Foucault dan Pendidikan Kita

Foucault dan Pendidikan Kita

Sekretaris Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau

Baru-baru ini, pendidikan agama di perguruan tinggi negeri kita, terutama pendidikan Islam, menuai kritik dari Menteri Riset dan Teknologi. Hal ini disadari dengan munculnya berbagai aksi intoleransi bahkan radikalisasi yang diusung oleh sebagian umat Islam. Kritik yang disajikan adalah model pembelajaran agama di perguruan tingga yang orientasinya cenderung normatif, teologis dan kognitif.

Munculnya berbagai kasus penodaan agama, kerusuhan dan intoleransi beragama yang terjadi akhir-akhir ini, merupakan cerminan dari ketidakmampuan pendidikan dalam memberikan pemahaman yang kondusif, damai, dan toleran bagi peserta didik kita. Model pembelajaran masih berada pada “pemaksaan” kehendak dan pemahaman satu arah saja. Model pembelajaran hanya berkutat pada sikap keagamaan yang tidak kritis, rasional dan obyektif serta penghormatan terhadap paham atau pemahaman orang lain.

Model pembelajaran seperti ini, memang agak meringankan seorang guru atau dosen dalam proses pembelajaran. Karena, dosen atau guru tidak akan memperoleh kritik. Guru atau dosen tidak akan disibukkan oleh penjelasan maupun kritikan dari peserta didiknya. Guru atau dosen tinggal memberikan informasi pengetahuan, yang tunggal dan dimaklumi sebagai sebuah kebenaran, sementara peserta didik hanya mendengar dan diwajibkan untuk menerima dan mengikuti apa yang disampaikan oleh guru atau dosennya.

Jika model pembelajan seperti itu masih menguat di dalam sistem pembelajaran kita, apalagi di perguruan tinggi, maka tidak heran jika cara-cara penyelesaian masalah dengan mengedepankan “pokoknya”, menjamur di tengah masyarakat kita. Ketika diplomasi “pokoknya” dikedepankan, maka proses mediasi apapun akan tumbang. Yang muncul justru pemaksaan dan intimidasi.

Di sini, pendidikan tentu tidak boleh melahirkan anak berupa kesadaran naif, melainkan harus menghasilkan apa yang oleh Paulo Friere sebut sebagai critical consciousness, kesadaran kritis. Karena hanya pendidikan yang kritis, dialogis, dan praksis yang memungkinkan memanusiakan manusia.

Pendisiplinan Tubuh ala Foucault
Model pembelajaran yang saya sebut di atas menurut Foucault adalah bagian dari upaya “pendisiplinan” tubuh. Menurutnya, sejak dahulu kala, tubuh telah menjadi obyek dan target dari kekuasaan; ia telah dimanipulasi, dibentuk, dan dilatih; tubuh juga dipaksa patuh dan dikendalikan agar menjadi terampil dan meningkatkan kekuatannya.

Upaya itu, bertujuan agar tubuh menjadi jinak (docile), sehingga ia mudah digunakan, digiring, diprovokasi, diubah bentuknya, atau ditingkatkan. Lebih-lebih lagi ketika tubuh telah menjadi obyek investasi angkuh oleh kekuasaan, atau yang memiliki kuasa, bisa guru, dosen, polisi, ulama, atau siapa saja yang mampu memberikan cengkraman dan pembatasan, maka tubuh akan mirip wayang yang setiap gerak langkahnya di bawah pengaruh seorang ”dalang”.

Dalam prosesnya, kekuasaan itu bekerja tidak selalu melalui penindasan dan represi, tetapi biasanya melalui normalisasi dan regulasi. Dalam Discipline and Punish Foucault mencontohkan bahwa strategi kuasa tak selalu berwujud penindasan atau represi tetapi melalui normalisasi dan regulasi yang disebut juga dengan “disiplin”. Salah satu ranah normalisasi dan regulasi itu adalah “tubuh”.

Tubuh didisiplinkan atau dinormalisasi dan diatur melalui regulasi tertentu.

