AGAMA DAN BUDAYA: Persebatian dalam Tradisi Intelektual Melayu

AGAMA DAN BUDAYA: Persebatian dalam Tradisi Intelektual Melayu

Oleh: Alimuddin Hassan Palawa,

Agama dan budaya merupakan dua entitas yang absurd untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Dalam pentas sejarah perkembangan peradaban anak manusia di bebarapa belahan jagat ini. Karenanya, agama dan budaya selalu mengalami pergumulan secara sangat intens signifikan, dan tak terkecuali pada belahan Dunia Melayu-Nusantara. Maka agama dan budaya dalam di kawasan ini mempunyai pertalian yang jalin-berkelindan. Dengan kata lain, persebatian agama Islam dan budaya Melayu di kalangan masyarakat Melayu, khususnya Riau sudah menyatu dan senyawa dalam kehidupan mereka.

Sekedar catatan bahwa kata “persebatian” berasal dari kata dasar “bati” yang arti etimolginya: sesuai, selaras, senyawa, bersatu-padu dan sangat mesra. Dengan demikian, kata “sebatian” berarti perpaduan dua atau lebih menjadi satu. Jadi, kata “persebatian” bermakna “Proses persatu-paduan antara dua orang/sesuatu atau lebih untuk menjalin keselarasan hubungan yang sangat akrab dan mesra.” (Lihat, Teuku Iskandar, Kamus Dewan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1970: 79; Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988: 84).

Selanjutnya, dengan memeluk agama Islam, selain berberadat-istiadat dan berbahasa Melayu menjadi penentu bagi “kemalayuan” seseorang. Bahkan ketika sifat kemelayuan ini menjadi syarat dasar yang harus dipenuhi oleh orang Melayu jika ingin dianggap “manusia”. (Lihat, Jan van der Putten, “Pemekaran Negeri Kata-Kata: Konfigurasi Kebudayaan Melayu di Riau”, dalam Amin Sweeney et.al., Keindonesian dan Kemelayuan dalam Sastra, Depok: Desantara: 26).

Dengan kata lain, seseorang dapat dianggap “Melayu”, misalnya apabila telah memenuhi persyaratan utamanya, yaitu beragama Islam. Dalam hal ini, menurut Chou, “kajian atas masyarakat Melayu cenderung menekankan homogenitas bentuk-bentuknya yang difokuskan kepada Islam disamping adat dan bahasa Melayu sebagai fitur essensial “menjadi Melayu.” (Lihat, Cynthia Chou, “Orang Laut Women of Riau: An Exploration of Difference and the Emplems of Status and Prestige”, dalam Indonesia Circle, no. 67 (1995), 175). Maka dikebanyakan daerah Sumatera, Semenanjung dan Kalimantan, menurut Reid, masuk agama Islam berarti juga ”menjadi Melayu” (masuk Melayu). (Lihat, Anthony Reid, “Introduction”, dalam The Making of an Islamic Discourse in Southeast Asia, Monash Paper on Southeast Asia – No. 27, Clayton, Victoria: Monash University, 1993: 3).

Di kalangan orang Melayu terkadang muncul kebingungan, siapa sesungguhnya orang Melayu itu. Ketika orang menyebut term “Melayu” ada beberapa asosiasi pengertian.

Pertama, Melayu dalam arti satu ras di antara berbagai ras lainnya di dunia. Ras Melayu adalah ras manusia yang berwarna kulit coklat. Dalam pengertian, semua orang yang berwarna kulitnya coklat di Nusantara (Asia tenggara umumnya) adalah Melayu.

Kedua, Melayu dalam pengertian suku (etnis) Melayu itu sendiri yang mendiami, khususnya di kawasan pesisir timur Sumatera.

Ketiga, Melayu dalam pengertian suku bangsa dalam konteks yang memiliki adat-istiatad dan budaya Melayu (Melayu perspektif kultural). Maka suku bangsa yang tidak memiliki adat (budaya) Melayu disebut sebagai non-Melayu.

Keempat, Melayu dalam pengertian agama Islam, khusus misalnya kawasan pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaysia, sesorang dapat dikatakan Melayu kalau beragama Islam. Maka kalau ada orang masuk Islam, ia dikatakan masuk Melayu. (Lihat, Muchtar Lutfi, “Interaksi Antara Melayu dan Non-Melayu Serta Pengaruhnya Terhadap Pembauran Kebudayaan dan Pendidikan”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya (Pekanbaru: PEMDA Riau, 1986), 488; Timothy Bernard, “Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century”, dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, ed. Timothy Barnard, Singapore: Singapore University Press, t.t, 107).

Dari pengertian “Melayu”, sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan ini, karenanya, agama dan budaya dalam tradisi intelektual Melayu absurd dipisahkan. Meskipun demikian, agama dan budaya dua entitias yang distingtif, tentu dapat dibedakan. Perbedaan prinsip antara agama dan budaya setidaknya dengan dua alasan.

Pertama, “argumen ideal-epistimologis”. Bahwa agama adalah kebenaran bersumber dari wahyu (revilation) sebagai ciptaan Tuhan (God made-riligion). Untuk itu, kebenaran yang dikandungnya bersifat absolut dan universal, berlaku untuk semua waktu dan ruang. Sementara budaya adalah kebenaran berasal dari akal (ratio) sebagai ciptaan manusia ( man made-culture). Karenanya, kebenaran yang dikandungnya bersifat relatif dan lokal, terbatasi oleh waktu dan ruang. Maka ketika kedua kebenaran ini dikonfrontir, tentu saja, kebenaran absolut-universal (agama) dimenangkan ketimbang kebenaran relatif-lokal (budaya). (Lihat, Nurchalish Madjid, Islam Agama Kemausiaan, 1995: 36).

Kedua, “argumen empiris-historis”, merupakan kelanjutan dari yang pertama. Bahwa agama dipahami, meminjam istilah Azra, sebagai tradisi besar (great tradition), sedangkan budaya dipahami sebagai tradisi kecil (little tradition). Lebih lanjut, agama adalah primer atau centeral tradition;  dan budaya adalah sekunder atau periferal tradition. Konsekwensi logisnya, kebanyakan budaya-politik berdasarkan agama, tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Maka agama menjadi faktor determinan bagi budaya; dan budaya menjadi subordinasi terhadap agama. (Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam, 1999: 13; Nurchalish Madjid, Islam Agama Kemausiaan, 1995: 36).

Agama, utamanya Islam mengandung nilai-nilai yang sangat kondusif bagi pengembangan budaya. Al-Attas, mislanya menyebutkan “karena agama Islam adalah agama yang mengandung semangat keagamaan yang rasional dan sekaligus melahirkan daya intelektualisme kepada penganutnya.” Al-Attas menambahkan, “semangat rasionalisme dan intelektualisme tidak termanifestasi pada masa sebelum Islam.” (Syed M. N. al-Attas, Prelimenary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, 1969: 11).

Dalam perkembangan emperis-historisnya, agama Islam telah menjadi landasan dan model bagi dunia Melayu dengan membentuk “budaya tinggi”, dan ini semakin meluas awal abad ke-17. Sebelum kedatangan Islam, nilai-nilai budaya [politik] Melayu, umpamanya, ada ungkapan: “pantang Melayu mendurhaka!” –ketaatan tanda reserve rakyat vis a vis penguasa. Belakangan, setelah Islam masuk, adigium tersebut diubah: “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah!” (Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas, Perspektif Politik Melayu, 1995: 18).

Argumen empiris-historis ini diperkuat sendiri oleh al-Attas, misalnya, ketika ia menyoroti bahasa Melayu sebagai lingua franca: “Sesungguhnya tanggapan umum bahwa bahasa Melayu itu telah lama tersebar luas sebagai lingua franca sebelum datangnya Islam masih boleh diperdebatkan, sebab di zaman pra-Islam perdagangan di kepulauan ini tidak meluas pasarannya …. Kemudian, jika sungguh benar bahwa bahasa Melayu itu sudah merupakan lingua franca di zaman pra-Islam, mengapa ia tidak menjadi bahasa sastra selama berkurun-kurun itu –sedangkan yang demikian itu tercapai hanya sesudah datangnya Islam.” (Syed M. N. Al-Atas, Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1990: 65).

Pernyataan Naquib al-Atas di atas secara umum ada benarnya. Meskipun pada bagian awal pernyataan tersebut perlu dipertanyakan. Apakah bahasa Melayu pra-Islam belum menjadi lingua frangca kalau dihubungkan dengan bidang perdagangan pada masa pemerintahan maritim kerajaan Sriwijaya, misalnya? Akan tetapi, pernyataan Naquib al-Atas menjadi benar ketika bahasa Melayu –tidak menjadi lingua frangca— dikaitkan dengan perkembangannya sebagai bahasa sastra di Nusantra, karena bahasa Melayu baru menjadi bahasa sastra setelah datangnya Islam lewat rintisan kesulatanan Aceh.

Kemudian, bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa tulis dan karya-karya literer lainnya yang lebih serius dan canggih di bawah asuhan intelektual Muslim Sermabi Mekkah, seperti Hamzah Fanzuri, Syams al-Din dan Nur al-Din al-Raniri pada abad ke-17. Dan pada abad berikutnya geneologi bahasa Melayu sebagai bahasa ilmiah diteruskan oleh intelektual Muslim di Sumatra Selatan, misalnya ‘Abd Samad al-Palembang; intelektual Muslim Kalimatan Selatan, seperti Muhammad Arsyad al-Banjari, dan kawasan lainnya. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 1995: 166-266:

Upaya mengembangan bahasa Melayu menjadi bahasa tulis, menurut Nurcholish Madjid, “terjadi dengan menggunakan fasilitas huruf Arab yang dengan sendirinya sudah merupakan bagian dari kekeayaan atau rujukan kultural sebuah kekuasaan Islam. Bahasa Melayu dengan huruf Jawi itu kemudian menyebar ke seluruh Nusantara, dan dengan terlebih dahulu menjadi pola utama kebudayaan di deerah-daerah pesisir Selat Malaka, baik sisi Sumatera maupun sisi Semenanjung.”

Belakangan, selama rentang abad ke-19 bahasa Melayu sebagai bahasa sastra dan bahasa tulis dengan fasilitas huruf Arab-Jawi semakin berkembang yang,  menurut Nurcholis Madjid, puncaknya terwujud di Riau, dan Pulau Penyengat sebagai Pusat denyut nadinya di bawah binaan intelektual Muslim Melayu-Riau, Raja Ali Haji dan generasinya. Sehingga, ketika bahasa Indonesia belum dikenal di awal abad ke-20, menurut Muhammad Hatta, “…. Yang dikenal sebagai lingua franca ialah bahasa Melayu Riau. Orang Belanda menyebutknya Riouw Meleisch. Ada yang menyebutkan berasal dari logat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Penyengat dalam lingkungan pulau Riau.” (Hasan Junus dan Tim Penulis, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji, 71).

