48 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (3): Sumpah Setia Antara Melayu dan Bugis

48 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (3): Sumpah Setia Antara Melayu dan Bugis

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Pembenuhuan yang dilakukan oleh Raja Kecil kepadaSultan Abdul Jalil, dan perlakuan terhadap keluarganya, membuat sang “putra mahkota”, Raja Sulaiman beserta saudara perempuannya, Tengku Tengah tidak puas.Keduanya sepakat ingin menuntut balas atas kematian orang tuanya. (Lihat, Muhammad Yusoff Hashim, Hikayat Siak, 127; Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 191; Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 54-61).Akan tetapi, menurut Hikayat Siak, sesungguhnya yang lebih sakit hati kepada Raja Kecil adalah saudara perempuan Raja Sulaiman bernama Tengku Tengah. Dia sakit hati kerena sewaktu ayahnya, Sultan Abdul Jalil, masih hidup, Tengku Tengah telah dipinang oleh Raja Kecil. Akan tetapi, perkawinan itu tidak pernah terwujud, lantaran Raja Kecil lebih tertarik dan memilih adiknya, Tengku Kamariah yang lebih cantik dan jelita. Pada akhirnya Tengku Kamariah dinikahi oleh Raja Kecil, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Untuk mewujudkan maksud tersebut, Raja Sulaiman dan Tengku Tengah meminta bantuan kepada keturunan bangsawan Bugis putra Opu Tendri Borong Daeng Rilekka lima bersaudara: Daeng Parani, Daeng Manambung, Daeng Marewa, Daeng Calla’dan Daeng Kamase yang berasal dari Sulawesi Selatan.Menurut Tuḥfat al-Nafīs, tersebutlah di kerajaan Luwu’, Sulawesi Selatan seorang Raja bernama La Maddusilat yang mempunyai tiga orang putra, masing-masing bernama Pajung, Opu Tendri Borong Daeng Rilekka dan Opu Daeng Biasa.

Sewaktu Raja La Maddusilat mangkat, naiklah putra sulungnya, Pajung menggantikan singgasana ayahndanya.Sedangkan kedua adiknya diangkat menjadi menteri-menteri kerajaan. Akan tetapi, tidak lama kemudian, kedua adiknya tersebut bermohon kepada kakandanya untuk pergi merantau dan mengembara di negeri orang di sebelah barat Nusntara. Belakangan adik bungsunya, Opu Daeng Biasa menjadi kelana di tanah Jawa dan belakangan menjadi bagian pasukan Belanda dalam menduduki tanah Jawa. Atas jasanya, pihak Belanda mengangkatnya menjadi pimpinan keturunan Bugis di negeri Batavia.

Sedangkan Opu Tendri Borung Daeng Relakka –karena ketidakstabilan pemerintahan di kerajaan asalnya –beserta lima orang putranya pergi merantau dan mengembara ke Siantan, Malaka dan Johor serta sampai di Kamboja. Di Kamboja, misalnya Opu Tendribuang Daeng Rialaga beserta putra-putranya disambut dan dimuliakan oleh raja Kamboja [di sini putranya, Daeng Parani dikawinkan dengan putri raja Kamboja –ketika belakangan putranya lahir dari hasil pernikahan itu diberi nama Daeng Kamboja].

Akhirnya, tidak lama setalah meninggalkan wilayah Kamboja Opu Tendri Borong Daeng Rilekka wafat.Sepeninggalan ayahnya, putra tertuanya, Daeng Parani menggantikan kedudukan ayahndanya untuk memelihara adik-adiknya yang masih muda, khusus adiknya, Daeng Kamase dan Daeng Calla’. Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 181-182; A. Samad Hasan, Kerajaan Johor-Riau (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1985), 1-8; Untuk ejaan nama-nama keturunan Bugis lebih benar dan sekaligus lebih dapat dipertanggungjawabkan dari hasil penelitian Andi Ima Kesuma. Andi Ima Kesuma, Migrasi dan Orang Bugis: Penglusuran Kehadiran Opu Daeng Rilakka Pada Abad XVII di Johor (Penerbit Ombak, 2004), 96-100.

Ketidakstabilan politik di Sulawesi Selatan setelah hegemoni kerajaan Goa dikalahkan oleh penjajah Belanda, menyebabkan pengembaraan dan diaspora para bangsawan Bugis/Makassar ke berbagai daerah di Nusantara. Di bagian sebelah barat Nusantara mereka menyebar di pulau Jawa, Kalimantan, di kawasan perairan Selat Malaka, dan bahkan sampai di Ayuthia, Siam (Mung Thai). (Lihat, Taufiq Abdullah, “Abad 18 di Selat Malaka dan Raja Haji Yang Terlupakan”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 170; Leonard Y. Andaya, “The Bugis-Makassar Diaspora”, JMBRAS, Vol. 68, Part 1 (1995), 119-138; lihat juga Christian Pelras, “Petualangan Orang Makassar di Ayuthia (Mung Thai) pada Abad Ketujuhbelas”, Masyarakat Indonesia, Jilid IX, no. 2 (Desember 1982), 207227; Christian Pelras, “Beberapa Penjelasan Mengenai Dua Anak Bangsawan Makassar yang Pernah ke Perancis pada Abad ke XVIII”, Masyarakat Indonesia, Jilid IX, no. 1, (Juni 1982), 57-67).

Kesepakatan mereka terjadi dalam undangan Raja Sulaiman untuk jamuan makan malam kepada keturunan bangsawan Bugis lima bersaudara. Salah satu bentuk komitmen Tengku Tengah dengan saudaranya, Raja Sulaiman demi mengobati rasa sakit hatinya, iab ersedia “disandingkan” dengan salah seorang dari lima keturunan bangsawan Bugis. Sewaktu jamuan makan malam sedang berlangsung, seperti dituturkan Raja Ali Haji dalam Tuḥfat al-Nafīs:

“… kemudian Tengku Tengah keluar dan berdiri di pintu selasar membuka bidai, melepas subang di telinganya, seraya dia berkata, “Hai raja Bugis, jikalau sungguh hamba berani, tutuplah kemaluan hamba ini akan anak beranak saudara bersaudara! Maka (apabila) kemaluan beta semua (ini) tertutup, maka relalah beta (semua ini) menjadi hamba raja Bugis, jika hendak disuruh menanak nasi (raja) sekalipun relalah beta.” Setelah mendengar pernyataan Tengku Tengah itu, maka Opu Daeng Perani menjawab, seraya berkata, “Insya Allah, seboleh-bolehnya hamba tolonglah dan hamba tutupkan kemaluan Tengku semua anak beranak adik beradik.” (Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 191; Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 59-60; Muhammad Yussof Hashim, Hikayat Siak, 128).

Ada beberapa argumen, kenapa pilihan Raja Sulaiman memohon bantuan kepada keturunan bangsawan Bugis, lima bersaudara putra-putra Opu Tendri Borong Deng Rilekka, dan bukannya pada kekuatan lainnya. Pertama, setelah runtuhnya kerajaan Malaka pada 1511 telah memperlihatkan kemerosotan kepemimpinan penguasa Melayu. Proses degradasi ini terus berlanjut hingga terbunuhnya Sultan Mahmud II pada 1699. Penyebab utama kemerosotan tersebut, menurut Andaya, karena kelompok “Orang Laut” merupakan pendukung utama dari kerajaan, terutama berhubungan dengan kekuatan militer di perairan, sudah tidak bersedia lagi memberikan pengabdiannya kepada penguasa baru bukan keturunan langsung dinasti kerajaan Melaka. Menurut mareka, pengabdiannya secara total berakhir pada penguasa keturunan terakhir kerajaan Malaka. (Lihat, Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor, 323; Hamid Abdullah, “Melacak Perjuangan Raja Haji”, dalam SejarahPerjuangan Raja Haji Fisabililla, 282-283).

Kedua, sebelum masa Sultan Sulaiman, campur tangan Bugis pernah terjadi (kali pertama) pada tahun 1679 atas undangan Sultan Ibrahim ketika diusir dari Johor dan lari ke Riau. Sejak itu dan khususnya memasuki abad ke-18 sejarah Riau dan daerah sekitarnya selalu terikat dengan kekuatan opu-opu Bugis yang muncul dengan pesat dan memainkan peranan sangat penting di perairan Malaka. Di kalangan ahli sejarah menyebutkan bahwa dalam abad ke-16 dan ke-17 ada dua kekuatan berpengaruh di Riau dan daerah sekitarnya, yaitu pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-17 adalah Aceh; dan pada paroh kedua abad ke-17 hingga abad ke-18 adalah Bugis. (Lihat, Ong Hok Ham, “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, ed. S. Budisantoso, 1986:185).

Orang-orang Bugis menjadi kekuatan sangat diperhitungkan pada masa akhir abad ketujuh belas dan awal abad ke delepan belas karena La Maddusalat merupakan keturunan raja-raja Luwu’, Bone, Soppeng dan Wajo, sehingga keturunannya Opu Tendri Borong Daeng Rilekka dan putra-putranya lima bersaudara mempunyai hubungan geneologi yang luas di Sulawesi Selatan. Dengan begitu, Opu Tendri Borong Daeng Rilekka beserta putra-putranya lima bersaudara dapat diterima oleh suku-suku bangsa Bugis dari berbagai asal “kerajaan” (seperti, Luwu, Gowa, Bone, Wajo, Soppeng, Tanete, Suppa dan Pammanah, dan lainnya) sebagai pemimpin mereka di perantuan. Karenanya, tampilnya lima orang bersaudara memulihkan dan menegakkan kedaulatan kerajaan Johor dari serangan Raja Kecil tidak dapat disangkal kalau keberhasilan itu didukung secara serempak dari kaum migrant Bugiss di Johor. (Lihat, Andi Ima Kesuma, Migrasi dan Orang Bugis, 103).

Ketiga, Pada abad ke-18 dalam pengembaraan keturunan lima orang bangsawan Bugis semakin memperlihatkan kekuatan dan kedikjayaannya di bidang peperangan di perairan wilayah bagain Barat Nusantara, khususnya di daerah Melaka dan sekitarnya. Pada masa ini para pengembara keturunan Bugis terlibat secara aktif dan menjadi kekuataan utama di Selat Malaka. Dengan Riau berada di tangan mereka, sekali lagi Selat Malaka dikontrol oleh pasukan yang mampu memberikan kondisi aman dan stabil dalam bidang perdagangan di kawasan ini. Apa lagi setalah mereka mengalahkan Raja Kecil pada 1728, kekacauan dan gangguan perdagangan yang sebelumnya lazim terjadi di Selat Malaka kini mulai memperlihatkan kondisi lebih mapan dan stabil. (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Medern 1200-2004, 159).

Dengan bantuan bangsawan Bugis lima bersaudara tersebut Raja Kecil berhasil dihalau dari Kerajaan Melayu-Riau pada 1722, dan putra Abdul Jalil, Raja Sulaiman, diangkat menjadi sultan menduduki singgasana kerajaan Melayu Johor-Riau. ( D.G.E. Hall, A History of South-East Asia (London: Macmillan & Co Ltd, 1964), 328). Dalam Tuḥfat al-Nafīs dilukiskan bahwa tidak kurang dari sebelas kali terjadi konflik perang/ kontak pisik langsung antara pihak Raja Kecil dengan pihak opu-opu keturunan lima orang bangsawan Bugis dalam memperebutkan kekuasaan di kerajaan Melayu-Riau. Lebih lanjut lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 155-157.

Setelah pengangkatan Raja Sulaiman menjadi sultan, diikuti dengan pengangkatan Daeng Marewa sebagai Yang Dipetuan Muda (YDM) I dalam pemerintahan kerajaan Melayu Johor-Riau.Setelah pengukuhan Raja Sulaiman menjadi Sultan kerajaan Melayu Johor-Riau, ia kemudian bertitah kepada keturunan bangsawan Bugis: “Janganlah balik ke Bugis dulu dimintanyalah salah seorang dari opu-opu lima beradik itu menjadi Yang Dipertuan Muda dalam memerintah kerajaan Riau dan Johor dan Pahang dengan segala takluk daerahnya.”

