DARI ISRA’ SPRITUAL KE MI’RAJ SOSIAL

DARI ISRA’ SPRITUAL KE MI’RAJ SOSIAL

By: Imam Hanafi, MA.

Sekretaris ISAIS UIN Suska Riau

Seandainya aku Muhammad yang di-Isra’ Mi’raj-kanitu, maka demi Allah aku tidak akan mau dikembalikan lagi kebumi.”

(Sir Muhammad Iqbal)

 

Salah satuperistiwa yang bersejarah dalam kehidupan Nabi Muhammad adalah peristiwaIsraMi’raj. Kenapa bersejarah? Karena ia merupakan milestone (tonggaksejarah) bagi kehidupan Nabi Muhammad sendiri dan seluruh umatnya. Milestone adalaha significant point in any progress of development, yang berarti bahwa peristiwa yang bermakna dan memberikan dampak bagi bergerak majunya ummat manusia atau masyarakat atau suatu bangsa dalam perkembangan atau pembangunannya.

Hal ini disebabkan oleh karena isra’ mi’raj  merupakan peristiwa atau momentum penting yang  memiliki makna perubahan bagi perubahan adab dan budaya ummat Islam, karena peristiwa tersebut mampu merobah pola pikir, pola sikap dan tindak umat Islam atau bangsa Arab pada saat itu. Salah satu pesan penting dalam peristiwa ini adalaha dan ya perintah untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam.

Umum dipahami bahwa IsraMi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah hijrah keMadinah.Misalnya merujuk pendapat al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian Nabi Muhammad. Begitu juga pendapat al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Meskipun demikian, tidak dipungkiri sebenarnya telah terjadi perbedaan dikalangan para ulma’ terkait dengan peristiwa ini. Misalnya Imam An-Nawawi dan Al Qurthubi  menyatakan bahwa perisitiwa tersebut terjadi lima tahun setelah Nabi Muhammad diutus sebagai rasul, bukan tahun ke-10.

Isra’ Spritual

Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa Isra dan Mik’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW. Dari Mekah keBait al-Maqdis (Palestina) kemudian naik keSidrat al-Muntaha serta kembali lagi keMekah dalam waktu sehari semalam. Dalam psikologi, persitiwa ini sebenarnya adalah peristiwa religious experience (pengalaman keagamaan) yang sangat luar biasa. Karena sifatnya yang luar biasa inilah, Isra Mi’raj menjadi dari bagian mukjizat Nabi yang tidak seorang pun mengalaminya, kecuali Nabi Muhammad SAW.

Sebagai sebuah pengamalan keagamaan, perjalanan yang dialamai Nabi Muhammad tersebut pada dasarnya merujuk pada dua perjalanan sekaligus, yaitu naik kelangit dan turun kembali kebumi.

Dalam tradisi sufi, peristiwa “naik kelangit” merupakan perjalanan spiritual yang tidak mudah. Seseorang jika ingin memperoleh pancaran cahaya tasawuf (ma’rifatullah) perlu menempuh tahapan spiritual (maqamatruhiyyah). Tahapan-tahapan spiritual seperti tobat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal dan syukur bisa digapai melalui bermacam-macam ibadah, mujahadah dan riyadhah serta menyerahkan segenap jiwa dan  raga sepenuhnya kepada Allah SWT. Ketika ia mampu meluruhkan atau melenyapkan sifat-sifat kebinatangan yang ada pada dirinya, seperti sombong, angkuh, kikir, serakah, dan lainnya, maka ia akan mengalami ahwal, yaitu keadaan pengalaman spiritual dalam mengintropeksi jiwa (muhasabah al-nafs). Suatu keadaan dimana ia mampu mendekat kehadirat Allah Swt.

Karena begitu susahnya manusia menuju ke Allah, maka sangat wajar ketika para sufi memberikan komentar “Muhammad telah naik, aku bersumpah, seandaikan aku yang mencapai tempat itu (baca; Sidrat al-Muntaha), aku takkan mau kembali lagi kebumi” seru Abdul Quddus dari Ganggoh. Dalam dunia sufi, merasakan kenikmatan bersama dengan Allah, merupakan puncak aktivitas spiritual manusia.

MeskipunNabi Muhammad sudah mencapai maqam tertinggi dalam dunia sufi, sebagaimana yang selalu di idam-idamkan para sufi dalam mistisisme Islam, namun Nabi Muhammad bukanlah “sufi” tipikal seperti itu. Muhammad SAW. Adalah seorang rasul yang –meminjam istilah filsuf penyair Dr. Sir Mohammad Iqbal- harus “menyiapkan diri kedalam kancah zaman”. Nabi Muhammad justru turun kebumi.

Menuju Mi’raj Sosial

Kembalinya NabiMuhammad SAW. Dari pengalaman keagamaan yang maha dasyat atau yang oleh oleh Gustav Jung sebut sebagai bagian dari arche type (pola dasar) bagi kehidupan umat Islam, maka umat Islam mesti menjadikan perjalanan spiritual tersebut sebagai upaya untuk mentransfer nilai-nilai kemanusiaan dalam dimensi yang lebih luas. Sejarah sacral  paranabi, termasuk Isra Mi’raj ini, menjadi apa yang oleh sosiologi Prancis terkemuka, Pierre Bourdieu disebut “akalpraktis” (senspratique), yaitu kemampuan yang mengendalikan umat Islam dalam kehidupan praktisnya. Bukan menjadi objek atau hasil pemikiran rasional. Sebagai “modal simbolis” (capital syimbolique), karena peristiaIsra Mi’raj dapat dijadikan modal simbolis untuk menjadikan sesorang menjadi besar dalam kehidupan sosialnya dan sebagai “peresapan dalam tubuh” (incoper incorporation), berarti peristiwa Isra’ Mi’raj dapat diolah menjadi modal simbolis untuk dikembangkan kedalam sikap atau gerak kehidupannya saat ini.