Di Melayu-Riau sendiri agama telah menjadi faktor utama dalam mendorong aktifitas dan kreatifitas intelektual, dan sekaligus mengangkat kebudayaan Melayu. Sebelum Islam kebudayaan Melayu-Riau, kata Hasan Junus, “tidak lebih dari sebuah kebudayaan periferi yang tidak memperlihatkan mutu intelektual mengesankan.” (Lihat, Nurcholish Madjid, “Khazanah Kesufiaan, Kekayaan Terpendam dalam Perpendaharaan Budaya Kemanusiaan dan Peran Rintisan Aceh dalam Pertumbuhan Keindoneseian”, Makalah, KKA 170 Paramadina, Regent Hotel, 24 Agustus 2001; Hasan Junus Lihat “Pengantar” dalam U.U. Hamidi, Riau Sebagai Pusat Bahasa dan Budaya, 1988: 10).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.

KAJIAN ISLAM ASIA TENGGARA: Pertautan Antara Tradisi dan Modernitas

KAJIAN ISLAM ASIA TENGGARA: Pertautan Antara Tradisi dan Modernitas

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*)

Mari kembalikan ingatan kita pada lebih dua dasawarsa silam, tepat 23 tahun silam, sewaktu akan dibukannya Program Pascasarjana IAIN Susqa Pekanbaru [kini UIN Suska Riau], persisinya pada 1997. Konon, untuk pembukaan program pascasarjana itu, Pak Harun (demikian murid-muridnya menyapa-akrab Prof. Dr. Harun Nasution) mensyaratkan dua hal. Pertama, harus mendapat legitimasi legalitas dan sokongan dana dari Pemerintah Provinsi Riau. Al-Hamd Allah, Bapak Saleh Djasit, Gubernur Riau pada saat itu menyetujui dan mendukung secara moral dan financial pembukaan program pascasarjana tersebut. Sayang, kita seperti mau melupakan (menghapus) jasa dan kebaikan sesorang (baca: Bapak Saleh Djasit) dari benak-memori.

Kedua, harusmembukajurusan yang berbedadenganpascasarjana di lingkungan Kemenag RI yang telah ada sebelumnya, dan sekaligus menjadi “ciri kekuatan” Program Pascasarjana UIN Riau. Maka waktu itu pengelola pendirian menetapkan dengan membuka dua jurusan: (1) Jurusan Perkembangan Islam Regional Asia Tenggara (PIRAT) [dalam keterbatan ingatan saya, kalau tidak salah, nama singkatan awalnya adalah PRIAT: Perkembagan Regional Islam Asia Tenggra]; (2) JurusanPerkembangan Modern Dalam Islam (PMDI). Akan tetapi, disayangkan kedua jurusan ini sudah lama “terkubur” dalam kenanganan alumninya.

Kebijakan penetapan kedua jurusan di atas, menurut hemat penulis, bukan saja tepat, tetapi sekaligus cerdas. Disebut tepat dan cerdas karena kedua jurusan itu mencerminkan/menggambarkan suatu bangunan intelaktual dan keilmuan yang utuh dan relevan. Artinya, semangat yang dikandung dari eksistensi kedua jurusan itu adalah ingin membangun budaya intelektual yang, meminjam ungkapan Cak Nur (NurcholishMadjid), memiliki pertautan dengan warisan khazanah Islam masa silam, khususnya Islam di Asia Tenggara, dan secara kreatif dan cerdas diterjemahkan kepada hal-hal yang relevan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman modern.

Ada firman Allah (Q.s. Ibrahim [14]: 24-26) yang memberikan gambaran metapor bagi bangunan intelektual utuh dan relevan itu: “Tidakkah engkau lihat, bagaimana Allah membuat perumpamaan: kalimat yang baik adalah bagaikan pohon yang baik; pangkalnya kukuh (menghujam dalam bumi) dan cabangnyaada di langit. Pohon itu mendatangkan makanan (buah) setiap saat dengan izin Allah. Allah membuat berbagai perumpamaan untuk manusia supaya mereka merenungkan. Dan perumpamaan kalimat yang jelek adalah bagaikan  pohon yang jelek: tercerabut akarnya dari atas bumi dan tidak ada kekukuhan sedikit pun padanya.”

Belajar dari metapora Allah di atas, “kalimat” yang baik bagaikan pohon mempunyai pangkal kukuh: tidak akan tercerabut akarnya dari muka bumi, dan terus produktif menghasilkan mamfaat untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Bila perumpamaan ini ditarik kepada sebuah bangunan intelektual, maka kita memerlukan bangunan intelektual yang memiliki pangkal dan akar dalam tradisi keilmuan masa silam dalam peradaban kita. Justru adanya pangkal yang kukuh itu akan membuat kita, menurut Nurcholish Madjid [semoga Allah swt. senantiasa merahmatinya], mampu “membuahkan” inisiatif dan kerativitasi ntelektual sebagai usaha kita untuk merespon tuntutan perkembangan zaman modern.

Dengan kata lain, respon atas tuntutan perkembangan zaman modern menjadi absurd, setidaknya rapuh dan tidak bisa berdiri lama kalau tidak berasas pada bangunan tradisi intelektul masa lalu dan/atau tercerabut dari akar historistasnya. Prihal ini Cak Nur menyontohkan pada kasus negara Turki dan Jepang.

Pertama, kasus Turki dengan pemimpinanya Mustafa Kemal tidak berhasil (gagal) melakukan upaya modernisasi karena tidak berasas pada budaya  dan tradisi dan tercerabut dari akar-akar sejarahnya (baca: Islam) dan menggatinya dengan Nasionalisme, Sekularisme dan Westernisme.

Kedua, kasus Jepang yang mampu bangkit dari kehancurannya  pada Perang Dunia II. Belakangan Jepang berhasil dalam melakukan upaya  restorasi dan modernisasil lantaran pemimpin dan rakyatnya menghargai warisan khazanah intelektual masa lalunya.

Miskinnya ilmu pengetahuan dan  keterbatasan inforamasi kita tentang kawasan Islam Asia Tenggara dalam mengambil inisiatif yang sejati sekaligus kreatif, antara lain disebabkan, karena kita  kurang mengenal  dan menghargai warisan khazanah intelektual yang kita miliki. Untuk sekedar contoh, bila kita dihadapkan pada  persoalan-persoalan kekinian  dan kedisinian kemungkinan besar kita buta. Lantaran penguasaan sumber rujukan tidak kita punyai, sehingga kita tidak  mengetahui bagaimana hal yang sebanding pernah terjadi dalam tradisi khazanah intelektual kita untuk dapat dijadikan rujukan dan sumber ilham.

Sekedar umpama, persolan-persoalan politik,  yang dihadapi pada masa kontemporer ini, terutama menyangkut masalah etika politik, akan dengan mudah dipecahkan (dicari jalan solusinya) kalau kita mengambil rujukan dari al-Ahkam al-Sulthaniyah-nya al-Mawardi perspektif fiqh al-siayah; mengambil hikmah dari Madhinah al-Fadhilah-nya al-Farabi dalam perpektif “falsafah al-siyasah”; dan/atau mengambil ilham dari Nasihat al-Mulk-nya al-Ghazali dalam perspektif “sufi al-Suyasah”. Sama halnya untuk rujukan di Asia tenggara, kita dapat mengambil pelajaran dari Taj al-Salatin-nya  Bukhari al-Jawhari; Sejarah Melayu-nya Tun Sri Lanang; atau Bustān al-Salāṭin-nya Nurdin al-Raniri; atau mengambil tuah dari Tuhfat al-Nafis dan Tsamarat al-Muhaimmah dan Muqaddimah fi al-Intizam-nya Raja Ali Haji.

Tanpa mengetahui warisan khazanah intelektual Islam masa lalu, maka dengan semena-mena kita mengklaim diri kita sebagai “penemu” ilmu dan kebenaran itu. Padahal, jangan-jangan ilmu tersebut sudah “ditemukan” oleh orang-orang (sarjana-sarjana Muslim) sebelum kita. Masalahnya, bukannya ilmu-ilmu itu yang tidak ada, tetapi persoalannya adalah kita saja yang tidak tahu. Artinya, “ketiadaan ilmu bukanlah berarti ilmu tentang itu tidak ada” (‘adam al-‘ilmalaysailman bi ‘adamih). Pendeknya,  ketidaktahuan  khazanah bukan berarti khazanah itu tidak ada. Dengan sendirinya, jadilah kita a histories (tidak menyejarah) dan tercerabut dari akar sejarah.

Kembali merujuk kepada metapora di atas, paling tidak, kita dapat mengelaminir tuduhan sementara pihak (terutama orang-orang di luar IAIN dulu) yang mengatakan bahwa  studi keislaman (Islamic Studies) yang dilaksanakan di lembaga itu bersifat abstrak dan tidak menyentuh realita sempiris (mengawang-ngawang). Bahkan secara tandas mereka menyatakan kajian-kajian tersebut tidak layak untuk disebut ilmu.

Memang kritik itu tidak seluruhnya salah, kajian yang dilakukan di lembaga ini (baca: IAIN dulu) ada kelemahannya, contoh, misalnya dalam bidang Teologi. Kajian Teologi pada awalnya lebih banyak menggunakan análisis sejarah dan perbandingan pemikiran yang digambarkan secara deskriftif, seperti sejarah pemikiran aliran teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan lain-lainnya.

Tema-tema yang diperbincangkan lebih banyak merespon persoalan-persoalan masa lalu dan tidak menyentuh relitas sosial masyarakat modern dewasa ini. Perbincangannya selalu diseputaran, misalnya, apakah Tuhan menciptakan alam ini dari ada atau tiada (creation ex nihilo); apakah al-Qur’an qadim (tidak diciptakan) atau baharu (diciptakan); apakah  Tuhan mempunyai sifat atau tidak; apakah kebangkitan di akhirat nanti bersifat jasmani atau ruhani; apakah surga dan neraka itu sudah ada sekarang atau belum; dan apakah iblis nanti (juga) masuk surga atau kekal di neraka; dan masih banyak lagi yang lainnya.

Akan tetapi, belajar dari metapora Allah di atas, di Program Pascasarjana yang dulu kami ikuti, perbincangan yang saya sebutkan di atas memang masih tetap digeluti ulang pada semester pertama sebagai wacana intelektual awal agar kami tidak tercerabut dari akar, sehingga bisa menjad ia histories. Meskipun begitu, pada semester ketiga dan keempat kami juga mendapatkan mata kuliah, misalnya Perkembangan Teologi Modern yang mendiskusikan masalah-masalah teologis yang bersifat emperis sesuai dengan tuntunan zaman modern.