Normalisasi dilakukan dengan penciptaan-penciptaan kategorikal; ini perilaku normal —tidak normal, ini paham liberal,  bukan liberal, ini muslim—  kafir, dan seterusnya. Sementara kontrol regulatif meliputi penguasaan wilayah-wilayah strategis yang mampu memberikan monopoli kekuasaan. Kekuasaan biasanya dipolitisasi sebagai upaya amar ma’ruf nahi mungkar. Hanya dengan merebut wilayah-wilayah strategislah, kemungkaran bisa diberangus.

Proyeksi tersebut, dalam sistem pendidikan terlihat bagaimana pendidikan mengontrol tingkah laku, tindak-tanduk, bakat, ketangkasan, bahkan pemahaman dan performa (tampilan berpakaian, gaya rambut, gaya janggut dan seterusnya) atas mahasiswa.

Pada semester-semester awal, tidak heran jika Anda mengamati di beberapa perguruan tinggi Islam, terjadi perubahan sikap, tingkah laku, pemahaman dan performa mahasiswa. Tampilan yang berubah itu, tanpa dibarengi oleh sikap kritis-dialogis di kalangan mereka. Para mahasiswa hanya menerima begitu saja “kontrol” atas kuasa dosennya.

Pada proses selanjutnya, pendidikan mengalami proses dehumanisasi, yang menurut Paulo Friere bahwa “dehumanisasi” ini muncul dari pola “pendidikan gaya bank”, di mana mahasiswa menjadi celengan dan dosen adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan dosen dengan mahasiswa. Lebih lanjut dikatakan, “konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid”. Mahasiswa hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh sang dosen, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya.

Fiqh Oriented
Kondisi tersebut di atas, menjadikan pembelajaran agama di perguruan tinggi, dalam bahasa saya adalah lebih mengedepankan nuansa fiqhiyah (fiqh oriented atau fiqh minded). Artinya, pembelajaran lebih berorietasi pada norma-norma benar-salah, pahala-dosa. Demikan juga pada pengajaran yang bersifat informal, para mubalig lebih menekankan metode “menakut-nakuti” jamaahnya dengan berbagai dimensi siksa kubur dan pedihnya azab api neraka. Setelah itu umat “dimanjakan” dengan “iming-iming” pahala yang besar dengan segala hitungan dan kelipatannya.

Setidaknya, terdapat empat ciri dari model pembelajaran yang fiqh oriented atau fiqh minded ini. Pertama, dosen hanya menyajikan satu faham saja atau satu mazhab tertentu dalam proses pembelajarannya. Yang lebih berbahaya lagi ketika faham itu dijadikan sebagai kebenaran tunggal. Akibatnya, mahasiswa akan menganggap paham di luar itu adalah salah dan harus diluruskan dengan memusuhi atau memerangi.

Misalnya adalah tentang ziarah kubur. Ada dua produk fiqih dalam memahaminya. Melarang dan membolehkannya. Masing-masing merujuk pada Alquran dan al-Hadis. Bagi yang melarang mengatakan bahwa orang yang berziarah ke kubur merupakan perbuatan syirik. Dan syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Tuhan. Menurutnya, pendapat dia itulah yang paling benar. Sehingga orang yang berziarah ke kubur dianggap musyrik. Padahal ada produk fiqih lain yang membolehkan berziarah ke kubur.

Kedua, munculnya keyakinan di kalangan dosen akan kebenaran satu mazhab. Ia berusaha berusaha untuk menjadikan mazhabnya, sebagai mazhab tunggal. Hanya satu mazhab yang benar. Umat Islam hanya bisa bersatu dan damai apabila semuanya bersatu dalam salah satu mazhab. Sehingga, dosen cukup menyampaikan dalil-dalil Alquran dan al-Hadits berdasarkan mazhab tunggal tersebut dengan mengabaikan dali-dalil yang ada pada mazhab lain. Yang lebih fatal lagi adalah keyakinan bahwa mazhab yang diyakini tersebut adalah produk tunggal dari Alquran dan al-Hadits, sedangkan mazhab lain dianggap tidak selaras dengan kedua teks tersebut. Sehingga menimbulkan anggapan bahwa hanya kelompok sendirilah yang beramal dan berprilaku seperti Alquran dan al-Hadits. Sementara kelompok yang berbeda dengan dirinya dianggap tidak mendasarkan amal dan perbuatannya pada Alquran dan al-Hadits.