Ketika Daeng Parani –sebagai yang paling senior –mengungkapkan bahwa apapun keputusan banginda Sultan ia akan menerimanya. Namun, khusus untuk dirinya, ia tidak mau menjadi YDM dan menyerahkan kepada adik-adiknya. Selanjutnya, sebagai tertua yang kedua, Daeng Manambung memberikan jawaban bahwa ia tidak sanggup mengemban jabatan itu, di samping ia telah mengikat janji dengan Sultan Matan di Mempewa. Kemudian Daeng Chellak memberikan jawaban bahwa ia tidak mau menjadi YDM selagi kakaknya, Daeng Marewa masih ada. Sementara Daeng Kumisi juga memberikan jawaban bahwa ia tidak berhajat untuk memangku jabatan YDM dan lebih memilih untuk tinggal di Sambas.

Kini tiba giliran Daeng Marewa untuk memberikan jawaban bahwa ia tidak mau menjadi YDM sekiranya ia ditinggal saudara-saudaranya. Mendengar jawaban kelima bersaudara bangsawan Bugis itu, baginda sultan terdiam. Dalam situasi hening, lalu Daeng Manumpuk, sebagai orang dituakan, berkata (dalam bahasa Bugis), diterjemahkan kedalam bahasa Melayu, kira-kira seperti ini, “Janganlah kiranya paduka anaknda sekalian hampakan maksud (paduka kakanda baginda) Sultan Sulaiman itu, tiada sedap dihampakan, karena yang kitapun (telah) mengangkat serta membesarkan dia, adapun titahnya kepada paduka anaknda sekalian pasti berlaku.

Setelah itu, Daeng Parani berucap bahwa adapun keberatan adinda Daeng Marewa untuk tidak mau ditinggalkan oleh saudaranya, maka ia menyanggupi untuk membantunya. Setelah sepakat dengan baginda Sultan Sulaiman maka dilantiklah Daeng Marewa sebagai Yang Dipetuan Muda I Kerajaan Johor-Riau. Adapun Daeng Chellak, tidak lama, dalam minggu itu juga, ia dikawinkan dengan Tengku Madak, saudara Sultan Sulaiman sendiri. Virginia Matheson, Tuḥfat al-Nafīs Sejarah Melayu-Islam (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991),213-215; Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 61-62.

Pengangkatan Daeng Merewa sebagai YDM sebagai konsekwensi logis dari “sumpah setia” dari kedua belah pihak yang diikrarkan sebelumnya, yaitu bahwa “apabila bangsawan Bugis berhasil memulihkan kehormatan Raja Sulaiman maka bangsawan Bugis akan diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda Kerajaan Melayu Johor-Riau secara turun-temurun.”(Lihat, Raja Ali Haji, Silsilah Melayu Bugis, 1973), 67-68).

Jabatan Yang Dipertuan Muda di kerajaan Johor Riau-Lingga, menurut Muhammad Yusoff Hashim, tidak dikenal dalam tradisi pemerintahan Melayu sebelumnya, tetapi merupakan “jawatan ciptaan baru yang dilakukan oleh/ untuk kuturuan lima bangsawan Bugis yang telah mengembalikan kekuasaan dan kehormatan Sultan Sulaiman.” Lihat, Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu: Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara, 1992: 457). Mereka berjanji untuk saling mengakui persaudaraan satu dengan lainnya dan berjanji untuk saling tolong-menolong di antara mereka dengan melakukan sumpah setia di bawah persaksian kitab suci al-Qur’an. (Buyong bin Adil, Sejarah Johor (Kuala Lumpur: Dewan dan Pustaka Kementerian Pelajaran Melayu, 1971: 101).

Jabatan Yang Dipertuan Muda, menurut Muhammad Yusoff Hashim, tidak dikenal dalam tradisi pemerintahan di kerajaanAlam Melayu sebelumnya. Akan tetapi, jabatan penting Yang Dipertuan Muda itu merupakan “jawatan ciptaan baru yang dilakukan oleh keluarga Bugis.” (Lihat, Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu, 457). Meskipun sebelumnya dalam tradisi Melayu ada jabatan yang, warisan dari kerajaan Malaka, disebut “Raja Muda”, tetapi jabatan ini memiliki pengertian dan fungsi berbeda dengan jabatan Yang Dipertuan Muda yang dipangku secara turun-tumurun oleh bangsawan Bugis dari Sulawesi Selatan yang memiliki kewenangan besar dan dominan dalam pemerintahan.Di awal abad ke-18 hirarki pentadbiran (kekuasaan dan pemerintahan)di kerajaan Johor-Riau yang diwarisi dari kerajaan Malaka terdiri dari berbagai kedudukan dan jabatan: Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, diikuti jabatan berturut-turut: Raja Muda (kandidat sultan), Bendahara, Temenggung, Laksamana, dan Kadi. Khusus untuk jabatan Raja Muda, misalnya Raja Indra Bungsu menduduki jabatan ini pada tahun 1708.

Dengan demikian, menurut Hamid Abdullah, kepemimpinan gabungan di kerajaan Melayu Johor-Riau itu merupakan tipe kepemimpinan pertama yang terjadi di dalam sejarah Semenanjung dan/atau di Nusantara yang lahir pada abad ke-18. Inilah peristiwa pertama kali terjadi dikawasan ini suatu kelompok etnis datang dari luar telah berjaya masuk dalam struktur kekuasaan Melayu. Untuk itu, pengangkatan YDM dalam struktur pemerintahan kerajaan (apalagi secara turun-temurun), menurut Hamid Abdullah, mempunyai implikasi politik. Pertama, bangsawan Bugis yang semula “out sider”, lalu tampil ke depan dan menjadi “determinator” dalam struktur politik dan pemerintahan Melayu Johor-Riau. Kedua, pemerintahan gabungan ini telah membawa kerajaan Melayu Johor-Riau kepada kejayaan dan dominasi politik di perairan selat Malaka dan sekitarnya lebih dari setengah abad. (Hamid Abdullah, “Melacak Perjuangan Raja Haji”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabililla, 282-283).

Meskipun secara teoritis, kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan, namun secara oprasional kekuasaan berada di tangan Yang Dipertuan Muda. Wilkinson memberikan satu ilustrasi yang menarik: “Yang Dipertuan Besar, menempati posisi sebagai “seorang istri”, ia baru dapat makan kalau diberi makanan kepadanya. Akan tetapi, Yang Dipertuan Muda, menempati posisi sebagai “seorang suami”, setiap keinginannya harus menjadi kenyataan.”(“The Yang Dipertuan Besar is to occupy the position of a woman only, he is to be fed when we choose to feed him, but the Yamtuan Muda is to be in position of a husband, his will is always prevail”). (Pernyataan Wilkinson dalam karyanya, A History of the Peninsular Malays, dikutip dari Hamid Abdullah, “Melacak Perjuangan Raja Haji”, 282-283; lihat juga Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu, 457).

Belakangan, ilustrasi Wilkinson ini tergambar dalam pergantian pemilihan baik pemilihan sultan (Yang Dipertuan Besar) maupun pemilihan Yang Dipertuan Muda, bahwa pihak Bugis kerapkali memaksakan kehendaknya, dan pada akhirnya menjadi kenyataan.

Ketika Sultan Sulaiman wafat (1722-1760) setelah putranya, Sultah Abdul Jalil (1760-1761) dan cucunya, Sultan Ahmad (1761-1761) keduanya wafat sewaktu masih bayi, pihak Melayu mengajukan calon yang sesuai dengan keinginan mereka, tetapi pihak Bugis memiliki keinginan calon, dan memaksakan keinginannya tersebut. Akhirnya, mereka mengangkat Sultan Mahmud (1761-1812) yang beribukan putri dari Daeng Cella’ untukmenjadi sultan. Apa lagi pemilihan YDM, sultan sebagai penguasa tertinggi di kerajaan tidak dapat menentukan sesuai dengan keinginannya, tanpa ada persetujuan dari pihak Bugis. Bahkan apabila keinginan keduanya berbeda tentang siapa akan diangkat menjadi YDM, dalam banyak kejadian keinginan pihak Bugislah yang harus menjadi kenyataan. Misalnya, peristiwa ketika YDM VII Riau Abdul Rahman (1831-1844) wafat, pihak sultan mengajukan beberapa calon pengganti, tetapi pihak Bugis tetap memaksakan keinginginannya, dengan sokongan dari pihak Belanda, untuk mengangkat Raja Ali bin Ja’farjadi YDM. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 138-139).

Jadi, menurut Taufik Abdullah, tidaklah mengherankan jika sultan kadang-kadang merasa dirinya “terbelenggu” dominasi kelompok Bugis. Maka sultan dan kelompok orang Melayu terus berusaha mengembalikan keunggulannya dipercaturan politik internal kerajaan Johor-Riau. (Taufik Abdullah, “Abad 18 di Selat Malaka dan Raja Haji yang Hampir Terlupakan”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 174).

Dalam perjalanan sejarah kerajaan Melayu Johor-Riau yang panjang, kehadiran bangsawan etnis Bugis dan peranan dominan sebagai Yang Dipertuan Muda kerajaan Melayu-Riau kerapkali menimbulkan pertentangan dan persengketaan antara keduanya, kondisi ini tentu saja dapat mengancam kelangsungan kerajaan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa peran dominan keturunan Bugis belum dapat diterima sepenuhnya oleh keturunan etnis Melayu, misalnya dengan melancarkan fitnah. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 103,145, dan 245).

Meskipun demikian, pertentangan secara terbuka di kalangan orang-orang Bugis dan Melayu dengan latarbelakang etnik, menurut Putten, sepertinya hanya sedikit bukti pendukungnya. Jelas memang ada pertentangan di antara mereka, misalnya sewaktu pemecatan Sultan Mahmud dengan dukungan orang-orang Bugis pada 1857. Akan tetapi, pertentangan itu lebih disebabkan masalah politik, ketimbang dilatarbelakangi perbedaan etnik diantara sebagai orang Bugis danMelayu. (Lihat, Putten, A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim’s Strategy of Survival,” dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, ed. Barnard, Timothy, J. (Singapore: Singapore University Press, t.t), 121; lihat juga Putten, “A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim’s Strategy of Survival,” dalam Journal of Southeast Asia Studies, Vol. 32, No. 3 (Oktober 2001), 343).

Memahami posisinya sebagai keturunan berdarah dari kedua etnis tersebut, Raja Ali Haji berusaha untuk menghilangkan pertentangan dan permusuhan di antara keduanya. Meskipun permusuhan antara kedua etnis ini pada masanya relatif sudah mereda dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Namun, Raja Ali Haji senantiasa memberikan peringatan dan nasehat untuk meredam “hawa nafsu” agar benih-benih permusuhan tidak mencuat ke permukaan.

Raja Ali Haji dengan arif mencermati dan menyiasati gejala-gejala keruntuhan yang sedang mengancam masyarakat. Ancaman keruntuhan itu, menurutnya, berasal dari perselisihan di kalangan orang-orang Melayu dan Bugis. Raja Ali Haji acap kali memperingatkan agar masyarakat di kerajaan Melayu Johor Riau-Lingga dapat mengekang hawa nafsu dan senantiasa merenungkan akibat negatif yang akan ditimbulkannya. Untuk itu, Raja Ali Haji menganjurkan untuk selalu memuliakan rasa malu (rendah hati), ilmu (pengetahuan), dan akal (nalar). Dengan tanpa memiliki sifat ini adalah pangkal awal dari keruntuhan negeri. (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 1986: 230; Andaya dan Matheson, “Islamic Thougth and Malay Tradition – Writing of Raja Ali Haji of Riau”, dalam Perceptions of The Past in Southeast Asia, ed. Anthony Reid dan David Marr, 1979), 117).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.
47 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (2): Asal Mula Keterlibatan Dalam Kerajaan Johor-Riau

47 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (2): Asal Mula Keterlibatan Dalam Kerajaan Johor-Riau

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Terbunuhnya Sultan Mahmud Syah IIyang kejam dan sadis pada 1699 menandai berakhirnya keturunan dinasti Parameswara (Kerajaan Malaka) di kerajaan Johor. Sultan Mahmud II dibunuh oleh Megat Seri Rama, seorang panglima kerajaan Melayu-Johor. Di saat Megat Seri Rama melaksanakan tugas kerajaan untuk membasmi lanun, istrinya yang sedang hamil, mengidam menginginkan buah nangka dengan mengambil seulas buah nangka untuk dihidangkan buat sultan, tentu sebelumnya lewat persetujuan penghulu kerajaan. Mengetahui hal itu, sultan sangat marah dan memerintahkan untuk membunuh dengan membelah perutnya (yang sedang hamil). Karena perlakuan sultan yang sadis tersebut, suaminya, Megat Seri Rama sangat marah dan akan menuntut balas.