Dalam   mengkaji teologi ini, misalnya juga dikaji pemikiran tokoh-tokoh modern dan kontemporer. Lagi pula, sewaktu studi di Program Magister (S2) di UIN Suska dulu (1997-1999) ada mata kuliah Perkembaagan Modern Dalam Islam (PMDI) yang memiliki dua orientasi, sebagaimana tersimpul dalam kaidah: “Al-Mahafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhudz bi al-jadid al-ashlah” (memelihara sesuatu tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).

Pertama, menatap ke “belakang lewat intelektual-pemikir Muslim,  seperti Muhamamad Abduh dan Rasyid Ridha (Mesir), Sayyid Ahmad Khan dan Syed Ameer Ali (India) dan lainnya dalam “membedah” penyakit umat Islam: kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan umat Islam. Kemudian, “mendiagnosa” penyakit-penyakit tersebut diberikan “obat” penyembuhannya.

Kedua, menatap ke “depan” lewat intelektual pemikir Muslim, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkound, Muhammad Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, Nazr Hamid Abu Zayd, Muhammad Shahrur, dan lainnya yang berupaya untuk memberikan solusi dengan membangun “metodologi baru” dalam memahami al-Qur’an demi menghadapi tantangan moderitas.

Dan hebatnya lagi, kehadiran jurusan Perkembangan Islam Regional Asia Tenggara (PIRAT) dengan mata kuliah-mata kuliah yang ada memiliki dua orientasi. Pertama, pada kajian sejarah Islam Asia Tenggara di masa silam sebagai wujud peletakan fondasi bangunan inteleketual yang kokoh. Kedua, pada kajian Islam Asia Tenggra di masa kini dengan “proyeksi” pada masa depan.

Meminjam motafora “kalimat yang baik”, Program Pascasarjana UIN Riau telah berupaya sebagai langka awal mewujudkan, “…. bagaimana Allah membuat perumpamaan: kalimat yang baik adalah bagai kanpohon yang baik; pangkalnya kukuh (menghujam dalam bumi) dan cabangnya ada di langit. Pohon itu mendatangkan makanan (buah) setiap saat dengan izin Allah.”. Dengan begitu, kajian Islam di Asia Tenggara berjalin kelindan antara tradisi dan modernitas.

Sadar akan sabagai alumni Program Pascsarjana yang bangga sebagai “anak angkatan pertama, merespon kawan Jarir Amrun, mari kita “hidup” kembali jurusan Perkembangan Islam Regional Asia Tenggara (PIRAT) yang memang “dibunuh” secara tidak sengaja oleh tuntutan zaman. Dalam konteks ini, kita sebaiknya tidak melulu berorientasi memenuhi tuntutan“pasar”, tetapi harus ada upaya yang “tidak populer” dalam mewujudkan bangunan tradisi intelektual yang utuh dan relevan. Bukankan sebuah perubahan besar awalnya diupayakan secara sungguh-sungguh dalam “kesunyian”?

Kalaupun jurusan PIRAT itu tidak bisa “dihidupkan” (lagi) dalam waktu dekat ini, minimal kajian kajian Islam Asia Tenggara dalam berbagai aspeknya “digalakkan” kembali disemua jurusan di progran pascasarjana yang ada sekarang secara khusus, bahkan pada UIN Suska secara umum. Bukankan dalam Renstra UIN Suska Riau tersebutkan bawah “karakterisitik”nya adalah kajian Islam Asia Tenggara. Jujur, karakterisktik ini sejak kelahirannya sudah menjadi “yatim piatu”. Para alumni Program Pascasarjana UIN Suska Riau, khususunya “anak anggatan”: 1, 2, dan 3 (1997-2000) harus rela menjadi bapak/ibu anggat atas anak yatim tersebut.

Mā Tawfiq illā bi Allāh,
Wa Allāh  a‘lam bi al-Ṣawāb

*)Direktur dan Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

Duabelas Noktah-Noktah: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka

Duabelas Noktah-Noktah: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka

Dalam buku Perceptions of the Past ini Southeast Asia dieditori oleh Anthony Reid dan David Marr yang belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Th. Sumarthanan dengan judul “menyimpang”, yaitu Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya. Dalam buku ini, tulisan tentang Raja Ali Haji oleh Barbara Watson Andaya dan Virginia Matheson judul persisinya “Pemikiran Islam dan Tradisi Melayu: Tulisan Raja Ali Haji dari Riau”. Sementara itu, tema terkait Hamka dengan judul persisinya “Yamin dan Hamka: Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia” yang ditulis oleh Deliar Noer.

Terjemahan buku rampai yang terdiri dari delapan bab disebut, saya sebut “menyimpang” sebab tema-temanya bukan semata-mata kajian tokoh. Artinya dari delapan tulisan dalam buku tersebut hanya ada tiga tulisan tema tentang tokoh. Lagi pula, kalau kajian tokoh yang ada –hanya empat orang, yaitu Arung Palakka, Raja Ali Haji, Muhmmaf Yamin dan Hamka– dari segi waktu kehadiran tokohnya, judul seharusnya Dari Arung Palakka Hingga Hamka. Lalu, kenapa judul terjemahan buku tersebut demikian? Saya berupaya untuk “memaksakan logika” bahwa antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka memiliki banyak sekali persamaan. Logika pemaksaan ini pun diambil demi mencocoki judul tulisan ringan ini, yaitu “Duabelas Noktah-Nokta: Persamaan Antara Raja Ali Haji dan Buya Hamka.

Dalam melihat figur Raja Ali Haji, sama seperti ketika Steenbrink dan Azra melihat sosok Hamka bahwa kedua intelektual dan sastrawan lebih merupakan seorang, meminjam ungkapan Azra, “penulis prolifik keagamaan yang baik, ketimbang ’ulama’ yang mumpuni.” (Karel Steenbrink, “Hamka (1908-1981) and The Integration of The Islamic Ummah of Indonesia”, Studia Islamika,  Vol. 1, No. 3, 1994: 210; Azyumardi Azra, “Melacak Pengaruh dan Pergesaran Orientasi Tamatan Kairo”, Studia Islamika,  II, (3), 1995: 199-219). Penilaian yang sama dengan aspek yang berbeda dan lebih spesifik bahwa  baik Raja Ali Haji maupun Buya Hamka sama-sama awalnya lebih dikenal sebagai seorang sastrawan ketimbang seorang ulama.

Istilah “sastra” (kesusastraan) dalam bahasa Melayu berbeda ruang lingkup dan cakupannya dengan istilah “literature” dalam bahasa Inggris. Dan berbeda pula dengan istilah “belles lettres” dalam bahasa Prancis yang berarti “karya tulis yang artistik dan indah.” Istilah “sastra” dalam bahasa Melayu mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu mencakup semua karya tulis baik karya yang bersifat fiksi maupun karya bersifat non-fiksi. Artinya, “sastra” dalam bahasa Melayu dapat mengantarkan pada pemuasan “pengalaman intelektual” dan “pengalaman emosional” secara simultan. Dari pemahaman seperti ini, agaknya istilah “persuratan” lebih mewakil makna sastra atau istilah “ecriture” dalam bahasa Prancis. Lihat, Panuti Sudjiman, Filologi Melayu  (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), 16. Dengan latar belakang pengertian semacam ini, menggunakan istilah “persuratan” dengan menambahkan kata “intelektual” dibelakangnya, sehingga menjadi “persuratan intelektual” sebagai penegasan terhadap pemahaman atas makna “sejati “ sastra yang belum populer.

Penyebutakan Raja Ali Haji dan Buya Hamka di awal kiprahnya pada negeri dan bangsanya, oleh karenanya, lebih tepat dinisbatkan pada diri kedunya sebagai “intelektual-penyair” atau “sasterawan intelektual”. Penisbatan sebagai “sasterawan intelektual” atau “intelektual-penyair” tersebut menjadi beralasan karena dari hampir seluruh karya-karyanya mencerminkan jenis-jenis karya sastra Melayu-Indonesia, sebagaimana pembatasan  sastera Malayu oleh R. Roolvink. Misalnya R. Roolvink menyebutkan bahwa sastera dalam bahasa Melayu meliputi segala yang dikarang dalam bahasa Melayu, baik hikayat-hikayat dan kisah-kisah, kitab-kitab keagamaan, hukum  kanun dan sebagainya.” (Lihat, Lian Yock Fang, “Beberapa Masalah dalam Penulisan Sejarah Sastera Tradisional Melayu: Kajian Permulaan,” dalam Cendikia Kesustaraan Melayu Tradisional, ed.  Siti Hawa Haji Salleh (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987: 13).

Namun demikian, Raja Ali Haji dan Buya Hamka, terutama di akhir-akhir kiprahnya, dapat dikategorikan seorang ulama, bahkan sebagai ulama besar, khususnya figur disebut belakangan. Sebab bagi kebanyakan Muslimin Indonesia dan/atau dalam realitas sosial, menurut Azra, pengertian ulama secara umum ada tiga. Pertama, ulama adalah mereka yang memiliki ilmu pengetahuan (agama) Islam yang diperoleh dari lembaga-lembaga  pendidikan Islam tradisional. Kedua, ulama adalah mereka yang mendapat legitimasi dan pengakuan dari masyarakat luas akibat langsung dari interaksi dengan masyarakat melalui sejumlah lembaga keagamaan, sosial dan pendidikan. Ketiga, ulama adalah lebih berkonotasi pada penguasaan ayat-ayat kawliyah (al-Qur’an) lebih “membumi” daripada pengertian ulama diisyaratkan al-Qur’an itu sendiri berkonotasi pada penguasaan ayat-ayat qawniyah (alam semesta) lebih “melangit”. (Lihat, Azyumardi Azra, “Melacak Pengaruh dan Pergeseran Orientasi Tamatan Kairo”, Studia Islamika,  II, 3, 1995: 210). Artinya, dengan ketiga pengertian ini maka Raja Ali Haji dan Hamka adalah sungguh-sungguh seorang ulama.