Ketiga, kesalehan diukur dari kesetiaan pada fiqih. Pada posisi ini, tingkat keberagamaan seseorang diukur pada baik atau tidaknya cara menjalankan fiqihnya. Bila caranya sama dengan yang mereka lakukan, maka termasuk orang saleh. Sementara yang tidak sama dengan fiqihnya, berarti ia tidak saleh, sehingga berkewajiban untuk meluruskannya.

Ada salah satu kisah Nabi Muhammad SAW dalam kitab al-Targhib wa al-Tarhib 3:405 yang menjelaskan tentang pentingnya akhlak dalam mengukur tingkat keberagamaan seseorang. Disebutkan, suatu waktu ada seorang lelaki yang menemui Nabi Muhammad SAW dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah menjawab, “akhlak yang baik.” Orang itu kemudian mendatangi Rasulullah dari sisi kanan dan bertanya, “Apakah agama itu?” Rasulullah menjawab, “akhlak yang baik.” Lalu dia mendatangi Nabi dari sebelah kiri dan bertanya, “Apakah agama itu?” Dijawab, “akhlak yang baik.” Orang itu kemudian mendatangi Rasulullah dari belakang dan bertanya, “Apakah agama itu?” Nabi menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? (Agama itu adalah akhlak yang baik). Sebagai contoh, janganlah engkau marah.”

Belajar untuk Berbeda
Alquran dan al-Hadits merupakan sumber mutlak dan bersifat Ilahi, maka tidak ada perdebatan tentang kebenaran keduanya. Siapa yang memperdebatkan atau meragukan atau mengkritiknya, adalah salah dan kafir. Akan tetapi, sangat berbeda ketika Alquran dan al-Hadits sudah ditafsirkan menjadi sebuah pemahaman. Keduanya berubah menjadi tafsir atau fiqh. Pada posisi ini, maka ia tidak bersifat Ilahi, ia tidak mutlak. Bahkan ia bersita manusiawi.

Pada tingkat pemahaman yang bersifat manusiawi ini lah, seringkali umat Islam terjebak pada penyamaan antara pemahaman dirinya tentang Alquran dan al-Hadits dengan kebenaran Alquran dan al-Hadits itu sendiri. Sehingga mereka menyamakan fiqih-nya, menyamakan tafsirnya dengan Alquran dan al-Hadits. Jadi, ketika ada umat Islam lain menyalahkan bahkan menentang pemahamannya itu, berarti menentang Alquran dan al-Hadits. Bahkan ia akan membela mati-matian, karena menurutnya pemahamannya tesebut bukan lagi hasil pemikiran manusia, melainkan Alquran dan al-Hadits itu sendiri. Karena ia adalah Alquran dan al-Hadits, maka kebenarannya menjadi mutlak dan benar.

Oleh sebab itu, pendidikan sebagai lembaga yang bertujuan pengalihan kebudayaan (cultural transformation) dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau berupaya mengedepankan proses perkembangan manusia (human

development), maka model-model pembelajaran yang hanya mengenalkan satu tafsir, satu mazhab, sehingga terkesan melahirkan pemaksaan kehendak dan kepentingan tertentu, haruslah dihindari.

Proses pembelajaran dalam pandangan Foucault tentang “disiplin tubuh” adalah bukan pelaksanaan kehendak atas paksaan yang datang dari orang lain, tetapi disiplin merupakan pelaksanaan atas kehendak sendiri. Disiplin berbeda dengan kepatuhan seorang budak. Karena disiplin bukanlah didasarkan pada penyerahan badan atau seperti kepatuhan “pelayan”, disebabkan tidak lain karena tubuh bukan merupakan relasi “dominasi”. Disiplin lebih ditujukan sebagai pengembangan penguasaan individu terhadap “tubuhnya sendiri”.

Di antara bentuk pembelajaran yang pada titik tertentu memiliki otonomi untuk mengatur dan mengontrol tubuhnya sendiri adalah dengan memberinya pemahaman bahwa ada yang berbeda di luar dirinya, ada yang memiliki pemahaman yang tidak sama di luar dirinya, bahwa perbedaan itu sunnatullah, penghormatan atas perbedaan itu penting, dan seterusnya. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Diposkan Oleh Tim Liputan Suska News

Dikutip dari Riau Pos Edisi  Rabu, 7 Juni 2017