Dengan mendapat persetujuan dari Bandahara, Tun Habib — yang berambisi dinobatkan menggantikan sultan, di samping memang ia mendapat dukungan dari sebagian pembesar kerajaan– dan beberapa orang di kalangan kerajaan tidak senang dengan sikap sultan yang sadis. Akhirnya, Megat Seri Rama membunuh sultan sekembalinya dari shalat Jum’at. Namun, sebelum sultan tewas, ia sempat menyarangkan kerisnya ke tubuh Megat Seri Rama, dan keduanya pun meninggal. Kisah terbunuhnya Sultan Mahmud diungkapkan dalam Tuḥfat al-Nafīs, 10; Raja Ali Haji, The Precous Gift (Tuḥfat al-Nafīs ), terj. Anotasioleh Virginia Matheson dan Barbara W. Andaya (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982), 9; Raja Ali Haji, Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya(Johor Baharu, 1954), 13; R.J. Wilkinson, “Mahmud II dan Abdul Jalil III, 1685-1720 A.D.”, dalam JMBRAS, Vol. 9, Part 1 (1931), 28-34; Leonard Y. Andaya, The Kindom of Johor, 1642-1728: Economic and Political Developments (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975); 186-187; Tennas Effendi dan Nahar Effendi, Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura (Pekanbaru: BPKD Riau, t.t.), 13-15.

Dengan terbunuhnya Sultan Mahmud II (1699), tanpa meninggalkan keturunan, menandai berakhirnya garis geniologis dinasti kerajaan Malaka-Johor.Kekuasaan dinasti ini berawal pada memerintah di kerajaan Melaka, berawal dari Sri Tri Buana yang, konon, adalah salah satu pangeran yang muncul di Bukit Si Guntung (Palembang). Ketika dinasti ini berpindah ke semenanjung Malaya adalah Parameswara (1390-1414) salah seorang tiga dari serangkai penguasa pertama Kerajaan Melaka. Sementara lainnya adalah Megat Iskandar Syah (1414-1412) dan Sri Maharaja (1424-1414).Ketiganya merupakan penguasa peletak dasar bagi kokohnya kerajaan Malaka. Sedangkan disebut belakangan adalah penguasa kerajaan Melaka pertama memeluk agama Islam dengan gelar Sultan Muhammad Syah. Lihat, Barbara W. Andayadan Leonard Y. Andaya, History of Malaysia (London: Macmillan, 1982), 76-78; bandingkan Wang Gungwu, “The First Ruler of Malacca”, dalam JMBRAS, Vol. XLI (1968), 22.

Berdasarkan adat, apabila keturunan raja sudah putus, turunan Bendahara menggantikannya. Dengan begitu, naiklah Bendahara Sri Maharaja Tun Habib Abdul Jalil pada waktu itu menjadi sultan dengan memakai gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.Sebutan “Habib” pada awal namnya sama dengan sebutan “sayyid”. Sebutan “Habib” dipergunakan kerena ia merupakan keturunan (cicit) seorang Arab Hadramaut, yaitu Sayyid al-Idris yang semasa hidupnya menetap di kerajaan Aceh. D.G.E. Hall, A History of South-East Asia (London: Macmillan & Co Ltd, 1964), 328; Tengku Lukman Sinar, “Kepahlawanan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Haji Fisabilillah Marhom Ketapang”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji Fisabilillah Dalam Perang Riau Melawan Belanda (1782-1784) (Pekanbaru: Pemda Tk. I Riau, 1989), 135.

Akan tetapi, belakangan Raja Kecil tampil mengklaim dirinya putra Sultan Mahnud II sebagai keturuan langsung dan pewaris sah tahta Kerajaan Malaka-Johor. Mengenai figur Raja Kecil secara lebih lengkap, lihat Muhammad Yusoff Hashim (penyelenggara), Hikayat Siak, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1985). Begitu pula, Raja Kecil dan peranannya dalam sejarah kerajaan Johor telah banyak dibahas, misalnya Leonard Andaya telah menulis buku dan sejumlah artikel tentang dia. Lihat, Leonard Y. Andaya, The Kindom of Johor, 1642-1728(Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975), 250-314; Artikelanya, “Raja Kechil and the Minangkabau Conquest of Johor in 1718”, JMBRAS, Vol. 45, Part 2 (1972), 51-75; lihatjuga, Timothy P. Barnard, Raja Kecil dan Mitos Pengabsahannya, terj. Aladindan Al Azhar (Pekanbaru: PPM-UIR, 1994); R. Roolvink, “The Variant Vertions of the Malay Annals”, Bijdragen tot de Taal- Land en Volkenkunde (BKI), Deel 123, (1967): 301-324; belakangan dengan artikel R. Roolvink ini diterbitkan dalam C.C. Brown, (terj.), Sejarah Melayu, Malay Annals (Kuala Lumpur: Oxford University Press), 1970.

Taufik Abdullah, “The Formation of a Political Tradition in the Malay World” dalam Anthony Reid, The Making of an Islamic Discourse in Souteast Asia (Monash University, 1993), 52-53; M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Medern 1200-2004 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 158-159. Sebelum terbunuh 1699, Sultan Mahmud II mempunyai seorang gundik bernama Enchik Phong sedang hamil. Khawatir kalau gundik sultan ini juga menjadi sasaran pembalasan, maka pihak keluarganya membawa Enchik Phong ke Singapura, lalu diungsikan ke Jambi dan pada akhirnya ditempatkan di istana Pagaruyung. Di istana inilah akhirnya gundik sultan tersebut melahirkan. Anak yang masih kecil itu, oleh ibunya, dititipkan dan dibesarkan di lingkungan kerajaan (istana) Pagaruyung yang belakangan diberinama Raja Kecil. Setelah dewasa, raja Pagaruyung memberitahukan kepadanya bahwa ia adalah anak Sultan Mahmud II yang terbunuh. Dengan begitu, RajaKecik –mengaku sebagai turunan dari Sultan Mahmud II– merasa kalau ia merupakan pewaris sah dari kerajaan Melayu Johor. Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 13-14.

Dalam mewujudkan keinginannya mewarisi tahta kerajaan Johor, Raja Kecil menyusun kekuatan di Siak untuk melakukan invasi militer.Ada sumber yang menyebutkan bahwa awalnya Raja Kecil meminta bantuan dari opu-opu Bugis –yang pada abad ke-18 menunjukkan kuasanya di perairan barat Nusantara– untuk menyerang Johor. Raja Kecik menjanjikan, kalau Johor dapat ditaklukkan, Daeng Parani akan dilantik menjadi Yang Dipetuan Muda Johor. Akan tetapi, Daeng Parani kurang berkenan, seperti diungkapan Tuḥfat al-Nafīs: “Syahdan di dalam tengah bersiap-siap itu, maka adalah opu-opu anak raja Bugis pun tiba ke Bengkalis datang daripada mengembara, maka berjumpa ia dengan Raja Kecil. Maka Raja Kecik pun mengajak opu-opu itu melanggar Johor.Makaupu-upuitu pun berfikir, maka tiadalah berkebetulan dengan timu-timunya. Maka tiadaia mahu, lalu dialihkan hendak ke Langkat, hendak mufakat dengan Bugis di Langkat. Maka tiada jadi bantu-membantu itu.”Lihat, Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs (FajarBakti, 1982), 56; Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 42; Lihatjuga, R.O. Winstedt, “A History of Selangor”, dalam JMBRAS, Vol. 12, Part 3 (1932). Sebaliknya, Hikayat Siak menyebutkan bahwa sebelum menyerang Johor, Raja Kecil bertemu denga nopu-opu Bugis dan sepakat untuk menyerang Johor. Menurut Muhammad Yusoff Hashim, Raja Ali Haji, ketika mengutip Hikayat Siak sebagai sumber-rujukannya, telah mengubah dan memanipulasi, sehingga tertera dalam Tuḥfat al-Nafīs bahwa kesepakatan/pembicaraan untuk menyerang Johor tidak pernah terjadi di antara mereka. Lihat, Muhammad Yusouf Hashim, Hikayat Siak, 63 dan 124-125.

Dengan mendapat bantuan dari orang-orang Minangkabau dan orang-orang (suku) Laut, Raja Kecil berhasil menganeksasi Johor (pusat pemerintah kerajaan Melayu Johor). Pertama, dalam merebut dan menguasai Johor, Raja Kecil mendapat sokongan dan dukungan dari raja Pagaruyung, Minangkabau. Dari bantuan Raja Pagaruyung inilah Raja Kecil mendaptkan “Cap Kuasa” yang dapat dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan untuk memerintah orang-orang Minangkabau yang ada di pesisir laut timur Sumatra. Misalnya, Tuḥfat al-Nafīs, menyebutkan:, “Maka lalulah diberi satu cap kuasa boleh memerintah anak Minangkabau di Pasisir Laut, konon. … Maka baharu ia mengeluarkan namanya dan kuasanya dan capnya. Maka lalu mengikuti segala anak Minangkabau yang Bengkalis.Lihat, Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 56-7; Leonard Y. Andaya, “Raja Kechil and the Minangkabau Conquest of Johor in 1718”, 51-75;

Kedua, dengan tanpa bantuan dari opu-opu Bugis Raja Kecil berhasil menaklukkan Johor dengan mendapat sokongan dari orang-orang Minangkabau dan Orang Laut.Orang Laut sebelum abad ke-17 menunjukkan kesetiaan penuh dan mempunyai peran penting dalam kerajaan Johor.Ketika Raja Kecil mengklaim dirinya sebagai pewaris keturunan Sultan Mahmud II, Orang Laut mendukunya karena mereka takut ditimpa “daulat” Sultan Mahmud II. Misalnya, Tuḥfat al-Nafīs menuturkan, “Syhadan adapun Raja Kecil setelah mustaid kelangkapannya, maka ia pun menyuruh ke Kuala Johor, dan ke Singapura, akan seorang menterinya pandai memujuk dan menipu-nipu memasukkan kepada hati rakyat dengan perkataan mengatakan ini sebenar-benarnya anak Marhum Mangkat Dijulang. Sekarang ini adalah ia hendak ke Johor, hendak mengambil pusakanya menjadi raja. Maka barangsiapa rakyat yang tiada mau mengikut, nanti ditimpa daulat Marhum Mangkat Dijulangitu,…” Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 56-57.