Dengan ungkapan yang berbeda bahwa Raja Ali Haji dan Buya Hamka dapat dikatakan –dengan meminjam istilah al-Qur’an– sebagai seorang “uwlū al-bāb”. Seorang “uwlū al-bāb” harus piawai dalam menyampaikan pengetahuan, pemikirannya dan melahirkan karya-karya tulis bercorak kosmopolitan berdasarkan panggilan hati nuraninya dengan berasaskan  pada al-Qur’an dan hadis.  Adapan tujuan seorang “uwlū al-bāb”, ungkap Abdul Hadi W.M.,  dalam mengutarakan pengetahuan dan pemikiran serta tulisan-tulisannya, di antaranya, yaitu: (i) untuk membantu masyarakat dalam mencari pemecahan atas krisis yang dihadapi; (ii) untuk memberikan pencerahan, sehingga masyarakat dapat keluar dari keputusasaan dan nihilisme kehidupan. Pendek kata, khusus untuk Raja Ali Haji, tulis Abdul Hadi W. M., “… pemikiran dan karya-karyanya memperlihatkan keterkaitannya dengan persoalan-persoalan nyata yang dihadapi masyarakat, serta mencerminkan kesinambungan dengan istiadat (tradisi) kecendikiawanan bangsanya.” (Lihat, Abdul Hadi W.M, “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, (ed.) Sardono W. Kusumo (Jakarta: IKJ Press, 2005: 218).

Selanjutnya, kalau diperbandingkan antara Raja Ali Haji (1809-1873) dan Hamka (1908-1981) –kalau diperhatikan tahun kelahirannya, keduanya hidup persis berbeda satu abad masing-masing pada abad ke-19 dan ke-20– dalam banyak hal memang memiliki banyak kesamaan. Kesamaan antara kedua tokoh besar ini terlihat sebagai figur multidimensi: penulis prolifik, sastrawan, politisi, dan ulama. Persamaan antara kedua figur ini, Raja Ali Haji dan Buya Hamka, dapat dirinci minimal sampai “duabelas noktah-noktah”, sebagai berikut.

Pertama, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk menuntut  ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama. Kedunya  lebih banyak menempuh pendidikan secara otodidak (membaca buku-buku/kitab-kitab [khususnya berbahasa Arab] yang berlangsung dalam waktu relatif lama. Keduanya tidak diketahui pernah menempuh mendidikan secara formal melebihi daripada tingkat pendidikan menegah ke atas. Dengan kata lain, baik Raja Ali Haji maupun Buya Hamka tidak pernah berguru lama  secara langsung pada seorang dan beberapa guru, dan (apalagi) secara formal di sebuah lembaga pendidikan. Artinya, Raja Ali Haji dan Buya Hamka adalah pembelajar otodidak yang baik, tekun dan terus-menerus serta berkekakalan hingga dipenghujung hanyatnya..

Kedua,  Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama pernah pergi ke Tanah Suci dalam usia remaja untuk menunikan ibadah haji, dan sekaligus belajar agama di Mekkah. Begitu pula, keduanya belajar di Mekkah dalam rentang waktu yang singkat, yaitu hanya berkisar lebih enam bulanan di kala masing-masing berusia sekitar 18 tahun. Kemungkinan waktu Raja Ali Haji dan Buya Hamka yang singkat itu sama-sama dipergunakan untuk menyempurnakan kemampuan Bahasa Arabnya selama menempuh pendidikan di kota kelahiran Rasul Allah tersebut.

Ketiga, Raja Ali Haji dan Buya Hamka tampaknya sangat berbakat dalam bahasa Arab dan  menguasainya. Keduanya menjadikan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa asing yang dikuasai. Dengan kemampuan bahasa Arabnya sangat mumpuni, sehingga bahasa tersebut benar-benar dijadikan “alat” guna membaca dan memahami teks-teks Arab, khususnya teks-teks keagamaan dari karya-karya sejumlah ulama, baik ulama mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin, dan sekaligus menjadi sumber utamanya dalam melahirkan karya-karnya.

Keempat, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama menikah sepulang dari Mekkah pada usia yang reatif sama, kurang lebih 19 tahun. Namun, dalam perjalan lebih lanjut, keduanya memiliki sikap yang berbeda dalam pernikahan: Raja Ali Haji poligami, Buya Hamka monogami. Perbedaan sikap keduanya ini kemungkinan disebabkan oleh tuntutan (keharusan) zamannya masing-masing. Raja Ali Haji lebih “memaksimalkan” seruan ayat al-Qur’an secara tekstual untuk mengawini wanita sampai empat karena ia hidup sebagai keluarga istana kerajaan Melayu Riau. Sementara Buya Hamka lebih “meminimalkan” seruan ayat al-Qur’an secara kontekstual dengan hidup bermonogami, dan baru menikah kedua kalinya setelah istri pertamanya wafat. Sikap Buya Hamka dalam perkawinan ini boleh jadi disebabkan oleh tuntutan zamanya, dan/atau karena mungkin saja tidak berkenan mencontoh pola perkawinan poligami dari ayahnya. Dan mungkin pula Buya Hamka tidak berpoligami khawatir tidak kuasa berlaku adil.

Kelima,  Raja Ali Haji dan Buya Hamka pada awalnya sama-sama meminati dan sekaligus melahirkan karya-karya sastera, sehingga keduanya masyhur dikenal sebagai seorang sastrawan atau pujangga. Begitu pula, bakat tulis-menulis keduanya diwarisikan dan ditularkan dari kedua orang tuanya masing-masing, yaitu Haji Abdul Malik Karim dan Raja Ahmad secara berturut. Selain itu, belakangan keduanya juga –seiring dengan perjalan waktu dan usia– mengokohkan masing-masing dirinya sebagai penulis dalam bidang keagamaan.

Keenam, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama terlibat dalam politik dan pemerintahan (eksekutif), dan pada “badan permusyawaratan” (legisliatif) di usia relatif muda. Raja Ali Haji menjadi tangan kanan YDM Raja Ali bin Ja’far dalam menjalankan pemerintahan di kerajan Melayu-Riau. Raja Ali Haji memangku jawatan keagamaan sekaligus menjadi Ahl Halli wa al-Aqdhi pada masa pemerintahan YDM Raja Abdullah. Sementara itu, Buya Hamka pernah menjadi pegawai teras atas Departeman Agama.  Buya Hamka pernah pula menjadi anggota Konstituante pada masa pemerintahan Orde Lama.

Ketujuh, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama memiliki minat pada kajian sejarah. Oleh karenanya, keduanya menulis sejarah: Raja Ali Haji menulis sejarah “bangsa”nya; dan Buya Hamka menulis sejarah “ummat”nya. Tokoh pertama menulis sejarah kerajaan Johor-Riau-Lingga dengan melahirkan dua karya, yaitu Silsilah Melayu dan Bugis, dan Tuḥfat al-Nafīs. Buya Hamka sendiri menulis buku Sejarah Islam yang komprehensif (berjilid-jilid) dipaparakannya dari era “Pra-Kenabian hingga Islam di Nusantara”.

Kedelapan, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama menjadi “watchdog” (“moral guadian” dan “spiritual patronage”) bagi masyarakat dan pemerintah pada masanya masing-masing. Raja Ali Haji diangkat menjadi penasehat “resmi” kerajaan dengan jabatan  sebagai penasehat kerajaan dalam bidang pemerintahan dan keagamaan pada masa YDM Raja Muhammad Yusuf Ahmadi. Sementara Buya Hamka diangkat sebagai penasehat “tidak resmi” pemerintah dalam bidang keagamaan dengan jabatan sebagai Ketua MUI pada masa pemerintahan Orde Baru.

Kesembilan, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama penulis, peminat dan penganut tasawuf “mu‘tabarah” yang menyelaraskan antara ajaran esoterisme dan eksoterisme dalam Islam. Dengan bahasa lain, boleh dikatakan bahwa keduanya sama-sama  berpaham  neo-sufisme. Raja Ali Haji dan Buya Hamka memaknai asawuf, misalnya tidak melulu bahwa zuhud itu menyepi dan menghidari kehidupan duniawi, tetapi harus memaknai hidup di dunia ini secara aktif beramal shaleh, apakah amal yang akan bermuara pada keshalehan pribadi maupun keshalehan sosial.

Kesepuluh, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama terlahir untuk menjadi seorang guru (born a teacher) dalam memberikan pendidikan bagi  generasi muda (pendidikan formal) dan menjadi guru ngaji bagi anak dan cucu-cucunya (generasinya). Begitu juga, keduanya selalu hadir memberikan pencerahan pemahaman keagamaan lewat pengajian bagi masyarakat secara umum (pendidikan/pengajaran non-formal).

Kesebelas, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama penulis  keagamaan yang produktif dan otoritatif dan komprehensi. Disebut produktif karena keduanya telah melahirkan sejumlah karya-karya, khususnya dalam bidang keagamaan. Disebut otoritatif karena keduanya sangat bernas dalam menjabarkan masalah agama dalam berbagai karya-karyanya. Disebut komprehensif karena keduanya mengulas ajaran agama dalam berbagai aspeknya dengan diilhami oleh semangat Islam yang kokoh dan utuh.

Keduabelas, Raja Ali Haji dan Buya Hamka sama-sama, kadang-kadang, diragukan keulamaannya, sehingga Raja Ali Haji dan Buya Hamka oleh sebagai orang lebih layak/tepat disebut seorang “intelektual” tinimbang sebagai seorang ulama, sebagaimana dijelasakn di atas. Di antara keduanya, Buya Hamka lebih menonjol keulamaanya lantaran karya fenomenal dan monumentalnya dalam menafsirkan al-Qur’an serta sekaligus menjadi masterpiece (karya agungnya): Tafsir Al-Azhar.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)

Tiga Piranti Peradaban: Jalin Berkelindan antara Politik, Ekonomi dan Ilmu

Tiga Piranti Peradaban: Jalin Berkelindan antara Politik, Ekonomi dan Ilmu

“Yang Dipertuan Besar, menempati posisi sebagai “seorang istri”, ia baru dapat makan kalau diberi makanan kepadanya. Akan tetapi, Yang Dipertuan Muda, menempati posisi sebagai “seorang suami”, setiap keinginannya harus menjadi kenyataan.” [R.J. Wilkinson]
——-
“Syahdan kata sahibul hikayat adalah pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Haji ini makin ramai, serta dengan makmurnya serta banyaklah orang-orang negeri Riau kaya-kaya. Syahdan Yang Dipertuan  Besar dan Yang Dipertuan Muda banyaklah mendapatkan hasil-hasil dari cukai-cukai. Syahdan segala penjajab perangpun beraturlah di pelabuhan serta cukup ubat peluruhnya serta panglima-panglimanya….” [Raja Ali Haji]
——-
“Dan yang menarik hati ialah sebuah khutub khanah (bibliotheek). Ah, sayang sekali. Kitab-kitabnya termasuk kitab-kitab yang  mahal dan sangat berharga, seperti kitab fiqh, tafsir, tasawuf dan filsafat. Di antara termasuk al-Qanun karangan Ibn Sina.” [Buya Hamka]
——-

Kutipan dari tiga tokoh-tokoh ternama di atas mencuatkan tiga unsur masing-masing tentang “sejarah sosial politik-pemerintahan” dari Wilkinson; “sejarah sosial ekonomi-perdagangan” dari Raja Ali Haji; dan “sejarah sosial budaya-keagamaan dari Hamka. Ketiga unsur inilah yang, pada galibnya jalin-berkelindan secara hirarkis dan kronologis, menjadi penentu bagi bangunan sejarah peradaban anak manusia di muka bumi.