Dengan demikian, Mi’raj bukanlah titik    Muhammad  tersebut. Merasakan kenikmatan ruhani yang maha dahsyat,bukanlah tujuan dari perjalanan hidup dan risalahnya. Hal inilah yang membuat Nabi dan Sufi agak bertolak belakang. Jika dalam dunia Sufi memandang ekstase kenikmatan ruhani itu sebagai tujuan hidupnya, sementara  bagi Nabi, kenikmatan ruhani yaitu hanyalah sekedar menjadikannya sebuah rehat sejenak untuk mengambil kembali energi ruhani, mengisi ulang stamina jiwa. Sesudah itu dunia menantinya untuk berkarya bagi kemanusiaan.

Inilah karya kemanusian terbesar bagi Nabi Muhammad. Merelakan kenikmatan ruhaniyah demi kembali berjuang menyelamatkan kaum jahiliyah pada waktu itu. Dan memang Nabi Muhammad telah memperoleh mi’raj yang sangat istemewa, mi’raj ini dapat diperoleh kapan saja dan oleh siapa saja.Karena baginya,”Saat mi’raj seorang mukmin adalah shalat!”

Shalat, kata Sayyid Quthb, adalah hubungan langsung antara manusia yang fana dan kekuatan yang abadi.Ia adalah waktu yang telah dipilih untuk pertemuan setetes air yang terputusdengansumber yang takpernahkering. Iaadalahkunciperbendaharaan yang mencukupi, memuaskan, dan melimpah. Ia adalah pembebasan dari batas-batas realita bumi yang kecil menuju realita alam raya.

Namun begitu, shalat bukan saja dipandang sebagai karitas individual, tetapi juga menunjuk pada transformasi sosial. Shalat merupakan jalan yang paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia kearah yang lebih berkeadapan (madinat). Sebab, dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan, bukan pemaksaan, begitu penjelasan Dr. Moeslim Abdurrahman.

Postulasi epistemologis shalat sebagai tonggak peradaban, secara gamblang telah dijelaskan oleh Ochen Idris Sirfefa, menurutnya hadits yang berbunyi “Al-sholatu ‘imadu al-din famanaqaamahufaqadaqaama al-diin” dapat diartikan secara luasyaitu, “Shalat itu tonggak perdaban, maka barang siapa yang mengerjakannya telah menegakan peradaban”. Maka, agama (sholat) dengan peradaban bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Shalat dengan begitu harus berdampak pada dimensi keadaban. Kadar ketakwaan sesorang dihadapan Tuhan bukanlah semata-mata ditentukan oleh rutinitas shalatan-sich, tapi juga sejauh mana implikasi shalat itu dalam aksi kemanusiaan secara universal.

Jika kita sekarang masih menyaksikan ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kelaparan, terror, pembunuhan, pemerkosaan, dan “patologi social” lainnya yang marak belakang ini, mungkin ada baiknya kita intripeksi diri (muhasabah al-nafs), sekaligus berbenah diri (reformasi), sudahkah kita shalat secara baik dan benar? Sudahkah kita mampu mengejawantahkan fungsi shalat di tengah krisis social belakangan ini?.

Padaara sinilah, bias dipahami bahwa IsraMi’raj dapat dijadikan sebagai kekuatan transformasi untuk perubahan social menuju format masyarakat yang adil, egaliter dan masyarakat yang madani. Wallahua’lam

Agama, Kekuasaan dan Seks

Agama, Kekuasaan dan Seks

By: Imam Hanafi, MA.

Sekretaris ISAIS UIN Suska Riau

Beberapa hari ini, kita disuguhi oleh berbagai berita yang telah mencabik-cabik kesadaran bagi mereka yang masih sadarakan harga diri kemanusiaannya. Betapa tidak, kasus demi kasus pemerkosaan yang melibatkan anak-anak dibawah umur, telah menjamur di negeri ini. Kasus terahir, yaitu kasus pemerkosaan dan pembunuhan atas Yuyun menunjukkan bahwa isu besar tentang kejahatan sosial masih minim diberi perhatian negara dan telah sampai pada titik mengkhawatirkan. Hal ini juga ditambah dengan data dari Komnas Perempuan, darikasuskekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual berada di peringkat kedua, dengan jumlah kasus mencapai 2.399 kasus (72%), pencabulan mencapai 601 kasus (18% dan sementara pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%).

Melihat gejala ini, apakah mungkin prediksi Michel Foucault, seorang filosofari Perancis,menjadi benar? Bahwa kekuasaan adalah seks dan seks adalah kekuasaan. Bahkan peradaban terbentuk dengan dua elemen ini. Menurutnya, dalam tubuh manusia terbentang wujud kekuasaan. Setiap gerak langkah tubuh manusia, mengisyaratkan seksualitas.

Dalam pandangan Foucault, seluruh sistem ekonomi, sosial dan politik dari suatu Negara, sangatberkaitaneratdenganseksualitas.Seksualitasini, berhubungan dengan jumlah populasi, berhubungan pula dengan kebebasan dan juga pernyataan politis seseorang. Sikap-sikap represif terhadap tubuh oleh Negara maupun individu, misalnya dalam bentuk control, telah menjadikan tubuh manusia menjadi objek yang dikendalikan dan dikuasai.

Tubuh manusia, kemudian menjadi obyek untuk dikendalikan dan dikuasai. Siapa saja yang memiliki kekuasaan, dapat melakukan “apa saja” atas tubuh manusia. Celakanya, perempuan yang lemah dan “ringkih”, selalu menjadi obyek kebrutalan kekuasaan. Penguasaan atas tubuh manusia ini, bisa saja dilakukan oleh mereka yang memang berkuasa dan mampu mengendalikan tubuh yang lainnya dengan uang dan kekuasaannya, tetapi bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan dan uang, maka yang dilakukan adalah sebagaimana kasus-kasus kekerasan seksual yang merebak di Negara kita saat ini.          Disini seks menjadi “liar”.Siapa saja boleh menikmati seks.