Pengaruh Orang Laut dalam kerajaan begitu besar karena jumlah mereka sangat banyak mencapai 6.500 orang serdadu. Ada dua peranan yang dimainkan oleh Orang Laut, yaitu sebagai pendayung dan pejuang dalam angkatan perang pemerintahan Johor; dan sebagai pengawal selat Malaka dan Singapura. Pemerintah kerajaan Johor sangat menghargai peran khusus Orang Laut ini dalam menggalakkan para pedangan mendatangi pelabuhan-pelabuhan Johor dan segaligus menghambat para pesaing ekonomi kerajaan, khususnya Belanda. Tugas yang dilaksanakan oleh Orang Laut dalam kerajaan Johor dalam kurun abad ke-17 dan pada awal abad ke-18 adalah sama dengan tugas yang mereka lakukan pada zaman Sriwijaya-Palembang pada abad ke-7 hingga abad ke-14. Mereka menjaga perairan selat Malaka pada masa itu menjadi urat nadi perdagangan dunia yang paling ramai dengan melindungi atau menyerang kapal-kapal yang melintasi perairan tersebut. Lihat, Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor, 49-52

Akhirnya, Raja Kecil mengembalikan kedudukan semula Sultan Abdul Jalil Riayat Syah menjadi Bendahara. Sewaktu Raja Kecil berhasil menduduki pusat kerajaan, Sultan Abdul Jalil Riayat Syah meninggalkan kota Johor dan mengungsi pada suatu tempat. Dari sana Sultan meminta tanggapan dari para menteri-menterinya dan pembesar kerajaan yang masih setia kepadanya, “Apakah kita menyerang Raja Kecil di Johor atau menyerahkan diri kepadanya?” Para menteri dan pembesar kerajaan sepakat dan mengatakan, “sebaiknya sultan menyerahkan diri.” Ketika sultan tiba kembali di Johor, ia diperlakukan dangan baik oleh Raja Kecil, seraya berkata, “Ayahnda hendak saya jadikan bendahara semula.” Tidak lama setelah itu, Raja Kecil pun bertunangan dengan putri sulung sultan, bernama Tengku Tengah.

Namun, pertunangan itu tidak berlajut kepada jenjang perkawinan, lantaran Raja Kecil lebih tertarik dengan putri bungsu Bendahara yang baru pertama kali dilihatnya, bernama Tengku Kamariyah –pertama kali dilihat oleh Raja Kecil sewaktu Sultan beserta keluarganya berkunjung di kediaman Raja Kecil dalam rangka silaturrahmi pada saat hari lebaran Idul Fitri. Akhirnya, Raja Kecil mengawini putri bungsu Bendahara, Tengku Kamariyah. Atas perlakuan-perlakuan Raja Kecil tersebut –menurunkan kembali menjadi Bendahara dan pembatalan sepihak perkawinan salah seorang anaknya dan mengawini yang lainnya– Abdul Jalili tidak dapat berbuat banyak, selain terpaksa harus menyetujui kehendak Raja Kecil karena Abdul Jalil berada pada posisi lemah, tidak berdaya dan pada pihak yang kalah. (Lihat,Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 50; Timothy P. Barnard, “Taman Penghiburan: Entertainment and the Riau Elite in the Late 19 th Century”, dalam JMRAS, LXVII, Part 2 (Desember 1994),19. Lihat, Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991), 189; bandingkan, Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 58).

Dalam kondisi kerajaan seperti itu, secara faktual agaknya kerajaan Melayu Johor mempunyai dua orang penguasa. Akibatnya, di tengah-tengah masyarakat terjadi perpecahan antara pengikut Raja Kecil dan Abdul Jalil. Karenanya, tidak lama berselang Abdul Jalil meninggalkan pusat pemerintahan Johor menuju dan tinggal di Terangganau selama tiga tahun sebelum akhirnya ia dan keluarganya beserta pengikutnya tinggal di Kuala Pahang guna menghimpun dan membangun pusat kekuatan. Sementara itu, Raja Kecil meninggalkan pusat pemerintahan kerajaan di Johor, sebelumnya bertitah kepada menteri-menterinya, “Ini negeri celaka, baiklah kita pindah ke Riau.” Mulai saat itu Raja Kecik membangun pusat pemerintahnnya di Riau, dan kerajaan ini secara resmi bernama Kerajaan Johor-Riau.

Ketika mengetahui aktivitas Sultan Abdul Jalil di Kuala Pahang, Raja Kecil memerintahkan Laksamana Sekam untuk menyampaikan pesannya, seperti tutur Laksamana, “Ampun tuanku, baiklah silahkan ke Riau karena pesan paduka ananda silahkan ayah ke Raiu. Maka pada kira-kira patik baik juga berangkat ke Riau….” Setelah itu, Sultan Abdul Jalil menjawab, “Jika sudah pikiran Laksamana balik kita ke Riau, maka ke Riaulah kita.” Namun tidak lama berselang, datang lagi utusan Raja Kecil membawa surat untuk Laksamana, berbunyi: “Janganlah Sultan Abdul Jalil dibawa ke Riau lagi, bunuhlah sekali, kita tahukan matinya saja.” Atas perintah Raja Kecil, akhirnya Laksamana pun membunuh Sultan Abdul Jalil, sementara keluarga (putra-putrinya) terselamatkan dari peristiwa itu. (Lihat, Virginia Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 178, 196-197; Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 67).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.
46  PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (1): Pertautan Silsilah Bangsawan Melayu dan Bugis

46 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (1): Pertautan Silsilah Bangsawan Melayu dan Bugis

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Bersempena Milad ke-44 Kerukunan Keluarga Sulawesi-Selatan (KKSS), Pengurus KKSS Provonsi Riau, insya Allah, akan menaja acara Webinar bertajuk “Persebatian Bugis Melayu di Bumi Lancang Kuning”. Dalam acara ini, panitia menghadirkan narasumber ahli dalam bidangnya, yaitu (1) Prof. H. Suwardi Mohammad Samin, dan (2) Prof. Dr. Mukhlis PaEni, MA. Kedua narasumber ini sangat otoritatif untuk memberikaan pencerahan diseputar persebatian Meluyu dan Bugis di Kerajaan Melayu Johor-Riau. Narasumber pertama Prof. Suwardi dapat disebut sebagai pembicara “internal” yang memahami betul sejarah dunia Melayu secara umum, dan sejarah Riau secara khusus. Sementara narasumber kedua Prof. Mukhlis dapat dikatakan sebagai pembicara “eksternal” yang banyak menggeluti dengan pelakukan penelitian tentang keberadaan dan kiprah orang-orang Bugis di Dunia Melayu di masa-masa silam.

Webinar dalam rangka Milad ke-44 kehadiran KKSS tersebut, khususnya di Bumi Lancang Kuning memiliki urgensi dan arti penting dengan beberapa pemaknaan atas kehadiran dan eksistensi leluhur Bugis. Pertama, dari seminar ini dapat dimaknai sebagai “napak tilas” atas kehadiran leluhur Bugis dalam mengambil peran yang sangat penting dan menentukan di Kerajaan Johor-Riau sepanjang abad ke- 18 dan 19. Kedua, dari seminar ini dapat dipetik pelajaran sejarah bahwa persebatian bangsawan Melayu dan Bugis harus terus dipupuk dan dilestarikan dalam dalam keikutsertaan membangun Bumi Lancang Kuning dewasa ini. Ketiga, dari seminar ini dapat memberikan pengajaran bahwa leluhur Bugis benar-benar mewujudkan motto hidup yang baik, “Dimana Bumi dipijik, di situ langit dijunjung tinggi.”

Artinya, leluhur bugis mengajarkan bahwa konsep “hijrah” (mallekke dapureng) di mana tempat asal (Sulawesi Selatan) benar-benar ditinggalkan. Dan sekaligus di mana tempat baru (Johor-Riau) benar-benar “ditinggali” tanpa pernah berpikir mau balik lagi ke “Tanah Ugi”. Kalau pun mereka “mattanaugi” (mengunjungi “Tanah Bugis) itu hanya sekedar mau menapak-tilisi kampung lelulur mereka, dan sembari bersilaturrahim dengan keluaraga yang ada di sana. Prinsipnya sudah mendarah-daging bahwa hidup dan matiku hanya untuk, dari dan di “Tanah Bare’”, Bumi Lancng Kuning, Riau.

Persebatian berasal dari kata dasar “bati” yang arti etimolginya: sesuai, selaras, senyawa, bersatu-padu dan sangatmesra. Dengandemikian, kata “sebatian” berarti perpaduan dua atau lebih menjadi satu. Jadi, kata “persebatian” bermakna “Proses persatu-paduan antara dua orang atau lebih untuk menjalin keselarasan hubungan yang sangat akrab dan mesra.” Lihat, Teuku Iskandar, Kamus Dewan (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1970), 79; Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988: 84).

Pertautan silsilah keturunan (geneologi) dan awal persebatian bangsawan Melayu-Bugis di Kerajaan Johor-Riau dapat ditelusuri dari diri Raja Haji, YDM Riau IV (1777-1784), pahlawan legendaris Melayu-Riau yang gugur di Teluk Ketapang dalam perang melawan penjajah Belanda dengan gelar “fīsabīl Allāh”. (Tentang figur, prestasi dan kepahlawanan serta perlawan Raja Haji, kakek Raja Ali Haji,terhadap penjajahan Belanda, lihat Rustam S. Abrur, dkk., Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah Dalam Perang Melawan Belanda (Pekabaru: Pemda Riau, 1988); W.E. Maxell, “Raja Haji”, JSBRAS, 81 (1890), 173-224; dan Reinout Vos, “The Broken Balance the Origins of the War Between Riau and the VOC in 1783-1784”, dalam G. J. Schutte (ed.), State and Trade in the Indonesian Archipelago (Leiden: KITLV Press, 1994), 115-139).

Disebut sebagai awal pertautan keturunan dan persebatian bangsawan Melayu-Bugis mengingat Raja Haji tersebut, tidak lagi dipandang sebagai orang “Bugis jati/totok”. Mengingat Raj Haji –kakek Raja Ali Haji, intelektuan dan pujangga Melayu Riau– ini terlahir dari pasangan bangsawan Melayu dan Bugis, yaitu ayahnya adalah keturunan Bugis dan ibunyaadalah keturunan Melayu. Ayah Raja Haji adalah Daeng Cella’merupakan anak keempat dari lima orang bersaudara keturunan bangsawan Bugis, putra-putra Opu Tendri Borong Daeng Rilekka dari kerajaan Luwu’, Sulawesi Selatan.(Catatan tambahan, Raja Ali Haji sendiri mengungkapkan sosok leluhurnya, Daeng Cella’, seperti tulisnya, “… yang tersangat baik parasnya memberi gairah hati perempuan2 memandangnya, demikian-lah kata yang empunya cherita.” (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 36-37; Virginia Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 1991: 181-182 dan 215).

Dan adapun ibu Raja Haji adalah Tengku Madak berasal dari keturunan bangsawan Melayu teras paling atas di kerajaan Johor-Riau, yaitu adik kandung Sultan Sulaiman (1722-1760) (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 10-11 dan 18). Tersebab dari keturunan Melayu dan Bugis, sehingga Raja Haji tidak lagi bergelar kebangsawanan Bugis, yaitu “daeng”, sebagaimana lazimnya seorang berketurunan Bugis, seperti ayahnya, Daeng Cella’ atau paman-pamannya, yaitu Daeng Parani, Daeng Manambung, Daeng Marewa dan Daeng Kamase, lima orang bangsawan Bugis, tetapi bergelar bangsawan ”raja”. Maka Raja Haji adalah orang pertama dari keturunan Melayu-Bugis yang mempergunakan gelar bangsawan “raja”, dan belakangan diteruskan oleh generasi-generasinya. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 28 dan 304; Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, ed.Virginia Matheson (Kuala Lumpur: FajarBakti, 1982), 36 dan 302; HasanJunus, Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX (Pekanbaru: UIR-Pess, 1988), 63; A. Samad Ahmad (peny.), Kerajaan Riau-Lingga (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1985), 80-81).

Keturunan orang Bugis di kerajaan Johor-Riau-Lingga berbeda dengan keturunan orang Bugis dari asal daerahnya, Sulawesi Selatan dan sejumlah daerah-daerah migrasi lainnya yang tetap mempertahankan gelar kebangsawanannya, seperti “andi” dan/atau “daeng”. Kehadiran orang-orang Bugis dan keterlibatan keturunannya dalam kekuasaan dan pemerintahan di Kerajaan Johor-Riau-Lingga memiliki sejarah unik. Selain itu, keberadaannya yang dominan sebagai YDM Riau secara turun-temurun pada awalnya tidak jarang menimbulkan kecemburuan dan resistensi dari pihak puak Melayu.