Ketiganya disebut hirarkis (berjenjang) dan kronologis (berturut-turut) sebab yang disebut terakhir tidak bisa mendahului dua sebelumnya atau yang kedua mendahulu yang pertama. Meskipun ketiganya selalu menyatu, seiringan dan/ atau simultan pada  satu masa tertentu, tetapi terkadang juga terpisah dalam  mencapai puncak kejayaaan masing-masing pada peradaban suatu bangsa, terutama yang disebut belakangan dalam hirarkisitas tersebut. Artinya, terkadang puncak kedikjayaan (politik-pemerintahan) dan kemakmuran (ekonomi-perdangan) sudah mulai surut, sementara pengembangan tradisi intelektul (budaya-keagamaan) justru baru di mulai. Kalau kondisi terakhir ini yang terjadi, akibatnya terkadang pengembangan intelektualisme dan ilmu pengetahuan sulit mencapai puncak-gemilangnya. (Hemat penulis, gambaran inilah yang pernah terjadi di kerajaan Melayu-Riau).

Ketiga “piranti” itu berlaku umum dalam sejarah kelahiran, pertumbuhan/perkembangan dan kejayaan suatu bangsa. Namun, dalam prosesnya, lambat-laun kemudian berlakulah, meminjam istilah yang digunakan Nurcholish Madjid, “sunnatullah” (sunnah Allāh) yang tidak pernah mengalami perubahan. (Q.s. al-Fatḥ [48]: 23).  Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa ada dua istilah yang dipergunakan al-Qur’an: untuk hukum-hukum yang  berlaku pada alam kebendaan dipergunakan istilah taqdīr; dan untuk hukum-hukum yang berlaku pada alam sosial-kemanusiaan digunakan istilah sunnah Allāh. (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 1997: 28).

Setelah suatu bangsa sampai pada titik puncak peradaban, maka terjadilah anti klimaks dan terus merosot hingga pada titik nadir bagi perjalanan peradaban bangsa tersebut. Dengan kata lain, sebagaimana teori filsafat sejarah dan sosial Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, dengan mengutip Azra:

“… begitu negara berbudaya tercipta, maka niscaya ia mengikuti hukum alam tentang pertumbuhan, kedewasaan, dan kemerosotan. Hukum alam juga berlaku bagi perkembangan negara ini sering diibaratkan Ibn Khaldun dengan siklus kehidupan manusia: bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, renta dan mati.” (Lihat, Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, 2002), 414).

Salah satu unsur dalam hukum sejarah (sunnah Allāh) itu adanya prinsip perputaran (mudāwalah), yaitu bahwa nasib umat manusia berputar dan bergilir di antara mereka. Firman Allah, “Dan demikianlah masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan di antara manusia, dan agar Allah membedakan orang-orang beriman (dengan orang-orang kafir), dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) sakks-saksi. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Q.s. al-Āli ‘Imrān  [3]: 140).

Artinya, suatu umat atau bangsa ada kalanya berada di atas (menang, unggul dan maju), dan ada juga kalanya berada di bawah (kalah, merosot dan terbelakang). (Lihat, Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 28-29). Dengan kata lain, dalam persepsi sosial ada keniscayaan bahwa sejarah memiliki rotasi kesinambungan dan perubahan (continuity and change). Sesekali sejarah merekam peristiwa-peristiwa besar dan capaian-capaian agung suatu bangsa; pada kali lain sejarah mengukir keterprosokan suatu bangsa, dan pada gilirannya meluncur ke dasar kehinaan yang memilukan  dalam “tidur-pulasnya” yang berkepanjangan. (Lihat, Malik Bennabi, Shurūṭ Nahḍah, 1961: 63).

Pada galibnya, bangsa yang mengalami nasib semacam di atas berawal dari hegemoni –tepatnya penaklukan dan penjajahan– oleh bangsa lain. Gambaran paling mewakili untuk kurun waktu pertengahan abad ke-20 ini, sekadar memberi contoh adalah negeri-negeri Muslim Asia Tengah yang, menurut Fazlur Rahman, terus masih tercengkram oleh Komunis Rusia dalam “triple domination”: politik, ekonomi dan  –yang akan disebut belakangan ini justru jauh lebih  jahat (merusak) dibandingakan dengan kolonialisme manapun yang dikenal dalam sejarah– intelektual-moral. (Lihat, Fazlur Rahman, Islam dan Modernity: Transformation on an Intellectual Tradition, 1982: 84). Dengan kata lain, kondisi bangsa seperti ini sudah dapat dipastikan, meminjam ungkapan Dawam Rahardjo, “secara politik tidak stabil, secara ekonomi tidak sejahtera, secara sosial-kultural –khususnya pendidikan– terbelakang.” (Lihat, Dawan Rahardjo, “Melawan Hegemoni dan Dominasi”, dalam Kishore Mahbubani, Bisakah Orang Asia Berpikir?, 2005: ix).

Dalam merobah nasib dan kondisi negara-negara Muslim di atas, dan selanjutnya membangun kembali peradabannya, menurut Malik Bennabi –boleh dikatakan sebagai seorang “satu-satunya” pelanjut tradisi keilmuan [baca: filsafat sejarah dan sosial] yang dikembangkan Ibn Khaldun– menyeru secara spesifik kepada umat Islam dewasa ini untuk melaksanakan tiga “piranti” itu dengan bahasa metaforiknya: (i) mengambil “kayu” untuk membangkitkan kesadaran politik dalam menentang dan melawan penjajahan; (ii) memiliki “modal” untuk membangun sarana ekonomi dalam memberantas kemiskinan; (iii) menanam “benih” pengetahuan untuk membasmi kebodohan dan sekaligus membangun peradaban.(Lihat, Malik Bennabi, Shurūḍ Nahḍah, 54). Ketiga piranti ini, sekali lagi, harus dimaknai berlaku secara hirarkis dan kronologis. Bahkan, menurut Azra, dua piranti pertama adalah menjadi  “prasyarat” dalam mewujudkan piranti terakhir. Azra menyatakan dengan baik sebagai berikut:

“Jika kita mau belajar dari sejarah, stabilatas politik dan kemakmuran ekonomi termasuk di antara beberapa prasyarat terpenting untuk mencapai kemajuan kebudyaaan dan peradaban Islam. Kejayaan Islam pada masa klasik, seperti pada masa Dinasti Abbasyiah, berdasarkan kajian saya, berkait erat dengan stabiltas politik dan kemakmuran ekonomi yang berhasil dicapai dinasti kosmopoliti ini. Tanpa kedua prasyarat ini, agaknya kemajuan-kemajuan dalam lapangan kehidupan lainnya, termasuk pemikiran (intelektualisme) Islam, ilmu pengethuan dan teknologi, pendidikan, kesusastraan, kesenian dan lain-lainnya tidak akan tercapai.” (Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana & Kekuasaan, 2000: xix).

Dalam pentas sejarah peradaban hubungan erat antara ketiga “piranti” tersebut pernah terjadi pada sejarah Islam masa silam. Berikut ini akan uraikan sekilas dan sekedar beberapa contoh sunnatullah yang beraku dalam sejarah peradaban anak manusia di muka bumi.

Pertama, dalam sejarah Islam prestasi peradaban gemilang pernah terukir pada masa Dinasti Abbasyiah. Pada era khalifah Harun al-Rashid (786-809) disebut-sebut merupakan zaman keemasan, sehingga ada penilaian bahwa kota Baghdad menjadi “kota yang tiada taranya di seluruh dunia” (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, London: Macmillan, 1970: 301-302). Dan berlanjut di era pemerintahan al-Ma’mun (813-833) merupakan puncak kebangkitan intelektual dengan didirikannya lembaga Bayt al-Ḥikmah pada 830 dengan tiga fungsi kombinasi:  perpustakaan, akademi dan biro penerjemahan. Bayt al-Ḥikmah merupakan lembaga pendidikan terpenting sejak didirikannya Musium Iskandariah pada paroh pertama abad ke-3 SM. (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, 310). Setelah mencapai puncak kejayaan Dinasti Abbashiyah lambat-laun memenuhi “sunnatullah”nya dengan gong kematiannya yang ditabuh oleh tentara bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulugu Khan pada 1258. Kota Baghdad pun porak-poranda dan Bayt al-Ḥikmah beserta khazanah intelektual Muslim hancur berantakan, dan pada giliranya reduplah, untuk tidak mengatakan berakhirlah, kisah negeri “seribu satu malam” yang pernah jadi marcusuar ilmu pengetahuan dan peradaban selama kurang lebih empat setengah abad.

Kedua, dalam sejarah yang tidak kalah hebatnya pernah diukir ketika Dinasti Umayyah di Andalusia (Spanyol Islam) membanguan kejayaannya pada ketiga unsur tersebut. Pada masa pemerintahan khalifah Abd Rahman III (929-961) umat Islam di Barat mencapai puncaknya kejayaannya dalam bidang politik dan ekonomi. Kejayaan ini dilanjutkan dan terjadi pada masa pemerintahan al-Hakam al-Mustanshir (961-976) yang, oleh al-Mas‘ūdi disebut sebagai khalifah yang paling bijaksana (aḥkam [dalam pengertian paling cinta buku/ ilmu]), mencapai keagungan dalam bidang keilmuan.  Cordova sebagai ibukota pemerintahan dipandang sebagai kota yang paling berbudaya di Eropa atau lebih dari itu sebagai “kota yang berperadaban paling tinggi di muka bumi.” (Lihat, Maria Rosa Menocal, Surga di Andalusia, 2015: 96). Sejumlah universitas di berbagai kota menarik minat para pencari ilmu baik Muslim maupun Kristen tidak saja dari Spanyol, tetapi juga dari wilayah-wilayah lain di Eropa, Afrika dan Asia (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, 526-536). Kekuasaan Islam di Andalusia (Spanyol Islam) memang tidak serta-merta berakhir dengan runtuhnya Dinasti ‘Umayyah pada abad ke-11, dan meskipun pada periode ini pula dimulai penaklukan kembali Spanyol (reconquista). Akan tetapi, kekuasaan terus belanjut di bawah pimpinan raja-raja kecil (mulūk al-Ṭawā‘if) dengan tetap mengembangkan tradisi keilmuan dengan melahirkan sejumlah ilmuan dan filosuf. Belakangan, kekuasaan Islam di Andalusia memenuhi “takdir sosiologisnya” ketika bersatuannya kerajaan Aragon dan Castile ditandai dengan perkawinan Raja Ferdinand II (1452-1516) dengan Ratu Isabella I (1451-1504) pada 1469. Penyatuan kekuasaan ini, menurut Philip K. Hitti, menjadi lonceng kematian kekuasaan Islam di Andalusia (Phillip K. Hitti, History of  the Arab, 537).