Sakralitas Seks

Setiap tubuh manusia, pada dasarnya memiliki relasi yang tidak bisa dirasionalisasikan oleh siapapun. Tubuh manusia pada saat itu mengalami sesuatu yang estetis, ada intensitas, keterlibatan emosi, rasa haru atau senang. Peristiwa ini menandai adanya kesucian pada setiap tubuh yang dimiliki oleh manusia. Inilah yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an bahwa laqadkhalaqna al-Insan fi ahsanitaqwim, sungguh kami ciptakan manusia itu dengan sebagus-bagusnya bentuk.

Keindahan tubuh manusia, dilengkapi dengan keunggulan akal budhi-nya, akan mampu menembus batas-batas ragawi tubuh itu sendiri. Sebagaimana para sufi yang mampu melakukan penjelajahan tubuhnya, dapat mencapai tingkat kesadaran spritualitas yang tinggi. Tubuh bagi mereka adalah citra mungil dari makro kosmos yang tak berhingga. Tubuh dengan begitu, dapat dilatih dalam mencapai ketentraman, bahkan ketentraman seksual. Ini yang sering digambarkan oleh hadits nabi bahwa jika tidak sanggup menahan seksualmu, maka berpuasalah.

Dengan berpuasa, tubuh menjadi terlatih untuk menahandiri dari kekuatan-kekuatan yang menyebabkan tubuh menjadi sengsara, termasuk gairah seksual. Dengan puasa, gairah seksualini, dengan sendirinya akan mengontrol tubuh untuk selalu berorientasi pada Tuhan. Karena sesungguhnya seks itu adalah rahasia seseorang dengan pasangan dan Tuhan yang mengkaruniakannya.

Seksualitas dengan begitu tidak hanya dipahami sebagai penerima dan pemberi kepuasan bagi tubuh, melainkan sebagai proses atau ritus pensucian, dan merupakan metode bagi tubuh manusia untuk menyerap berbagai energy dari jagat raya. Dan memang agama memandang seks merupakan sebuah aktifitas suci, ia merupakan medium regenerasi bagi kehidupan makhluk hidup berikutnya.

Dari sudut pandang ini, proses penciptaan (prokreasi) yang semula menjadi peran Tuhan sebagai al-Khaliq, MahaPencipta, sebagian melibatkan manusia. Karena proses prokreasi yang seharusnya berada pada wilayah absolut (mutlak) Tuhan, maka perlu prasyarat atau ritual-ritual tertentu yang suci bagi seks, dalam Islam proses ritual ini disebut dengan nikah (nikah).

Bahkan semua tradisi keagamaan apa pun, memandfang bahwa seks adalah sacral, suci, ada serangkaian ritual yang harus dipenuhi untuk melakukan …..mengharuskan seseorang.

Oleh karena itu, seks pada dasarnya adalah suci yang berada dibawah konstruksi yang di ridhai oleh Tuhan. Sehingga harus dilaksanakan oleh sepasang manusia; laki-laki dan perempuan, dalam sebuah pernikahan yang sah menurut agama. Jika seks dilakukan di luar koridor tersebut, maka kesucian aktivitas seks tidak berlaku lagi, bahkan menentang kontruksi Tuhan. Dan ini sungguh membahayakan bagi kehidupan manusia yang akan datang. Wallahua’lam bi al-Shawab.

Kearifan Melayu terhadap Alam

Kearifan Melayu terhadap Alam

Oleh – Imam Hanafi
Sekretaris ISAIS UIN Suska Riau
Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini mengalami berbagai macam bencana. Sejak Desember 2004 hingga 2014, bencana alam secara silih berganti menghantam negeri tercinta ini.
Mulai dari gempa bumi Nabire, tsunami dahsyat di Aceh dan Nias, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, gempa bumi Jogjakarta, tsunami Pangandaran dan Cilacap, sampai gempa bumi 7,9 skala richter yang menimpa Sumatera Barat, Bengkulu, dan Jambi. Lalu, sejak Desember 2013 sampai sekarang, banjir besar sempat melumpuhkan ibu kota negara, sebagian besar wilayah Pantura Jawa, dan Manado.
Disusul erupsi Gunung Sinabung serta Gunung Kelud yang masih berlangsung sampai sekarang. Serta di daerah kita kebakaran hutan yang secara massif bergejolak di Riau, yang berakibat pada munculnya kabut asap di Riau saat ini.
Tidak sedikit yang menjadi korban atas berbagai bencana tersebut. Pada tahun 2013, dari 1.387 kejadian bencana di Indonesia, telah menyebabkan 825 jiwa tewas, 24.121 jiwa luka-luka, 3,8 jiwa mengungsi dan menderita, dan lebih dari 86.000 rumah rusak.
Sedangkan tahun 2014 dalam dua bulan ini. sudah ada 372 kejadian bencana dengan dampak 245 jiwa tewas. selain itu lebih dari 1,6 juta warga mengungsi dan lebih dari 9.400 rumah rusak.
Sesungguhnya, pada konteks teologis, apapun yang disebut bencana atau musibah, baik yang terjadi di darat, laut maupun udara merupakan sunnatullah (kehendak atau hukum Allah).
Namun demikian, perilaku manusia menjadi pemicu terjadinya bencana alam, bahkan memberikan kontribusi terhadap besar kecilnya kerugian dan penderitaan akibat bencana tersebut.
Diskripsi atas pernyataan tersebut, dijelaskan oleh Alquran yaitu : “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. 30:41).
Sepakat dengan ayat tersebut, dalam konteks pemerhati lingkungan, bencana yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia dinilai karena eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang berlebihan.
Eksploitasi alam yang dilakukan selama bertahun-tahun tanpa memikirkan keseimbangan ekosistem telah membuat alam Indonesia menjadi rentan terhadap bencana.
Melihat Kearifan Melayu
Tentu menjadi sebuah kontradiksi, di bumi Melayu yang memiliki ungkapan-ungkapan (petatah-petitih) yang secara nyata membela dan menjaga kelestarian alam, namun justru melahirkan massifikasi asap dari ”rahim bumi” melayu.
Coba kita renungkan sejenak bagaimana kearifan Melayu dalam memandang alam:
Tanda orang memegang adat, alam dijaga petuah diingat. Tanda orang berbudi pekerti, merusak alam Ia jauhi.
Tanda orang berakal budi, merusak hutan Ia tak sudi.
Tanda orang berpikiran panjang, merusak alam Ia berpantang. (Tennas Effendy, 2004: 664)
Kutipan tersebut, menjelaskan betapa buruknya pandangan orang Melayu terhadap mereka yang melakukan penghancuran terhadap alam.
“Bumi ini adalah titipan untuk anak cucu” yang menjadi jargon pemerhati lingkungan, menjadi bagian integral dari khasanah kearifan Melayu. Karena mencemarkan kelestarian dan tanpa memikirkan akibatnya bagi kehidupan masa kini dan anak cucunya di kemudian hari, merupakan pantangan bagi orang Melayu.
Banyak bukti yang memperlihatkan bahwa masyarakat Melayu hidup berdampingan dengan alam secara harmonis. Praktik masyarakat Melayu yang menyesuaikan diri dengan alam juga terlihat dari cara membangun rumah (rumah panggung). Bagian paling bawah dari rumah adalah batu sebagai penopang tiang-tiang utama rumah yang terbuat dari kayu.
Tetapi, tidak seperti rumah pada umumnya, masyarakat Melayu tidak menggali tanah untuk pondasi.
Batu hanya diletakan di atas tanah. Jika kontur tanah tidak rata, maka bukan tanah yang menyesuaikan sehingga diratakan, tetapi batu dan tiang kayu yang menyesuaikan.
Jadi, panjang pendeknya batu mengikuti kontur tanah. Namun sayang, rumah model ini sangat jarang kita jumpai saat ini. Selain itu, apabila masyarakat Melayu dulu akan menggunakan kayu maka kayu yang akan dipakai adalah kayu-kayu yang telah kering dan tua.
Kayu bakar tersebut diperoleh dari pohon yang sudah dimakan rayap atau batang pohon dan ranting yang jatuh terserak. Masyarakat Melayu dulu tidak sembarangan menebang pohon untuk kayu bakar.

