syiria beserta bahasanya sangat signifikan. Orang-orang Kristen Nestorian dan orang-orang Syiriah telah berperan sebagai “hamzah washal” (penghubung) bagi transmisi dan peralihan filsafat Hellenisme  ke dunia Islam.

Meskipun demikan, figur-figur  era ini “hanya” berperan sebagai “hamza washal”, lantaran mereka semata-mata berperan sebagai penerjemah. Sebab sedikit sekali di antara mereka yang itu terlibat dalam melakukan pembaharuan terhadap pemikiran Hellenisme-Yunani kuno tersebut. Kalaupun mereka melakukan pembaharuan pemikiran, hanya pada masalah-masalah yang tidak sesuai dengan sistem keimanan mereka (khususnya ajaran Kristen), sehingga ia berusaha untuk mengalihkan Plato, misalnya, menjadi seorang pendeta Timur.

Penekanan arti  peran dan kedudukan penting orang-orang Syiria-Nostorian  “sebagai “hamza washal”, karena agaknya, tanpa peran mereka tersebut hampir dapat dipastikan bahwa sarjana Islam akan banyak kehilangan warisan dari Filsafat Hellenisme-Yunani. Upaya penerjemahan dilakukan sarjana Kristen dan orang-orang Syiria dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria itu sangat penting dan berarti pada masa itu. Upaya penerjemahan dari bahasa Yunani ke bahasa Syiriah sangat mempermudah penerjemahan baik dari bahasa Yunani langsung, terutama dari bahasa Syiria ke bahasa Arab yang akan dilakukan pada masa pemerintahan Bani Abbsyiah Islam, khususnya pada masa pemerintahan al-Ma’mun dengan lembaga Bayt al-Hikmah. (Lihat, Ahmad Amin: Fajr al-Islam, 173).

Wa Allāh a‘lam bi al-awāb,

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh.

(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau)

Leave a Reply