Ketiga, pada awal kebangkitan bangsa Barat, hal serupa terjadi, ketiga piranti utama itu tercermain, misalnya dari semboyan: Glory  (Kegemilangan), Gold  (Emas) dan Gospel  (Ajaran Agama). Pertama, “kegemilangan” mereka berawal ketika bangsa Barat (Kristen) berhasil menggeser posisi kekuasaan (politik-pemerintahan) dan menghalau umat Islam di Andalusia. Hegemoni politik mengantarkan mereka pada “penjajahan” dunia belahan Timur. Kedua, penjajahan membawa mereka pada penguasaan dan monopoli “emas” (kekayaaan) dunia Timur (Islam). Kekayaan yang melimpah ruah itu mereka angkut ke negeri masing-masing, dan membuat mereka makmur secara materi. Ketiga, dengan kekayaan itu mereka dapat membangun “budaya” keagamaan berupa bangunan gereja dan katedral yang mewah dan indah (baca: bagi Spanyol dan Portugis); membanguan “budaya” keilmuan dan intelektualisme dengan mendirikan/mengembangan universitas-universitas bermutu dan ternama (baca: bagi Inggris dan Prancis), seperti Universitas Oxford (1163) dan Universitas Cambridge (1209) di Inggris, Unversitas Sorbonne (1253) di Prancis serta sejumlah universitas yang terpandang di daratan Eropa lainnya.

Keempat, kejadian sama juga pernah terjadi pada masa kesultanan Islam di Nusantara, misalnya pada kesultanan Islam Aceh Dār al-Salām pada pertengahan abad ke-17, persisnya pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (Penjelasan luas tentang Acah pada era Sultan Isknadar Muda, misalnya, lihat  Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2007). Pada masa ini, Taufik Abdullah menyebutkan bahwa puncak kegemilangan kesultanan Aceh terjadi ketika ketiga unsur utama, yaitu politik, dagang dan agama dengan sangat jelas memperlihatkan hubungan yang sangat erat (Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, 1987: 124-125). Dengan hegemoni politik dan kemapanan ekonomi pada gilirannya menjadikan Aceh menjadi pusat persuratan intelektual Alam Melayu pada abad ke-17. Capaian-capaian yang diraih kerajaan Aceh ini dalam tiga piranti: bidang politik- kekuasaan; bidang ekonomi-perdagangan; bidang budaya-ilmu pengetahuan dan agama-intelektualisme sulit untuk mencari taranya baik sebelum maupun sesudahnya, khususnya di Malayu-Nusantara dicerminkan dengan sebutan “Serambih Mekkah”. (Tulisan yang otoritas prihal proses persuratan intelektual di Aceh, lihat, Abdul Hadi W.M., “Aceh dan Kesusastraan Melayu”, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, (ed.) Sardono W. Kusumo (Jakarta: IKJ Press, 2005), 173-276). Namun belakangan, setelah mencapai puncak kejayaannya pada era Sultan Iskandar Muda, meskipun sunnah Allāh tidak berlansung secara tragis, Kesultanan Aceh Dār al-Salām lambat-laun melemah. Untuk perang Acah yang pada akhirnya mengalami kekalahan melawan Belanda, lihat Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987).

Kelima, di kerajaan Melayu-Riau sendiri, pernah meraih kedikjayaan (politik-pemerintahn), kemakmuran (ekonomi-perdagangan) dan kemapanan (budaya-keagamaan). Dari ketiga unsur itu, dua disebut pertama terjadi pada lima dekade pertengahan abad ke-18 [persisnya mulai pada masa pemerintahan YDM II Riau Daeng Cella’ (1728-1745) sampai pada masa pemerintahan YDM IV Riau Raja Haji (1777-1784). Sementara unsur yang disebut terakhir, yaitu prestasi persuratan intelektual terjadi dalam “asuhan” Raja Ali Haji dan “lingkarannya” pada paroh kedua abad ke-19 hingga dekade awal abad ke-20 di kerajaan Melayu-Riau. Sesunggunya pasca Perang Riau (1782-1784) yang dahsyat antara kerajaan Johor Riau-Lingga di bawah pimpinan Raja Haji melawan kolonial Belanda, kerjaan Melayu-Riau sudah tidak lagi berdaulat penuh. Apalagi memasuki abad ke-20 kerajaan Melayu-Riau benar-benar sudah tidak lagi berdaya, dan memenuhi “sunnatullah”-nya ketika kekuasaanya “digenggam” oleh penjajahan Belanda dengan memakzulkan Sultan Abdur Rahman Mu‘azzam Syah (1884-1991) pada 1911, dan sebelum pada akhirnya Kerajaan Riau-Lingga dihapus dari “peta bumi” pada 1913. Pada waktu inilah kegiatan persuratan intelektual di bumi Melayu-Riau mulai surut, mandek dan akhirnya menjadi tinggal kenangan khazanah masa silam. (Untuk perang Riau yang pada akhirnya mengalami kekalahan melawan Belanda, lihat Abrur, Rustam S., (peny.) Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah Dalam Perang Melawan Belanda, Pekabaru: Pemda Riau, 1988).

Demikianlah sejumlah contoh tonggak-tonggak sejarah dunia yang menunjukkan betapa politik-pemerintahan, ekonomi-perdagangan, dan budaya-keilmuan telah berjalin-kelindan dalam membangun peradaban manusia. Ketiga printi ini secara hirarkis akan tetap senantiasa “berputar” dan “mewarnai” peradaban anak manusia silih berganti di masa menjelang.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.

BUDAK: Pembebasan Periode Madinah

BUDAK: Pembebasan Periode Madinah

Ketika Rasulullah masih berada di Mekkah penanganan masalah pembebasan perbudakan belum diupayakan secara radikal karena harus diselaraskan dengan situasi faktual dan kondisi objektif ummat Islam saat itu. Namun, setelah hijrah dan menetap di Madinah, ayat-ayat al-Qur’an turun dengan gencar dan sistimatis serta lebih radikal sebagai upaya untuk menghapus sistem perbudakan yang tidak sempat dituntaskan sewaktu masih di Mekkah. Karenanya, dalam surat al-Baqarah, termasuk sebagi surat yang pertama kali diturunkan di Madinah, Allah mengajarkan betapa mulia dan agung kebajikan yang dimiliki bagi orang yang memerdekakan budak, sampai-sampai Allah menyamakan kebajikannnya beriman kepada-Nya, beriman hari akhirat, mendirikan sholat,  menunaikan zakat dan al-birr lainnya.

Firman Allah: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesunguhnya kebajikan …. dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati  janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang sama dalam kesempitan, penderita dan dalam peperangan. Mereka itulah yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” Al-Qur’an, al-Baqarah (2): 177. Dan pada ujung ayat ini Allah mengklaim bahwa orang-orang yang memerdekekan budak termasuk salah seorang yang bertaqwa. Predikat ketaqwaan tersebut sangat layak dan logis untuk di sandang, bukankan memerdekan budak sebagai “jalan yang mendaki lagi sukar”.

Begitu pula, dalam  pembebasan perbudakan, pemberian harta untuk membebaskan budak yang semula dikategorikan sebagai sedekah belakangan disamakan dengan pembayaran zakat. Karena itu, al-Qur’an menyebutkan bahwa  zakat yang terkumpul juga dimaksudkan untuk memerdekakan budak. Ameer Ali mengutip firman Allah:  “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,  orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perejalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan oleh Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. al-Taubah [9]: 60; Ameer Ali, The Spirit of Islam:  262).

Seiring dengan ayat di atas, dalam  upaya-upaya lebih intens, Rasul Allah saw. memerintahakan umatnya tanpa jemu-jemu atas nama Allah, karena membesaskan budah adalah perbuatan  yang (paling) diredah oleh ‎Allah. Lebih jauh Ameer Ali memamarkan sikap Nabi Muhammad saw. terhadap perbudakan: “Ia menetapkan bahwa budak diizinkan untuk menebus kebebasan dirinya dengan jalan upah pekerjaannya. Kalau budak yang malang itu tidak mempunyai pengahasilan dan bermaksud mencari pengahasilan demi menebus kebebasannya, maka mereka harus diperkenankan oleh tuannya dengan suatu perjanjian. Ia juga menentukan bahwa budak harus diberikan dana dari perbendaharaan negara guna menebus kemerdekaannya…. Rasul Allah memerintahkan agar memperlakukan para budak dengan  ramah dan santun, sebagaimana perlakuan kepada keluarga dan tentangga atau seperti pada teman seperjalanan. Dianjurakan untuk “memberikan sebagian harta kekayaan yang dianugrarhkan Allah kepadamu.” Para majikan dilarang mempergunakan kekuasaanya dalam melampiaskan hawa nafsunya kepada budak yang dimilikinya. Pembebasan budak dilakukan sebagai tebusan kerena membunuh seorang Islam dengan tidak sengaja, dan perbuatan kesalahan lainnya.” (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 263).

Dari kutipan di atas nyata sekali bahwa salah satu cara dalam agama Islam untuk menghapus perbudakan adalah diperkenankannya seorang budak meminta kemerdekaannya pada tuannya dengan perjanjian bahwa ia akan membayar sejumlah uang yang ditentukan.  Allah menganjurkan agar bagi mereka yang memiliki budak agar menurutkan perjanjian yang mereka inginkan serta memberikan mereka sebagaian harta yang dianugrahkan Allah. Firman Allah: “…. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (al-Qur’an, al-Nur [24]: 33.) Dan untuk lebih capat lunasnya perjanjian tersebut hendaklah budak-budak itu ditolong dengan harta yang diambil dari zakat. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam:263)

Begitu pula  ajaran-ajaran al-Qur’an yang  dibawa oleh Nabi Muhammad saw. memerintahkan para tuan agar  menyantuni para budak yang mereka miliki. Firman Allah: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (Q.s. al-Nahl [16]: 71).

Pada bagian lain Allah memerintahkan agar memberdayakan budak lewat memberi zakat. Firman Allah: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. al-Taubah [9]:  60).