Pertanyaannya kemudian adalah masihkah kita menelantarkan anugerah kearifan lokal kita yang begitu agung tersebut? Jika itu ada, semoga tahun depan tidak akan ada lagi kabut asap di bumi Melayu ini. 

Dikutip dari www.radarbangka.co.id 07-03-2019

Aku Lebih Baik daripada Dia – Imam Hanafi

Aku Lebih Baik daripada Dia – Imam Hanafi

Sekretaris Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau

PADA suatu hari, di hadapan Nabi Muhammad saw, para sahabat sedang memperbincangkan sahabat lainnya yang memiliki tingkat kesalehan lebih tinggi dari pada mereka. Nabi pada saat itu tidak memberikan komentar sedikitpun tentang sahabat yang saleh tersebut. Padahal, Nabi adalah sosok yang paling suka memuji kebaikan orang, meski sekecil apapun. Tiba-tiba datanglah seseorang, “inilah orang yang kami bicarakan, wahai Rasul Allah”, kata para sahabat. Nabi yang mulia berkata, “tetapi aku melihat bekas usapan setan di wajahnya”.

Orang itu setelah mengucapkan salam, kemudian duduk di majelis Nabi. Lalu Nabi mendekatinya dan bertanya; “Apakah setiap kamu masuk ke dalam kumpulan orang, kamu merasa bahwa kamulah yang paling baik dia ntara mereka?” Ia menjawab, “benar”.

Tidak lama kemudian orang “saleh” itu bangkit dan pergi salat ke masjid. Tanpa diduga Nabi bersabda: “Siapa yang akan membunuh orang itu?” Abu Bakar orang pertama yang menyatakan kesediaan untuk membunuhnya. Tetapi, sesaat kemudian Abu Bakar kembali sambil berkata: “Bagaimana mungkin saya membunuhnya, sementara ia sedang rukuk dengan sangat khusyuk”.

Ketika Nabi mengulangi pertanyaannya, Umar berdiri menuju orang tersebut. Ia juga kembali dengan mengajukan keberatan: “Tidak mungkin saya membunuhnya. Ia sedang meratakan dahinya di atas tanah, bersujud dengan sangat khidmat”. Hingga sampai pada giliran Ali untuk berdiri dan menuju ke masjid orang tersebut. Tetapi ia pun kembali dengan pedang yang bersih. Ali melaporkan bahwa orang tadi sudah tidak berada lagi di dalam masjid. Kemudian Nabi bersabda: “Jika kalian membunuh dia, umatku tidak akan terpecah setelah ini”.

Kisah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, lebih merupakan parable daripada makna harfiahnya. Nabi tidak mengajarkan kepada umatnya untuk membunuh orang yang sedang salat. Akan tetapi, Nabi mengajarkan kepada umatnya, untuk tidak terbuai oleh tingkat kesalehannya sendiri. Kesalehan dalam beragama bukanlah sebuah show business. Dengan kesalehannya, seseorang tidak lantas membusungkan dada di hadapan orang banyak. Tidak untuk menyebut-nyebut kesalehannya di hadapan orang lain.