Dalam mengelaminir resistensi tersebut dan percepatan persebatian Melayu dan Bugis di kerajaan Johor-Riau-Lingga, mereka melakukan hubungan perkawinan. Bagi pihak keturunan bangsawan Bugis yang telah menikah dengan kalangan bangsawan Melayu dalam kehidupan keluarga dan masyarakatnya lebih mempergunakan bahasa, budaya, dan adat-istiadat Melayu ketimbang bahasa, budaya dan adat-istiadat luhur mereka (Bugis) dari Sulawesi-Selatan. Karenanya, dapat dimengerti kalau keturunan keempat dari Raja Haji, misalnya sudah tidak dapat berbahasa Bugis dengan baik dan tepat.

Bahkan penggunaan gelar “raja” bagi keturunan bangsawan Melayu-Bugis, dapat diduga “sengaja diciptakan” guna menghilangkan kesenjangan dan perbedaan serta sekaligus upaya penyatuan dan persebatian di kalangan mereka. Sehingga gelar kebangsawanan “raja” tersebut berlaku secara eksklusif dan hanya boleh disandang oleh keturunan Melayu-Bugis yang berawal dari keturunan Raja Haji. Mengenai asal-mula penggunaan gelar “raja dan gelar-gelar lainnya bagi komunitas di Kerajaan Riau-Lingga.

Sebutan gelar “Tengku” berasal dari istilah (bahasa) Aceh, yaitu dari kata Teuku. Kata “Teuku” berasal dari “ta” dan “engku” karena, menurut Raja Ali Haji, “ikhfahkan nun kepada kaf, maka berbunyi “nga” menjadi “tengku”. Berawal pada masa Sultan Abdul Jalil bin Bendahara Tun Habib yang beristrikan putri (keturunan) Aceh bernama Encik Nusamah. Ketika Encik Nusamah melahirkan putranya, orang-orang pada waktu itu menyarankan agar memanggil dengan gelar “Teuku” demi mengikuti nama raja-raja Aceh dan agar gelar keturunan dari pihak ibunya (keturunan bangsawan Aceh) tidak hilang.

Belakangan, ketika datang di kerajaan Johor-Riau dan bercampur-baur dengan orang Melayu, orang-orang Bugis terasa berat dilidahnya (kesulitan) untuk menyebut “Teuku”. Dengan secara keliru mereka menyebutnya menjadi “Tengku”. Kemudian orang-orang Melayu dengan maksud nada mengolok-ngolong (mengejek) orang-orang Bugis, mereka ikut-ikutan menyebut “Tengku”.

Akhirnya, orang-orang Bugis tidak senang dengan olok-olokan itu, karenanya, mereka memanggil orang terhormat di kalangan mereka dengan sebutan “Raja” atau “Engku”. Sehingga, pada masa itu seolah-olah ada perbedaan penyebutan gelar bagi masing-masing keturunan orang-orang Bugis dan Melayu, misalnya seolah-olah sebutan/gelar “Tun”, “Tengku”, “Encik Wan” khusus dipergunakan untuk sebutan keturunan raja-raja Melayu, sedangkan sebutan/gelar “Raja”, “Engku”, “Encik Engku”, khusus dipergunakan untuk sebutan raja-raja keturunan Melayu-Bugis dari Raja Haji. Lihat Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 278-281; lihat juga, A. Samad Ahmad (peny.), Kerajaan Riau-Lingga, 80-81.

Pada umumnya, sejarah peleburan keturunan bangsawan Melayu dan Bugis di kerajaan Johor-Riau terdapat dalam dua karya sejarah Raja Ali Haji, Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya dan Tuḥfat al-Nafīs. Khusus untuk geonologi Melayu dan Bugis yang, pada mulanya, tercatat secara detail dan seksama dalam karya sejarahnya, Silsilah Melayu dan Bugis. Kemudian, geneologi Melayu dan Bugis itu dituangkannya kembali, dan menjadi bagian terpenting pada halaman-halaman pertama dalam karya sejarah monumentalnya, Tuḥfat al-Nafīs yang pada bagian ini, kalau menurut Ismail Hussein, sebagaian besar diambil Raja Ali Haji dari Hikayat Negeri Johor. (E.U. Kratz, Segi-Segi Karangan Melayu Tradisional, 2004: 11).

Menurut Hashim, karya sejarah disebut pertama di atas (Silsilah Melayu dan Bugis dan Sekalian Raja-rajanya)berkenaan dengan catatan sejarah tentang aktivitas bangasawan Bugis di kerajaan Johor sejak pertemuan mereka dengan orang Melayu-Johor pada 1700 dan berlanjut sampai 1740-an. Sedangkan karya sejarah disebut belakangan (Tuḥfat al-Nafīs) mengawali kisahnya tentang garis keturunan dan aktivitas orang-orang Bugis hingga akhir abad ke-19. (Muhammad Yusoff Hashim, The Malay Sultan of  Malacca, 1992, 24).

Ada dua jenis silsilah keturunan dipaparkan Raja Ali Haji yang saling bertaut dan dirajut satu dengan lainnya. Pertama, silsilah dan persebatian keturunan Yang Dipertuan Besar (Sultan) dari kalangan bangsawan Melayu yang berkedudukan di Lingga. Kedua, silsilah keturunan Yang Dipertuan Muda (YDM) dari kalangan bangsawan Bugis yang berkedudukan di Pulau Penyengat. (Mengenai silisilah tersebut selengkapnya, lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 8-33).

Pengungkapan kedua silsilah Melayu dan Bugis yang dipaparkan Raja Ali Haji baik pada Silsilah Melayu dan Bugis maupun Tuḥfat al-Nafīs penting untuk memberikan gambaran persebatian dan penyatuan kedua puak yang berbeda tersebut. Bahkan untuk memberikan legitimasi keberadaan peran dan fungsi orang-orang Bugis dan keturunannnya dalam struktur kekuasaan dan pemerintahan di kerajaan Johor-Riau-Lingga, agaknya, menurut Putten, menjadi ”kunci motivasi bagi penyusunan kedua karya Raja Ali Haji yang sangat terkenal…” itu. (Lihat, Jan van der Putten, A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim’s Strategy of Survival,” dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, ed. Timothy, J. Barnard (Singapore: Singapore University Press, t.t), 121; lihat juga, tulisan yang sama Putten, “A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim’s Strategy of Survival,” dalam Journal of Southeast Asia Studies, vol. 32, no. 3 (Oktober 2001), 343).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.
45. AL-GHADB: “Ketika Hendak Marah Dahulukan Hujjah”

45. AL-GHADB: “Ketika Hendak Marah Dahulukan Hujjah”

Oleh Alimuddin Hasan Palawa*

 

Dalam ajaran agama disebutkan bahwa marah termasuk salah satu sifat negatif daripada penyakit hati. Artinya, sekiranya sifat marah yang bersemayam di hati itu tidak bisa ditahan, dikendalikan, dan lalu diaktualisasikan akan melahirkan prilaku jelek (akhlāq mazmūmah). Tentu saja prilaku jelek atau jahat dari aktualisasi marah ini dapat membahayakan orang lain, dan tak terelakkan pada diri sendiri.

Sebaliknya, kemampuan menahan dan menetralisir rasa amarah dalam hati itu termasuk sifat mulia dan terpuji sebagai bagian wujud ketaqwaan kepada Allah. Firman Allah: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya selauas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan (sebagian hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang yang berbuat baik.” (Q.s. Āli Imrān [3]: 133-134).

Merujuk langsung kepada ayat di atas bahwa dalam berbagai cara untuk segera mendapatkan ampunan Allah dan surga-Nya. Di antaranya adalah menahan amarah, menafkahkan harta, dan memaafkan orang lain sebagai ciri-ciri orang bertakwa. Jelas dalam ayat itu, rupanya Allah menyamakan antara menahan amarah dan menafkahkan harta. Ayat itu menyebutkan pula bahwa menahan amarah segera harus diiringi dengan prilaku memaafkan orang. Artinya, antara menahan amarah dan memafaakan orang lain adalah dua sifat dan prilaku yang memiliki hubungan erat.

Kemampuan menahan amarah dan kebiasaan memberi maaf adalah dua kualitas kemanusian yang terkait satu dengan lainnya. Keduanya bertalian satu dengan yang lainnya, dan sulit untuk dipisahkan dalam mengejawantahannya, bagaikan dua mata muka dari satu keping mata uang logam. Artinya, menahan amarah dan memaafkan merupakan dua aspek dari satu hakekat, sebagaimana telah disebut di atas, sehingga tidak mungkin dipisahkan. (Lihat, Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1994: 123).

Kemarahan yang bersemayam dalam hati dan muncul dalam prilaku pada dasarnya disebabkan atas perlakuan orang lain yang direspon secara negatif. Kemampuan menahan amarah sebagai sebuah kebajikan diwujudkan dengan menenangkan dan menyabarkan diri untuk tidak menanggapi, dan apalagi membalas perlakuan negatif orang tersebut. Karenanya, menahan amarah akan menjadi lebih penting, dan itu sangat utama dan terpuji, dan lebih mudah diwujudkan jika diiringin dengan kemauan dan kemampuan seseorang untuk memaafkan orang lain yang telah berlaku negatif/jahat kepada kita.

Kemampuan menahan amarah dan meredam untuk tidak sampai melakukan balas dendam, terutama lagi apabila diiringi kemauan yang tulus memaafkan, itu adalah cerminan jiwa dan pribadi seorang kesatriaan. Dalam konteks ini, Rasul Allah saw. sendiri menegaskan bahwa seseorang dapat dikatakan berani apabila ia kuasa meredam rasa amarahnya, sabadanya: “Laysat al-shaja’at biṣirā’at walākin al-shaja‘at al-kasf ‘an al-ghadab” (“Yang dikatakan berani bukanlah orang suka menantang kesana-kemari, tetapi yang dikatakan berani ialah orang sanggup menahan marah”).

Dalam sebuah hadis Rasul Allah dari Abu Hurairah diriwayatkan bahwa ada sesorang lelaki meminta nasehat kepada Rasul Allah. Kemudian Rasul Allah menasehati, “Jangan engkau marah.” Lelaki itu mengulang-ulangi permintaan nasehatnya, tetapi Rasul Allah tetap selalu menjawab, “jangan engkau marah.” Jawaban berulang-ulang Rasul Allah “jangan engkau marah” menunjukkan dengan jelas bahwa perbuatan marah itu sedapat mungkin harus dihindari.

Begitu pula, dalam sebuah riwayat ada pertanyaan dari sahabat, “Ya, Rasul Allah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang dapat memasukan dalam surga.” Rasul Allah saw. menjawab, “Lâ taghdab wa laka al-jannah” (Jangan engkau marah, maka bagimu adalah surga.” Bila diingat bahwa kemampuan meredam amarah disamakan oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman di atas, dengan menafkahkan (sebagian) hartanya dan sikap memaafkan, maka adalah sudah sepantasnya dalam hadis ini Rasul Allah memberikan janji balasan surga agar “… bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya selauas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (Q.s. Āli Imrān [3]: 133).

Sedemikian pentingnya menahan amarah, sampai-sampai disebutkan dalam suatu riwayat bahwa meraka akan dipanggal oleh Allah kelak di akhirat. Orang tersebut diberikan balasan atas kemampuannya meradam amarahnya dengan memberikan pilih-pilihan bidadari yang diinginkannya. Hadis Rasul Allah dari Mu’adz bi Jabal, “Man kadzâma ghaydan wa huwa qâdirun ‘ala an yunaffidzuh da’ahu Allah ‘Azza Wajalla ‘ala ru’ûsi al-khalâiqi yawma al-qiyâmah hatta yukhayyiruh min al-hûri mâ syâ’a.