Di sisi lain, al-Qur’an juga mempuyai cara tersendiri dalam upaya-upayanya  pemebebasan/ menghapus perbudakan dalam Islam. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa bagi seseorang yang melakukan pelanggaran ajaran agama maka kaffarah alternatifnya, di antaranya adalah membebaskan budak. Misalnya, pertama, apabila seseorang membunuh dengan tidak sengaja (tidak dibenarkan syara’) seorang mukminm, maka kaffarah (dendanya), disamping membayar “diat”, adalah diwajibkan membebaskan budak. Firman Allah: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Qur’an,  al-Nisa [4]: 92).

Kedua, bagi seseorang yang bersumpah dan kemudian  melanggar sumpahnya maka hukumannya, kalau tidak memberikan makanan dan pakaian kepada keluaraga (ummat Islam), maka ia diwajibkan memerdekakan budak. Firman Allah: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah  kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (al-Qur’an,  al-Maidah [5]: 89).

Ketiga, bagi orang-orang yang menzihar istrinya (misalnya ia berkata “punggungmu seperti punggung ibuku), maka sebelum ia melakukan hubungan kembali dengan istrinya, maka hendakalah ia memerdekakan budak. Firman Allah: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( al-Qur’an,  al-Mujadalah [58]: 3).

Sementara itu, kalau pada periode Mekkah, al-Qur’an masih mentolerir si tuan “menggauli mamalakatnya” di luar nikah, maka pada periode Madinah al-Qur’an tampak sekali berupaya untuk mengangkat derajat kaum wanita, sehinga kalau si tuan berhasrat ingin “menggauli” budak-budak wanitanya dianjurkan terlebih dahulu menikahinya secara sah. Untuk itu, al-Qur’an tidak memperkenankan lagi si tuan memaksakan hasrat lebido seksnya kepada budak-budak wanita yang mereka miliki. Firman Allah:“… dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” (Al-Qur’an, al-Nur [24]: 33).

Apapun alasanya, termasuk demi menjaga kemaluan dan kehormatan, sebelum nikahi dengan baik-baik. Bahkan Islam mengajarakan bahwa mengawini wanita budak lebih baik dari wanita-wanita merdeka tetapi musyrik. Al-Qur’an menyebutkan bahwa budak-budak wanita berimana termasuk wanita-wanita yang tidak haram dinikahi. Dan ketika menikahinya, di samping harus minta izin kepada tuannya, al-Qur’an menganugrahkan perhargaan kepada budak-budak wanita dengan cara mendapatkan mas kawin. Firman Allah: “Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Lebih dari itu, al-Qur’an mengangkat derajat wanita-wanita budak yang beriman melebihi wanita-wanita yang merdeka tetapi musyrik. Perbandingan ini tampak nyata dalam al-Qur’an ketika seseorang berkeinginan untuk mengawini wanita musyrik yang menarik hatinya, tetapi diingatkan oleh Allah bahwa budak-budak wanita yang beriman adalah lebih baik.  Firman Allah: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (al-Qur’an, al-Baqarah [2]: 221).

Anjuran untuk menikahi budak-budak wanita merupakan salah satu cara Islam yang secara tidak langsung –dan tentu saja lewat lembaga pekawinan lebih efektif– untuk membebaskan wanita perbudakan. Kalaupun budak-budak wanita yang diperistri itu tidak sempat merdeka, tetapi karena diikat suatu pertalian suci, tentu saja perlakuan suami akan lebih beradab dan santun (berprikemanusiaan). Dan untuk pertimbangan masa depan, tentunya anak yang dilahirkannya adalah anak merdeka. Karenanya, al-Qur’an begitu gencar mempromosikan agar seseorang mengawini budak-budak wanita mu’min, misalnya al-Qur’an menyarankan, “barang siapa yang kurang biaya” atau “agar terhindar dari perzinahan”  maka nikahilah wanita-wanita budak yang mu’min. Firman Allah: “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu…” (Q.s.  al-Nisa [4]: 24].

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb

Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

Budak: Pembebasan Priode Mekkah

Budak: Pembebasan Priode Mekkah

Term hamba dalam perbincangan keseharian, kerapkali disandingkan dengan term hamba. Padahal, antara kedua term tersebut mempunyai diferensiasi makna yang cukup  siknifikan. Kalaupun harus dipersamakan maka buru-buru harus ditambahkan dengan kata “sahaya” sehingga menjadi “hamba sahaya”.  Mengingat term yang disebut pertama lebih berkonatasi kepada hubungan dan pengabdian manusia kepada Tuhan. Sementara yang disebut belakang lebih diidentikkan dengan hubungan dan pengabdian seseorang tertentu terhadap tuannya. Lagi pula,  term “budak” –sebagai term hubungan manusia dengan manusia (habl min al-nās) [sesuai dengan defenisi di atas] mengandung makna bahwa ketika seseorang telah menjadi budak, maka  dengan sendirinya hak dan kebebasannya menjadi terpasung dan seketika sirna. Sedangkan term “hamba” –sebagai term hubungan manusia dengan Tuhan (habl min Allah)– hak dan kebebasan manusia di hadapan Tuhan sedikitpun tidak terenggut. Karena dengan hanya ber-Tuhan-kan pada Allah justru berarti manusia membebaskan dirinya dari berbagai bentuk perbudakan.

Dalam mengungkapkan kedua term “hamba” dan “budak”, al-Qur’an mempergunakan kata yang berbeda. Untuk term yang disebut duluan, term hamba, al-Qur’an mempergunakan kata “’abd”. Kalaupun al-Qur’an menggunakan term ini beronotasi kepada hubungan sesama manusia, hanya sekali dijumpai dalam al-Qur’an yang (Q.s.. al-Baqarah [2]: 221). Namun, term  ‘abd (hamba) tersebut  akan acap kali diketemukan dalam al-Qur’an, khusus pada hubungan manusia dengan Allah. [Lebih lanjut term ‘abd  tidak menjadi fokus karena tidak relevan dengan pembahasan dalam tulisan ini]. Artinya penghambaan yang dibolehkan al-Qur’an hanya kepada Allah; sementara penghambaan terhadap manusia, manurut al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw., adalah terlarang. Karena itu, menurut panelitian Quraish shihab, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata raqabah yang dinisbatkan kepada orang-arang Mukmin. Atau dengan kata lain, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata rikabatukum atau riqabukum. Hal ini untuk memberikan pelajaran bahwa kalau pun seseorang satu dan lain hal memiliki budak,  maka ia harus tetap memperlakukannya secara manusia. Dengan kata lain ia tidak boleh memperlakukannya sebagai budak yang terbelenggu lehernya. (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir atas Surat-surat Pendek Beredasarkan Urutan Turunnya Wahyu: 810).

Untuk term yang disebut belakangan, term budak terkadang al-Qur’an mempergunakan kata “raqabah” dan di lain tempat al-Qur’an mempergunakan kata “malakat aimanukum”. Kata raqabah terulang di dalam al-Qur’an, menurut Quraish Shihab, tersebut sebanyak enam kali dalam bentuk tunggal; dan dalam bentuk jamaknya, riqab, sebanyak tiga kali. Kata ini pada mulanya berarti “leher”, kemudian diartikan sebagai manusia yang terbelenggu (terikat lehernya) dengan tali. Karena  memang demikianlah nasib dan  keadaan budak-budak pada zaman  dahulu. Sementara kata malakat aimanukum, di dalam al-Qur’an tercantum juga sebanyak sebanyak enam kali; dan empat di antarnya berkonotasi khusus kepada budak-budak wanita dalam melakukan “hubungan” dengan tuannya baik tidak lewat pernikahan ataupun lewat pernikahan. Mengingat kesan diperoleh dari istilah raqabah di atas sangat buruk, yaitu menggambarkan seseorang terbelenggu lehernya seperti binatang, maka al-Qur’an  memilih untuk tidak menamai mereka dengan ‘abd (hamba sahaya), tetapi menamainya malakat aimanukum (apa yang dimiliki oleh tangan kananmu). (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim,  809-810).

Dalam al-Qur’an, sembari memberikan perumpaan, Allah mendefenisikan sendiri bahwa  budak adalah seseorang “hamba sahaya yang dimiliki dan tidak dapat bertindak sesuatu apapun”. Firman Allah: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan. Adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (Al-Qur’an, Al-Nahl [16]: 75).

Dari batasan ayat ini didapatkan pemahaman bahwa budak adalah seseorang yang dikuasai dan tidak dapat berbuat sesuatu apapun atas namanya sendiri atau tidak berbuat apapun tanpa sepengetahuan dan seizin tuannya. Bahkan lebih dari itu, budak berkewajiban mengikuti jejak tuannya dalam berbagai kehidupan, termasuk mengekor dalam hal ideologi dan kepercayaan-keagamaan. Seorang budak tidak punya hak kesempatan untuk berbeda pandangan, apalagi membantah pendapat tuannya. Seorang budak tidak berhak untuk menolak perintah tuannya; dan ia berkewajiban untuk menaati apapun permintaan dan hasrat tuanya, termasuk ajakan untuk melacur diri demi keuntungan dan  kepuasan sang tuan. Nasib seorang budak sangat tergantung dari tuannya; kebebasan dan kemerdekaanya berada dalam genggaman tuannya; si tuan berhak menjatuhkan hukuman apapun atau si tuan tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan imbalan kebaikan kepada budak yang dimilikinya. Pendek kata, budak tidak mempunyai hak-hak apapun tetapi mempunyai kewajiban-kewajiban sedemiian banyak dan besar. (lihat, W. Montgemory Watt, Muhammad at Madina, Oxford: OUP, 1956: 293).

Budak dalam beberapa hal dapat dibandingkan dengan poligami. Seperti halnya poligami, perbudakan juga ada pada semua bangsa. Kedua hal ini, khusunya yang disebut belakangan, lambat laun akan menjadi terhapus seiring dengan bertambah majunya pemikiran dan peradaban serta dengan semakin tumbuhnya rasa kemanusiaan dan keadilan ummat manusia terhadap sesamanya. (Lihat, Syed Ameer Ali,  The Spirit of Islam: 258). Sehingga dapat dipahami, kalau tempo dulu perbudakan tetap  eksis sepanjang sejarah anak manusia sejak pada masyarakat primitif hingga sampai lahirnya agama Kristen, dua mellenium yang lampau. Bahkan agama yang dibawa oleh Nabi Isa (Alayhi al-Salām) itu, dengan ajaran “kasihnya”, dapat dikatakan gagal  mengelaminir, apalagi menghapuskan praktek-praktek perbudakan di muka bumi. Memang perbudakan pada masa-masa itu masih merupakan suatu “keniscayaan” hidup yang tak terbantahkan.