Jauh sebelum peristiwa tersebut. Alkisah, suatu saat Nabi Musa AS diminta oleh Allah untuk mencari seseorang yang menurut Nabi Musa lebih baik dari pada dirinya. Setelah Nabi Musa mencari dengan bersusah payah, akhirnya Nabi Musa tidak menemukan orang itu. Karena selalu ada hal lain yang menjadikan orang itu lebih baik dari pada Musa. Karena gagal, Musa kemudian masuk ke tengah-tengah binatang. Dalam diri binatang pun Nabi selalu menemukan hal-hal yang lebih baik dari pada Nabi Musa. Sampai ahirnya Nabi Musa menemukan anjing yang buruk rupa, di sekujur tubuhnya penuh dengan kudis, sehingga bulu-bulunya berjatuhan. Akan tetapi, di tengah jalan Nabi Musa melepaskan anjing tersebut. Karena masih ada juga kelebihan dari padanya. Lalu kemudian Nabi Musa kembali menghadap Tuhan, sambil berkata: “Tuhan, aku tidak menemukan seorangpun yang aku lebih baik darinya”. Tuhan lalu berfirman: “Demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang membawa seseorang yang kamu pikir, kamu lebih baik dari pada dia, maka Aku akan hapus namamu dari daftar kenabian”.

Sebuah sindiran yang luar biasa menusuk bagi siapa saja yang masih memiliki kedalaman iman. Kehebatan apa lagi yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa? Toh, ia ahirnya tunduk kepada kelebihan yang dimiliki oleh sesuatu di luar dirinya. Bahkan hewan sekalipun. Barangkali itu semua merupakan mitos atau legenda yang tidak perlu dijadikan dasar bagi kita, untuk melakukannya. Tapi drama eksakatologis antara iblis dengan Allah, ketika Adam akan diangkat menjadi khalifah di bumi, menjadi sangat penting untuk kita imani bersama.

Ana Khairun Minhu
Kata ana khairun minhu, atau “aku lebih baik dari pada dia” pertama kali diucapkan oleh iblis untuk menunjukkan kesombongannya, superiority complex, di hadapan Allah. Yaitu ketika iblis diminta oleh Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam AS, akan tetapi iblis menolak sembari berkata “Aku lebih baik dari pada dia. Kau ciptakan aku dari api, sementara Adam kau ciptakan dari tanah”.

Kesombongan ini, merupakan keangkuhan geneologis atau keturunan. Iblis merasa secara geneologis lebih baik dari pada Adam. Sehingga sering disebut sebagai rasialisme. Pada aras ini, ketika seseorang menyebut dirinya atau kelompoknya “lebih baik dari pada yang lain” adalah sama dengan apa yang dilakukan iblis yang mengakibatkan dia ”dilemparkan” dari surga.

Manifestasi dari sikap iblis ini, sangat banyak terlihat di lapangan. Misalnya dengan memberikan peluang sebesar-besarnya bagi kelompok atau golongan tertentu untuk menduduki posisi-posisi strategis di wilayah publik, sekaligus memberikan proteksi yang seluas-luasnya pula bagi kelompok atau golongan lainnya yang tidak bukan bagian dari “keturunannya”.

Oleh sebab itu, Imam Al-Ghazali mewanti-wanti kepada kita semua, agar tidak terjebak pada dua jenis takabur, yaitu takabur dalam urusan agama dan takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan agama dibagi lagi menjadi dua; takabur karena ilmu dan takabur karena amal. Menurut Al-Ghazali, banyak ilmuan dan ulama yang terjebak pada sikap takabur. Apa indikasinya? Di antaranya ia merasa paling hebat, sehingga tidak mau mendengarkan orang yang lain. Pertama, ia merasa dirinya paling pintar dan merasa tidak memerlukan bantuan orang lain.

Kedua, takabur karena amal. Contoh paling sederhana adalah sebagaimana cerita pada masa sahabat di atas, yang menegaskan bahwa dirinya merasa lebih saleh daripada yang lain, merasa sudah paling sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, sehingga di luar itu adalah anti-Islam.

Takabur pada urusan dunia, kata Imam Al-Ghazali di antaranya disebabkan oleh kecantikan, kekayaan, keturunan sebagaimana yang diproklamirkan oleh iblis di atas, jabatan, dan banyaknya pengikut atau anak buah. Wallahu a’lam bi al-Showab.

Diposkan oleh Tim Liputan Suska News (Suardi, Donny, Azmi, PTIPD)

Dikutip dari Riau Pos Edisi Jumat, 30 Oktober 2015

Meluruskan Teologi Bencana

Meluruskan Teologi Bencana

Bencana di negeri ini dipandang dari kacamata apapun, menjadi suatu yang
sungguh fenomenal. Rentetan peristiwa “bersejarah” yang mengenaskan dan
memilukan terjadi silih berganti dalam hitungan hari.

Dimulai dari Tsunami di Aceh yang mengharu-birukan dunia kemudian hadir
kembali di tepian pantai selatan Jawa beberapa waktu lalu, gempa tekto-fulkanik
di Irian, Maluku, Jogjakarta dan terakhir di Sumatera Barat.

Bencana longsor yang hampir merata dari Irian Barat, Jawa Barat hingga
Sumatra Barat, sampai pada bencana yang berpangkal dari ulah manusia seperti
semburan Lumpur Lapindo dan kecelakaan transportasi darat, laut dan udara tak
pernah berhenti terjadi bagai tak bosan mendera rakyat dan bangsa ini.

Begitu runtun dan kerapnya jarak antara satu bencana dengan bencana
lainnya sehingga sepertinya sudah -meminjam istilah sosial-“mentradisi” di
tanah air tercinta ini.

Pertanyaannya adalah, sejauh mana fenomena bencana negeri ini berpengaruh
terhadap sikap dan pemikiran masyarakat kita? Bagaimana wacana teologis
masyarakat dalam menyikapi bencana dahsyat yang menimpa sekeliling mereka?

Hal ini perlu dicermati karena bencana bencana tidak saja berdampak pada
persoalan ekonomi, sosial, psikologi dan politik, tetapi juga masalah teologi
dan alam pikir masyarakat yang terkena dan yang menyaksikan bencana.