Raja Ali Haji sebagai intelektual Melayu-Riau semasa hidupnya lewat sejumlah karyanya telah mengingatkan agar sesorang mampu meredam sifat marah. Pesan ini terutama ditujukan kepada penguasa dalam menjalankan kekuasaan dan pemerintahannya. Menurut Raj Ali Haji jika penguasa dan pembesar kerajaan selalu memperturutkan amarahnya, tentu saja membuat masyarakat, khususnya masyarakat bawah dan kecil, merasa takut untuk menyampaikan persoalan yang dihadapi (menyampaikan pengaduannya). Pada gilirannya, penguasa tidak mengetahui masalah yang dihadapi masyarakat, dan pada akhirnya masyarakat tidak mendapatkan keadilan. (Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah: 54).

Raja Ali Haji menganjurkan kepada penguasa dan pembesar kerajaan hendaklah meredam amarah, khususnya pada saat hendak memutuskan perkara hukum, terutama dalam masalah jinayat. Bila keputusan diambil tidak dalam kondisi marah akan tergambar dalam tutur kata jelas dan santun serta prilaku yang baik. Begitu pula, ia menganjurkan bahwa “padamkan sekali marah dan murka”. Dan bahkan penguasa hendaknya “maniskan muka” ketika memutuskan hukum suatu perkara, seperti ia tuturkan dengan puitis tertera di akhir Thamarāt al-Muhimmah :

Pada hukum jangan pemarah
Jangan perkataan keroh dan kerah
Khususan pula bicara darah
Jangan zalim barang sezarah.

Tatkala berhukum maniskan muka
padamkan sekali marah dan murka
mehamburkan kalam dengan berjangka
supaya orang berhati suka.

Kalau seseorang penguasa selalu marah dengan teramat sangat dapat mengakibatkan, kata Raja Ali Haji: “sampai menghilangkan akal dan malu dan sampai melalui had syara’ dan sampai menghilangkan marwah sebab berbantah dan berkelahi dan berbunuh-bunuhan.” (Lihat, Raja Ali Haji, Thamarāt al-Muhimmah, 54). Dengan redaksi yang hampir sama, tetapi pendek penuh makna, Raja Ali Haji mengingatkan dalam Gurindam Duabelas, berbunyi:

Pekerjaan marah jangan dibela
Nanti hilang akal di kepala.

Sifat amarah tidak saja akan menghilangkan akal sehat, tetapi, menurut Hadis Rasul Allah, dapat pula merusak iman seseorang. Rasul Allah saw. bersabada: “Marah itu dapat merusak iman seperti pahitnya jadam merusak manisnya madu.” (HR. Baihaki). Bila iman seseorang sudah dirusak oleh sikap amarah maka kecenderungan untuk berbuat jahat dan maksiat jauh lebih terbuka lebar.

Kalimat Raja Ali Haji tentang akibat yang bisa ditimbulkan sifat marah itu, sepertinya ada kesamaan dengan pernyataan al-Ghazali. (Lihat, al-Ghazali, Jalan Mudah Menggapai Hidayah, [terj. Kitāb al-Arba‘in fī Ushūl al-Dīn oleh Rojaya], (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), 118). Kalaupun karya al-Ghazali Kitāb al-‘Arba‘īn fī Ushūl al-Dīn ini tidak dibacanya, kemungkinan pernyataan Raja Ali Haji itu berasal dari karya al-Ghazali yang lebih masyhur, yaitu Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn.

Dalam mengatasi sifat marah, saran Raja Ali Haji, seseorang harus memperbanyak sifat sabar. Pernyataannya dalam Syair Siti Sihanah bahwa kemarahan hanya bisa diobati dengan memperbanyak sabar. Ungkapan Raja Ali Haji ini relatif mirip dengan pernyataan al-Ghazali dalam al-Ṭibr al-Masbūq fi Naṣiḥat al-Mulk bahwa “kemarahan adalah perkara yang membinasakan akal, musuh dan penyakit akal,” dan “jika akal sudah mendominasimu, maka engkau harus condong kepada sifat pemaaf.” (Lihat, al-Ghazali, Etika Berkuasa Nasehat-nasehat Imam Al-Ghazali, 44).

Boleh jadi inilah pembenaraanya kenapa Allah menggabungkan antara menahan amarah dan memaafkan manuaia (“wa al-kāẓimīna al-ghayẓ wa al-‘āfīna ‘an al-nās”), sebagaimana ayat telah dikutip sebelumnya (Q.s. Āli Imrān [3]: 134). Dan perlu ditegaskan bahwa sifat sabar dan memaafkan adalah termasuk dua sifat paling mulia dan utama (Qs. Al-Shūra [42]: 43). Dengan membiasakan sifat pemaaf (meminta dan terutama memberi maaf), seseorang berarti telah meneladani sifat para nabi dan aulia.

Namun, segera harus ditambahkan bahwa rasa marah seseorang, apa lagi pada penguasa dan pembesar kerajaan, ada kalanya dibolehkan. Marah semacam ini dimaksudkan dalam rangka menegakkan keadilan, kebenaran dan kebagaikan sebagai wujud menjalankan perintah (syariat) agama. Dengan kata lain, rasa marah yang dilarang dalam ajaran agama adalah apabila diiringi dengan nafsu syaitan, dan disertai dengan tujuan jahat dan tercela.

Dalam konteks itu Nabi Rasul Allah saw. bersabda: “Inna al-ghadab min shaīṭān wa inna al-shaīṭān khuliq min al-nār mā tutfi‘ al-nār bi al-mā’i faidhā ghadib aḥadukum fal yatawadda.” (Sesungguhnya sifat marah pada diri manusia itu berasal dari shaitan, karena shaitan diciptakan dari api, maka untuk memadamkan rasa marah itu, manusia seyogyanya bersegera mengambil air wudhu‘”).

Selain itu, Raja Ali Haji menasehatkan bahwa kemarahan dapat diredam dengan cara merenungkan dan memikirkan akibat/masalah yang akan ditimbulkannya dengan akal sehat. Untuk itu, sebelum marah seyogyanya mempertimbangkan secara logis, apakah memang layak untuk marah atau tidak, tulis Raja Ali Haji dalam Gurindam Duabelas:

Ketika hendak marah dahulukan hujjah
Ketika hendak dendam dahulukan maaf

Ungkapan Raja Ali Haji “Hendak marah/Dahulukan hujjah” bukan saja dimaksudkan untuk mempertimbangkan hujjah yang melatarbelakangi “hendaknya marah”. Namun, juga harus lebih dahulu mempertimbangkan (dahulukan hujjah) dengan melihat “latar depan” atau akibat yang akan ditimbulkan dari sikap marah itu. Boleh jadi hujjah latar belakangnya membolehkan kita marah, tetapi dengan hujjah “latar depan”, yaitu akibat negatif yang akan ditimbulkannya mengharuskan kita meredam amarah.

Begitu pula, “hendak marah”, tetapi “dahulukan hujjah” menjadi penting, dan ini terkait pula dengan bila “hendak dendam”, tetapi “dahulukan maaf”. Sebabnya, kebanyakan orang marah-marah tanpa sebab yang tidak/belum jelas. Jika pun sebabnya sudah jelas, dan memungkinkan seseorang marah, maka hendaklah seseorang mendahuluan hujjah yang dapat membenarkannya.

Ketika hujjah didahulukan dapat menyebabkan keinginan untuk marah bisa jadi tertunda. Kalaupun sudah terlajur marah maka dengan pertimbangan hujjah, kemarahan dapat diredam. Bila marah sudah mampun diredam, rasa dendam untuk balas dendam pun relatif telah sirna. Dengan begitu, kini muncul sifat utama untuk memaafkan orang yang telah berbuat jahat/negatif pada diri kita.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).
44. BUDI-BAHASA: Antara Berbangsa dan Berbangsat

44. BUDI-BAHASA: Antara Berbangsa dan Berbangsat

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

Dalam aspek budaya secara khusus, Raja Ali Haji mengkritik mereka yang suka memakai pakaian ala Inggris, Belanda, atau Cina, misalnya memakai celana, baju, kaos kaki dan sepatu. Dalam pandangannya pakaian orang asing tersebut tidak layak dan tidak sesuai bagi orang Melayu. (Andaya dan Virginia Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 127; Matheson, “Strategies of Survival: The Malay Royal Line of Lingga-Riau”, Journal of Southeast Asian Studies, vol. XVII, no. 1 (March 1986), 6).

Sebaliknya, ia begitu menekankan agar orang Melayu tetap memakai dan melestarikan pakaian Melayu. Baginya, pakaian Melayu pada masa lalu sesuai dengan adat dan indah dipandang mata serta tidak terlihat bengis:

“Adapun pakaian orang Melayu daripada dahulu, sehelai seluar dipakai di dalam, kemudian baharulah memakai kain, Bugiskah atau sutra, labuhnya hingga lepas lutut, kira-kira seperempat. Kemudian baharulah memakai ikat pinggang, terkadang di luar kain, terkadang di dalam kain. Kemudian baharulah memakai baju, belah dada namanya, atau baju kurung, kemudian disisipkan keris, sebelah keris kepalanya, keluar tiada meniarapkan sapu tangan bertanjak. Adapun seluarnya terkadang seluar ketat berkancing kakinya.”

Lebih lanjut, Raja Ali Haji Menulis, “Syahdan pada penglihatan mataku sangatlah tampan orang-orang Melayu memakai cara Melayu yang dulu-dulu, tiada bengis rupanya. Adapun sekarang ini yakni, waktu masa aku mengarang kitab ini, maka tiadalah aku lihat lagi pakaian orang Melayu seperti pakaian adat-istiadat lama, bercampur baur dengan kaidah pakaian orang Inggeris dan Holanda…, dan terkadang jika malam tiada kenal akan orang Melayu.” (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 197).

Dari kutipan di atas dengan gamlang Raja Ali Haji mengutarakan tradisi dan adat berpakaian di kalangan orang Melayu yang benar dan baik. Selain itu, ia juga mengungkapkan kritikan dan sekaligus mengungkaapkan kegalauannya prihal cara berpakain sebagian orang Melayu yang sudah berubah dengan tidak lagi menggunakan pakaian adat Melayu pada masanya. Sesungguhnya, kritik Raja Ali Haji terhadap masyarakat Melayu yang ingin “menyerupai” budaya dan pola hidup orang Barat khususnya, tidak terlalu ditekankannya pada “makna lahiriahnya” (baca: memakai pakai ala bangsa Asing, seperti celana, baju dan sepatu).

Akan tetapi, kritikannya lebih ditekankan pada “makna bathiniahnya” (baca: menghilangkan indentitas dan budaya dan adat Melayu yang luhur dan agung). Karena, menurut Raja Ali Haji, orang-orang Melayu yang memakai pakaian orang-orang asing tersebut bertujuan untuk menghilangkan identitas kemelayuannya. Orang Melayu semacam ini disindir Raja Ali Haji, “supaya di malam hari orang tidak mengenal mereka sebagai orang Melayu”. Dengan begitu, mereka bebas berbuat semaunya dan sekehendak hatinya.

Pandangan dan pendirian Raja Ali Haji tersebut sama dengan pandangan guru intelektual dan sepritualnya, Imam al-Ghazali. Masalah ini, sebelumnya telah diperingatkan al-Ghazali bahwa pakaian adalah untuk menutup “telanjang” dan bukan untuk menyembunyikan identitas seseorang dan ‘sembunyilah dihadapan makhluk, sehingga kamu menyeleweng. (Lihat, Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 123). Dengan begitu, mereka akan bebas melakukan perbuatan tercela yang tidak sejalan dengan adat-istiadat dan budaya Melayu yang baik dan luhur.

Pandangan Raja Ali Haji terhadap budaya dan tradisi Melayu diekspresikan tidak hanya sebagai pembelaan terhadap sikap dan tingkah laku mencirikan adat-istiadat “Melayu”. Akan tetapi, lebih dari itu, dimaknai sebagai sebuah dalih agar penegakan moral sosial kerajaan dapat dipertahankan. Apabila masyarakat senantiasa menuruti adat dan atauran untuk bertingkah laku baik dan patut, maka hubungan harmonis antara manusia dengan manusia; masyarakat dengan penguasa; dan manusia dengan Tuhan akan tercapai dengan sendirinya. (Lihat, Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 127; Virginia Matheson, “Strategies of Survival: The Malay Royal Line of Riau Lingga”, 6).