Lebih jauh, menurut Ameer Ali, Agama Kristen telah gagal dalam menghapus perbudakan. Kalangan geraja sendiri mempunyai budak-budak; dan dengan kata-kata yang nyata mengakui adanya lembaga perbudakan. Orang-orang Kristen yang mengklaim diri  mempunyai peradaban tinggi melakukan kekejaman-kekejaman yang paling begis terhadap oang-orang malang yang mereka pelihara sebagai budak. Orang Kristen kulit putih tidak pernah mengakui dan mengesahkan anakanya yang lahir dari hubunan gelap dengan budak-budaknya yang wanita negro. Dengan peremnpan-perempuan itu,  mereka  tidak dapat kawin sacara sah. Orang-orang Kristen tidak mampu menangkap dan  mengerti semangat ajaran-ajaran yang dibawa  Nabi-nya  mengenai persamaan manusia dalam pandangan Tuhan.  (Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 261-262).

Ketika Islam datang lewat Nabi Muhammad (S}allalla>hu ‘Alayhi Wasallam),  perbudakan tetap merupakan suatu fenomena dan realitas hidup keseharian. Dan sepertinya, al-Qur’an sendiri “lamban” dan “tidak tegas” menagani masalah ini; bahkan seolah-olah Islam masih “melegitimasi” adanya perbudakan. Penanganan al-Qur’an terhadap masalah ini tidak jauh berbeda dengan pelarangan minuman keras dan riba. Terhadap kedua persoalan tersebut, al-Qur’an pada awalnya masih diperbolehkan, tetapi lambat-laun, al-Qur’an menyikapinya dengan sistimatis, dan pada gilirannya al-Qur’an menyatakan pengharamannya dengan tegas dan tuntas. Begitu juga  dalam masalah perbudakan, sepertinya al-Qur’an, awalnya masih mentolerirnya, umpamanya  memerintahkan seseorang laki-laki memelihara kemaluannya kecuali kepada istri dan/ atu pada malakat yang mereka miliki, dan ini terjadi hususnya pada masa periode Mekkah, misalnya lihat, al-Qur’an, al-Nisa (4): 24, 25; al-Mu’minuun (23): 6; al-Ma’arij (70): 30. Tetapi pada periode Madinah upaya-upaya al-Qur’an dalam pembebasan budak sangat tampak dan jelas.

Padahal sesunguhnya “ruh” (semangat dan spirit)  Islam menentang dan melarang praktek-praktek perbudakan, sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an dan dilakukan Rasulullah. Sementara itu, tujuan al-Qur’an dan misi kenabian adalah untuk menciptakan masyarakat madani (civil sociaty) dengan tata kehidupan sosial-moral yang adil, egalitarian, inklusif dan pluralis serta berlandaskan iman pada Allah. Kalaupun perbudakan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat Arab pada awal kenabian, realitas tersebut hanya dapat “diterima” secara tentatif dan untuk sementara waktu.

Misi kenabian Muhammad saw. bertujuan untuk menciptakan masyarakat madani dalam sesama manusia; dan perbudakan merupakan sistem kehidupan yang paling jelas menggambarkan hubungan yang timpang dan tidak wajar tersebut yang sangat ditentang. Karena perbudakan, ibaratnya dua mata sisi yang berbahaya, tidak saja akan mencederai hubungan yang baik sesama manusia, tetapi sekaligus merusak hubungan kepada Tuhan. Perbudakan secara asasi bertentangan dengan ajaran Islam tentang tauhid yang melarang seseorang menghambakan diri kepada sesamanya atau lebih umum kepada ciptaan Tuhan  lainnya. Sebaliknya, membiarkan perbudakan berarti juga syirik, sebab orang yang memiliki budak adalah seseorang menjadikan dirinya “tandingan” Tuhan. Padahal manusia hanya boleh menghambakan diri kepada Tuhan semata dan tiada Tuhan selain Allah. Lihat,  Dawam Rahardjo,  “Ensiklopedi al-Qur’an “Abd”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 1,Vol. V, Thn. 1994, 43.

Pada masa awal sejarah Islam, Nabi Muhammad hanya mentolerir perbudakan lantaran menjadi tawanan perang. Inilah satu-satunya perbudakan yang dapat dibenarkan oleh hukum,  sampai mereka ditebus atau tawanan itu sendiri yang menebus kemerdekaannya lewat upah pekerajaan atau lewat dengan cara lain. Begitu juga pada masa pemerintahan Khalifah al-Rashidun, menurut Syed Ameer Ali, tidak dikenal perbudakan dengan jalan jual-beli (al-bay‘ah). Sekurang-kurangnya, lagi-lagi menurut Syed Ameer Ali, tidak ada data otentik yang menyebutkan bahwa terdapat budak yang diperoleh dengan jalan dibeli pada masa pemerintahan khulafa’ al-rashidun. Akan tetapi, perbudakan dengan jalan jual-beli baru kemudian pada masa munculnya dinasti Umayyah. Pada masa pemerintahan khalifah Islam inilah  terjadilah perubahan dan penyimpangan terhadap semangat dan ajaran Islam prihal “penghargaan kemanusian” yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Mua’awiyah bukan saja orang pertama dalam sejarah Islam yang  memberlakukan sistem pemerintahan Islam secara monarki, tetapi ia juga yang mula-mula  memperaktekkan pembelian budak (perbudakan) dalam Islam. (Lihat, Syed Ameer Ali,  The Spirit of Islam, 267).

Apabila tawanan/budak tersebut tidak mempunyai sumber penghasilan, Nabi  mengguggah hati nurani dan kesalehan ummat Islam  [ditambah pula dengan tanggungjawab berat diletakkan di atas pundak orang memiliki budak] tidak jarang ini menjadi sebab akhirnya budak tersebut dibebaskan. Al-Qur’an, al-Nur (24): 33.) Karenanya sedari awal, periode Mekkah, Al-Qur’an sudah mencangankan fakku raqabah, membebaskan manusia dari perbudakan. Untuk itu, dalam satu surat al-Qur’an yang diwahyukan dalam periode Mekkah awal, al-Qur’an telah mencanangkan “fakku raqabah” (membebasan budak dari perbuadakan) yang dilukiskan sebagai  ‘aqabah, “menempuh jalan yang mendaki dan lagi sulit” Maka tidakah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar tersebut? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan; atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan karabat atau orang miskin yang sangat fakir.” (Lihat, Q.s.al-Balad (90): 11-14.

Kata “fakk”, menurut Quraish Shihab, hanya ditemukan sekali dalam al-Qur’an, yaitu hanya pada pada ayat ini. Kata ini maknanya berkisar pada arti-arti: membuka, melepas, membebaskan dan menghancurkan. Jadi dalam konteks ayat ini, fakku raqabah,  berarti melepaskan tali (belenggu) yang mengikat leher seseorang atau membukanya, atau menghancurkannya sehingga manusia tersebut memperoleh kebebasan bergerak. Upaya pembebasan manusia dari perbudakan harus lebih awal dilaksanakan. Islam memandang bahwa   pembebasan   manusia   dari    segala bentuk  yang  membelenggu  dan merendahkan martabatnya kemanusiaannya harus dimulai lebih dini –untuk itu, ayat ini termasuk ayat al-Qur’an yang awal pada periode Mekkah– karena setiap langkah maju guna mencapai kemaslahatan manusia dan masyarakat tidak dapat dirahi sebelum kehormatan manusia sebagai manusia dapat ditegakkan. (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, 809-810).

Namun, karena kukuhnya sistem perbudakan dalam struktur masyarakat Arab –di samping membebaskan budak bukan perkara mudah, tapi  harus lewat jalan yang mendaki lagi sulit–serta penghapusannya akan menimbulkan gejolak sosial yang besar, maka fenomena ini di tangani oleh al-Qur’an secara persuasif dan bertahap. Lagi pula, ketika di Mekkah, Nabi Muhammad beserta pengikutnya masih merupakan golongan minoritas tertekan. Sementara itu kalau dipaksakan penghapusan budak tersebut dapat berakibat fatal bagi nasib komunitas agama yang baru dibina. (Ameer Ali, The Spirit of Islam, 262; lihat juga, Taufiq Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: 66.)

Dalam pada itu, karena sistem perbudakan merupakan tatanan kehidupan yang sudah sanagat mapan sehingga al-Qur’an tidak mungkin dengan serta-merta melarangnya dan harus lebih bijak dalam merespon peresoalan yang ada pada masa itu. (Ameer Ali, The Spirit of Islam, 262). Sikap al-Qur’an yang permisif dan masih metolerir perbudakan terlihat, misanya masih dibolehkan praktek-praktek si tuan laki-laki agar “menjaga kemaluannya, kecuali kepada istri dan budak-budak (wanita) yang mereka miliki”, menurut al-Qur’an, ”dalam hal ini mereka tidak tercela”. (Q.s. al-Mu’minūn [23]: 5-7).

Meksipun dibolehkan praktek-prektek seperti ini dikaitkan dengan himbauan moral, menurut al-Qur’an, demi menjaga kemaluan dan memelihara kehoramtan seorang laki-laki. Karenanya, al-Qur’an sendiri segera menambahkan, “barang siapa yang meencari di balik itu,” [misalnya seperti berzina, homoseksual dan praktek-prkatek seksual lain yang terlarang], menurut al-Qur’an, “maka mereka itulah orang-orang melampai batas.” Meskipun demikian, dalam kondisi struktur ekonomi masyarakat Mekkah yang timpang; adanya jurang yang terjal antara yang miskin dan kaya; serta antara yang kuat dan yang lemah, al-Qur’an acap kali mengkritik kaum bangsawan yang konglemerat karena mereka tidak mau memberikan sebagian rezeki meraka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar budak-buak mereka juga turut merasakan rezeki tersebut. Al-Qur’an menyebutkan sikap orang-orang kuat dan kaya tersebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah ((Q.s. Al-Nahl [16]: 71).

Dalam ayat periode Mekkah ini, al-Qur’an tidak melarang dan mengutuk perbudakan itu sendiri secara langsung, tatapi yang dikutuknya adalah sikap orang-orang kaya dan kuat Mekkah yang tidak mempunyai kepeduluan sosial dan tidak mau menyantuni  budak-budak yang mereka miliki yang, tentu saja, telah berbuat banyak kepada tuannya. Sementara tindakan perbudakan itu sendiri harus secara bertahap dan tidak dapat dipaksakan penerapannya seketika. Karena pembebasan manusia  dari  perbudakan  harus  bersumber  dari kesadaran dan sikap batin dari  manusia terhadap sesamanya. Cara inilah ditempuh al-Qur’an hingga Rasulullah dan para sahabat  berhasil sewaktu berada di kota Madinah.
Mā Tawfiq wa al-Hidayah illa bi Allah,
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)