Dahulu kita selalu diyakinkan atau di-nina bobokkan dengan
istilah-istilah yang menggambarkan kehebatan dan kesuburan Indonesia. Mulai
dari istilah negeri “Untaian zamrud khatulistiwa”, negeri “tongkat kayu dan
batu jadi tanaman” (Koes Plus). Tapi sekarang hutan kita telah gundul dan
menjadi penyebab longsor dan banjir bandang di mana-mana termasuk ibu kota.
Penduduknya yang ramah, suka bergotong-royong dan saling tolong-menolong kini
telah berubah menjadi individualis dan pragmatis.

Setidaknya ada tiga arus pemikiran yang mengitari masyarakat kita ketika
menyaksikan bencana yang terus-menerus silih berganti antara bencana alam dan
bencana yang timbul dari ulah manusia dalam tiga tahun belakangan ini yakni;
teologi mistis, nihilistic dan religio-fenomenologis.

Pertama, teologi mistis-klenis. Rentetan bencana yang secara kebetulan
terjadi dan mendera bangsa ini makin sering di masa kepemimpinan SBY-Kalla. Hal
ini, mengundang spekulasi pemikiran berbau klenik bahwa duet pemimpin ini tidak
diterima atau lemah secara spiritual untuk memimpin negeri ini.

Bencana yang menyatakan kehendak alam ditafsirkan sebagai keengganan
kalau bukan penolakan atas representasi mereka. Bahkan ada yang dengan
kotak-katik asal jadi ala klenik, mengambil persamaan kata dengan tokoh dan
alam pikir dunia pewayangan, meyakini bahwa jika yang berkuasa di bumi adalah
Bethara Yudho (Yudhoyono?) dan Bethara Kala (J Kalla?), maka yang akan terjadi
adalah bencana.

Pemikiran dan pemahaman (baca: teologi) semacam ini tidak hanya salah
dari logika karena mengukur dengan mitos yang berkembang di belakang hari tanpa
preseden, tetapi sekaligus juga menyesatkan karena berbasis tahayul dan
apriori.

Kedua, teologi nihilistis. Rentetan bencana yang selalu membawa kematian
yang begitu kerap terjadi di tengah himpitan kesulitan hidup dan merajalelanya
ketidak-adilan politik, sosial dan ekonomi menjadikan masyarakat terbiasa acuh
dan kehilangan kepekaan alam dan sosialnya.

Penyebabnya adalah ekspos terhadap rusaknya alam dan sosial yang terlalu
akrab di telinga dan mata mereka atas kemajuan di bidang telekomunikasi dan
informasi menyebabkan bencana yang terjadi dianggap sebagai suatu hal yang
biasa.

Bisa dibayangkan eksposs berita bencana di berbagai stasiun teve sedang
dilambungkan angannya oleh gaya hidup para selebriti (infotainment),
menyebabkan masyarakat kesulitan memilih dan memilah, antara yang benar-benar
terjadi dengan yang hanya sekadar sandiwara.

Di lain pihak, dalam dunia riil dihadapan mereka dengan jelas disaksikan
para politisi, pemimpin, hakim dan penegak hukum seringkali tidak peduli,
bahkan dengan seenaknya memperlakukan rakyat kecil sebagai bulan-bulanan
politik dan ketidak adilan tanpa ada yang mampu melindungi mereka.

Bencana sosial, ekonomi dan politik yang mendera tanpa habis dirasakan
oleh mereka di daerah, telah membuat mereka tidak lagi sempat memperhatikan
orang lain yang sedang tertimpa musibah di tempat lain. Akhirnya sikap acuh tak
acuh mengkristal karena membentuk pikiran mereka sehingga masyarakat cenderung
untuk berpikir apatis.

Ketiga, teologi religio-fenomenologis. Konsep ini, biasanya merujuk
kepada Alquran, yaitu doktrin bahwa “Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mareka sebahagian dari (akibat) perbuatan mareka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar)” (QS Ar-Rum ayat 40).

Hal ini, muncul tidak lepas dari sifat ketamakan atau kerakusan manusia
yang lebih mementingkan diri sendiri daripada kemaslahatan umat, sehingga
mereka tidak mau mendengar panduan Ilahi.

Yang menjadi persoalan adalah ketika konsep “bencana”, yang pada awalnya
dipahami sebagai “symbol” peringatan Tuhan terhadap sikap-sikap egoisme manusia
terhadap alam, secara berlahan mulai memudar.

Karena, hal ini akan memunculkan apatisme -untuk tidak mengatakan erosi
teologis- dalam ruang sadar umat di negara ini, terhadap setiap bencana yang
muncul. Sehingga, orang tidak lagi merasa prihatin terhadap musibah yang
menimpa saudara-saudara mereka.

Apabila kondisi ini, menjadi mindset dalam setiap kepala umat di negeri
ini, maka tidak ada harapan lagi bagi umat di negeri ini untuk bangkit.***

Dardiri Husni MA, Kepala Institute for Southeast Asia Islamic Studies
(ISAIS) UIN Suska Riau. Imam Hanafi, mahasiswa Program Pasca Sarjana UIN Suska
Riau.

Dikutip Riau Pos 16 Maret 2007 Pukul 08:48

Foucault dan Pendidikan Kita

Foucault dan Pendidikan Kita

Sekretaris Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Suska Riau

Baru-baru ini, pendidikan agama di perguruan tinggi negeri kita, terutama pendidikan Islam, menuai kritik dari Menteri Riset dan Teknologi. Hal ini disadari dengan munculnya berbagai aksi intoleransi bahkan radikalisasi yang diusung oleh sebagian umat Islam. Kritik yang disajikan adalah model pembelajaran agama di perguruan tingga yang orientasinya cenderung normatif, teologis dan kognitif.

Munculnya berbagai kasus penodaan agama, kerusuhan dan intoleransi beragama yang terjadi akhir-akhir ini, merupakan cerminan dari ketidakmampuan pendidikan dalam memberikan pemahaman yang kondusif, damai, dan toleran bagi peserta didik kita. Model pembelajaran masih berada pada “pemaksaan” kehendak dan pemahaman satu arah saja. Model pembelajaran hanya berkutat pada sikap keagamaan yang tidak kritis, rasional dan obyektif serta penghormatan terhadap paham atau pemahaman orang lain.