Penegakan moral sosial kerajaan, menurut Raja Ali Haji, merupakan prasyarat utama sebuah negeri akan berjaya dan sejahtera, sekaligus terhindar dari kehancuran dan laknat Allah. Dalam syarinya “Nasehat”-nya, Raja Ali Haji mengingatkan:

Tingkah laku tidak kelulu
perkataan kasar keluar selalu
Tidak memikirkan aib dan malu
bencilah orang hilir dan hulu.

Jika ananda menjadi besar
tutur dan kata janganlah kasar
Jangan seperti orang yang sasar
banyaklah orang menaruh gusar.

Kita menjabat pekerjaan orang
jangan diperbuat sebarang-barang
Jika raja perangainya garang
kenalah kita murka dan berang.

Beberapa negari terkena bala’
sebab perbuatan kepala-kepala
Karena perbuatan banyak yang cela
Datanglah murka Allah.

Jika datang murkanya Allah
ahli negeri tiada ketahuan
Kelakuan seperti binatang dan haiwan
hilanglah malu hilanglah bangsawan.

Akan tetapi hendaklah ingat
akan segala tentara dan rakyat
Hendaklah jagakan segala yang jahat
supaya kerajaan jangan mudharat.

Sejalan dengan itu, Raja Ali Haji mengajurkan baik kepada masyarakat pada umumnya, penguasa dan pembesar kerajaan pada khususnya, agar senantiasa mempergunakan akalnya. Karena kemuliaan dan kehinaan manusia, menurutnya, ditentukan dengan ada atau tidak adanya (penggunaan) akal. Ia menegaskan “… maka mulialah orang yang dikaruniai Allah Ta’ala akal itu. Barangsiapa tiada dikaruniai akal hinalah orang itu.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 216).

Pada bagian lain dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, Raja Ali Haji menyatakan bahwa kelebihan dan kemulian anak-cucu Adam tertelak pada akal dan budi bahasanya, dan bukannya pada asal-usul keturunannya (afḍal bi al-‘aql wa al-adab laysa bi al-nasb). (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 57). Dalam Gurindam Duabelas pada pasal kelima dengan indahnya, ia menuturkan:

Jika hendak mengenal orang berbangsa
lihat kepada budi bahasa.

Jadi, ukuran seseorang itu “berbangsa” atau “berbangsat” sangat ditentukan oleh “budi bahasanya”. Walau seseorang keturunan bangsawan dan bahkan raja sekalipun, sekiranya tidak memiliki akal dan budi bahasa, menurut Raja Ali Haji ini, niscaya tidak ada kemuliaan bagi orang tersebut, “tiada kelebihannya, kehinaan jua”; atau ungkapannya lagi, “barang siapa jahat adabnya, sia-sialah nasabnya.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 57).

Ungkapan yang sama dari R.A. Kartini dalam suratnya kepada Nona Zeehandelaar tanggal 18 Agustus 1899, sebagaimana dikutip oleh K.H. Saifuddin Zuhri, antara lain terbaca agak keras: “Bagi saya hanya dua macam bangsawan: bangsawan pikiran dan bangsawan budi. Tiada yang lebih gila dan bodoh pada pemandangan saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya. Dimanakah gerangan letak jasanya orang bergelar graaf atau baron? Tidak terselami oleh pikiranku yang picik ini.” Lihat, K.H. Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia Jilid 2” (Jakarta: Gunung Agung, 1983), 25.

Pada gilirannya, bila penguasa tidak memiliki kemuliaan atau kehormatan, bagaimana dia bisa memberikan kemuliaan dan kehormatan pada orang lain, khususnya pada masyarakat. Pada dasarnya, hanya orang “memiliki” bisa “memberi”, seperti kata pepatah Arab, “al-insān la yu’tī illā mālahū ” (manusia tidak dapat memberi kecuali ia memiliki). Makanya, hanya orang yang memiliki kemulian dan kehormatan yang dapat memberi kemulian dan kehormatan orang lain. Ia mengingatkan para penguasa dan bangsawan agar menghormati orang lain dan menjaga sikap dan prilaku selaras dengan adab dan adat, seperti ungkapnya “…. jikalau kita jadi orang besar sekalipun. Karena orang besar-besar itu, orang yang memelihara adab dan adat.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 65-66).

Sikap dan pandangan Raja Ali Haji, seperti ditunjukkan dalam pengalaman hidupnya di atas, semakin mencerminkan bahwa dirinya benar-banar seorang, sekali lagi meminjam istilah Abdul Hadi W. M., “ulil albab”. Karena seorang ulil albab tidak saja memahamai dan mengajarkan doktrin-doktrin agama, tetapi sekaligus mengamalkannya dan memberi suri-tauladan bagi masyarakatnya.

Seorang uwlū al-bāb, layaknya Raja Ali Haji, tentunya tidak pernah mau mengajarkan sesuatu doktrin agama yang ia sendiri tidak/belum amalkan. Pertimbangannya bukan saja demi kehidupan sosiologis (masyarakat tidak akan mau mengikutinya), tetapi juga didasari atas pertimbangan teologis (cerminan keimanan dan ketakwaan kepada Allah) dan kehidupan eskatologis (pantulan keyanikan dan keimanan akan kehidupan akhirat beserta dan siksaan dalam neraka), firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.s. al-Ṣāf [61]: 2-3)

Sebaliknya, seseorang mengetahui sebuah perbuatan baik dan tidak dilakukannya; atau seorang mengetahi suatu perbuatan dilarang agama dan tetap dilakukannya, menurut Raja Ali Haji, dia itu bukan manusia, tetapi syaitan, Gurindam Duabelas pasal 9:

tahu pekerjaan tak baik tapi dikerajakan
bukannya manusia ia itulah syaitan.

Sikap dan pandangan Raja Ali Haji ini tentu saja telah mengkristal, terpatri dalam hatinya seiring pengalaman hidup dalam mempelajari, mengajarkan dan mengamalkan doktrin-doktrin agamanya berdasarkan al-Qur’an dan Hadis dan ijtihad para ulama.

Dalam mengakhiri bahasan tentang “budi bahasa” dalam pandangan Raja Ali Haji atas pembinaan bidang bahasa dan budaya, penulis ingin mengutip ungkapan Hasan Junus yang, meskipun secara langsung tidak ditujukan kepada figur penyair-intelektual Melayu ini, tetapi sangat tepat menggambarkan sosok dan peran Raja Ali Haji dalam masyarakatnya:

“Seorang cendikiawan senantiasa bergelut dengan idea-idea, lalu menuntun masyarakat ke tempat yang sesuai dengan konsep “bahasa” dan kebudayaan Melayu yang mencakup arti akal dan budi pekerti. Tanpa lidah yang fasih ia akan mendapatkan kesulitan menjelaskan gagasan yang hendak ditawarkannya secara jernih dan berkesan. Tanpa hati yang bersih, jangan-jangan masyarakat yang dituntunya itu dapat terbawa ke arah kerusakan dan keruntuhan.” (Lihat, Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 106-107).

Dengan lidah fasih-resonansif, diiringi dengan kalam tajam-produktif; akal cerdas mengajari dalam balutan hati suci-jernih mengilhami, Raja Ali Haji menuntun dan sekaligus menjadi teladan masyarakatnya. Upaya-upaya ini terus dilakukannnya agar masyarakan selalu berada pada yang “lurus” selaras dengan ajaran agama dan adat/budaya Melayu yang luhur dan agung. Jalan benar dan lurus telah ditapaki dan ditunjuki langsung oleh Raja Ali Haji ini.

Apa yang telah dilakukan Raja Ali Haji tersebut dimaksudkan tidak saja berlaku bagi generasi pada masa dan setelahnya, tetapi tetap relevan hingga kini. Bahkan apa yang telah diupayakan Raja Ali Haji semasa hidupnya tetap memiliki resonansi mondial sampai di masa sekarang. Bagian akhir ini ingin ditutup dengan ungkapan jitu dari Abdul Hadi W. M., bahwa Raja Ali Haji, “… bukan sekedar produk dari zamannya, tetapi adalah hati nurani dan suri tauladan utama bagi bangsanya.” (Abdul Hadi W. M., “Raja Ali Haji: Ulil Albab…”: 283).

Dengan begitu, Raja Ali Haji telah menuntun jalan, bagaimana kita agar berbudi bahasa. Akhirnya, kini pilihan ada pada diri kita, apakah kita akan jadi “berbangsa” atau “berbangsat”. Dengan berbangsa kita memimilik peluan untuk berjaya; dan dengan berbangsat membuka jalan ke jurang kehancuran.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)
UIN Suska Riau.
43. 	BUDI  BAHASA (1); Bahasa  Menunjukkan Bangsa

43. BUDI BAHASA (1); Bahasa Menunjukkan Bangsa

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

Pada hari ini, Rabu, tanggal 28 Oktober 2020 kita kembali memperingati hari Sumpah Pemuda yang telah berulang selama 92 tahun terhitung sejak 1928. Dalam “Sumpah Pemuda” itu satu di antara tiga janji putri-putri Indonesia adalah “Kami putra dan putri ini Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Apakah berlebihan kalau dipertanyakan, apakah Sumpah Pemuda dapat diikrarkan pada 1928, sekiranya Raja Ali Haji dan lingkarannya di Pulau Penyengat pada paruh kedua abad ke-19 hingga satu/dua dekade abad ke-20 tidak melakukan upaya “pengapakan”, meminjam istilah U.U. Hamidi, lantaran generasi setelahnya belum dapat melakukan upaya “pengetaman”?

Pembinaan bahasa dan Pemeliharan budaya Melayu yang telah diupayakan Raja Ali Haji, setidak-tidaknya, dilandasi dua prinsip dan pandangan berorientasi masa depan. Pertama, bahwa “Jika hendak mengenal orang yang berbangsa/lihat kepada budi bahasa”, demikian ia gubah secara puitis dalam Gurindam Duabelas. Sikap dan pandangan Raja Ali Haji: “bahasa menunjukan bangsa”, menurut U.U. Hamidi, mengilhami dan membangkitkan jiwa dan semangat anak-cucu Raja Ali Haji sepeninggalannya untuk membangun kesadaran akan arti penting pemiliharaan bahasa dan budaya Melayu. (U.U. Hamidi, “Hilang Jasa Kapak Oleh Jasa Ketam”, 18).

Kedua, bahwa dalam memelihara dan melestarikan ilmu pengetahuan lebih baik dilakukan dalam bentuk tradisi tulis, dan bukan dalam bentuk tradisi lisan. Prinsip dan pandangan Raja Ali Haji ini, menjadi daya dorong bagi dirinya untuk melahirkan karya Bustān al-Kātabīn dan Kitab Pengetahuan Bahasa. Begitu pula, produktifitasnya dalam melahirkan karya tulis dari berbagai aspeknya, seperti aspek syair/sastera, sejarah, politik dan agama, khususnya aspek budaya dan bahasa menunjukan prinsip dan pandangannya ini.

Matheson menyatakan bahwa upaya Raja Ali Haji dalam memelihara budaya dan bahasa telah menjadi alas dasar yang kokoh bagi pembentukan tradisi intelektual Melayu modern. Sikapnya menghargai budaya Melayu tradisional dan pemanfaatan kaedah yang benar dan tepat menunjukkan ia sebagai “orang tengah” antara dunia tradisional dan dunia modern. (Matheson, “Pengenalan” 1998, xiii). Uraian tentang Raja Ali Haji yang berada pada masa ”transisi” antara tradisional dan modern, lihat Mohd. Taib Osman, “Raja Ali Haji of Riau: A Figur of Transition or the Last of the Classical Pujanggas?”, 41-66).

Pada era sebelumnya tradisi tulis-menulis yang dikembangkan mulai dari Hamzah Fanzuri di Aceh sampai Tun Sri Lanang di Johor bahasa dipandang sebagai alat komunikasi dan sekaligus pendukung kebudayaan. Pada era Raja Ali Haji di Riau, menurut U.U. Hamidi, bahasa tidak saja sebatas alat dan pendukung budaya, tetapi juga sebagai jati diri bangsa. Karenannya, dalam Alam Melayu bahasa dan budaya adalah dua entitas yang saling jalin-berkelindan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya –ibaratnya dua sisi mata uang– dalam membentuk jati diri orang Melayu. (Khaidir Anwar, “Sumbangan Bahasa Melayu Riau terhadap Bahasa Indonesia”, dalam Masyarakat Melayu dan Kebudayaannya, 1986): 36).

Kenyataan unifikasi dan hubungan erat bahasa dengan budaya Melayu, menurut Kahidir Anwar, lambat-laun berubah menjadi bahasa yang relatif netral dengan budaya. Akhirnya, hubungan bahasa dan budaya menjadi renggang/melonggar ketika bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia dipergunakan seluruh anak bangsa yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Dengan begitu, menurut Khaidir Anwar, sumbangan bahasa Melayu Riau terhadap perkembangan bahasa Indonesia sekaligus juga merupakan sumbangan budaya. Lagi-lagi menurut Khaidir Anwar, kalau kita menerima Bahasa Melayu (dikembangkan) Balai Pustaka itu yang kemudian berubah menjadi bahasa Indonesia, maka kita juga harus mengakui sumbangan bahasa Melayu Riau terhadap perkembangan bahasa Indonesia yang luar biasa sekali besarnya.

Khaidir Anwar menambahkan, mungkin tidak tepat kalau kita sebut hanya dengan istilah sumbangan, sebab bahasa Melayu lebih daripada sumbangan, bahasa Melayu merupakan pelimpahan, pemberian secara menyeluruh bagi bahasa Indonesia. Khaidir Anwar melanjutkan pengandaian, “sekiranya bahasa dan budaya Melayu tidak mau menyumbang lagi, maka bahasa dan budaya Indonesia akan kurang kaya.” (Lihat, Khaidir Anwar, “Sumbangan Bahasa Melayu Riau terhadap Bahasa Indonesia”, dalam Masyarakat Melayu dan Kebudayaannya, ed. S. Budisantoso, Pekanbaru: Pemda Riau, 1986,: 28-29 dan 36).

Dewasa ini, perkembangan bahasa Indonesia, sepertinya mulai meninggalkan bahasa induknya (bahasa Melayu) yang seolah-olah, meminjam istilah Khaidir Anwar, “kekurangan darah” dalam bersaing dengan berbagai bahasa daerah di Indonesia untuk memberikan sumbangan guna memperkaya perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Malah kosa kata Melayu mulai tidak popular dipergunakan dan diganti padanan kosa kata dari daerah lain.

Ironisnya lagi, penyebab berkurangnya sumbangan bahasa Melayu terhadap pengayaan bahasa Indonesia justru dilakukan orang Melayu terpelajar yang, menurut Khaidir Anwar, tidak mau/enggan menggunakan kosa kata bahasa Melayu, dan menggantinya dengan kosa kata dari daerah lain. Ia misalnya menyebutkan orang Melayu terpelajar enggan mempergunakan, sekedar contoh, kata “jering” (buah memiliki aroma khusus), dan lebih memilih menggunakan kata “jengkol”.

Sikap orang Melayu terpelajar itu, sepertinya lebih suka mengikuti daripada diikuti, sehingga sejumlah kosa kata dari daerah lain lebih kedengaran “merdu” ditelinga mereka, seperti kata “pengejawantahan”, “sandang pangan” dan lain-lainnya. Selain faktor sikap mental orang Melayu terpelajar tersebut, banyak faktor lain menjadi penyebab berkurangnya sumbangan bahasa Melayu terhadap pengayaan bahasa Indonesia, yaitu faktor demografi (orang Melayu bukan mayoritas), politik dan kekuasaan (alam Melayu bukan pusat kekuasaan). (Lihat, Khaidir Anwar, “Sumbangan Bahasa Melayu Riau…”, 35).

Penyusunan kamus ensiklopedis-monolingual Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa adalah sebagai wujud upayanya dalam membina bahasa dan memelihara budaya Melayu. Kitab Pengetahuan Bahasa sebagi sebuah karya bahasa dan budaya adalah unik dari segi “metode” dan “materi”. Keunikan tersebut, setidaknya disebabkan latar belakang dan/tujuan Raja Ali Haji membuat kamus itu sendiri.

Pertama, Raja Ali Haji tetap konsisten merujuk kepada metode bahasa Arab, karena ia ingin mencegah pengaruh bahasa Asing yang mulai menodai bahasa Melayu dan sekaligus dapat mencederai adat-istiadat Melayu.( Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 197).

Kedua, Raja Ali Haji memberikan uraian materi panjang terhadap sejumlah kata tertentu karena ia mengharapakan agar kata itu dapat dipahami secara tepat dan benar, sekaligus memberikan pengajaran terhadap adat-istiadat, nilai-nalai moral dan agama bagi masyarakat pembacanya.( Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 109; Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 113).

Upaya Raja Ali Haji untuk memberikan makna dan penjelasan secara mufassar dalam Kitab Pengetahuan Bahasa menjadi relevan dengan tuntutan zamannya. Penjelasan untuk satu kata tertentu perlu dijabarkan panjang lebar, misalnya dengan disertai contoh dimaksudkan untuk membimbing masyarakat dalam etika dan perbuatan yang baik. Dalam pandangannya, kalau penggunaan bahasa Melayu tidak dijelaskan dengan baik dan jelas, cepat atau lambat, masyarakat Melayu akan salah dalam penggunaan bahasanya.

Pada waktu hidupnya saja, ia sudah melihat ada kecenderungan keliru dalam penggunaan bahasa Melayu, dan ini tentu saja disesalkan Raja Ali Haji, misalnya meniru bahasa Inggris dan Belanda. Pengabaian bahasa Melayu berarti pengabaian tradisi dan adat istiadat yang telah tertanam dalam masyarakat. Pada gilirannya tak terelakkan akan menghancurkan susunan dunia dan kerajaan Melayu. (Lihat, Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 122).

Penodaan bahasa Melayu disebabkan bercampur-baurnya antara bahasa Melayu dan bahasa asing. Penyebab lainnya adalah meniru penggunaan bahasa Melayu yang salah dilakukan oleh orang asing, seperti tercermin dari penggunaan kata-kata, misalnya antara kata ”bilang” (hitung) dan cakap (bicara). Raja Ali Haji menyebutkan bahwa kata “bilang” bermakna “yaitu menentukan apa yang ada banyak sedikitnya, yaitu daripada satu hingga sehabis had bilangan di dalam bilangan itu.”

Menurut Raja Ali Haji, bilangan itu terdiri dari bilangan genap dan bilangan ganjil. Dan Raja Ali Haji menyalahkan bagi orang yang mencampuradukan penggunaan antara kata “bilang” dan kata “cakap” karena itu dilakukan oleh orang asing yang tidak memahami bahasa Melayu. Persisnya, ia mengatakan, “Syahdan ada pula dibahasakan bilang itu cakap, maka yaitu tersalah karena orang yang lain bangsa dari pada bangsa Melayu.”

Akan tetapi, Raja Ali Haji sangat menyayangkan orang-orang Melayu ikut-ikutan pula dalam kesalahan mengunakan kata bilang sama dengan cakap. Sehingga, “…. pada dirinya jadi berkekalanlah rusaknya bahasa Melayu itu diperbuatnya.” (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 173 dan 197). Begitu pula, ungkapan kasih tahu yang seharusnya beri tahu, kata pasti dirubah penggunaannya menjadi musti, atau kalimat ini berapa harga? diganti menjadi ini berapa punya harga, dan masih banyak lagi, menurut pengakuan Raja Ali Haji. (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 173 dan 197)

Pada kasus yang sama (1862) ia mendapatkan sebuah buku Kitab Loghat yaitu Kitab Menyatakan Bahasa Melayu dan Bahasa Nederland, terbitan P.P. Roorda van Eysinga (1855), Raja Ali Haji dengan suara lantang mengkritikannya: “Campur baur bahasa dalam dan bahasa luar, dan campur baur lagi bahasa halus dan bahasa kasar, dan campur pula bahasa Arab. Entah siapa pengarangnya….”

Lebih lanjut Raja Ali Haj menulis, “Dan lagi saya dapatkan pula di dalam kitab itu juga, pada bab Ta-nya dengan bahasa tak usah. Ini bahasa jika dituturkan dengan lidah, dan jika dengan surat2 tiada boleh begitu. Hendaklah dengan huruf tiada usahlah. Dan jika dengan pertambatan perkataan, jika dengan lidah tak usahlah engkau buat begitu, dan jika dengan huruf di dalam surat2 kepada sanak suadara2 ‘tiada usahlah adinda perbuat demikian itu’ atau ‘kakanda’ atau ‘tuan hamba’. Dan banyak lagi yang boleh dikiaskan dan diumpamakan adanya.” (Lihat, Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 57).

Raja Ali Haji melontarkan kritiknya atas penggunaan bahasa Melayu yang sudah mulai bercampur-baur dengan bahasa asing serta penyampuradukan antara bahasa Melayu halus dan kasar. Begitu pula, ia mengkritik lebih tajam terhadap orang menyamakan penggunaan bahasa Melayu secara lisan dan penggunaan bahasa Melayu secara tulisan. Penyalahgunaan bahasa Melayu semacam itu, menurut Hasan Junus, terjadi karena salah kaprah disebabkan kurang hati-hati dalam mempergunakannya, dan tidak merujuk kepada sumber aslinya.

Dalam konteks di atas, Hasan Junus misalnya mencontohkan penggunaan kata “serapah” yang seharusnya “seranah”. Kata “serapah” sama artinya dengan “jampi” atau “mantera” yang berkonotasi positif. Hasan Junus menjelaskan kata “jampi”, yaitu “seorang membacakan atas seseorang dari pada ayat Qur’an atau doa-doa, isim-isim atau serapah-serapah karena obat kedatangan penyakit atau karena berkehendakkan sesuatu hikmah atau tangkal.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 197).

Adapun “seranah” mirip jampi atau mantera dalam konotasi negatif, seperti ketika seorang membaca lalu menghembuskan manteranya kepada orang lain dari jarak jauh supaya orang itu bangkit birahi kepadanya. Kemudian, dewasa ini dalam kosa kata bahasa Indonesia, kata “sumpah serapah” dengan salah kaprah diartikan sebagai “maki-hamun”.

Padahal yang benar (makna asalnya) dalam bahasa Melayu kata “sumpah serapah” dimaksudkan dalam bahasa Indonesia itu seharusnya adalah “sumpah seranah”. Begitu pula, kata “seronok” dalam bahasa Indonesia berkonotasi pada pengertian porno. Padahal kata “seronok” bahasa Melayu berarti menyenangkan. (Lihat, Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 120; Taufik Ikran Kamil, “Pandangan Raja Ali Terkini”, 8).

Dalam konteks dewasa ini, Abdul Hadi W.M. mengatakan bahwa andaikata Raja Ali Haji masih hidup tentu akan lebih sedih lagi melihat perkembangan bahasa Indonesia yang telah mengalami kerancuan disebabkan banyaknya kata-kata/ istilah-istilah dari bahasa Inggris diambil begitu saja tanpa diindonesiakan dengan sepenuhnya. Selanjutnya dengan nada keras Abdul Hadi W.M. menyatakan, “Bahasa Indonesia yang dipakai sekarang ini tidak mencerminkan bahwa pemakainya memiliki keperibadian, tingkat budi pekerti dan intelektual yang memadai.” (Lihat, Abdul Hadi W. M., “Raja Ali Haji: Ulil Albab di Persimpangan Zaman”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji Sebagai Bapak Bahasa Indonesia, 302-303).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies)
UIN Suska Riau.