Model pembelajaran seperti ini, memang agak meringankan seorang guru atau dosen dalam proses pembelajaran. Karena, dosen atau guru tidak akan memperoleh kritik. Guru atau dosen tidak akan disibukkan oleh penjelasan maupun kritikan dari peserta didiknya. Guru atau dosen tinggal memberikan informasi pengetahuan, yang tunggal dan dimaklumi sebagai sebuah kebenaran, sementara peserta didik hanya mendengar dan diwajibkan untuk menerima dan mengikuti apa yang disampaikan oleh guru atau dosennya.

Jika model pembelajan seperti itu masih menguat di dalam sistem pembelajaran kita, apalagi di perguruan tinggi, maka tidak heran jika cara-cara penyelesaian masalah dengan mengedepankan “pokoknya”, menjamur di tengah masyarakat kita. Ketika diplomasi “pokoknya” dikedepankan, maka proses mediasi apapun akan tumbang. Yang muncul justru pemaksaan dan intimidasi.

Di sini, pendidikan tentu tidak boleh melahirkan anak berupa kesadaran naif, melainkan harus menghasilkan apa yang oleh Paulo Friere sebut sebagai critical consciousness, kesadaran kritis. Karena hanya pendidikan yang kritis, dialogis, dan praksis yang memungkinkan memanusiakan manusia.

Pendisiplinan Tubuh ala Foucault
Model pembelajaran yang saya sebut di atas menurut Foucault adalah bagian dari upaya “pendisiplinan” tubuh. Menurutnya, sejak dahulu kala, tubuh telah menjadi obyek dan target dari kekuasaan; ia telah dimanipulasi, dibentuk, dan dilatih; tubuh juga dipaksa patuh dan dikendalikan agar menjadi terampil dan meningkatkan kekuatannya.

Upaya itu, bertujuan agar tubuh menjadi jinak (docile), sehingga ia mudah digunakan, digiring, diprovokasi, diubah bentuknya, atau ditingkatkan. Lebih-lebih lagi ketika tubuh telah menjadi obyek investasi angkuh oleh kekuasaan, atau yang memiliki kuasa, bisa guru, dosen, polisi, ulama, atau siapa saja yang mampu memberikan cengkraman dan pembatasan, maka tubuh akan mirip wayang yang setiap gerak langkahnya di bawah pengaruh seorang ”dalang”.

Dalam prosesnya, kekuasaan itu bekerja tidak selalu melalui penindasan dan represi, tetapi biasanya melalui normalisasi dan regulasi. Dalam Discipline and Punish Foucault mencontohkan bahwa strategi kuasa tak selalu berwujud penindasan atau represi tetapi melalui normalisasi dan regulasi yang disebut juga dengan “disiplin”. Salah satu ranah normalisasi dan regulasi itu adalah “tubuh”.

Tubuh didisiplinkan atau dinormalisasi dan diatur melalui regulasi tertentu.

Normalisasi dilakukan dengan penciptaan-penciptaan kategorikal; ini perilaku normal —tidak normal, ini paham liberal,  bukan liberal, ini muslim—  kafir, dan seterusnya. Sementara kontrol regulatif meliputi penguasaan wilayah-wilayah strategis yang mampu memberikan monopoli kekuasaan. Kekuasaan biasanya dipolitisasi sebagai upaya amar ma’ruf nahi mungkar. Hanya dengan merebut wilayah-wilayah strategislah, kemungkaran bisa diberangus.

Proyeksi tersebut, dalam sistem pendidikan terlihat bagaimana pendidikan mengontrol tingkah laku, tindak-tanduk, bakat, ketangkasan, bahkan pemahaman dan performa (tampilan berpakaian, gaya rambut, gaya janggut dan seterusnya) atas mahasiswa.

Pada semester-semester awal, tidak heran jika Anda mengamati di beberapa perguruan tinggi Islam, terjadi perubahan sikap, tingkah laku, pemahaman dan performa mahasiswa. Tampilan yang berubah itu, tanpa dibarengi oleh sikap kritis-dialogis di kalangan mereka. Para mahasiswa hanya menerima begitu saja “kontrol” atas kuasa dosennya.

Pada proses selanjutnya, pendidikan mengalami proses dehumanisasi, yang menurut Paulo Friere bahwa “dehumanisasi” ini muncul dari pola “pendidikan gaya bank”, di mana mahasiswa menjadi celengan dan dosen adalah orang yang menabung, atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah melahirkan kontradiksi dalam hubungan dosen dengan mahasiswa. Lebih lanjut dikatakan, “konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid”. Mahasiswa hanya mendengarkan, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh sang dosen, tanpa menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya.

Fiqh Oriented
Kondisi tersebut di atas, menjadikan pembelajaran agama di perguruan tinggi, dalam bahasa saya adalah lebih mengedepankan nuansa fiqhiyah (fiqh oriented atau fiqh minded). Artinya, pembelajaran lebih berorietasi pada norma-norma benar-salah, pahala-dosa. Demikan juga pada pengajaran yang bersifat informal, para mubalig lebih menekankan metode “menakut-nakuti” jamaahnya dengan berbagai dimensi siksa kubur dan pedihnya azab api neraka. Setelah itu umat “dimanjakan” dengan “iming-iming” pahala yang besar dengan segala hitungan dan kelipatannya.

Setidaknya, terdapat empat ciri dari model pembelajaran yang fiqh oriented atau fiqh minded ini. Pertama, dosen hanya menyajikan satu faham saja atau satu mazhab tertentu dalam proses pembelajarannya. Yang lebih berbahaya lagi ketika faham itu dijadikan sebagai kebenaran tunggal. Akibatnya, mahasiswa akan menganggap paham di luar itu adalah salah dan harus diluruskan dengan memusuhi atau memerangi.

Misalnya adalah tentang ziarah kubur. Ada dua produk fiqih dalam memahaminya. Melarang dan membolehkannya. Masing-masing merujuk pada Alquran dan al-Hadis. Bagi yang melarang mengatakan bahwa orang yang berziarah ke kubur merupakan perbuatan syirik. Dan syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Tuhan. Menurutnya, pendapat dia itulah yang paling benar. Sehingga orang yang berziarah ke kubur dianggap musyrik. Padahal ada produk fiqih lain yang membolehkan berziarah ke kubur.

Kedua, munculnya keyakinan di kalangan dosen akan kebenaran satu mazhab. Ia berusaha berusaha untuk menjadikan mazhabnya, sebagai mazhab tunggal. Hanya satu mazhab yang benar. Umat Islam hanya bisa bersatu dan damai apabila semuanya bersatu dalam salah satu mazhab. Sehingga, dosen cukup menyampaikan dalil-dalil Alquran dan al-Hadits berdasarkan mazhab tunggal tersebut dengan mengabaikan dali-dalil yang ada pada mazhab lain. Yang lebih fatal lagi adalah keyakinan bahwa mazhab yang diyakini tersebut adalah produk tunggal dari Alquran dan al-Hadits, sedangkan mazhab lain dianggap tidak selaras dengan kedua teks tersebut. Sehingga menimbulkan anggapan bahwa hanya kelompok sendirilah yang beramal dan berprilaku seperti Alquran dan al-Hadits. Sementara kelompok yang berbeda dengan dirinya dianggap tidak mendasarkan amal dan perbuatannya pada Alquran dan al-Hadits.

Ketiga, kesalehan diukur dari kesetiaan pada fiqih. Pada posisi ini, tingkat keberagamaan seseorang diukur pada baik atau tidaknya cara menjalankan fiqihnya. Bila caranya sama dengan yang mereka lakukan, maka termasuk orang saleh. Sementara yang tidak sama dengan fiqihnya, berarti ia tidak saleh, sehingga berkewajiban untuk meluruskannya.

Ada salah satu kisah Nabi Muhammad SAW dalam kitab al-Targhib wa al-Tarhib 3:405 yang menjelaskan tentang pentingnya akhlak dalam mengukur tingkat keberagamaan seseorang. Disebutkan, suatu waktu ada seorang lelaki yang menemui Nabi Muhammad SAW dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah menjawab, “akhlak yang baik.” Orang itu kemudian mendatangi Rasulullah dari sisi kanan dan bertanya, “Apakah agama itu?” Rasulullah menjawab, “akhlak yang baik.” Lalu dia mendatangi Nabi dari sebelah kiri dan bertanya, “Apakah agama itu?” Dijawab, “akhlak yang baik.” Orang itu kemudian mendatangi Rasulullah dari belakang dan bertanya, “Apakah agama itu?” Nabi menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? (Agama itu adalah akhlak yang baik). Sebagai contoh, janganlah engkau marah.”

Belajar untuk Berbeda
Alquran dan al-Hadits merupakan sumber mutlak dan bersifat Ilahi, maka tidak ada perdebatan tentang kebenaran keduanya. Siapa yang memperdebatkan atau meragukan atau mengkritiknya, adalah salah dan kafir. Akan tetapi, sangat berbeda ketika Alquran dan al-Hadits sudah ditafsirkan menjadi sebuah pemahaman. Keduanya berubah menjadi tafsir atau fiqh. Pada posisi ini, maka ia tidak bersifat Ilahi, ia tidak mutlak. Bahkan ia bersita manusiawi.

Pada tingkat pemahaman yang bersifat manusiawi ini lah, seringkali umat Islam terjebak pada penyamaan antara pemahaman dirinya tentang Alquran dan al-Hadits dengan kebenaran Alquran dan al-Hadits itu sendiri. Sehingga mereka menyamakan fiqih-nya, menyamakan tafsirnya dengan Alquran dan al-Hadits. Jadi, ketika ada umat Islam lain menyalahkan bahkan menentang pemahamannya itu, berarti menentang Alquran dan al-Hadits. Bahkan ia akan membela mati-matian, karena menurutnya pemahamannya tesebut bukan lagi hasil pemikiran manusia, melainkan Alquran dan al-Hadits itu sendiri. Karena ia adalah Alquran dan al-Hadits, maka kebenarannya menjadi mutlak dan benar.

Oleh sebab itu, pendidikan sebagai lembaga yang bertujuan pengalihan kebudayaan (cultural transformation) dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau berupaya mengedepankan proses perkembangan manusia (human

development), maka model-model pembelajaran yang hanya mengenalkan satu tafsir, satu mazhab, sehingga terkesan melahirkan pemaksaan kehendak dan kepentingan tertentu, haruslah dihindari.

Proses pembelajaran dalam pandangan Foucault tentang “disiplin tubuh” adalah bukan pelaksanaan kehendak atas paksaan yang datang dari orang lain, tetapi disiplin merupakan pelaksanaan atas kehendak sendiri. Disiplin berbeda dengan kepatuhan seorang budak. Karena disiplin bukanlah didasarkan pada penyerahan badan atau seperti kepatuhan “pelayan”, disebabkan tidak lain karena tubuh bukan merupakan relasi “dominasi”. Disiplin lebih ditujukan sebagai pengembangan penguasaan individu terhadap “tubuhnya sendiri”.

Di antara bentuk pembelajaran yang pada titik tertentu memiliki otonomi untuk mengatur dan mengontrol tubuhnya sendiri adalah dengan memberinya pemahaman bahwa ada yang berbeda di luar dirinya, ada yang memiliki pemahaman yang tidak sama di luar dirinya, bahwa perbedaan itu sunnatullah, penghormatan atas perbedaan itu penting, dan seterusnya. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Diposkan Oleh Tim Liputan Suska News

Dikutip dari Riau Pos Edisi  Rabu, 7 Juni 2017